Wednesday, September 26, 2007

Métissages di Selasar Sunaryo Arts Space Bandung

Métissages: Teknik dan Seni Tekstil Internasional Selebritis mana yang tidak mengenal rancangan mode busana dari Prancis? Tentu saja hampir semua mengenal rancangan mode busana yang sering dipamerkan di atas catwalk oleh model-model cantik dan tampan. Dan sudah barang tentu mereka mengenal perancang busanannya ketimbang penjahit atau pekerja di belakang mesin jahitnya. Nah, perancang busana atau pengusaha tekstil dapat melihat “dapur” kreatif rancangan sebuah busana di Prancis dengan mengunjungi pameran “Métissages: A Crossbreeding of contemporary Art and textiles Exhibition” yang dikurasi oleh Yves Sabourin, French National Fund of Contemporary Art and Private Collections di Galeri Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (21/9) kemarin........ “Métisse” artinya campuran, sedangkan kata “tissages” artinya rajutan. Dua kata itu disulam menjadi makna yang eklektik bagi pameran tersebut. Pertemuan keragaman teknik dalam seni kontemporer dunia tekstil dari 56 kreator dari berbagai negeri dan zaman itu dapat diapresiasi dengan sepuas-puasnya. Pameran ini berlangsung mulai tanggal 22 – 27 Oktober 2007 di Selasar Sunaryo Arts Space, Bandung, atas kerja sama CCF Bandung dengan Selasar Sunaryo Arts Space yang didukung oleh Departemen Kebudayaan dan Komunikasi Prancis, Duta Besar Prancis untuk Indonesia, CulturesFrance, dll...... Pameran Métissages sudah singgah di lebih dari dua puluh tempat di Prancis dan di berbagai penjuru dunia sebanyak 18 pameran. Pameran di Indonesia merupakan event yang ke-19 setelah singgah di Fondation Jim Thompson, Bangkok. Pameran ini menyatukan 52 karya, koleksi CNAP/Fonds National d’Art Contemporain (Pusat Nasional Seni Rupa) dan koleksi Pribadi. Karya-karya ini lahir dari dialog antara seniman kontemporer dari berbagai kebangsaan dan perajin dengan kepiawaian teknik dalam bidang tekstil. Tenun, Sulam, aplikasi dan lilitan, karya-karya dalam métissages menggabungkan warisan tradisi dan pembaharuan pada titik temu kepiawaian teknik dan kreasi kontemporer........ Untuk pameran di Asia, kurator Yves Sabourin mengusulkan untuk mengikutsertakan karya-karya yang dibuat dengan teknik warisan dari setiap negara yang dikunjungi. Demikianlah untuk pameran di Indonesia, 7 karya yang mewakili tekstil Indonesia akan di pamerkan, namun hanya 4 karya saja yang akan diikutsertakan di Bandung........ Mengapa Indonesia menjadi salah satu negeri yang dikunjungi dalam pameran keliling, Yves Sabourin mengatakan, bahwa sebaba pertamanya adalah wacana seni kontemporer yang juga aktual di Indonesia. Yves Sabourin melihat karya-karya seni dengan material tekstil karya perupa muda Indonesia yang dipamerkan di Bandung dan Jakarta membuatnya tertarik dan menyatakan kesukaannya bila karya yang dilihatnya disertakan dalam pameran Métissages ini. Métissages di Indonesia bukan hal yang sulit karena hubungan Pusat Kebudayaan (CCF) Prancis di dunia cukup baik. Semua itu, kata Yves, adalah perkembangan gagasan dari sebuah dialog bersama seniman dan kreasinya di Prancis........ Sejak 1996, secara resmi Yves mulai memikirkan masalah tekstil dan seni kontemporer untuk Delegasi Seni Rupa (Departemen Kebudayaan dan Komunikasi Prancis). Pada saat yang sama Yves memutuskan untuk merangkul teknik-teknik paling canggih yang dijabarkan oleh para pemakainya yang secara bebas dapat menggunakan kemahiran mereka dalam pengolahan serta ketajaman pikiran........ Yves juga berdialog dengan para seniman yang menggunakan kain sebagai media serta mereka yang ingin menggunakan serat dan benang. Berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari keseharian ini perlu dicatat bahwa semua gagasan tentang estetika, yang cenderung menyempit pada satu usulan dan satu definisi ruang-ruang kreasi, dapat diabaikan. Dari keberagamanlah muncul dan berkembang proyek seni. Gagasan Yves untuk menyatukan semua kreativitas seni dan teknik itulah yang memberi dorongan seniman tekstil untuk berkraya khusus untuk pameran ini........ Di dalam pemaparannya, Yves mengatakan bahwa ia melihat banyak karya tekstil kontemporer, baik dengan teknik maupun seni yang tinggi dan unik. Amatan Yves hingga membuat pameran Métissages juga terinspirasi oleh keberagaman budaya di dunia yang menurutnya mungkin dipertemukan di dalam satu ruang diskursif seni kontemporer. Di mana gagasan, karya dan pribadi seniman dapat saling berbagi pengetahuan dan wawasan kultural tentang seni dalam pameran Métissages ini...... Dialog kultur yang memungkinkan, perbedaannya, serta khazanah seni merupakan latar belakang pemeran Métissages ini, dalam rangka melihat keberagaman dunia fashion, politik, jaman, dan seni di tiap daerah. “Pokoknya seni kontemporer adalah kata kunci dari pertemuan karya yang menarik ini,” kata Yves. Sedangkan opini ia tentang karya seni tekstil Indonesia mengatakan bahwa, “Saya suka pada motif, visualnya, detailnya…misalnya tardisi wayang golek di mana unsur tekstil berperan,” sambung Yves........ Karya-karya yang dipamerkan dalam event keliling dunia ini banyak mengambil koleksi FNAC. Dan FNAC adalah sebuah gudang karya seni bertaraf internasional di daerah Puteaux, Paris. Karya-karya itu milik pemerintah Perancis, karena karya tersebut dibeli dengan menggunakan dana pemerintah Perancis dan menjadi koleksi milik milik Prancis...... ** Karya Anne-Lise Broyer et Nicolas Comment yang berjudul “Fading” (2006), adalah teknik bordir gabungan dari Rochefort yang diproduksi melalui workshop Bégonia d’or, Rochefort-sur-mer, Prancis. Bahan yang digunakan antara lain kain katun, benang katun, pita satin dan cat akrilik. Titik awal “Fading” adalah usaha pembentukan kembali (sisi perasaan) dari pasangan fotografi/perupa sebagai persembahan kepada penulis Roger Vaillant dengan mewujudkan “Fading” sebagai sisi perasaan penulis, sarat dengan sensasi Kota Praha. Untuk itu mereka bertopang pada tulisan-tulisan sang pengarang sebagaimana pada hubungan-hubungannya sebagai artis Joseph Sima sang putra. Gagasan menggabungkan tekstil menjadi jelas saat menemukan buku coretan-coretan dari Joseph Sima sang ayah, yang memperlihatkan motif-motif tradisional Ceko......... Seluruh perhatian mereka tergugah dan dengan melihat Telsa sebuah radio kuno dimana di bagian depannya terpampang nama-nama ibu kota di Eropa. Me-transformasikannya ke dalam bentuk pahatan: menggantikan kain sederhana di bagian depan dengan bordiran bermotif tradisional, yang pola tulisannya sudah dilakukan oleh Sima sang ayah, di mana dipasang pita suara yang mencampurkan bunyi yang diambil dari kota, dan merupakan komposisi, mungkin sisi perasaan suara mereka. Jarum ditempatkan pada frekuensi Kota Praha dan cahaya yang dipancarkan berwarna merah........ Karya yang tak kalah menarik untuk diapresiasi adalah tutup kepala di Arab karya Mona Hatoum yang berjudul “Keffieh” (1999). Sebuah sulaman rambut alami perempuan di atas penutup kepala dari katun berukuran115 x 115 cm yang dikerjakan oleh para siswi sekolah profesional regional Gilles Jamain di Kota Rochefort sur-Mer dalam pelajaran menyulam C.A.P., Prancis. Karya ini koleksi milik Fonds national d'art contemporain (FNAC); adalah sebuah gudang karya seni bertaraf internasional di daerah Puteaux, Paris. Karya-karya itu milik pemerintah Perancis, karena karya tersebut dibeli dengan menggunakan dana pemerintah Perancis dan menjadi koleksi milik milik Prancis........ Karya ini merupakan aksi politik untuk kebebasan dan kelangsungan hidup suatu kebudayaan dan juga untuk kesetaraan laki-laki dan perempuan. Karya ini juga merupakan penyimpangan dari tutup kepala, yang khusus dipakai oleh kaum lelaki muslim, dan disulam atau dicetak dengan warna hitam. Mona Hatoum memutuskan untuk meletakkan motif tradisional keffieh di atas tutup kepala polos, tetapi dengan menggunakan rambut perempuan, bagian yang tidak diperlihatkan di kehidupan kaum beragama Islam yang taat, mungkin dianggap terlampau sensual. Panji pada dekor tersebut, yang secara janggal menyerupai terali, adalah sebuah pertanyaan untuk budaya muslim........ Deskripsi karya ini cukup menarik untuk diapresiasi melalui sebuah catatan wawancara Mark Francis dengan Mona Hatoum berikut ini. “Bagi saya, sebuah karya seni berdasarkan definisinya adalah artefak budaya, walaupun saya memutuskan untuk memamerkannya dengan cara mengenakannya pada diri saya sendiri. Begitu Anda menyadari bahwa motif Keffieh disulam dengan menggunakan rambut perempuan, objek ini menjadi simbolis dan menggantikan realita. Sebagai akibat, akan muncul sejumlah pertanyaan menarik dan kontradiksi. Penyulaman biasanya dilakukan oleh kaum wanita dan di sini anak-anak rambut perempuan yang panjang digunakan untuk menyulam, mereka menyelipkannya sendiri di dalam pengerjaannya. Keffieh biasanya dipakai oleh kaum lelaki dan karena objek ini menjadi simbol perlawanan, suatu perbawa machiste mengelilinginya. Keffieh ini merupakan suatu usaha untuk memberikan unsur feminin pada busana ini – dapatkah kita membayangkan, seorang laki-laki memakainya dengan rambut perempuan yang berada di atasnya?....... Karya ini juga mengandung simbol protes kaum perempuan. Dalam istilah Freud, menjadi sebuah objek misterius dalam semua makna kata. Busana sehari-hari setelah mendapat perubahan ini menjadi sebuah objek asing dengan ikal-ikal rambut yang janggal? Ada saat yang meragukan ketika kita mendekati objek ini karena kita tidak yakin dengan apa yang kita lihat, yang memberikan rasa misterius pada objek ini. Dan akhirnya, dengan memasukkan rambut manusia ke dalam objek statis ini, hal tersebut memberikan semacam kehidupan pada benda ini. Rambut dipandang sebagai simbol vitalitas karena tumbuh, dan tumbuh, dan terus memanjang setelah kematian. Di dalam istilah yang lebih sederhana, tutup kepala, khususnya di dunia Arab, biasanya dipakai untuk menutupi rambut, karena rambut panjang merupakan simbol dari kebebasan seks. Rambut panjang perempuan yang tumbuh melewati tutup kepala ini menghancurkan penghalang dan kekerasan,” kata Mona Hatoum dalam sebuah wawancara dengan Mark Francis...... Karya unik lainnya terlihat pada karya Natacha Lesueur yang berjudul “Sot l’y laisse” (2005) adalah sebuah bordiran emas Rochefort, materi bahannya antara lain benang emas dan sutra menghias foto yang dicetak diatas kain sintetis berukuran 10 x 18 cm yang dikerjakan dalam workshop Bégonia d’Or, Rochefort-sur-Mer, Prancis, koleksi FNAC. Makanan dan tubuh manusia. Dua tema ini sering muncul dalam karya fotografi seniman ini. Wadag manusia, berpose dan disangga di beberapa tempat, terlihat seperti mengalami penganiayaan dan kesakitan yang diterimanya begitu saja. “Mungkinkah wadag manusia adalah masakan (hidangan)?” Katanya........ Ini adalah area eksperimen (kuliner – makanan) dengan pra-sangka sadisme yang memungkinkan orang melihat jejak yang menjadi motif sebenarnya. Memunculkan penampakan jejak ini berarti mengusung ide tentang kecohan yang keliru. Untuk proyek ini tubuh yang difoto adalah tubuh seorang perempuan. Dicetak di atas kain dan menjelmalah sajian menyeramkan: asbak sederhana, wadag menghancurkan rokok. Apakah ini merupakan gambaran barbar, masokis? Tanyanya pada karya itu. Karya sulaman ini merupakan ilusi yang bersemayam dalam ingatan sang seniman, yang kemudian dicetak dan dijadikan layaknya alas meja....... Yves Sabourin mengatakan bahwa seniman yang masih asing terhadap dunia tekstil seperti Anne-Lise Broyer dan Nicolas Comment, keduanya fotografer, telah merealisasikan “Fading” sebuah karya yang didedikasikan untuk jiwa Kota Praha dan terinspirasi oleh sulaman tradisional Ceko, dalam rangka proyek culturesFrance/Institut Français. Dan Valérie Belin, fotografer, menyetujui penyulaman langsung di salah satu karya fotonya, dalam warna hitam putih, dengan payet dan benang pilin logam perak (benang ini menyerupai sebuah spiral tetapi tidak elastis) untuk merealisasikan kecemerlangan dari ”Chips # 1”........ Bahan-bahan yang tak lazim dipakai atau bahan-bahan baru. M. Salvador-Ros, perajin renda, menjalin benang logam murni, tanpa benang penuntun pada kain, untuk Nursery’s crime, suatu keangkuhan didalam menyusun kembali organik karya Françoise Quardon. S. Mona Hatoum, dengan bantuan kelas sulam SMA Gilles Jamain di Kota Rochefort-sur-Mer, merealisasikan Keffieh, penutup kepala laki-laki yang disulam dengan menggunakan rambut perempuan........ Perupa muda asal Bandung, Wiyoga Muhardanto dengan judul karyanya “Disposable Gucci” (2007) menggunakan teknik jahit dan temple dengan material 3 jarum suntik insulin, dan kanvas motif Gucci berukuran 17 x 2,5 cm per karya koleksi L'artiste. Wiyoga mengatakan, “Saya melihat lebih jauh bahwa objek keseharian sebagai prestise dan penanda kelas sosial dengan merk tertentu yang bersifat seperti kebutuhan yang wajib dipenuhi. Seperti yang saya hadirkan melalui karya ini berupa bentuk alat suntik yang menggunakan pattern dari merk GUCCI yang dipandang sebagai merk dalam lingkup produk fashion yang cukup ternama.” Manusia seolah tidak dapat bertahan hidup dan merasa dirinya telah menjadi ketergantungan terhadap suatu prestise dari penggunaan produk........ Dalam kurasinya, Yves Sabourin mengatakan, pameran yang disuguhkan berupa karya-karya tradisional Indonesia, dan saya memilih untuk menyuguhkan objek-objek yang berasal dari keragaman budaya seperti Boneka Sigale-Gale (Koleksi Museum Nasional) boneka yang diciptakan oleh Raja Gayus Ruma-horbo, dari kayu yang dipahatnya dan diberi busana tradisional. Boneka yang berselubung misteri ini, dikeluarkan pada saat pemakaman, berasal dari adat Batak (Sumatera Utara), pada umumnya dihancurkan setelah upacara. Dalam dimensi kepercayaan ini ada juga Kain Sarita (koleksi Museum Tekstil) karya dengan kain tulis yang berfungsi sebagai jimat untuk mengusir roh jahat pada saat pemakaman untuk masyarakat Tana Toraja (Sulawesi Utara)........ Begitu juga dalam kaitannya dengan perlindungan, Baju/Blus yang dikenakan, busana yang terbuat dari kain katun dan disarati dengan motif kaligrafi islamis yang membuatnya menjadi pelindung. Di masyarakat Papua kulit kayu diolah untuk dijadikan busana semacam tekstil serat tumbuhan, Kain Penutup Mayat dari Senatani (Utara Papua) berhiaskan motif abstrak merupakan contoh dari perlindungan terhadap tanaman (koleksi Museum Nasional). Untuk karya-karya modern Indonesia, saya memilihnya dalam bentuk ekspresi kreatif yang lebih beragam. Wayang: Wayang Golek Cepak, Wayang Gambyongan dan Wayang Golek Merak (koleksi Ibu Asmoro Damais) melestarikan antara lain sejarah Islam atau juga pertunjukan tari, di dalam tradisi murni wayang-wayang ini didandani dengan busana dan kain tradisional........ Karya-karya kontemporer Indonesia dengan perancang Harry Darsono yang menciptakan antara lain pakaian (jahitan tangan), dengan jasnya Naïve. Ia menawarkan, dengan ribuan simpul-simpul kecil (simpul pasir) dan warna, suatu ilustrasi perasaan sedih atau gembira manusia seperti kesedihan dan keberanian, sebuah busana mutlak yang membebaskan. Perupa, Wiyoga Muhardanto mengusulkan sebuah kritik pemakaian produk luks. Untuk pameran ini ia menutupi satu seri jarum suntik insulin Disposable Gucci, disulam dengan simpul-simpul kecil pada dari terkenal........ ** Métissages adalah sebuah asosiasi profesional dari dua dunia seni yakni dunia seni kontemporer dan dunia pengrajin tekstil Prancis. Berkat proyek ini, dua dunia dapat saling mengisi: di satu sisi para seniman dapat memikirkan penggunaan teknik yang seringkali tak dikenal dan di sisi lain, pengrajin dapat mengungkapkan gagasan dalam menginterpretasikan kepiawaian teknik mereka........ Selain itu, Métissages juga merupakan kebersamaan seniman kontemporer dari berbagai kebangsaan yang bekerja di Prancis dengan tematik, problematik dan teknik yang berbeda-beda. Métissages adalah pertemuan dengan tujuan baru, publik baru, budaya baru dimana terdapat tradisi tekstil yang bagaimanapun caranya akan bergabung dalam pameran ini. Yves Sabourin, kurator pameran ini akan mendampingi pameran di tahapan baru ini. Ia akan memberikan kesempatan kepada kita untuk mengenal nama-nama besar dari seni kontemporer Prancis, karya-karya yang sangat berbeda, dan juga teknik dan seni tekstil kuno dari masa lampau........ “Sekarang Panorama Tekstil telah jadi dan di dalam ranah penerapan ini, berbagai perspektif dapat diungkapkan dan karya-karya berkibar. Semua mungkin atau selayaknya dipahami,” kata Yves Sabourin. Pameran Métissages ini akan dilanjutkan pada tanggal 8–23 November 2007 di Museum Nasional, Jakarta. (Foto/Teks: Argus Firmansah/Bandung/Kontributor lepas KOKTAIL).

