Monday, April 30, 2007

Invalid Beauty; Destructive View by Invalid Urban

Invalid Beauty, itulah tajuk pameran Invalid Urban, komunitas visual art dari Bandung yang digagas oleh Nandanggawe (perupa Bandung). Invalid beauty merupakan episode tahun 2007 setelah cukup lama absen di peristiwa seni rupa Bandung.
Invalid Beauty, begitulah istilah yang digunakan oleh sekumpulan perupa yang terorganisir dalam sindikat Invalid Urban. Meski tidak hanya karya Nandanggawe yang tampil dalam etalase karya yang dipamerkan di auditorium Center Culture Franch (CCF) Bandung 17 -21 April 2007.
Kesemrawutan. Barangkali kata ini menjadi penanda dalam representasi gagasan sekelompok peruma muda asal Bandung (mahasiswa STSI Bandung dan fotografer invalid-Angga Permana) dalam melihat keindahan, estetika saat ini. Konsep kekinian dalam memandang fenomena sosial di konstelasi metropolitan Bandung. Mengapa Invalid, karena keindahan itu memang invalid di dalam ruang simulakrum tanda-tanda yang silih berganti, berganti kulit, berganti identitas, bahkan berganti bentuk.
Besi, bahan metal, keras menjadi suasana pameran Invalid Beauty ini. Secara kasat mata, pameran ini seperti sebuah ruang barang bekas yang ditata secara estetika oleh senimannya. Dalam diskusi yang diselenggarakan pada akhir pameran ini, lucunya, muncul opini dalam ruang perseteruan konsep dan interpretasi terhadap Invalid Beauty bahwa Nandanggawe sebagai ikon komunitas-sindikasi Invalid Urban. Tentu saja, Angga Permana-sang fotografer invalid- menepis opini itu. "Eta lolobana karya aing...aing nu ngelas elemen estetik na" (Itu banyak karya saya...saya yang mengelas elemen estetisnya). Ketus Angga di Terminus caffe (CCF Bandung) ini membuat kawan-kawan yang mengunjungi pameran heran. Why? Kemudian, Angga bergegas ke dalam ruang pamer untuk menghancurkan karyanya sendiri dengan kapak yang digantungnya di sabuk celana belakangnya. Entah apa yang terjadi, apakah memang dia menghancurkan karyanya itu? Saya tidak hadir dalam peristiwa itu.
Invalid Beauty adalah simbol interpretasi anak-anak muda yang masih belajar memahami dan berkarya di wilayah visual art. Penanda-penanda peradaban maju dan globalisasi mendominasi perhelatan seni rupa ini. Sehingga, gambar-gambar (karya Nandanggawe) tidak dominan bicara dalam perseteruan tanda di ruang simulakrum-ruang pamer itu. Penanda-penanda berupa elemen teknologi dirumahkan oleh seniman muda ini sebagai instalasi megah sekaligus kumuh - seperti yang saya bilang tadi...seperti gudang barang bekas. Inilah yang kemudian menjadi kesimpulan atau katarsis seniman-seniman Invalid Urban, bahwa kemajuan teknologi yang mengeliminasi nilai-nilai humanis akhirnya menjadi sampah-sampah jaman, sampah-sampah peradaban, dan akan seterusnya demikian.
Invalid Beauty, sebuah interpretasi atas keindahan yang sempurna di balik keindahannya yang cacat atau destruktif. (Bandung, 21 April 2007)

Sunday, April 29, 2007

Esai Foto: Newest Generation; Nadia Raina Al-Rayyan

Esai Foto: Anak-anak Juga Doyan Nonton

Esai Foto: Ojek Sepeda di Kota Tua, Jakarta

"Meski hanya pagi hingga sore,
lumayan juga buat bertahan
hidup di Jakarta."
Jasa layanan antartoko atau antarjalan
toh masih banyak peminat
walaupun
bersaingan dengan mesin buatan Jepang.
Sepeda made in Jepang juga ada loh.
(April 2007)

Saturday, April 28, 2007

Esai Foto: Kereta Api Berbenah Diri Dengan Yang Ada

Staf PT KAI Daop II Bandung melakukan survei kepada konsumen untuk peningkatan kualitas pelayanan jasa kereta api (26 April 2007, Stasiun Bandung)
Kasus kecelakaan transportasi di tanah air
menjadi tantangan bagi PT KAI
sebagai pilihan terakhir masyarakat.
Mampukah kereta api Indonesia
menyuguhkan keamanan,
kenyaman, dan tepat waktu?

