Akhir pekan pada minggu terakhir bulan Maret penonton teater Bandung disuguhkan pertunjukan monolog tiga aktris sekaligus. Dengan beragam latar belakang kesenimanan dari tiga aktris itu tentu saja menarik untuk diapresiasi oleh penonton Bandung.
Kumpulan pertunjukan satir bertajuk Perempuan Menuntut Malam itu menghadirkan tiga pertunjukan dengan judul “Tarian Sang Empu“ oleh Maryam Supraba, “Sepiring Nasi Goreng” oleh Ninik L. Karim, “Pagi Yang Penuh” oleh Rieke Diah Pitaloka di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat, Bandung pada tanggal 28 dan 29 maret 2008
Kritikus teater modern asal Bandung, Benny Johannes juga hadir bersama aktor senior dari Studiklub Teater Bandung (STB) yaitu Muhamad Sunjaya. Pertunjukan yang disutradarai oleh Zuki a.k.a Kill The DJ, seorang seniman video art dari Jogjakarta yang dikenal dengan kenakalan visualnya itu pun menambah daya tarik produksi tersebut.
Terlebih kehadiran Ninik L. Karim sebagai aktris senior dari Jakarta, serta selebritis Rieke Diah Pitaloka yang juga sebagai politisi dari salah satu parpol terbesar di Indonesia.
Ratusan penonton dari mahasiswi Bandung dan pelajar memadati gedung teater yang berkapasitas 750 orang Jum’at (28/3) malam. Mereka penasaran melihat penampilan Rieke Diah Pitaloka kelahiran Garut, Jawa Barat, malam itu.
Udara malam yang dingin di kota Bandung menyusup ke celah-celah gedung bersama dengan fade in-nya gambar bunga matahari dan jarum jam yang berputar silih berganti (fade in – fade out) dengan gambar telapak tangan.
Lampu spot mulai membidik ke tengah panggung dan perlahan menerangi sesosok perempuan dalam kuburan kain putih yang pantulkan cahaya lampu dengan warna biru merah dan putih. “Cahya namaku,” ujar sang tokoh dalam monolog pertama yang berjudul Tarian Sang Empu oleh Maryam Supraba.
“Cahya namaku. Perempuan yang didekap oleh gelap. Yang memiliki malam terpanjang…nyaris di sepanjang tubuhku,” ujar Cahya sambil menari dalam kain dibilas cahaya merah redup dan membiru.
Ia ceritakan kisah Cahya yang getir dalam pernikahan sirih yang dialaminya. Anaknya tak diakui oleh negara karena tak ada surat-surat, sedangkan lelaki yang menjadi suaminya pergi entah kemana. “Lelaki hanya ingin meniduriku,” keluhnya di bawah kain panjang yang mengerudunginya.
Cahya teringat pada ibu. Sosok perempuan yang melahirkannya dengan penuh cinta kasih ke dunia. “Cukup,” katanya, “Aku tidak mau jadi istri simpanan lagi. Aku seperti ciptaan Tuhan juga yang cantik dan bagian dari kecantikan jagat raya. Aku anak matahari. Akan terus menari menuju cahaya matahari. Menari bersama perempuan-perempuan yang diberkati. Perempuan-perempuan yang menebar benih di bumi.”
Tarian dan keluh kisah Cahya oleh Maryam Supraba menelisik kisah hidup perempuan-perempuan Indonesia yang terjerat cinta dan rayuan lelaki hingga mau menjadi istri-istri simpanan.
Teks puitis yang diujarkan oleh tokoh Cahya adalah representasi dari kehidupan metropolis di Indonesia dewasa ini. Sosok perempuan-perempuan yang kemudian menjadi korban peradaban lelaki – patriarki.
Monolog Tarian Sang Empu sekaligus menjadi upaya penyadaran kepada penonton bahwa masalah itu tidak lagi menjadi masalah perempuan saja. Tetapi menjadi masalah semua orang yang harus direnungkan bersama. Kurang lebih seperti itulah opini penonton pertunjukan malam itu yang seolah dibius oleh gambaran penderitaan Cahya di atas panggung kehidupan semu - teater.
**
Sajian kedua adalah monolog Sepiring Nasi Goreng oleh Ninik L. Karim. Mula-mula gambar presenter berita dari stasiun swasta yang sedang membacakan potongan berita yang diulang-ulang bak musik house ala DJ di tempat dugem. Masuklah sesosok perempuan yang diperankan oleh Ninik L. Karim dengan kostum ibu-ibu rumah tangga yang selalu beraktifitas lebih banyak di dapur, ranjang, kumpul arisan, atau tukang sayur pada orang kebanyakan.
Seorang perempuan juga ibu yang menjadi wadah persoalan keluarga dalam kehidupan sehari-hari. Itulah tokoh Ranti dalam kehidupan monolog.
Ranti menyiapkan bahan-bahan untuk membuat nasi goreng untuk suami yang semula romatis dan menjadi pujaan. Puja-puji itu kemudian berbalik arah menjadi caci-maki pada diri Ranti sendiri kenapa memilih suami yang kemudian tidak romantis dan suka melakukan tindak kekerasan terhadap dirinya.
Tubuh perempuan pada Ranti menjadi model realitas kekerasan yang terjadi pada perempuan di Indonesia, seperti yang selalu diberitakan dalam tayangan televisi akhir-akhir ini.
Akting memasak Ninik L Karim bukan pura-pura. Ninik benar-benar memasak nasi goreng dengan bumbu terasi yang menyengat hidung penonton pada barisan depan. Laku memasak di pentas itu dibayang-bayangi gambar jari tangan perempuan yang sedang mengiris sayuran dengan pisau yang tajam.