Friday, September 21, 2007

SCALE: Mini Art Work Project

Mengenal Publik Dengan Berkarya Puluhan seniman muda berkumpul di Galeri Soemardja, ITB Bandung, untuk menghadiri pembukaan pameran bertajuk SCALE pada Selasa malam kemarin (11/9), yang akan dibuka untuk publik pada tanggal 12 – 20 September 2007 mendatang. Mereka adalah seniman muda dan kawan-kawannya yang ingin melihat malam pertama pameran kawan-kawannya........ SCALE adalah pameran sungguhan, meski Aminuddin TH Siregar, kurator galeri Soemardja, mengatakan bahwa pameran oitu merupakan simulasi bagi seniman muda di keluarga FSRD ITB, Bandung. Dalam pembukaan pameran Aminuddin TH Siregar mengungkapkan persoalan-persoalan yang sering dihadapi seniman dan galeri seni di Indonesia kepada mahasiswa FSRD ITB dan pers. Jaman sekarang yang disoroti adalah etika seniman. Bagaimana seniman menyadari bahwa hubungan atau relasi seniman dengan galeri seni, kurator, juga wartawan dipikirkan. Termasuk etika menyimpan karya yang sudah dipamerkan selama 3 bulan di galeri tempat karyanya dipamerkan. Selama 3 bulan itu seniman wajib berkoordinasi dengan pihak galeri untuk setiap transaksi penjualan karyanya. Nyatanya, banyak seniman yang mungkir dari kontrak yang sudah disepakati antara seniman dan galeri seni. Hal lain adalah perkara penentuan harga sebuah karya seni....... Menurut Aminuddin TH Siregar, tidak ada perhitungan matematis harga sebuah karya di Indonesia. Sedangkan di negeri China, setiap seniman sudah mulai berhitung secara matematis berapa harga sebuah karyanya. Mereka menghitung berapa lama proses karya yang dibuat, termasuk berapa biaya akomodasi selama proses penciptaan, biaya hidup dan lain sebagainya. Sehingga harga sebuah karya yang ditawarkan oleh seniman di Indonesia masih dianggap tidak masuk akal oleh pasar........ Pemaparan itu ditekankan kepada mahasiswa FSRD ITB untuk diperhatikan dan mulai disadari bahwa menjadi seniman itu memang tidak semudah menjual gorengan. Ada tahapan, proses, dan yang paling penting adalah etika seniman. Etika seniman itulah yang masih menjadi persoalan di tanah air yang ditemukan oleh beberapa galeri seni di Indonesia....... Albert Yonathan Setyawan, kurator pameran, mengatakan bahwa event ini merupakan ruang pembebasan dari seorang seniman juga mahasiswa yang menggeluti dunia karya seni. Pameran itu menjadi ruang kreativitas yang bebas dan bertanggungjawab. Bagi mahasiswa FSRD ITB, karya-karya yang disajikan di ruang galeri Soemardja diapresiasi langsung oleh publik/masyarakat, sehingga perlu proses di luar studi yang harus ditempuh karena ketika karyanya hadir di ruang galeri ia adalah seorang seniman........ SCALE, menurut Albert adalah sebuah project mini art work yang dilakukan melalui proses seleksi selama 4 -5 bulan yang lalu. Albert yang kali pertama menjadi kurator dalam event ini merasa tertantang untuk membuat sebuah kerja seni yang cukup penting dalam dunia rupa. Yakni bagaimana mengomunikasikan sesebuah karya kepada publik agar dapat diapresiasi dengan baik....... Gagasan awal pameran ini adalah mencari alternative karya baru, ajang refreshing bagi seniman muda, dan bagaimana mengolah medium kecil yang berukuran maksimal 15x15 cm. menurutnya, 60% seniman yang terlibat baru kali pertama terlibat dalam sebuah event pameran, 40% lainnya memang sudah pernah berpameran sebelumnya. Albert Yonathan Setyawan (24 tahun), sebagai seniman pernah terlibat dalam Pameran senirupa Nusantara dengan judul “demi ma[s]sa” 81 karya, 81 perupa, 21 provinsi di Galeri Nasional, 11 - 27 Juli 2007 yang lalu........ Kehadirannya kali ini sebagai kurator merupakan dunia baru untuk memajukan perupa muda dari Bandung. Di dalam pameran SCALE ini ia mengkurasi 70 karya mini berukuran 10x10 sampai 15x15 cm dari 28 seniman muda dengan latar belakang yang beragam, antara lain mahasiswa/i FSRD ITB dari tingkat I – III, termasuk alumni yang sudah menjadi seniman di luar. 47 frame berupa lukisan dan drawing mini berukuran 15x15 cm, 8 buah gambar dengan media fiberglass, dan 15 objek berbentuk patung dan eksplorasi bentuk dari keramik juga dalam ukuran mini........ Mini art work project itu sendiri menjadi keunikan tersendiri dalam pameran tersebut. Selain unik pameran ini menjadi sebuah unjuk kreativitas. Bagaimana mengolah medium yang terbatas pada ukuran maksimal 15 cm menjadi sebuah karya yang maksimal dengan garapan detail yang harus juga diperhatikan........ Gagasan dan ide-ide yang segar muncul pada karya-karya yang dipamerkan dalam event tersebut. Pengunjung dapat mengapresiasi tidak hanya satu genre rupa saja, karena di sana para seniman bergabung dan berpameran bersama dengan kemampuan seni masing-masing. Lukisan mini yang berjudul “Langit” misalnya, Satrio Hari Wicaksono membuat lukisan pemandangan langit dengan ukuran frame 15x15 cm saja. Tiga seri dari judul “Langit” tersebut digarap cukup detail oleh Satrio. Melalui karya ini orang bisa bilang bahwa lukisan indah tidak harus selalu berukuran besar........ Yang unik lainnya adalah sebuah diorama karya Oktianita Kusmugiarti yang diberi judul “kotakkotaku”. Diorama kota antah-berantah berukuran 15x15x15 cm ini terlihat seperti mainan 3 dimensi namun digarap cukup maksimal kertas yang diwarnai. Awan-awan berdiameter millimeter bergantungan, sedangkan sosok bangunan pencakar langit dibuat tersusun dari depan ke belakang dengan sudut pandang yang dapat dilihat dari mana saja........ Maya Annisa Surya, 21 tahun, mahasiswi semester 7, Jurusan Patung, FSRD ITB, mengolah bahan tekstil untuk membuat patung-patung mininya. Karyanya diberi judul “kalau putih pasti aku cantik”. Karya Maya ini membuat daya tarik tersendiri ketimbang seniman patung lainnya yang diberi judul “Aku Indonesia” karya Gabriel Aries yang menggunakan bahan recin untuk membuat leher hingga kepala lengkap dengan ekspresinya sebnayak dua buah dengan warna merah dan warna putih saling berhadapan........ Keunikan dan keberanian Maya Annisa Surya dalam mengeksplorasi bahan tekstil, benang rajut warna merah dan putih, untuk membuat patung dengan setting di sebuah kamar. Karya Maya ini menjadi sorotan kedua setelah diorama kota karya Oktianita Kusmugiarti. Pasalnya kedua karya ini menampilkan gagasan yang segar, baru dan sederhana, sehingga mudah dicerna dan diapresiasi oleh pengunjung pameran yang rata-rata adalah anak-anak muda........ Maya mengatakan bahwa dia sedang tertarik dengan material tekstil, yaitu benang. Karyanya diawali dengan produksi patung dari benang rajut selama sebulan, inspirasi untuk membuat konsep karya terinspirasi oleh perilaku perempuan metropolis. Trend gaya hidup remaja hingga perempuan muda di kota-kota besar saat ini. Tempat-tempat pemujaan tubuh yang tersebar di sudut-sudut kota dengan varian perawatan tubuhnya membentuk perilaku kosmopolit di kalangan remaja dan wanita........ Pemutihan tubuh (kulit) salah satunya. Perilaku itu menginspirasi Maya untuk membuat patung dari benang rajut dengan dua warna saja, yaitu putih dan hitam. Karya Maya yang berjudul “kalau putih pasti aku cantik” adalah sebuah kritik terhadap perilaku remaja dan wanita muda dari Maya. “Saya angkat fenomena kulit putih adalah segalanya di kalangan remaja saat ini. Mereka tidak sadar kalau produk pemutih yang mereka gunakan merugikan makhluk lain,” ujar Maya, bahwa produksi kosmetik merugikan tumbuhan, dan makhluk alam lainnya. Pemutih itu sendiri tidak sedikit merugikan pemakainnya sendiri, ada yang terbakar jadi gelap kulitnya, ada juga yang menjadi allergy dan sangat peka kulitnya. Maya hendak mengatakan melalui patung benangnya itu, bahwa tidak semua trend gaya hidup yang berkembang pesat di kota-kota belum tentu bermanfaat untuk kehidupan manusia........ Sebelum event ini Maya pernah berpameran bersama kawan-kawannya di Gelaeri Rumah The, Bandung, dalam judul pameran “Us/Industry” awal tahun 2007 yang lalu. Saiful Aulia Garibaldi berseru dengan semangat, “Marilah kita berkesenian semua, kawan-kawan!” di hadapan kawan-kawan dan pengajarnya. (Argus Firmansah/Penulis/Wartawan lepas di Bandung)

Thursday, September 13, 2007

Poetry Performance Amien Kamil in Bandung

Pentas Kecil Amien Kamil Teatrikalisasi Puisi vis a vis Poetry Performance Bukan pentas musik reggae. Rambut gimbal dengan gaya khas rasta, itulah sosok Amien Kamil dalam serangkaian acara Crafty Days pada Minggu sore di Tobucil & Klabs (9/9). Amien Kamil adalah seorang seniman Jakarta, pendidikan terakhir Drop Out sinematografi IKJ. Ia merasa lebih bebas berekspresi dengan cara berkarya nyata secara independen. Malang melintang di dunia teater membuat dia bisa bersua dengan seniman lainnya baik tingkat nasional maupun internasional. Tak heran, program-program seni budaya di luar negeri lebih memberinya semangat ketimbang di tanah air. Namun demikian, rasa nasionalisnya tidak luntur, karena ia tetap membangun jaringan komunikasi dengan seniman-seniman Indonesia di luar sana. Ia adalah seorang actor, sutradara, skenografer, pelukis, bahkan penyair. Semua bidang itu ia geluti dengan ketekunan dan kedalaman pada makna pencarian sebuah esensi kehidupan. Sisi humanisnya memang nampak pada penampilannya yang nyeleneh, atau senewen. Ya, barangkali memang seperti itulah penampilan seniman. Santai, cuek, namun penuh dedikasi pada wacana humaniora.
Pria kelahiran Jakarta 1963 ini biasa nongkrong di komunitas Bulungan, Jakarta. Kehadirannya di Bandung adalah ajang silahturahmi dengan seniman dan komunitas di Bandung. Sore itu di Tobucil, Amien mementaskan poetry performance dengan judul “Tamsil Tubuh Terbelah”. 13 puisi ia bacakan dengan gaya khas permormanya.
Sebelum mengupas poetry performance Amien Kamil, ada hal yang menarik untuk diketahui. Amien Kamil mengatakan bahwa sebenarnya ia tidak berniat menerbitkan kumpulan puisinya. “Baru tahun ini saya punya keinginan untuk menerbitkan puisi,” katanya. Awal tahun ini ia mulai mengumpulkan kertas-kertas yang tercecer untuk dikumpulkan. Puisi-puisi itu ditulisnya di waktu senggang selama di Eropa dan Amerika ketika berkesenian bersama seniman-seniman di negara tersebut. Puisi-puisi yang syarat muatan sosial dan filosofis ditulisnya dengan gaya bebas.
Poetry Performance Amien Kamil di Tobucil kemarin cukup memukau penonton yang hadir. Sebuah pertunjukan pembacaan puisi ala seniman teater seperti Amien Kamil bukan hal baru di Bandung atau Jakarta. Bentuk ekspresif dari puisi yang dibacakan memang dianggap lebih menarik untuk diapresiasi ketimbang hanya membaca rangkaian kata-kata dalam halaman buku puisi.
Ranting dan dahan pohon yang bergantungan, dihiasi pula dengan instalasi daun pisang yang sudah kering pada dinding pembatas area pertunjukan di pekarangan kecil Tobucil menjadikannya ruang kosong yang sangat imajinatif. Di situlah Amien Kamil beraksi dari puisi-puisi karyanya sendiri yang dibacanya sendiri pula. Pembacaan kumpulan puisi yang berjudul “Tamsil Tubuh Terbelah” (Juni, 2007) karya Amien Kamil sendiri menjadi ajang promosi juga rupanya. Amien mengatakan, bahwa puisi-puisinya itu diterbitkan secara independen, dan serba mandiri. Ia mengumpulkan sendiri, mengeditnya sendiri, hingga mendistribusikan bukunya itu sendiri. Ia bersyukur karena bantuan dari kawan-kawan dan komunitasnya buku itu berhasil terbit sebagai sebuah kumpulan coretan puisi yang sebelumnya hanya sebuah kumpulan kertas yang tercecer.
Poetry Performance Amien Kamil dapat dikatakan juga seperti teatrikalisasi puisi. Mengapa teatrikal? Penampilan Amien Kamil dalam membacakan puisi-puisinya tampil dalam bentuk fragmen-fragmen teater yang terpaut dalam satu hubungan meaning yaitu the meaning of Tamsil Tubuh Terbelah. Pautan meaning itu lahir sebagai sebuah pertunjukan teater yang terbagi ke dalam beberapa adegan/fragmen. Meaning itu dihadirkan oleh Amien Kamil dengan bentuk yang tidak hanya dramatis, melainkan sangat pertunjukan atau teatrikal.
Musikalisasi atau dramatisasi puisi mungkin sudah biasa di komunitas-komunitas sastra untuk menghadirkan makna lain dari sebuah untaian kata-kata yang puitis. Akan tetapi, teatrikalisasi puisi memang masih terbilang jarang, meski bukan hal yang baru, dalam memaknai sebuah puisi dalam bentuk pertunjukan.
Poetry Performance dalam kosa kerja seniman di Eropa dan Amerika merupakan genre turunan dari teater dan seni rupa. Meski banyak dilakukan oleh teater postmodernisme di Eropa dan Barat seperti Augusto Boal atau Brecht, poetry performance atau teatrikalisasi puisi merupakan bentuk ekspresi baru yang terinspirasi dari kebekuan bentuk-bentuk ekspresi perupa.
Di dalam poetry performance, unsur teater sangat dominan selain desain visual yang menyertai pertunjukannya, seperti video art, atau audio streaming. Bentuk ekspresi Amien Kamil ini memang tidak berkembang pesat secara mapan dalam salah satu genre pertunjukan di Indonesia. Bentuk tersebut justru berkembang dan banyak digunakan oleh komunitas-komunitas seni alternatif di Indonesia.
Budaya itu juga berlangsung sama di Eropa dan Amerika. Para avant-gardist itulah yang mengembangkan bentuk-bentuk ekspresi baru di negara masing-masing untuk menemukan bentuk-bentuk alternatif dari sebuah gagasan ekspresi. Genre yang tumbuh pada tahun 1970-an itu terus berkembang secara masive di komunitas seniman di seluruh dunia. Terutama perupa muda yang jenuh dengan bentuk seni rupa yang baku. Sehingga dapat dikatakan bahwa, seniman teater dan perupa berkolaborasi untuk menemukan bentuk dirinya yang paling performatif dan esensial, bahkan fashionable. (Argus Firmansah/Penulis/Wartawan lepas tinggal di Bandung)