Jalan-Jalan ke Bandung ojo lali Berwisata Buku dan Majalah Tua

Menghabiskan waktu senggang dengan jalan-jalan memang cenderung jadi pilihan banyak orang eksekutif muda maupun keluarga. Kota-kota yang menarik menjadi pilihan. Khususnya bagi mereka yang bekerja atau jadi pengusaha di Jakarta atau Surabaya, kota Bandung menjadi pilihan paling cepat. Selain karena jarak yang relatif mudah melalui jalan Tol Cipularang, juga tawaran hiburan yang menarik di kota Bandung. Bandung punya banyak tempat alternatif tujuan jalan-jalan akhir pekan ini, seperti kawasan wisata belanja di Factory Outlet yang berderet di Jalan Ir.H. Djuanda (Dago), Jalan L.L.R.E. Martadinata, juga Jalan Cihampelas di mana outlet-outlet celana jeans dan t-shirt berderet di sepanjang jalan. Kawasan Wisata Buku juga menarik dikunjungi bagi mereka yang hobi mengoleksi atau membaca buku dan majalah tua. Kawasan Wisata Buku yang terkenal berada di Jalan Cikapundung. Bapak Salamun (40), salah satu pedagang buku dan majalah bekas di kawasan itu mengatakan, “Saya dan teman-teman yang lain sudah berjualan dari tahun 80-an, Mas. Kalau bicara penghasilan…ya…tidak tentu, Mas. Kadang-kadang nombok buat ongkos dan makan juga bayar retribusi karena tidak ada pembeli. Tapi kalau sedang baik…ya…bisa ratusan ribu dari penjualan buku langka.”
Saat ditanya siapa saja pembeli buku di Cikapundung, Salamun mengatakan, “…ada pelajar, mahasiswa, atau pegawai negeri yang sering datang ke sini. Ada juga profesor atau orang kedutaan yang memesan buku langka tahun 1800-an. Nah, yang kaya gitu yang menguntungkan. Walaupun cari bukunya juga susah sekali.” Wisata buku bekas dan tua di kawasan Cikapundung memang sudah berlangsung lama, karena Bandung dianggap masih menyimpan buku tua dan langka dari jaman Belanda menjajah negeri ini. Meski awalnya Pak Salamun dan teman-temannya hanya berjualan buku pelajaran bekas dan majalah bekas, tantangan mencari buku langka yang dipesan oleh orang-orang penting menjadi hal lain yang menguntungkan. Pengusaha kecil yang terorganisir dalam sebuah koperasi ini sudah mulai berjualan buku dan majalah tua/bekas sejak tahun 1980. Yang sering melancong ke sana banyak di antaranya adalah kolektor dan peneliti dari luar kota. Kawasan Wisata Buku juga terdapat di Jalan Rd. Dewi Sartika (dekat Alun-Alun Kota Bandung), Jalan Supratman (Pasar Suci), Jalan Palasari (Pasar Buku Palasari), dan Jalan Cihapit. Anak-anak muda yang gemar mengoleksi kaset-kaset bekas tahun Jadul (jaman dulu) juga bisa berekspedisi di kios-kios atau emperan toko yang ada di Jalan Rd. Dewi Sartika, atau Jalan Cihapit. Dengan banyaknya sentra penjualan barang-barang Jadul ini Bandung menjadi tempat ekspedisi atau perburuan barang-barang antik. Kedai atau rumah makan juga tidak kalah menariknya di Bandung, dari menu pilihan khas Sunda sampai makanan impor dengan venue dan suasana yang disajikan di sana cukup mengundang selera makan, selain untuk rehat setelah berkendara di jalan-jalan kota Bandung yang seringkali macet oleh kendaraan dari luar kota. Kedai atau rumah makan sederhana dengan menu sederhana untuk orang-orang menjadi pilihan utama, di samping lebih mudah diakses karena tersebar di pinggir jalan juga karena harganya yang sangat terjangkau. Mahasiswa dan pelajar memilih tempat rehat seperti itu untuk menghabiskan Sabtu malam di Bandung. Mall sebagai sentra belanja modern juga tidak kalah menariknya di Bandung, mulai dari perlengkapan rumah tangga dan elektronik, Mall juga menarik dikunjungi untuk mereka yang