Thursday, June 28, 2007

The Paps Bandung...Konser Launcing Album

Konser The Paps di Hyatt regency, Bandung 23 Juni 2007; Foto: Argus F

Tuesday, June 19, 2007

Peresmian Gedung Indonesia Menggugat dan Dialog Re-Interpretasi Pancasila Bersama Hidayat Nur Wahid

Gedung Ex-Landraad di Bandung dikenal masyarakat Indonesia karena di gedung bersejarah itulah Soekarno membacakan pleidoi “Indonesia Menggugat” di hadapan hakim-hakim Belanda pada tanggal 18 Agustus – 22 Desember tahun 1930. Gedung bersejarah itu kini difungsikan menjadi ruang publik bagi masyarakat Indonesia yang peresmiannya dihadiri oleh Sekretaris Daerah (Sertda) Lex Laksamana, serta dihadiri Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, Dedem Ruchia Wakil Ketua Yayasan Siliwangi, dan budayawan Taufik Rahzen, serta tokoh-tokoh Bandung seperti Bapak Solihin GP pada hari Senin (18/6) kemarin Gedung Indonesia Menggugat di Jalan Perintis Kemerdekaan No 5 Bandung. Peresmian Gedung Indonesia Menggugat oleh perwakilan Gubernur Jawa Barat, Lex Laksamana siang itu dibuka oleh Memet Hamdan sebagai Ketua Pengelola Gedung Indonesia Menggugat. Dalam pidatonya, ia menyampaikan bahwa pengelola Gedung Indonesia Menggugat beraktivitas atas dasar semangat penyebaran hakikat kemanusiaan dimana pleidoi Indonesia Menggugat menjadi tonggak perjuangan hakikat kemanusiaan dan martabat bangsa Indonesia. Di dalam gedung ini terdapat tiga bidang konsepsi yang melandasi langkah-langkah yang akan dituangkan ke dalam bentuk program kegiatan. Pertama adalah Indonesia Muda, konsep ini menjadi landasan pikiran komunitas Indonesia Menggugat dalam melakukan advokasi kegiatan orang-orang yang berpikir dan berpandangan muda. Kedua, Indonesia Merdeka, konsep ini merupakan kajian sejarah nasional bangsa yang kemudian menjadi bahan renungan untuk melakukan sesuatu untuk bangsa Indonesia. Ketiga, Indonesia Menggugat, bahwa Indonesia Menggugat merupakan wadah untuk mengaktualisasikan diri Indonesia Muda dalam melaksanakan kajian dan gerakan kemanusiaan yang berwawasan kebangsaan ini. Dalam kesempatan itu juga dilaksanakan peresmian sebuah Perpustakaan Mashudi yang berada di dalam Gedung Indonesia Menggugat, secara simbolik ditandai dengan penyerahan sebuah buku biografi HC Mashudi (alm). Acara dilanjutkan dengan pereglaran sebuah mololog yang dibawakan oleh Wawan Sofwan dengan tema kelahiran Pancasila. Wawan Sofwan dalam monolog pendek selama 10 menit itu menguti pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945, yang kemudian diperingati oleh bangsa Indonesia sebagai Hari Lahir Pancasila. “sekarang saya tidak mendengar ada kesejahteraan di tanah Indonesia ini...seharusnya ada politik ekonomi yang mensejahterakan sosial rakyat Indonesia...kesejahteraan bersama yang bersama-sama,” pekik Wawan Sofwan di atas podium Gedung Indonesia Menggugat. Acara Dialog Terbuka yang bertajuk “Re-Interpretasi Pancasila” dihadir sebagai keynote speaker yaitu Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, dan Taufik Rahzen, budayawan, dengan moderator Aat Soeratin. Hidayat Nur Wahid mengatakan, “kami adalah generasi yang lahir setelah konstituante dibubarkan, kami tidak memiliki ikatan emosional dengan proses penyusunan Pancasila, karena saat itu kami belum,” ujar Hidayat Nur Wahid dalam pemaparan awalnya sebagi keynote speaker dialog tersebut. Lebih lanjut Hidayat menganalisa konteks Pancasila sekarang sebagai dasar bangsa dan negara Indonesia, bahwa selayaknya Pancasila menjadi dasar kehidupan masyarakat Indonesia. Karena dengan berlandaskan Pancasila kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera dapat tercipta. Di mana tidak akan ada lagi korupsi di negara ini. Bukankah tidak ada agama atau Tuhan apapun yang mewajibkan umatnya untuk korupsi. Masyarakat Indonesia hendaknya melepaskan diri dari stigmatisasi yang dilakukan Orde Baru. Mereka yang menganggap orang lain tidak pancasilais adalah bagian dari rezim Orde Baru. Justru merekalah yang dalam pelaksanaannya melanggar setiap asas yang ada dalam sila-sila dalam Pancasila. Era reformasi ini, Hidayat juga menyatakan keprihatinannya. “Saya sedih karena dalam era reformasi yang muncul adalah ‘nail Orba’ dengan melakukan stigmatisasi tidak pancasilais,” kata Hidayat, “janganlah Pancasila dijadikan tameng karena itu hanya akan mnejadi anomali, pengulangan stigmatisasi Orba.” Taufik Rahzen mengkaji konteks relasi Pancasila dengan tonggak sejarah nasional bangsa Indonesia. Indonesia Muda, di mana di dalamnya terdapat penerbitan pers nasional pertama di Indonesia yaitu Medan Prijaji, dan Soekarno muda yang melakukan konstruksi semangat kebangsaan Indonesia dengan gerakan mempersatukan kamu muda saat itu. Nasionalisme kita adalah nasionalisme berdasarkan kesamaan nasib dan kehendak. Keindonesiaan pada masa Indonesai Muda berdasarkan dialog panjang yang berprinsip bertanah air dan berbahasa, sepert termuat di dalam sumpah Pemuda. Violeta Rahmanda, siswi kelas 11 SMU 9 Bandung, kepada Jurnal Nasional mengatakan, bahwa Pancasila saat ini masih penting. “kalau tidak ada Pancasila mungkin nati bisa perang-perangan,” katanya di Gedung Indonesia Menggugat dalam acara Dialog tersebut. Ia menjelaskan, di sekolahnya bnayak teman-temannya yang berasal dari beragam suku bangsa Indonesia, dan kami menjaga kebersamaan kami sebagai pelajar. (Argus Firmansah, Bandung, 18 Juni 2007)