Drama Kehidupan Aktor Panggung (A Life in the Theatre)

Lakon Kehidupan di Teater (A Life in the Theatre) merupakan sebuah drama karakter yang mengisahkan hubungan dua aktor panggung. Robert, pensiunan aktor, dan John adalah aktor muda yang berbakat. Mereka menghadapi beberapa produksi pementasan dengan lakon yang berbeda-beda. “Kehidupan di Teater” membawa penonton pada kisah hidup dua aktor yang berbeda situasi psikologisnya. John memilkiki karir sebagai aktor yang menanjak dan sukses karena semangatnya. Sedangkan, Robert merasa tersaingi oleh karir John yang menanjak.
Lakon ini memang mengisahkan kehidupan aktor muda dan aktor tua di panggung dan di luar panggung. Keduanya selalu berdiskusi dalam mengolah pola acting yang akan dilakukan di panggung, sekaligus saling mengkritisi masing-masing mereka. Perbedaan tafsir antara aktor muda dan aktor tua seringkali menjadi bahan perdebatan di antara mereka, juga mengapresiasi kritikus teater yang menurut Robert suka mengada-ngada dengan free pass yang diberikan manajer gedung produser pementasan.
Menonton lakon dua aktor ini seperti melihat sebuah film dokumenter yang mengisahkan seluk beluk kehidupan aktor di panggung maupun dalam kehidupannya sehari-hari. Ruang privasi personal seringkali tidak dipersoalkan.
David Mamet (1947- ) adalah seorang aktor Amerika, penulis naskah dan sutradara juga. Karya dramanya yang dramatis merefleksikan diskriminasi social dan ketidakpuasan pada masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun karyanya sangat puitis, dan fragmen-fragmennya penuh humor dengan spectacle (kejutan yang memukau). Karya-karya Mamet cukup terkenal karena kcermatannya menggarap lakon, pendek, tepat, namun kadang-kadang agak vulgar.
Lakon itu dianggap paling tepat oleh sutradara, Wawan Sofwan, bila dibawakan oleh aktor Mohammad Sunjaya dan Wrachma Rachladi Adji. Tokoh Robert yang diperankan Mohammad Sunjaya sesuai dengan latar belakang Mohammad Sunjaya yang hidup sebagai aktor di Indonesia, usianya yang ke 70 menjadi momen penting bagi penikmat teater di Indonesia. Yaitu bagaimana mengetahui kehidupan seorang aktor yang sesungguhnya. Bagaimana mereka melakukan pekerjaannya sebagai seniman di panggung dan di belakang panggung. Juga kehidupan pribadinya sehari-hari.
Wawan Sofwan, melihat naskah dan sosok Mohammad Sunjaya sebagai hubungan filosofis tentang sisi kehidupan manusia yang menggeluti hidup dari acting di panggung. Apa yang menjadi muatan esensial dari naskah lakon A Life in the Theatre dengan kehidupan Mohammad Sunjaya sebenarnya memiliki korelasi dan kesamaan biografi secara profesi, bahwa kehidupan seorang aktor seperti Mohammad Sunjaya kurang lebihnya direfleksikan melalui pementasan naskah David Mamet tersebut.
Mohammad Sunjaya dan Wrachma Rachladi Adji membawakan tokoh Robert dan John dalm bentuk teater realis. Peristiwa yang terjadi di panggung merupakan bentuk representatif dari hidup dua manusia yang memilih pekerjaan sebagai aktor panggung. Mohammad Sunjaya terlihat tidak sebagai aktor di panggung yang sedang membawakan perannya. Karena pengalaman dan jam terbang Mohammad Sunjaya sebagai aktor panggung sudah piawai, memerankan tokoh bukan hal baru lagi baginya. Justru kecanggungan itu nampak dari tokoh yang diperankannya. Kecanggungan itu didorong secara psikologis oleh lawan mainnya yang terbilang aktor muda yang sangat berbakat dan sukses. Robert (Mohammad Sunjaya) adalah cerminan seorang actor yang sudah berada di titik nadir kesuksesannya. Kecemasan akan popularitasnya, serta perasaan tersaingi terlihat jelas dari ujaran dialog dan bahasa tubuh Robert di panggung.
Tokoh John (Wrachma Rachladi Adji) sendiri terlihat lebih santai dan bersemangat sebagai aktor muda berbakat di atas panggung. Namun demikian, Robert seringkali mengomentari bentuk peran yang dibawakan John saat latihan maupun di panggung. Perbedaan usia antara Robert dan John menjadi sebuah gap psikologis. Penonton atau bahkan wanita muda tentu saja lebih mengidolakan aktor muda ketimbang aktor yang sudah udzur seperti Robert. Kisah tragis, puitis, dan sekaligus lucu di panggung itu dihidupkan oleh permainan Mohammad Sunjaya dan Wrachma Rachladi Adji dengan kerjasama yang baik di panggung, sehingga penonton menikmati pementasan itu dengan khidmat dan santai.
Sisi tragis kehidupan aktor panggung memang cermat ditulis David Mamet. Begitu pula Wawan Sofwan dalam menggarap Mohammad Sunjaya dan Wrachma Rachladi Adji untuk pentas Kehidupan Di Teater. Pra produksi yang digarap cukup pendek, yaitu dua bulan, oleh Wawan Sofwan menjadi tantangan tersendiri bagi kedua aktor dari Bandung itu dalam mengolah bentuk pemeranannya. Gagasan artistik Wawan Sofwan terhadap lakon cukup komunikatif dalam pementasannya. Tantangan bagi Wawan Sofwan sebagai sutradara aktor senior seperti Wawan Sunjaya justru terletak pada pengolahan ruang pentas.
Penonton terbagi atas dua sudut penglihatan yang berseberangan sekaligus berhadapan. Tapi bukan berbentuk sudut arena. Aktor harus menyadari blocking ketika dia berakting, karena setiap sudut terdapat penonton yang sedang mengapresiasi laku perannya. Dibutuhkan pengolahan ruang dan area bermain yang sangat cermat untuk membagi pandangan aktor kepada penonton.
Pementasan Kehidupan Di Teater yang disutradarai Wawan Sofwan dengan aktor Mohammad Sunjaya dan Wrachma Rachladi Adji dalam produksi Actors Unlimited, Bandung, itu digelar di auditorium Pusat Kebudayaan Francis (CCF) Bandung pada Jumat malam kemarin (7/9). Pementasan tersebut sekaligus merupakan perayaan ulang tahun Actors Unlimited yang ke 8. Wawan Sofwan menggagas pertunjukan ini berbarengan dengan perayaan ulang tahun Mohammad Sunjaya yang ke 70 tahun. Actors Unlimited didirikan pada tanggal 28 Agustus 1999, pementasan perdananya berjudul “The Art” dalam program pentas keliling kota-kota di Indonesia. Lembaga yang didirikan Mohammad Sunjaya bersama rekan-rekannya adalah organisasi nirlaba, perkumpulan seniman, yang bergerak dalam bidang teater. Actors Unlimited didirikan di Kota Bandung pada 28 Agustus 1999 bersama Wawan Sofwan, IGN Arya Sanjaya, Diana G. Leksanawati, Fathul A. Husein, dan Sonny Soeng.
Pementasan Kehidupan Di Teater bagi Mohammad Sunjaya adalah sebuah gambaran yang menelanjangi kehidupan aktor di panggung dan di belakang panggung. Misalnya seorang promter atau “juru bisik” sudah lazim digunakan dalam setiap pementasan teater baik di luar negeri maupun di Indonesia. Hal-hal teknis inilah yang tidak banyak diketahui oleh penonton. Dalam pementasan itu semua hal yang istilah “di belakang layar” ditunjukan kepada penonton. Makanya, naskah dan pementasan itu merupakan sebuah ketelanjangan dunia aktor panggung.
Mohammad Sunjaya kali pertama berakting di atas panggung dilakukannya sejak duduk di bangku sekolah menengah atas, yaitu pada tahun 1955. Judul lakonnya waktu itu adalah “Di Langit Ada Bintang” karya Utuy Tatang Sontani dengan sutradara Noor Asmara. Profesi aktor bagi Mohammad Sunjaya adalah pilihan hidup rupanya. Ia adalah aktor angkatan pertama di Studiklub Teater Bandung (STB) yang berdiri tahun 1958, dan sempat menjabat sekretaris di STB. Dalam sebuah interview dengan Mohammad Sunjaya, ia mengatakan bahwa menjadi aktor panggung sudah menjadi candu. “Bagi saya menjadi aktor sudah menjadi candu,” katanya menegaskan. Meski hidup dari aktor panggung belum bisa memberikan kemapanan di Indonesia, ia mendapatkan kepuasan karena menjadi lebih manusiawi.
Wrachma Rachladi Adji kali pertama dikenal sebagai aktor tubuh Teater Payung Hitam, Bandung, pada saat itu ia masih berstatus mahasiswa Jurusan teater, STSI Bandung. Kemampuannya sebagai actor diolahnya kemudian dengan mementaskan monolog-monolog yang diproduksinya sendiri dengan bantuan kawan-kawan. Setelah menjadi aktor independenlah Wrachma Rachladi Adji mulai mengasah peran-peran realis di panggung. (Argus Firmansah/Wartawan lepas di Bandung/Baca berita ini di Tabloid KOKTAIL Edisi No.002, 13-19 September 2007)