gemar window shopping. Selepas senja, pemandangan kota Bandung tidak kalah menariknya. Beragam tempat hiburan seperti caffe, kedai dan klab malam atau diskotek tersedia di Bandung di tempat-tempat strategis. Jalan Braga misalnya, jalan-jalan ke kawasan jalan Braga ini seakan menjadi keharusan bagi mereka yang jalan-jalan ke Bandung. Di jalan inilah orang-orang pelesir dari luar kota sejak tahun 1970-an menjadi kawasan sentra hiburan malam di Bandung. Bermalam di Bandung adalah salah satu daya tarik yang tidak kalah dibanding siang hari dengan berbelanja di FO. Jalan Braga memiliki kehidupan fenomenal di Bandung. Jalan yang terkenal sebagai kawasan refreshment ini masih memlihara cita rasa hiburan malam yang menggoda selera humor dan seksnya. Meski pemerintah kota Bandung melarang hiburan malam yang berbau seks, tapi di kawasan ini tak pernah sepi dari orang-orang malam yang berburu kesenangan dengan mojang-mojang cantiknya setiap Sabtu malam dan Minggu malam. Penginapan di Bandung juga tidak kalah menariknya. Hotel Savoy Homann, Hotel Preanger, dan Hotel Panghegar, di samping hotel dan motel lainnya, memiliki daya tarik berkelas di samping karena nilai historis hotel-hotel itu yang dibangun oleh arsitek kenamaan dari Belanda dan Jerman di jamannya di abad 19. Atau menginap di Hotel Papandayan di Jalan Gatot Subroto yang bercitarasa Parahyangan. Keunikan Bandung, selain tempat-tempat yang menarik untuk rehat dan menikmati suasana sejuknya, juga karena Bandung masih memiliki bangunan-bangunan tua pada jaman Belanda yang masih dipelihara, meski fungsi bangunan atau gedung tersebut sebagian banyak sudah berubah fungsi. Bangunan atau gedung tua ini menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang jalan-jalan ke Bandung di akhir pekan. Misalnya Gedung Sateh yang dibangun oelh seorang arsitek yang bernama J. Gerber pada tahun 1920, gedung ini sekarang menjadi kantor pusat Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Pemandangan arsitektur yang diberikan gedung ini sangat memikat para pelancong dari luar kota Bandung. Karena gedung ini dianggap salah satu simbol kota Bandung di bidang arsitekturnya, selain Hotel Savoy Homann. Gedung Sateh ini pada jaman Belanda dirancang untuk gedung pusat pemerintahan Hindia Belanda. Bandung sempat mendapat julukan kota kembang karena keasriannya yang alami dengan banyaknya pohon-pohon besar yang berumur puluhan tahun. Sekarang Bandung memiliki daya tarik yang lebih modern dengan banyaknya tempat-tempat dengan sajian gaya hidup metropolis. Beberapa bangunan tua dijadikan Factory Outlet oleh pengusaha dari Jakarta. Misalnya Ferry, dengan beberapa FO yang dimilikinya di kawasan L.L.R.E. Martadinata dan Jalan Ir.H. Djuanda (jalan Dago). Bandung kotanya para jajaka dan mojang Parahyangan yang elok ini selalu memberi kesan lain setiap kali wisatawan domestik mengunjunginya. Di sisi lain, aktivitas pendidikan dari lembaga pendidikan yang tersebar di kota Bandung membuat kota ini sangat nyaman untuk selalu disinggahi. Tak heran bila pemukiman dengan desain dan letak geografis yang menyejukan di Bandung selalu diminati oleh orang-orang di luar kota Bandung. Setiap tahunnya, pertambahan jumlah penduduk selalu menunjukkan angka pertumbuhan yang signifikan, terlebih pada tahun ajaran baru. Nah, jangan heran bila setiap tahun selalu ada perubahan wajah interior kota Bandung. Entah itu Mall atau dapur-dapur (resto) yang berlabel khas Parahyangan. Selamat menikmati suasana santai di kota Bandung. (Argus Firmansah, 2007)