Wednesday, June 13, 2007

Blast: Pameran Tunggal Armandjamparing

BLAST: Mesin dan Sosok Manusia Indonesia Masa Depan

Kelambu besar disorot lampu kuning mengisi ruang auditorium Pusat Kebudayaan Francis (CCF) Bandung. Petikan kecapi mengiring suasana ritus di bawah kelambu raksasa itu hingga muncul seorang penari dengan kostum pendukung PERSIB Bandung. Dia meliuk-liuk di bawah kelambu dengan alunan kecapi. Seseorang yang merepresentasikan seorang dukun, berkacamata hitam, duduk di sisi panggung yang lain. Lalu seorang MC masuk ke pentas dan berkoar tentang PERSIB MAUNG BANDUNG. "....inilah persembahan untuk PERSIB BANDUNG," ujar sang MC dengan gaya rapper di hadapan pengunjung pameran yang sedang duduk-duduk.

Itulah sebuah perhelatan seni rupa kontemporer Bandung di gelar pada Jumat malam (8/6) di Galeri CCF Bandung. Pameran tunggal bertajuk BLAST karya Armandjamparing dikunjungi banyak seniman muda yang berkecimpung di dunia rupa. Lukisan dan drawing bertemakan gejolak sosial mengisi seluruh dinding Galeri tersebut. Pameran karya Armandjamparing ini akan digelar di Galeri CCF Bandung pada tanggal 8 – 16 Juni 2007. Hadir juga kolektor-kolektor lukisan dan kurator karya rupa Bandung di sana, misalnya Abun Adira, Tetet Cahyati, dan lain-lain.