Tuesday, September 11, 2007

Theatre In New York Schedules

AMERICAN SLIGO Adam Rapp (“Red Light Winter”) wrote and directs this dark comedy, about a wrestling legend on the eve of his last match. In previews. (Rattlestick, 224 Waverly Pl. 212-868-4444.)
BASIL TWIST’S “DOGUGAESHI” The puppeteer employs the Japanese puppet-theatre art that uses a sliding-screen mechanism, portraying the tale of a sly white fox. Opens Sept. 12. (Japan Society, 333 E. 47th St. 212-715-1258.)
BLIND MOUTH SINGING National Asian American Theatre Company presents Jorge Ignacio Cortiñas’s play, about a strict matriarch and her children. Ruben Polendo directs. Previews begin Sept. 14. (Baruch Performing Arts Center, 55 Lexington Ave. 212-279-4200.)
CELIA Carmen Rivera and Candido Tirado wrote this musical based on the life of the late Cuban singer Celia Cruz. Jaime Azpilicueta directs. Performances on Saturdays at 5 and Sundays at 7 are in English; all other performances are in Spanish. In previews. (New World Stages, 340 W. 50th St. 212-239-6200.)
THE DINING ROOM The Keen Company opens its season with A. R. Gurney’s drama, a series of vignettes about a twentieth-century Wasp family. Jonathan Silverstein directs. In previews. (Clurman, 410 W. 42nd St. 212-279-4200.)
DIVIDING THE ESTATE Primary Stages presents the New York première of this comedy by Horton Foote, set in the late nineteen-eighties, in which a Texan family contemplates its fate. Previews begin Sept. 18. (59E59, at 59 E. 59th St. 212-279-4200.)
FLAGS Jane Martin wrote this drama, about a family who lost a son to the Iraq war. Henry Wishcamper directs. In previews. Opens Sept. 15. (59E59, at 59 E. 59th St. 212-279-4200.)
HAMLET At the Pearl, Shepard Sobel directs Shakespeare’s tragedy. In previews. (80 St. Marks Pl. 212-598-9802.)
100 SAINTS YOU SHOULD KNOW Playwrights Horizons kicks off the season with the world première of a play by Kate Fodor, about a woman who becomes intrigued by a troubled priest at the church that she cleans. Janel Moloney, Lois Smith, Jeremy Shamos, Will Rogers, and Zoe Kazan star. Ethan McSweeny directs. In previews. Opens Sept. 18. (416 W. 42nd St. 212-279-4200.)
THE MAGNIFICENT CUCKOLD East River Commedia presents this 1920 farce by Fernand Crommelynck, in which a man is so paranoid that his wife might cheat on him that he forces her to do so with all the men in the village. Preview on Sept. 14. Opens Sept. 15. (Connelly, 220 E. 4th St. 212-868-4444.)
MAURITIUS Alison Pill, F. Murray Abraham, Dylan Baker, Katie Finneran, and Bobby Cannavale star in Manhattan Theatre Club’s production of a drama by Theresa Rebeck, about half sisters who inherit a stamp collection. Doug Hughes directs. Previews begin Sept. 13. (Biltmore, 261 W. 47th St. 212-239-6200.)
THE MISANTHROPE New York Theatre Workshop presents Molière’s comedy, directed by Ivo van Hove. Previews begin Sept. 14. (79 E. 4th St. 212-239-6200.)
NEW YORK MUSICAL THEATRE FESTIVAL More than thirty new musicals, at various venues. For a full schedule, visit www.nymf.org. Opens Sept. 17. (212-352-3101.)
THE POWER OF DARKNESS Mint Theatre Company revives Leo Tolstoy’s drama from 1886, about a Russian peasant who becomes involved in a murder. In previews. (311 W. 43rd St. 212-315-0231.)
THE RITZ Roundabout Theatre Company revives Terrence McNally’s 1975 comedy, starring Rosie Perez and Kevin Chamberlin, in which a heterosexual man hides out from a mobster in a gay bathhouse. Joe Mantello directs. Previews begin Sept. 14. (Studio 54, at 254 W. 54th St. 212-719-1300.)
ROCK DOVES The première of a drama by Marie Jones, set in postwar Northern Ireland. Ian McElhinney directs. In previews. Opens Sept. 16. (Irish Arts Center, 553 W. 51st St. 212-868-4444.)
SCARCITY Atlantic Theatre Company presents the première of a new play by Lucy Thurber, about siblings longing to escape their life of poverty. In previews. (336 W. 20th St. 212-279-4200.)
THE SHAPE OF METAL Origin Theatre Company presents Thomas Kilroy’s drama, in which a sculptor copes with the disappearance of her daughter. Brian Murray directs. Opens Sept. 12. (59E59, at 59 E. 59th St. 212-279-4200.)
THREE MO’ TENORS This musical revue, conceived, directed, and choreographed by Marion J. Caffey, combines opera, blues, jazz, soul, and other genres. In previews. (Little Shubert Theatre, 422 W. 42nd St. 212-239-6200.)
TILL THE BREAK OF DAWN Danny Hoch’s new hip-hop play, about a group of South Bronx radicals who take a trip to Havana, Cuba. In previews. Opens Sept. 13. (Abrons Arts Center, 466 Grand St. 212-352-3101.)
For further Information Click http://www.newyorker.com/

Wednesday, September 5, 2007

Adiyaksa Dault, MENPORA RI, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung

Adiyaksa Dault Berikan Penghargaan Kepada Iwan Abdurahman Adiyaksa Dault, Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, memberikan penghargaan kepada Iwan Abdurahman karena pengabdiannya kepada bangsa dan Negara Republik Indonesia. Hal itu disampaikan Adiyaksa Dault pada perayaan “Tepung Taun ka 60 Taun” kemarin malam (3/9) di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Penghargaan itu dinilai sebagai bukti nyata pengabdian Iwan Abdurahman kepada masyarakat dan bangsa Indonesia, karena dengan karya-karya musiknya generasi muda bangsa ini berbangga hati menjadi bangsa Indonesia yang bersatu teguh, bersemangat memajukan bangsa Indonesia.
Pada momen “Tepung Taun ka 60 Taun” itulah Adiyaksa Dault berkesempatan menyampaikan amanat bangsa kepada masyarakat dan tokoh-tokoh Indonesia untuk tetap bersatu sebagai bangsa Indonesia, mempertahankan kedaulatan negara dengan mencipta dan berbagi kepada sesama untuk keutuhan bangsa Indonesia. “Saya, Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, sudah mengajukan usul kepada Bapak Presiden Republik Indonesia untuk memberikan Piagam Penghargaan Satya Lencana Wirakarya kepada Norman Edwin dan Iwan Abdurahman karena karyanya untuk masyarakat dan bangsa Indonesia,” kata Adiyaksa dalam sambutannya dan sekaligus memberikan penghargaan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia kepada Iwan Abdurahman. “Mungkin orang seperti saya berbakti kepada bangsa ini karena jabatan, tetapi Iwan Abdurahman adalah orang yang berbakti karena hakikat,” lanjut Adiyaksa Dault.
Dalam kesempatan itu pula Adiyaksa Dault diperkenankan untuk menyanyikan salah satu karya Iwan Abdurahman. Maka, Adiyaksa Dault pun menyanyikan lagu yang berjudul “Flamboyan” dengan suara yang cukup mengesankan Iwan Abdurahman dan massyarakat yang mengahdiri perayaan “Tepung Taun ka 60 Taun Iwan Abdurahman”. Acara yang digelar oleh komunitas Rumah Nusantara, Bandung, itu dihadiri pula oleh sejumlah tokoh penting Jawa Barat dan Nasional, antara lain Dany Setiawan (Gubernur Jawa Barat), Lex Laksmana (Sekretaris Daerah Jawa Barat), Tjetje Padmadinata, sesepuh Wanadri, Putu Wijaya, Acil Bimbo, Aom Kusman, Rudi Jamil, Purnawirawan Jenderal Syamsudin, dan tokoh lainnya serta masyarakat Bandung, Jawa Barat, juga artis lainnya.
Perhelatan budaya yang bertajuk ulah tahun itu dimeriahkan oleh penampilan musisi dan seniman Bandung, satu per satu membawakan lagu karya Iwan Abdurahman. Tetty Kadi membawakan lagu “Melati dari Jayagiri” bersama anak-anaknya dalam kelompok Numata. Nugi, Duta Lingkungan Hidup Indonesia, juga hadir membawakan lagu yang berjudul “Akar” bersama kawannya, Leo. Musisi lainnya yang menyumbangkan keahliannya di dunia musik adalah, Mukti-Mukti bersama Jatiwangi Art Factory featuring Windi CCF, Ami Violin, Acil Bimbo, Ari Julian, Risal Homogenik, Ferry Curtis, Marta Topeng, Aswin Sani, Aom Kusman, Purnawirawan Jend. Syamsudin, Swara Handaru, Patria, Swara Kania (Darma Wanita Kota Bandung), dan lain. (Argus Firmansah/Free lance Journalist Bandung/Kontributor Lepas Jurnal Nasional - Koktail)