Mass Movement atau Penggemar

Artis/tokoh komedian populer di layar kaca, Extravaganza, berjumpa dengan pemirsanya dalam sebuah ajang temu penggemar tayangan televisi di BandungSuper Mall, Bandung, 8 April 2007. TransTV sebagai penyelenggara event tidak saja gembira dengan terlaksananya event tersebut, BSM juga gembira karena jumlah pengunjung ke Mall terbesar pertama di Bandung itu diserbu masyarakat se-Bandung raya pagi itu. Entah itu meningkatkan penjualan barang konsumsi di Mall itu, ataupun hanya numpang lewat saja, tetap menggembirakan dilihat dari sudut pandang promosi berjama'ah itu. Event tersebut bukan hanya "jumpa fans" semata bagi Tim Produksi tayangan hiburan itu, karena sinyalir Extravaganza melakukan promo program di sana, yaitu pemilihan tokoh favorit dari Extravaganza dan promo rekrutmen pemain Extravaganza. Inilah misi TransTV menggelar jumpa penggemar dalam rangka perayaan Ultah Extravaganza ke-3. Massa hari itu membludak hingga membuat macet lalu lintas sepanjang jalan Gatot Subroto. Mereka yang datang dengan menggunakan angkutan kota, sepeda motor, hingga mobil pribadi, bahkan tidak sedikit yang berjalan kaki dari tempat tinggal mereka, memadati kawasan Mall itu sejak pukul 07.00 wib. Tidak hanya orang tua yang datang dengan menggendong bayi dan anak-anaknya, remaja Bandung yang semi glamor dan gaul juga tidak absen di sana. Semua datang ke Mall untuk melihat aksi artis-artis Extravagansa. Satu per satu artis Extravaganza naik ke atas panggung setelah sajian hiburan pembuka dari kelompok musik yang berasal dari komunitas sponsor event tersebut. Suara riuh dalam penantian sang idola berhamburan. Tora Sudiro dan Aming memang paling banyak mendapat sambutan dari massa yang datang saat itu. Kemudian mereka menampilkan kelompok karakter/tokoh di atas panggung secara bergantian dengan durasi yang singkat. Di hadapan mereka yang tampil sebagai idola dalam tayangan televisi, ada banyak remaja yang sesak untuk bernafas, ada banyak kaki yang sulit melangkah, ada banyak tubuh yang keringatnya bercucuran, semua karena aksi massa itu seakan menyempitkan ruang untuk bernafas. Ratusan orang berkumpul di depan panggung yang dibatasi oleh sebuah baricade keamanan dan trali-besi. Bandung pun terasa panas, padahal hanya di kawasan itu Mall saja. Namun itulah cermin mass movement di kota Bandung. Sebuah luapan rasa rindu massa untuk berjumpa sang idola mereka meski dalam jarak yang relatif dekat. Mereka rela mematung di tengah kerumunan orang banyak. Mereka rela bercucuran keringat. Mereka rela gila harus pingsan di tengah himpitan orang banyak. Itu semua adalah sebuah pengorbanan untuk suatu aksi massa. Demi berjumpa artis dari jarak dekat.
Inilah sebuah bentuk agama kontemporer di kota Bandung - Idolism. Kawan saya dari Jerman, Ratna Rodelsperger, pernah mengatakan dalam sebuah diskusi santai di halaman sebuah kampus, di Bandung Timur. Bahwa Idolism sudah menjadi agama alternatif di jaman sekarang. Bentuk budayanya tidak tunggal, jamak, paradoks, rumit, praktis, dan sarat sinkretisme nilai-nilai yang dianut massa jaman kini. Idolisme ini secara terselubung menumbangkan kekuatan agama-agama besar yang ada di tiap negara. Idolisme sangat tidak acuh terhadap kemapanan sebuah nilai yang hidup di sebuah komunitas hidup manusia. Meski awalnya merupakan bentuk budaya, Idolisme atau Mass Movement ini menyusun konstruksi spiritualnya secara sistematis dan pragmatis sekaligus destruktif. Inilah sebuah bentuk simbolik dari peradaban manusia secara global. Dan...hhhmm...fenomena kehidupan manusia di Bandung merupakan sebagian kecil dari budaya dan agama Idolisme global. Tertarik mengkaji? MAU? please...precceding..