Seni rupa kontemporer cukup menghidupi kancah kesenian di Bandung, khususnya dunia rupa dengan banyaknya performance art – alternatif ekspresi perupa Bandung. Armandjamparing juga memiliki pengalaman berkesenian di dunia seni pertunjukan sebagai penata artistik (seni pertunjukan), dan intalasi benda rupa, juga performer. Namun demikian, kegelisahannya untuk berkarya di atas kanvas tidak ditinggalkan. Proses kreatif Arman terbilang cukup menggemparkan ketimbang eksibisi Tisna Sanjaya yang akhirnya harus beurusan dengan Walikota Bandung terkait dengan pembakaran karyanya di Jalan Setiabudi, Bandung. Proses kreatif Arman justru lebih radikal lagi. Arman pernah ditangkap aparat pada tanggal 28 September 2003, karena mengganti tulisan “Bandung Kota Kembang” menjadi “Bandung Kota Sampah” pada sebuah billboard di jembatan penyeberangan jalan Dr. Setiabudi, Bandung.

Hawe Setiawan dalam pengantar pamerannya menulis lebih dalam lagi, bahwa Arman lahir sebagai seniman yang tumbuh di jalan. Pada tahun 1992, Arman datang sebagai salah satu manusia urban ke kota Bandung, menjadi pengamen jalanan, berdagang (pedagang kaki lima). Mulai berkarya dalam bentuk drawing pada tahun 1994. Lalu, masuk ke komunitas teater di IKIP Bandung (UPI Bandung) pada tahun 1996 di mana ada Ayi Kurnia dan Asep Supriatna.

Para pengunjung tertarik dengan karya-karya perupa Bandung yang punya nama asli Arman Sudaryana kelahiran Garut pada tahun 1975. Mereka tertarik dengan imajinasi Armandjamparing pada goresan garis dan gubahan bentuk imajiner oleh pensilnya di atas kertas. Imajinasi mesin-mesin dan teknologi menjadi tubuh manusia kontemporer yang muncul secara inten pada karya yang dipamerkan.

Mengapa mesin dan tubuh? BLAST merupakan peringatan dan propaganda kesadaran manusia Indonesia akan kehancuran yang terjadi nanti. Kata "BLAST", menurut paparan Armandjamparing, diartikan suatu keadaan yang sangat besar, sebagai ekses dari kemajuan teknologi yang berdampak sosial secara negatif. Pameran tunggal ini adalah sebuah harapan Armandjamparing kepada publik seni visual Bandung agar tumbuh sebuah kesadaran sosial. Kesadaran sosial yang tanggap terhadapa dampak kemajuan teknologi yang ujung-ujungnya adalah masalah limbah dalam beragam bentuk. "Saya tidak menolak kemajuan teknologi, tetapi solusi limbah harus dipikirkan," katanya saat menjelaskan gagasan BLAST dalam pameran tunggalnya.

Dengan latar belakang sosial masyarakat kota Bandung yang sudah tidak lagi teriris nuraninya saat melihat berita di televisi tentang dampak kehancuran alam disebabkan oleh kemajuan industri, pembunuhan, dan kriminalitas lainnya, menjadi inspirasi bagi Armand untuk merepresentasikan kegelisahan sosial dirinya sebagai bagian dari gejolak sosial di tanah air. Melalui BLAST inilah Arman ingin membuka ranah kesadaran sosial kepada manusia Indonesia di jaman sekarang.

Dalam pengantar pameran tunggalnya ini Arman menulis sebuah konsep puitis yang berbunyi, “Suhu tubuh manusia memanas dalam kehisterisan mesin-mesin industri. Propaganda dilawan dengan teror-teror mematikan. Dengan berdirinya konstruksi raksasa yang panasnya mampu mencairkan es di kutub utara dan selatan.....Tanah sudah menajdi tembok, kayu menjadi besi. Teknologi menatap kemajuan sebagai sesuatu yang akan berakhir menjadi kehancuran.....Besar kepala manusia membuat fungsi tubuh berhenti, perangkat-perangkat mesin mekanik yang sangat kaku menjadi alternatif agar hidup terus berlangsung dari kontaminasi global yang akan membunuh interaksi sosial.”