Monday, September 3, 2007

Lear Asia Versi Tafsir Teater Bandung

Pentas Lear Asia: Ode to King of Asia
Cahaya putih kekuning-kuningan disorotkan pada layar di belakang panggung hingga membentuk matahari, dewa matahari, yang diyakini masyarakat Jepang sebagai Yang Suci. Nampak berdiri seorang raja yang kelelahan membopong kain, simbol bayi, di atas pentas. Aktor-aktris meletakan lilin-lilin di beberapa sudut pentas. Suasana hening mengantarkan imajinasi penonton pada sebuah istana kerajaan Jepang. Suara angin semilir, air menetes dan rerumputan yang bergoyang menjadikan pentas sebuah pentas puitis. Sebuah ritual masyarakat Jepang direpresentasikan secara sederhana di pentas.
Nampak aktor dan aktris menyembah dewa matahari. Kemudian aktris-aktris dalam pentas Lear Asia menari dalam irama kehampaan, pada Minggu malam kemarin (26/8) di Gedung Patandjala, STSI Bandung. Sebuah garapan pendek berdurasi 60 menit itu digelar dalam rangka merayakan ulang tahun Jurusan Teater STSI Bandung yang ke 29 tahun. Para aktor/aktris yang berperan dalam pentas Lear Asia adalah Toni Broer, Yani Mae, Retni Dwimarwati, Gina Sufana, Asri Puspita, Tavip, Elly Martini, Apip, Ridwansyah GG, dengan sutradara Ismet Majalaya. Piñata Lampu Yadi Mulyadi, Penata Rias Adam Panji.
Sebuah pertunjukan teater karya Rio Kishida, Jepang, merupakan tafsir lakon King Lear karya William Shakespeare yang diproduksi oleh Japan Foundation dalam pentas kolaborasi teater “Lear Versi Asia” oleh aktor-aktris dari 6 negara. Pentas kolaborasi itu disutradarai oleh seniman muda asal Singapura, Ong Keng Sen. Dengan misi kebudayaan membaca kembali Asia dalam pergulatan historisnya pada saat ini.
Alkisah, seorang raja Asia, Lear Asia, berpulang dari kemenangan perang di medan laga. Suasana hening dan hampa membuatnya bertanya-tanya. Terlebih karena Lear mengalami amnesia sementara. Dia lupa pada keluarganya, terutama pada anaknya. Dia masuk ke dalam istana dan ditemukan anak sulungnya membisu. Datanglah seorang badut pada Lear. Badut itu ceritakan pada Lear keadaan istana selama dia tidak berada di sana. Anak bungsu Lear membisu sejak kepergian Lear berperang. Tampuk kekuasaan rentan dan ringkih di ujung tanduk keruntuhannya. “Kau adalah raja,” ujar Badut pada Lear. “Apa itu raja?” sahut Lear. Raja adalah kekuasaan, kata putri sulungnya.
Saat itu Lear mencium penghianatan putri sulung pada dirinya dalam keterasingannya. Keadaan di istana dijelaskan oleh Badut kepada Lear. Pada situasi ituLear hanya ditemani tokoh Badut Kata-Kata. “Tuan, aku adalah seorang Badut Kata-kata. Menjadi kunci bagi semua orang istana. Kunci selalu dibutuhkan untuk membuka pintu ini atau itu,” kata Badut seraya mendekati Lear untuk merayunya.
Badut membuat perjanjian, bilamana benar penghianatan putri sulung di istana, maka Badut minta dijadikan raja barang sehari saja. Namun Lear menolaknya. “Belum ada sejarahnya seorang Badut berdiri di singgasana,” sahut Lear. Mereka berdua kembali ke istana untuk memastikan keselamatan putri bungsunya, sebuah harapan terakhir bagi seorang ayah. Kepulangan Lear ke istana hanya bertumpu pada anak-anaknya. Harapan terakhir pada sebuah eksistensi seorang raja yang sudah berusia lanjut. Dan rupanya benar keterangan Badut, penghianatan putri sulungnya dibuktikan dengan kekuasaan putri sulungnya. Badut memenangkan taruhannya dan ia menagih janji tahta seharinya. Namun apa yang terjadi, Lear diusir oleh putri sulung dan orang-orang terdekatputrinya. Maka ia pun jatuh pada titik nadir kehampaan hidupnya. Semua meninggalkannya, kecuali si Badut Kata-kata. Kehampaan dan kekosongan mendera jiwanya yang telah lunglai dimakan usia. Kekausaannya sebagai raja telah dirampas oleh putrinya sendiri.
“Jaman telah berubah….Aku akan mengenang kejayaanku,” decak Lear sambil melangkah ke luar istana. “Rembulan menyinari belantara sunyi. Aku melangkah….kakiku rapuh,” katanya meski tanpa air mata. “kau jangan bersedih. Masih ada hari esok,” kata Badut yang terus mengikuti Lear kemanapun dia pergi. “Badai….angiiiiiiin….topan…..masih adakah hari esok ketika badai menerpa rerumputan,” decak Lear dalam kebingungan dan kelelahan. Lear memutuskan untuk kembali merebut kekuasaannya setelah berkelana di hamparan luas, di puncak bukit yang sunyi berteman angina kencang.
Kesedihan menyelimuti keluarga Lear ketika itu. Putri bungsu Lear yang selama ini membisu akhirnya mengucapkan kata-kata. Kata-kata yang menjadi simbol kekuasaan. “Jangan sakiti ayah…jangan ganggu dia,” ujar putri bungsu sebelum tubuhnya dihunus pedang oleh kakak kandungnya sendiri. Ia teringat masa kecilnya yang selalu diajarinya bersenandung. Puisi malam yang seoralh bicara dengan keindahan malam di amana cahaya bulan berpendar terangi malam-malam. “Selamatkan ayahku!” sahut putri bungsu, kemudian pedang menghunus tubuhnya hingga ajal menjemputnya. Kakak kandung yang membunuh adiknya sendiri dirapai kegilaan dan ambisi pesakitan. Sebuah balas dendam dan rasa benci pada ayahnya ia bayarkan dengan membunuh putri kesayangan sang ayah.
Lear hanya dapat meratapi tubuh putri kesayangannya. Tak ada harapan, karena putri bungsu kesayangannya juga turut menjadi ambisi kakaknya yang haus tahta. Galaulah hatinya, tak tentu rasa, dan tak tahu apa yang bisa dilakukan lagi. “Aku bisa mendengar kesenangan di dalam dadaku. Aku akan hidup meninggalkan anakku,” ucap Lear menggila di sana. Saat itulah puncak kengerian bencana terjadi. Putri sulung Lear kembali mencabut pedang dan menghunuskannya ke tubuh Lear yang telah lemah dimakan usia, namun Badut menghalanginya hingga ia pun tewas. Dan pedang itu kembali diangkatnya hingga membunuh Lear, ayah kandungnya sendiri. Tak lama setelah pembunuhan sang ayah dilakukan, putri sulungnya melakukan hara kiri, bunuh diri, setelah merasa puas menjadi hakim dalam keluarga besar Lear.
Lear Asia karya Ismet diakhiri dengan kemenangan sementara perempuan, atas nama jender perempuan. Hipotesa teks pertunjukan yang muncul kemudian adalah kemenangan sementara kaum perempuan. Dan pembunuhan karakter laki-laki dengan terbunuhnya Lear. Tidak hanya itu, Ismet juga mengambil tesis Lear Asia Rio Kishida ke dalam garapannya, yaitu pembacaan kembali atas konteks antropologis masyarakat Asia, ketimuran, bahwa sistem patriarkis di Timur yang ditelisiknya masih dominant di beberapa wilayah budaya.
***
Apabila kita lihat perbandingan subteks dalam naskah “King Lear” Shakespeare dan Lear Asia karya Rio Kishida, masih terdapat kesamaan tematik. Yaitu kekuasaan monarki di Inggris. Dalam kisah itu kerajaan Lear terbagi antara ambisi putri sulung Lear, dan kesetiaan putri bungsu. Putri sulungnya telah diracuni rasa kebencian kepada ayahnya, Lear. Lear meminta putri bungsunya yang sangat disayanginya, agar menolak penghianatan kakaknya yang telah durhaka pada Lear. Karena Lear mengetahui penghianatan putri sulungnya setelah Lear meninggalkan istana. Kisah itu adalah sebuah wacana hubungan kekeluargaan, antara ayah dan anak kandungnya. Menceritakan bagaimana seseorang yang sudah tua, berbeda jaman, tersisihkan oleh perubahan anak muda yang egosentrik, dan dominasi terhadap yang lain. Sebuah kebudayaan hirarkis di dalam sebuah keluarga, balas dendam, kebencian terhadap figur seseorang.
Naskah tersebut ditulis pada jaman kekuasaan monarki menjadi bagian krusial dari sebuah hirarki. Yang kemudian mengacaukan peralihan kekuasaan, spiritual, manusia, binatang, dan benda duniawi. Pada akhirnya putri sulung Lear bunuh diri. Meskipun Lear sudah meninggal, kekuasaan monarki terus berlanjut dengan kekuasaan laki-laki, dan sistem patriarki menjadi aturan.
Rio Kishida, Experimental Theatre Laboratory Tenjo-Sjiki, menambahkan sudut pandang perempuan dalam pementasan Lear Asia. Termasuk sosok ibu yang tidak dihadirkan pada naskah asli Shakespeare, dapat dilihat sebagai langkah menjembatani konsep posisi sentral seorang ibu pada masyarakat Asia, juga tren masalah jender. Lear Asia dibuat dengan metode adaptasi dan tafsir terhadap naskah “King Lear” Shakespeare.
Lear Asia yang digarap oleh Ismet Majalaya masih mengusung tema-tema kontemporer dan adaptasi kultur Asia pada pementasannya. Itu dapat dilihat dari dominasi pemain perempuan ketimbang laki-laki. Masalah jender menjadi isu hangat dalam perdebatan subteks pertunjukannya. Meski pementasan menjadi pendek, terjadi pemadatan struktur lakon, namun garapan Ismet masih berada di koridor tema yang sama, kekuasaan dan hirarki kekuasaannya. Konteks kultur dalam pementasan Lear Asia memang menjadi asing dari teks asli King Lear-nya William Shakespeare. Karena Lear yang digarap oleh Rio Kishida maupun Ismet mengambil akar kultur Asia kontemporer. Terlepas dari sistem monarki kerajaan Jepang maupun Inggris yang menjadi inspirasi politik kebudayaan dalam naskah pertunjukan Lear. Pementasan Lear Asia lebih menukik pada persoalan bagaimana membaca kondisi jaman yang sudah berubah. Namun demikian, karya seni bukan ruang untuk menemukan konklusi jalan keluar dari persoalan yang sedang terjadi, pementasan Lear Asia hanya menjadi representasi dari kondisi sosial.
Subteks yang bicara soal berakhirnya suatu kekuasaan absolut di titik kematian dalam Lear Asia nampak sebagai sebuah representasi konteks sosio-politik kekuasaan pemimpin lembaga penyelenggara ulang tahun Jurusan Teater yang ke-29 itu. Disadari atau tidak wacana itu muncul secara implisit terkait dengan masa akhir jabatan Ketua STSI Bandung. Pikiran yang sama juga dapat berbunyi sama makna (Equevokal) bila dikontekskan dengan seornag pemimpin yang akan lengser di kemudian hari. Membahas wilayah keaktoran. Para aktor dan aktris yang berperan dalam pentas Lear Asia di STSI Bandung ini dapat dikatakan cukup serius, meski terkesan kurang maksimal dalam eksplorasi perannya. Karena sebagian yang bermain adalah staf pengajar Jurusan Teater STSI Bandung.
Teater adalah karya yang membutuhkan proses kreatif yang intens dan kontinyu. Namun pada pementasan Lear Asia itu beberapa dosen masih nampak tidak maksimal dalam penampilannya. Hakim pentas, penonton, tidak melihat sosok panutan bagi mahasiswa yang hadir dalam pementasan tersebut. Misalnya, salah pengucapan dialog, atau pemeliharaan karakter tokoh lakon di pentas. Siapapun yang bermain teater, ia harus melewati proses latihan dan pengolahan kreatif yang intens dan kontinyu. Sehingga, kesalahan pentas yang berupa hal teknis dapat dieliminir sesegera mungkin sebelum pementasan. (Argus Firmansah/Kontributor lepas Koktail - Jurnal Nasional)