Monolog Ranti cukup menggelitik penonton dengan ujaran-ujarannya yang mengundang tawa meski tragis. Interaksi akting Ninik L. Karim dengan celetukan-celetukan khas ibu rumah tangga berhasil membuat penonton larut dalam penampilan tokoh Ranti yang juga menjadi korban kekerasan setelah melahirkan anak keduanya.
“Cinta ko bikin istri babak belur? Cinta itu harus bersyarat. Yang pertama adalah keselamatanmu,” ujar Ranti menjawab telepon anaknya yang mendapat tindak kekerasan dari suaminya.
Emosi dan kegetiran Ranti dilarungkan ke dalam wajan nasi goreng yang sedang dibuatnya. Menyatu dalam gumpalan bumbu yang menyelimuti butiran nasi. Hingga nasi gorengnya hampir gosong. Kepiawaian Ninik L. Karim dalam membawakan tokoh ranti benar-benar dalam kontrol yang maksimal karena Ninik L Karim benar-benar memasak di atas pentas.
Kesedihan yang merajam diri Ranti sebagai perempuan sekaligus istri seorang pengusaha itu disajikan secara apik dengan penguasaan emosi yang sekaligus menjadi melodi balada kehidupan perempuan yang mendapat perlakuan tidak layak sebagai perempuan merdeka. Aktingnya ditutup dengan dialog Ranti bersama seorang lelaki yang bukan suaminya.
Usai sajian kehidupan tragis dalam kemasan nasi goreng oleh Ninik L. Karim, pertunjukan dilanjutkan dengan sajian terakhir dari monolog Pagi Yang Penuh oleh Rieke Diah Pitaloka.
Kisah unik mengenai aktivis perempuan yang kemudian meraih suskes sebagai politisi digambarkan oleh Rieke Diah Pitaloka dengan aktingnya yang cukup piawai. Terutama penguasaan suasana pentas dengan mengolah dialek orang Sunda, Betawi dan Batak. Itu cukup membuat geerrr penonton terbahak-bahak dengan celetukan-celetukan serta interaksi dialog dengan penonton secara spontan.
Pemain yang terakhir ini menyajikan realitas di belakang layar politik Indonesia. Meski naskah yang ditulis dan diperankan sendiri oleh Rieke terkesan sebuah otobiografi perjalanan hidupnya sebagai politisi perempuan. Ratusan penonton yang dipikatnya itu berhasil pula mengampanyekan kesadaran hukum dan politik kaum perempuan dewasa ini.
Rieke memerankan Ibu Ani sebagai mantan aktivis perempuan yang sukses menjadi politisi perempuan dalam tatanan politik. Meski tema lakon yang diperankannya cukup menonjok realitas politik Indonesia yang sesungguhnya. Ketegangan-ketegangan dalam perannya dikemas dengan gaya selebritis yang dipunyainya.
Wacana korupsi pun tak luput dari ujaran tokoh Ibu Ani dikombinasikan dengan dialog interaktif dengan penonton malam itu. Isu yang paling santer dan panjang adalah isu poligami, selain masalah hukum yang dipolitisi oleh uang dan kekuasaan.
“Poligami memposisikan perempuan sebagai korban,” ujar Tokoh Ibu Ani menjawab tekepon seorang wartawan di atas pentas. “Coba dicek dulu, agama atau ulama yang membolehkan poligami. Apa-apa dihubungkan dengan agama. Agama dijadikan kedok saja,” katanya.
Monolog Rieke diakhiri dengan aksi belenggu tubuh Ani dengan tambang kapal. Ia berontak dan memeprtanyakan kebenaran atas peristiwa yang menimpa dirinya. Ani menuntut kebebasan, hingga akhirnya ia berontak dan lampu fade out – the end.
Kolaborasi seniman dari bermacam disiplin itu cukup memuaskan penonton Bandung malam itu. Garapan visual pada video art yang digarap Chandra Hutagaol, musik oleh balance Perdana Putra serta sounscape oleh Zuki dan Yoseph Susila menambah kepuasan tontonan penonton malam itu. Azies Dying pada tata cahaya dan maman Suherman pada kostum pemain melengkapi kesempurnaan estetis pertunjukan dengan tema perempuan malam itu.
Meski terkesan bahwa naskah yang ditulis oleh Rieke Diah Pitaloka, Faiza Mardzoeki (naskah Sepiring Nasi Goreng dan Pagi Yang Penuh) dan Tati Krisnawati pada naskah Tarian Sang Empu itu terkesan politis dalam mengampanyekan isu perempuan di Indonesia. Pertujukan tiga monolog itu tetap dinikmati secara kritis oleh penonton Bandung sebagai sajian seni dan hiburan sekaligus.
“Saya berusaha mendekatkan pertunjukan dengan penonton. Karena kesenian itu harus komunikatif. Pertunjukan itu merupakan upaya mengampanyekan kesadaran di masyarakat tanpa ada kebijakan yang memihak kepada perempuan. Dan ini kepentingan semua orang. Tak ada dikotomi laki-laki dan perempuan,” kata Rieke Diah Piatloka kepada KOKTAIL usai pertunjukan.
Persoalan kekerasan terhadap perempuan dan isu gender atau feminis tidak dilihat sebagai makanan baru oleh penonton. Toh penonton bisa mencerna kandungan isu di balik pertunjukan monolog dengan caranya sendiri. Sebuah tontonan yang menghibur. (Argus Firmansah/KOKTAIL/Bandung)
No comments:
Post a Comment