Puisi Birokratis Dibacakan Artis di TIM

Perhelatan sastra digelar di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta (14/4) kemarin malam sekira pukul 20.00 WIB. Orang-orang dinas terkait dari Kepulauan Riau, Sumatera Barat turut hadir di gedung Teater Kecil malam itu. Acara Gelar Sajak Tunggal Suryatati pun terkesan dinas. Perhelatan yang diselenggarakan oleh Yayasan Panggung Melayu (YPM) dibuka secara langsung oleh Asrizal Nur sebagai ketua yayasan tersebut. Asrizal merasa berbangga hati dan mendapat kehormatan besar dari perhelatan puisi itu. Pasalnya, Walikota Tanjungpinang, Dra. H. Suryatati A. Manan, merupakan walikota wanita pertama di Kepulauan Riau yang kreatif berkarya dalam puisi dan sajak-sajaknya yang terkumpul dalam sebuah antologi sajak berjudul “Melayukah Aku”. Buku kumpulan sajak dan puisi itupun diterbitkan atas nama YPM sendiri. Asrizal mengatakan dalam sambutannya, Suryatati memperhatikan budaya Melayu melalui puisi-puisinya. Itu dilakukan oleh Suryatati untuk menjaga marwah Melayu dari budaya asing yang masuk ke masyarakat Tanjungpinang.
Kepekaan itu diekspresikan oleh Suryatati dalam beberapa karya sajak dalam antologi tersebut. Misalnya, penggunaan nama Melayu yang sudah direduksi menjadi nama impor dari Barat. Sama hal nya dengan nama panggilan di masyarakat Melayu di Tanjungpinang yang sekarang sudah menjadi perkara gengsi dan malu-malu. Malu untuk mengakui ke-melayu-annya. Memahami karya-karya Suryatati lebih mudah dikunyah melalui kacamata yang sederhana saja. Seperti pengantar Maman S Mahayana yang diungkapkan di forum itu, bahwa sajak atau puisi memiliki fungsi menausiakan manusia. Dan konsep humanisme ini sangat kentara dalam bait-bait sajak Suryatati. Maman S Mahayana dengan bahasa santun dan sedikit menyindir juga menyarankan, sebaiknya Gelar Sajak Tunggal Suryatati juga diselenggarakan di kampus IPDN, Sumedang, agar manusia di sana lebih manusiawi karena diberi pencerahan humanis dari seorang Walikota seperti Suryatati.
Komentar karya Suryatati lebih banyak menyoroti sosok pribadi Suryatati yang kreatif dalam bersastra selain sebagai pejabat Walikota Tanjungpinang. Tak heran pembaca sajak Suryatati malam itu terkesan segan kepadanya. Lain tidak dengan pembaca sajak jemputan yang di antaranya adalah Machzumi Dawood, Tusiran Suseno, Junewal Muchtar, Teja Alhabd, Mastur Taher, Hoesnizar Hood, juga Tamara Bleszynski sebagai bintang tamu pembaca sajak karya Suryatati. Namun di natara pembaca-pembaca sajak jemputan dari tanah Melayu Kepulauan Riau itu, Machzumi Dawood menampilkan gaya pembacaan yang cukup teatrikal. Mimik Dawood terlihat mencoba menghidupkan sajak-sajak yang dibacanya dengan berpindah-pindah posisi (blocking) di pentas gelar sajak itu.