Kelurahan Cinta versi Laskar Panggung Bandung di STSI Bandung

Pentas Pasang-Pasangan Manusia di Kelurahan Cinta

Seorang suami dengan dua istrinya masuk ke pentas dan menari-nari, sesekali bergerak kaku dengan pakaian ala seniman. Nampaknya memang sutradara teater, Yusef Muldiyana bermaksud menyimbolkan kehidupan seniman yang selalu bergerak dengan tampilan compang-samping, disertai bahasa yang tidak dimenegrti oleh orang lain. Dan mereka tampak bahagia dengan begitu. Lampu meredup, hingga sedikit cahaya saja yang masuk ke pentas, sebuah fragmen film independepn mengisi ruang pentas di mana seorang istri menggantung diri setelah mondar-mandir dalam keputus-asaannya. Mereka yang bermain peran dalam garapan Laskar Panggung Bandung adalah: Kemal, Ria, Ucan, Feby, Ani, Arya, Tuti, Vira, Nineu, Gigi, Dona, Niki, Yopie, Niki Nugraha, Surya, Tomi, Arfan, Ndang, Usman, Babas, Yoyo, Alvin (lighting), Katho, Lukman, Azrin, Andrevo.

Terkesan mengerikan memang. Adegan pertama diawali dengan pemutaran frgamen film layaknya berita kriminal di televisi. Suasana dramatis itu dicairkan dengan suara nyanyian para ibu-ibu muda dan pelajar sekolah yang liriknya berbunyi, “Rame…rame…tidak sekolah….marilah kita bodoh bersama….Rame…rame…malas bekerja…..masrilah kita miskin bersama….” Penonton pun tertawa sembunyi-sembunyi mendengar seruan koor di samping panggung dengan setting vocal group itu.

Babak kedua narator dalam rupa master of ceremony memperkenalkan pasangan-pasangan yang hidup bermasyarakat di Kelurahan Cinta. Penonton tertawa terbahak ketika satu per satu memperkenalkan diri. Semua keluarga beristri lebih dari satu, kecuali Ikin yang beristri satu sebagai tukang cukur dan Euis pulen yang dipanggil Islen yang bersuami dua. Alkisah, Euis adalah wanita banal yang sering digerayami oleh pemuda dan suami-suami di Kelurahan Cinta. Tubuhnya yang seksi kontan membuat lelaki sekelurahan bernafsu padanya.

Pagi hari, setelah ayam berkokok, istri-istri rumahan membangunkan suami mereka untuk pergi mencari uang. Namun jawaban mereka saat dibangunkan selalu minta tenggang waktu sepuluh menit, setelah itu mereka baru mau bekerja mencari nafkah. Hari itu akan dilaksanakan Pilkada, pemilihan Lurah baru. Karena Lurah yang lama sakit menahun dengan jenis penyakit yang sangat parah dan susah untuk meu sembuh. Satu per satu para calon berorasi dengan rekaman video yang ditayangkan pada layar di belakang panggung. Uniknya di sana, semua calon menawarkan konsep-konsep yang menjerat masyarakat. Ada yang memang berniat menyengsarakan rakyat dengan korupsi, memeras, dan lain-lain. Kata kunci pidato mereka hampir semua sama. “Awas…Jangan pilih saya…Jangan Pilih Saya!!”

Tenang saja. Kampanye politik yang tidak lazim itu hanya ada di pentas teater musikal saja. Nama-nama partai pun terdengar unik dan plesetan, sebuat saja Partai Awal Nasional, Partai Asmara; singkatan dari Partai Aspirasi Masyarakat Ramai, Partai Kebra; Partai Kesejahteraan Para Koruptor. “Jangan Pilih Saya!! Ingat Itu!!” itulah moto mereka. Malam pun datang menjelang. Penonton disajikan adegan tempat perjudian. Pak Daramang kalah judi, sehingga pakaiannya harus ditanggalkan untuk membayar kekalahannya. Pulang ke rumah pun berbohong pada istri dengan mengaku bahwa pakaiannya disumbangkan kepada orang yang tidak mampu. Padahal sudah jelas dia kalah judi. Karena terdesak kebutuhan finansial keluarganya, istri Daramang meminjam uang kepada tetangga untuk membayar uang sekolah anak-anaknya. Daramang pun protes. “Kenapa pinjam uang ke tetangga? Dari mana kita membayar uang pinjaman itu,” ujar Daramang kesal pada istri.

Lain halnya dengan Ikin, si tukang cukur yang selalu bersuara kuda setelah namanya dipanggil istri kesayangannya. Ia bermimpi menjadi bintang film. Lampu di pentas kembali diredupkan. Sebuah fragmen film pendek karya Laskar Panggung Bandung ditayangkan. Dalam film itu Ikin berperan sebagai anak sedang memetik gitar membawakan lagu Iwan Fals yang berjudul “Ibu”. Namun yang menjadi bahan tertawaan penonton adalah peran Ikin dalam film itu sebagai pencuri. Peran itu disebabkan oleh tuduhan ibunya (dalam film) ketika memetik gitar handphone-nya berdering. Setelah ia menutup panggilan telepon dari kawannya, Sang Ibu merasa heran dari mana anaknya punya barang itu padahal belum pernah ibu dan bapaknya memberi uang lebih untuk membeli barang seperti itu.

Adegan kembali menyajikan Daramang. Setelah kalah judi dan pusing memikirkan bagaimana membayar uang yang dipinjam istrinya dari tetangga, Daramang berselingkuh dengan Euis. Hingga dikisahkan Euis hamil. Kedua sumi Euis pun bingung, itu anak siapa. ”Itu anak saya atau dia?” ujar suami Euis saling tunjuk satu sama lain.

Teman-teman Daramang yang suka main judi bersama Daramang melihat Melati, istri Daramang pergi dengan lelaki lain. Tentu saja informasi itu disampaikan kepada Daramang ketika main judi. Perselisihan pun terjadi. Kekerasan dalam rumah tangga divisualkan dengan adegan pembunuhan Daramang oleh istrinya. “Sudah berapa wanita kau tiduri, Daramang?” Tanya Melati kepada suaminya sambil teriak kesal. “Seribu!” jawab Daramang, lalu balik bertanya, “Sudah berapa laki-laki yang menidurimu, Melati?” Dan Melati menjawab, “Seratus!” “Gila.” Sahut Daramang. Perselisihan pun berlanjut dengan perkelahian. Akhirnya, Daramang ditusuk dengan pisau dapur oleh istrinya. Karena takut juga istri Daramang menusukan pisau itu ke tubuhnya hingga ia pun mati.

Kabar terpilihnya Lurah baru diumumkan. Pemenangnya adalah Cep Durasim. Kontan Durasim marah-marah dan kecewa dengan hasil pemilihan Lurah itu. Padahal, “Saya kan sudah katakana…Jangan Pilih Saya!! Jangan Pilih Saya!!” katanya. Durasim menolak terpilih jadi Lurah, namun warga Kelurahan Cinta menyetujui hasil pemilihan tersebut. Karena tidak menolak jabatan maka Durasim melakukan hara-kiri alias bunuh diri. Kemudian bayi-bayi lahir tanpa ibu kandung mereka. Suasana tragedi kembali terasa. Suasana pentas menjadi chaos, kacau balau. Orang-orang berlarian ke sana kemari seperti diguncang gempa bumi yang dahsyat. Pementasan pun berakhir demikian.

***

Sebuah pementasan cantik dan menarik digelar oleh kelompok Laskar Panggung Bandung. Pementasan yang melibatkan aktor dan aktris pemula dari pelajar SLTP hingga mahasiswa itu mampu disajikan dengan cukup apik pada Sabtu malam (25) kemarin di Gedung Patandjala, STSI Bandung. Pentas teater yang disisipi dengan adegan film independen produksi Laskar Panggung Bandung berjudul “Rumah Dalam Kepala Kuda Atau Kelurahan Cinta”.

Pentas teater garapan Laskar Panggung Bandung malam itu berkisah tentang kehidupan pasangan-pasangan cinta orang-orang pinggiran di sebuah kelurahan yang namanya Kelurahan Cinta. Perselingkuhan, perjudian, hingga seks bebas menjadi peristiwa kehidupan manusia di sana sehari-harinya. Sebuah potret masyarakat yang malas, dan penuh libido biologis itu diperankan oleh pemain baru di panggung teater di Bandung. Namun demikian, permainan mereka sangat intens dan serius membawakan peran mereka masing-masing.

Imajinasi yang sederhana tentang kehidupan sehari-hari masyarakat pinggiran itu merepresentasikan masalah lapangan pekerjaan yang sulit, suami-suami berpoligami, ada juga seorang istri berpoliandri. Dengan alasan yang beragam padahal masyarakat di Kelurahan Cinta itu sudah lama meninggalkan shalat. Para suami bangun siang, dan malas mencari uang dengan pergi pagi-pagi. Keseragaman budaya nampak pada pagi hari ketika suami-suami atau istri yang mencari nafkah selalu bangun terlambat. Tiap kali mereka dibangunkan untuk pergi bekerja selalu beralasan, “Sepuluh menit lagi…saya masih ngantuk,” ujar para suami. Tentu saja gerutu istri-istri mereka terdengar dari bilik-bilik rumah kontrakan mereka.

Pentas teater musikal plus pemutaran fragmen film itu seolah menjadi bentuk trend baru dalam kancah teater di Bandung. Sebuah bentuk teater yang berangkat dari selera pasar. Karena memang harus diakui bahwa penonton sinema elektronik lebih menjanjikan ketimbang penonton teater. Apalagi memenej penonton baru dari segmen anak-anak muda. Tidak sedikit kelompok teater banting tulang, bahkan banting setir untuk menanamkan ingatan kolektif pada kelompok teaternya di kalangan generasi muda.