Tetet Cahyati, penggiat seni di Sanggar Seni Tirtasari, Bandung, memaparkan komentarnya bahwa karya-karya Arman yang dipamerkan itu sangat berkesan laki-laki. Judul-judul karya yang macho, bercirikhas karya rupa laki-laki. Dia sendiri mengatakan bahwa karya Arman yang bertajuk BLAST ini cukup menarik. Kemajuan jaman yang sangat pesat, globalisasi teknologi tinggi bisa ditangkap oleh imajinasi Arman. Karya-karya itu kontekstual di saat ini, karena memang dunia sekarang membutuhkan teknologi tinggi. Pengamatan Arman terhadap keadaan sosial budaya di lingkungannya sehari-hari dikolaborasikan dengan kemampuan rupanya hingga kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya. Sekaitan dengan wacana seni rupa kontemporer di Bandung, Tetet juga memaparkan bahwa seni itu bebas. Gejolak kaum muda yang cenderung menampilkan kejutan, keunikan bentuk, imajinasi yang liar seyogyanya dipelihara untuk menunjukkan eksisitensinya dalam berkarya rupa dan ciri khas karyanya sendiri. (Foto dan tulisan: Argus Firmansah/Kontributor Bandung, 8 Juni 2006).

Tubuh Perang Rebirth dan Protes

Protes Tubuh-Tubuh Perang

Tubuh itu adalah kendaraan makna. Bahasa tubuh dibuat sebagai objek komunikasi. Lagi-lagi konsep embodiement (ketubuhan) dalam pertunjukan teater Indonesia kembali disuguhkan kepada penonton teater di Bandung. Studio Teater (STSI Bandung) menggelar pertunjukan teater yang disutradarai oleh Tony Broer, aktor Kelompok Teater Payung Hitam, Bandung, dengan mengeksplorasi tubuh aktor-aktor akademis dalam sebuah judul Tubuh Lahir Tubuh Perang di Studio Teater STSI Bandung pada Kamis (31/5) kemarin.

Tony Broer hadir sebagai aktor tunggal dalam monolog itu pada awalnya. Hingga kemudian merekrut calon-calon aktor dan aktris melalui workshop embodiement dalam teater modern di Bandung. Broer suah terlatih dalam ekplorasi ketubuhannya setelah lama melanglangbuana dalam produksi teater tubuh di Kelompok Payung Hitam, Bandung.

Teater embodiement memang bukan tontonan baru dalam kancah seni pertunjukan di Indonesia. Sebut saja Budi S Otong (Teater Dol), Rahman Sabur (Kelompok Payung Hitam), dan Yudi Ahmad Tajudin (Yogyakarta), mereka mengeksplorasi tubuh sebagai kendaraan makna setelah “kata-kata” habis dimakan rayap sejarah teater Realisme di Bandung pada jaman Suyatna Anirun (Studiklub Teater Bandung). Paradigma ini menjawab kebekuan teater modern Indonesia yang sudah bosan dengan penggunaan dialog dan akting Realisme di atas panggung.

Broer dengan bekal teater Butoh, Jepang, mencoba membangun konstelasi estetika pertunjukan ke dalam teater modern kekinian di Bandung. Semangat inilah yang melatarbelakangi dia untuk berproses kreatif dengan metode ketubuhannya itu. Teks-teks muncul melalui interpretasi bebas penontonnya yang secara visual diimpulsifkan melalui bahasa gambar (video) dan tarian tubuh yang lebih bermakna.

Foto-foto penembakan dan video Perang Dunia II ditembakkan ke layar putih dengan cepat silih berganti. Montase itu mengantar imajinasi penonton pada situasi perang, kemudian ditayangkan sebuah video penembakan serdadu dalam frame bidikan satelit dengan sensor panas di malam hari.

Lampu spot merah membidik lantai pentas dibingkai mayat-mayat korban perang. Mayat-mayat dengan kostum kain kafan dan bunga-bunga di kepalanya bangkit, belajar berjalan, kemudian mencoba menjadi burung, atau kupu-kupu, atau manusia lagi, namun cacat – karena mereka adalah mayat yang sudah hancur tubuhnya. Mayat-mayat itu menjadi tubuh waspada bersamaan dengan tembakan montase foto-foto korban perang dan peristiwa peperangan seolah merepresentasikan peperangan di Timur Tengah.