Suasana akrab pun terjalin di dalam auditorium Teater Kecil, Jakarta, malam itu. Seakan kebersamaan dan keakraban sastra di Sumatera berpindah persemayamannya di Jakarta. Sajak-sajak Melayu hidup di Teater Kecil sebagai perhelatan manusia-manusia yang peka dalam bahasa yang elok dalam menukil butir-butir peristiwa-peristiwa manusia dalam hidup sehari-harinya. Keakraban itu kian menukik ke palung hati tatkala Iyeth Bustami, bintang tamu dalam acara itu, hadir dengan dendang irama Melayu yang santun, elok, dan indah. Suryatati pun makin khusuk menghidupkan kata demi kata dari sajak-sajaknya yang terjalin dengan tali puisi yang sederhana.
Ada kejujuran dalam sajak-sajak Suryatati. Misalnya sajak yang bertajuk “Kesaksian”, “Pengakuan” dan “Kesetiaan”, juga sajak “Ibu”. Dalam mana di dalam untaian kata-kata puitis itu membentuk sebuah simbol yang representatif tentang perilaku manusia di Tanjungpinang. Ada tentang ibu sebagai sosok wanita yang diagungkan karena jasanya memelihara budi. Ada kritik tentang perilaku birokrat yang malu-malu dengan perangainya yang membawa map-map proposal tender suatu proyek pembangunan daerah di Tanjungpinang. Ada kritik terhadap sistem dan budaya yang menenggarai status genealogi seorang manusaia, apakah dia seorang China atau Melayu. Kejujuran menjadi salah satu ikon dalam sajak-sajak Suryatati. Kejujuran seorang manusia yang bernama Suryatati dari pelik hidupnya menjabat Walikota di tengah tantangan global dan perubahan zaman masa kini, yang mengancam, yang menggerogoti tradisi leluhur, dan yang mengoyak pergaulan santun jadi kebarat-baratan.
Sajak-sajak Suryatati pun terkesan curahan hati. Banyak bait-bait kata meneropong dirinya sendiri sebagai pemimpin kota Tanjungpinang di tengah segala tantangan, tuntutan, dan pengabdiannya kepada negara tercinta Republik Indonesia. Sehingga muncul hipotesa nasionalisme dari seorang Suryatati melalui sajak-sajaknya, bahwa menjadi manusia Indonesia mesti tetaplah menjadi seroang Melayu meski Indonesia bukan negara Melayu. Kearifan lokal yang muncul dari sosok-sosok sajak karya Suryatati itu mengampanyekan resistansi kebudayaan asing yang nyata-nyata melumatkan kebudayaan asli daerah-daerah di Indonesia. Sajak Suryatati lebih menyoroti masyarakat Melayu di Kepulauan Riau yang rentan terhadap perubahan kultur yang destruktif.
Pada kesempatan yang lain Suryatati tampil duet bersama Tamara Bleszynski baca sajak yang bertajuk ‘Bosan’, “San, aku bosan/banyak basa-basi/tak ada realisai...” urai Tamara disambut pembacaan sajak yang sama dari suara Suryatati. Kali pertama Tamara muncul dari pintu samping audiens ketika panggung gelap. Dengan cahaya yang sangat redup, hanya lampu followspot yang menerangi artis peranakan ini ke atas panggung. Dengan dialek melayu Batak, Tamara mencoba menghidupakan sajak yang dibacanya. Namun, audiens yang hadir terkesima oleh sosok artisnya daripada sebagai pembaca sajak yang baik. Meski dikenal sebagai aktor sinetron ini, Tamara sangat datar dalam menghidupkan irama sajak-sajak yang dibacanya. Usai membaca sajak secara duet dengan Suryatati tepuk tangan dan riuh seruan “ndeso” kepada Tamara mengantarkan artis cantik peranakan Jerman itu ke luar panggung.