Apa yang dilakukan oleh Laskar Panggung Bandung memang bukan kali pertama yang menerapka strategi pemasaran dengan pengemasan baru dari produksi teaternya. Namun paling tidak, sebagai wadah kreatifitas anak-anak muda Bandung dalam kesenian teater di Bandung patut dihargai sebagai upaya menghidupkan teater di Bandung setelah Studiklub Teater Bandung di era tahun 1970-80-an.
Apalagi wacana teater modern masa kini banyak yang mengembangkan metabahasa dalam bentuk visualnya. Yaitu sebuah pertunjukan teater yang tidak lagi beranjak dari gagasan tekstual, sastra darama, melainkan gagasan artistik visual seperti misalnya menggunakan bahasa gerak tubuh. Tubuh sebagai teks dan subteks itu sendiri. Seperti yang telah diungkapkan Afrizal Malna dalam sebuah diskusi buku “Ekologi Sastra Lakon Indonesia” karya Jakob Sumardjo pada Sabtu (25/8) di GSG STSI Bandung. “Teater sekarang berjalan sendiri-sendiri. Dan teks tubuh tidak harus dimengerti sebagai kematian teks dramatik,” katanya. (Argus Firmansah/Kontributor lepas Koktail - Jurnal Nasional)

Monolog Hermana Untuk Suyatna Anirun

Monolog Guru Yang “Terjebak”
Sebuah karung di antara dedaunan dan semak-semak meringkuk di tengahnya. Kemudian keluarlah suara manusia yang berujar penyesalan dirinya. Dia teringat saat itu, pada ibu kandung yang telah membesarkannya menjadi seorang bajingan, manusia hina, dan kotor. “Terima kasih ibu, cintamu begitu tulus dan abadi,” katanya di dalam karung itu. Namun katanya lagi, sudah tak mungkin untuk kembali ke dalam rahim sang ibu karena penyesalannya itu. Dosa besar baginya karena telah menjadi manusia kotor yang mencoreng wajah ibu kandungnya.
“Aku bukan Sidharta Gautama yang suci, aku manusia kotor dan hina. Aku terbuang,” ujarnya kemudian. Menyadari keterjebakannya dalam masalah itu ia berontak, ingin pergi. “Aku harus meloloskan diri dari semua masalah ini,” tukasnya sembari mencoba keluar dari dalam karung. Hingga kemudian ia lupa diri. Tapi ia terus menggeliat untuk keluar dari keterjebakannya dalam “karung” masalah itu.
Adegan serius berlanjut dengan masuknya dua orang penari dari pemain “Tubuh Lahir Tubuh Perang” yang sempat dipentaskan di Studio Teater bulan Juli lalu. Akan tetapi kemudian Hermana, pemain monolog “Terjebak”, menjelaskan adegan itu sebagai upaya sabotase dari pemain lain itu. Penonton pun disadarkan akan hal itu hingga membuat tertawa. Hermana keluar dari perannya sebagai guru yang terjebak masalah ekonomi dalam monolog itu. Kemudian berinteraksi dengan para penonton dan membuat sebuah dialog tentang guru. “Guru adalah pahlawan tanpa jasa, bagaimana menurut anda guru itu?” Tanya Hermana kepada penonton. Beberapa penonton angkat bicara menjawab pertanyaan dari Hermana. Ada yang menjawabnya dengan pernyataan keprihatinannya terhadap figur guru. Ada juga yang menjawab bahwa menjadi guru itu baik. “Saya merasa tidak terjebak menjadi guru. Saya senang menjadi guru, karena guru adalah jalan dakwah bagi saya, bukan profesi,” tutur Rahmat, 35 tahun, salah seorang penonton monolog itu.
Suasana cair itu kembali diarahkan pada pementasan oleh Hermana. Saat itu ia menjadi tokoh guru dalam perannya membawakan monolog Terjebak. Pementasan yang digelar dalam rangka ulang tahun Jurusan Teater STSI Bandung yang ke 29 di Gedung Patanjala, STSI Bandung kemarin (24/8). “Guru adalah pilar pembangunan bangsa. Karena guru lahirlah seorang pengusaha, tentara, wartawan, bahkan pejabat,” katanya. Semua penonton merasa diyakinkan oleh Hermana bahwa profesi guru adalah mulia. Namun demikian Hermana dalam perannya menjelaskan keadaan ekonomi guru-guru honorer yang diberi imbalan tidak memadai.
Suasana tragis pun terbangun dengan ujaran Hermana dalam pentas Terjebak itu. Kemudian muncul rekaman gambar seputar peristiwa demonstrasi pendidikan dan demonstrasi guru di beberapa kota. Adegan berlanjut dengan kisah dirinya yang menjadi guru honorer. Ketika itu ia menceritakan suatu kejadian runtut yang menyebabkan dia mati sebagai manusia. Yaitu ketika anak kesayangannya sakit dan dirawat di rumah sakit. Ketika itu ia tidak memiliki uang untuk menebus biaya rumah sakit. Karena itulah ian memberanikan diri untuk menjual buku kepada murid-murid yang diajarnya. Karena gaji guru honorer tidak mencukupi untuk membayar biaya rumah sakit.
Dalam kisah itu dia tertangkap oleh aparat karena tindakannya menjual buku kepada murid. Meski akhirnya dia dibebaskan, namun rasa bersalah teru menghantuinya. Maka dia menerima surat keputusan yang memberhentikannya sebagai guru honorer secara tidak hormat dari sekolah. Dia kemudian beralih profesi menjadi seorang pemulung. Namun profesi itu tidak juga menyejahterakan keluarganya. Anak dan istrinya sangat merindukan dia pulang. Namun dia belum mempunyai cukup uang untuk keluarganya di kampong.
Ekstasi kesulitan ekonomi dalam hidupnya divisualkan dengan adegan dikotik. Lagu “Kucing Garong” diperdengarkan dan dia menari di sana. Adegan ini lebih nampak sebagai puncak keputus-asaan dirinya yang tidak mampu mencari nafkah yang layak. Kesan hiburan di diskotik pun tidak terasa sebagai adegan hiburan.
Bencana tragis dalam hidupnya yang telah menjadi mantan guru it uterus berlanjut. Dia menerima sepucuk surat dari istrinya. Sebuah surat yang berisi kerinduan seorang istri dan anak kepadanya. Belum sempat dia membalas surat itu terdengar kabar bahwa kampunya dilanda bencana. Rekaman bencana nasional yang menimpa masyarakat Indonesia beberapa saat lalu, seperti banjir, gempa bumi, dan tsunami, ditayangkan pada layar di belakang panggung.
Saat itu dia hanya bisa meratapi tubuh anaknya yang sudah menjadi mayat. Rumahnya hancur berantakan. Istrinya entah di mana terkuburnya. Suasana sedih pun dihantar dengan alunan komposisi musik yang berisi puisi “Kemerdekaan” buah karya Toto Sudarto Bachtiar, yang dibacakan oleh seorang gadis kecil. Pertunjukan monolog Terjebak ditutup dengan gambar bendera merah putih pada layar di belakang panggung, sementara dia terkujur di tanah dengan kain putih yang menutupinya. *** Repertoar monolog Hermana yang berjudul “Terjebak” dikemas dengan sentuhan teknologi melalui sajian gambar-gambar hidup berupa video dokumenter dan animasi - multimedia di pentas. Penciptaan suasana tragis tokoh guru honorer yang dibawakan oleh Hermana itu tentu saja terasa lebih dramatis dan artistik, meskipun secara visual masih jauh dari kesempurnaan karena faktor peralatan media yang digunakan sangat terbatas kualitasnya.
Sementara itu, akting Hermana menggunakan konsep “Teater Sabrehna”. Bentuk teater Sabrehna menjadi ciri khas repertoar Hermana. Metode Brechtian, salah satu akar konsep Sabrehna, sendiri adalah teori pembawaan peran (akting) yang berasal dari teater anti ilusi atau antitesa dari proses empati yang disuguhkan oleh Aristoteles. Teater Verfremdungseeffekt (teater efek - pengasingan) atau alienasi, menegaskan adanya efek pengasingan yang muncul oleh alur cerita yang tidak berhubungan secara sebab-akibat, terpisah dan hanya terhubung oleh tema sentral. Pemain justru harus menjaga jarak dengan peran, sehingga pemain dapat berdialog dengan perannya sendiri. Itulah ciri teater epis Brecht.
Konsep teater Sabrehna dalam repertoar “Terjebak” juga repertoar sebelumnya diambil dari bahasa Sunda yang artinya seadanya, senyatanya. Jadi, teater Sabrehna adalah sabrehna apa yang dilihat, sabrehna apa yang dipikirkan, sabrehna apa yang dirasakan, dan sabrehna apa yang digerakkan dalam koridor kesadaran penuh tanpa mengesampingkan etika dan kekuatan estetik sebagai pertanggungjawaban kepada publik. “Main-main dalam bermain, tapi tidak main-main,” kata Hermana dalam proses latihan suatu produksi teater. Ia menekankan bahwa kesanggupan pemain itu harus ada ketika sedang bermain, berakting, dan adanya kesadaran untuk berkomunikasi dengan publik.
Konsep ini menjawab pertanyaan para kritikus dan penulis pertunjukan selama ini. Yakni ditunjukan dengan interupsi adegan ketika Hermana berada di tengah penonton dan berdialog dengan penonton secara langsung. “Jangan takut, jangan tegang! Ini bagian dari pertunjukan,” ujar Hermana kepada salah seorang penonton yang duduk di kursi paling depan yang terlihat tegang atau mungkin terganggu konsetrasinya saat menonton. Pada momen ini suasana pertunjukan agak cair, hingga kemudian Hermana memberi kesempatan kepada penonton untuk berkomentar tentang sosok dan peranan guru bagi masyarakat. Aktor turun ke area penonton memang tidak lazim ditemukan dalam pementasan teater realisme. Hermana melakukan hal ini karena konsep Sabrehna yang dipakainya.
Pertunjukan atau akting Hermana itu berlanjut lagi. Di atas pentas ia menjadi tokoh guru kembali. Dengan intensitas dan kesungguhan membawakan tokoh perannya. Kesedihan dengan air mata yang keluar terkesan benar-benar sedih. Ketika ia mengisahkan kisah sedih yang menimpa keluarganya. Hermana mengakui itu kepada saya dalam wawancara singkat setelah pertunjukan usai, bahwa tangis di atas pentas tadi benar-benar ekspresi kesedihannya terhadap guru-guru honorer di Indonesia. Jadi, air mata itu memang air mata sungguhan. Bentuk ekspresi ini kemudian disebutnya dengan kesungguhan memerankan tokoh di pentas. Jadi, memang tidak main-main.
Lakon “Terjebak” yang ditulisnya sendiri, dipentaskan sendiri, dan disutradarai sendiri ini merupakan sebuah repertoar yang dipersembahkan kepada seorang guru aktor di Bandung bahkan Indonesia, yaitu almarhum Suyatna Anirun. (Argus Firmansah/Kontributor lepas Koktail - Jurnal Nasional)