“Melayukah Aku”, judul antologi sajak yang diluncurkan dalam acara Gelar Sajak Tunggal Suryatati malam itu bertepatan pula dengan ulang tahun Suryatati yang ke-54. Maka seluruh sastrawan, budayawan, dan artis yang turut serta memeriahkan acara Gelar Sajak Tunggal Suryatati pun diberi bingkisan dari sang penyair wanita ini di penghujung perhelatan sastra itu. Sutardji Chulzsom Bachri yang hadir dalam perhelatan acara ini memang tidak turut serta membacakan sajak-sajak Suryatati. Namun kehadirannya menjadi simbol legitimasi kekaryaan Suryatati yang selain Walikota Tanjungpinang, juga merupakan daerah kelahiran Sutardji, adalah seorang penyair pula tahun. Taman Ismail Marzuki memang bukan kali pertama Suryatati menginjakkan kakinya sebagai penggiat sastra. Pada tahun 2006, Suryatati pernah hadir sebagai pembaca sajak yang bertajuk gelar Sajak Jalan Bersama Bupati/Walikota dan Penyair Melayu se-Indonesia. Akan tetapi perhelatan kali ini mejadi sebuah momentum besar bagi seorang Suryatati di dunia sastra, khususnya puisi Indonesia, yang menapakkan kaki kreatifnya sebagai wanita birokrat pertama di Tanjungpinang yang aktif menghidupkan sastra Melayu.
Sastra Melayu hidup pada kreatifitas penggiat sastranya yang tiada henti menggelar perhelatan sastra dan kajian perbandingan. Kepulauan Riau yang secara geografis berdekatan dengan Malaysia terdorong untuk terus menghidupkan sastranya yang bercorak lokal khas Melayu. Dalam sebuah event dialog antarpenulis esai sastra di Palembang (2004), terbuka suatu misi sastra Melayu yang hendak menghidupkan dirinya dengan kontribusi sastrawan di negeri serantau. Langkah ini memang dilakukan untuk mengejar ketertinggalan sastra Melayu di Asia Tenggara. Dalam forum itu, penulis-penulis yang tergabung dalam Majelis Sastera Asia Tenggara (MASTERA) mengunyah wacana identitas kemelayuan dan kebangsaan negeri serantau di milenium ketiga ini. Bahwa kesusasteraan Melayu harus terus dipacu dan digali potensi dirinya untuk selalu tampil sebagai dirinya sendiri. Penelitian dan kajian sastra bandingan pun menjadi wahana penjajagan diri di antara anggota negeri serantau yang antara Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Indonesia.
Kaitan wacana sastra Melayu dengan karya Suryatati ini sangat erat, bahwa apa yang dilakukan oleh Suryatati melalui proses kreatifnya adalah merupakan aset sejarah perkembangan sastera Melayu di masa yang akan datang. Dokumentasi sastra yang bertajuk Melayu mesti diapresiasi dengan baik sebagai suatu proses sejarah pertumbuhan kesusasteraan Melayu dewasa ini. Meski sajak-sajak Suryatati cenderung lebih mengemukakan dunia birokrasi di Kepulauan Riau, akan tetapi ada nilai-niali kemanusiaan di dalam perkamen-perkamen sastranya. Bahwa seorang Walikota pun adalah seorang manusia. Dia memiliki hati dan kepekaan terhadap semua peristiwa kemanusiaan di sekitarnya, walaupun dipandang dari kacamata seorang birokrat. [Artikel ini dimuat oleh Mimbar Umum, Medan, tanggal 20 April 2007]