Monolog-monolog tubuh melalui eksplorasi dasar tubuh aktor membangun fragmen-fragmen peristiwa di mana mayat-mayat itu menjadi tubuh waspada, berusaha hidup kembali untuk menghentikan perang sementara manusia terus berperang. Begitu seterusnya, perang, peluru diluncurkan dengan sangat cepat…..dor! dor! dor! dor! dor! dor! dor! Mayat-mayat baru bergelimpangan dalam jumlah ratusan, ribuan, hingga jutaan. Tanah pun jadi merah bersungai-sungai darah tentara, anak-anak, ibu, dan bapak-bapak. Kemudian hanya ada satu monumen kemanusiaan yang tertembak peluru, yaitu sebuah senapan yang ditancap ke tanah dengan sebuah helm di atasnya beserta sepatu boot seorang tentara yang mati di sampingnya.

Sebuah syair miris dibacakan melalui tubuh yang menggeliat dari dalam tanah. Aktor dan sutradara Tony Broer menari dengan gaya Tarawangsa (tari ritus, tradisi Sumedang, Jawa Barat). Sesosok tubuh dari Asia hendak protes untuk hentikan perang di Timur Tengah. Dalam ritusnya, tubuh itu menggeliat dari dalam tanah, berusaha menjadi sesuatu yang bermakna, entah apa.

Sebuah bendera Amerika Serikat berkibar di layar, dan tubuh waspada berdiri tegak dengan simbol penghormatan tentara Nazi. Tubuh waspada kembali bersama tubuh-tubuh lainnya memprotes perang untuk segera dihentikan, tapi tanpa suara. Suara manusia tidak lagi terdengar karena dentuman peluru terus memburu tubuh-tubuh manusia. Pertunjukan teater tubuh sore itu menggunakan plot sirkuler dimana peristiwa terus berulang, peristiwa perang terus berlangsung.

Tubuh-tubuh aktor itu dan bahasa gambar menjadi bahasa simbolik untuk mengomunikasikan sebuah pesan besar, kampanye anti-perang. Sebuah pertunjukan teater tubuh yang teatrikal dengan montase image yang sangat cepat dan menegangkan.

Tony Broer, sutradara dan pemain dalam pertunjukan teater itu, memaparkan bahwa pertunjukan itu adalah sebuah kampanye anti-perang melalui bahasa pertunjukan teater dalam bentuk eksplorasi tubuh aktor-aktornya. Bahasa gambar di layar dengan montase foto-foto dan rekaman perang itu adalah tubuh sejarahnya, sedangkan tubuh aktor adalah tubuh sekarang. Aktor-aktor ini dirangsang untuk melatih tubuh-tubuhnya agar bicara dengan bahasa tubuh, dan bisa dimengerti penonton tanpa bicara – oral. Montase gambar/image yang disajikan bersama aksi para aktor disetting sebagai memori perang, atau sejarah perang di dunia.

Inspirasi pertunjukan ini adalah peperangan yang terjadi di Timur Tengah. Di mana kemanusiaan sudah mati untuk kepentingan kekuasaan, dominasi, dan politik. Perang dalam pertunjukan Tubuh Lahir Tubuh Perang dijadikan model peradaban manusia sekarang. Rekaman-rekaman video perang yang tidak terpublikasi sengaja disajikan dalam pertunjukan ini untuk mengetuk kesadaran penonton bahwa kemanusiaan sedang diperangi untuk kepentingan kekuasaan global. Broer mengaku video dan foto-foto itu diambil dari internet.

Pertunjukan anti-perang ini, menurut Broer, adalah sebuah protes kepada negara adikuasa yang sewenang-wenang melegalkan perang di kawasan Timur Tengah. Perang Irak dengan sekutu Amerika Serikat, misalnya, menjadi sumber inspirasi kreatif bagi Broer untuk membahasakan tema perang ke dalam bentuk eksplorasi tubuh. Bagaimana tubuh bicara secara simbolik, dan komunikatif dengan penonton.

Bentuk eksplorasi gerak tubuh dengan mengambil akar gerakan tarian Tarawangsa sengaja digunakan sebagai simbol tubuh Asia yang memprotes perang di atas dunia ini. Broer mengimpresikan perang ke dalam bahasa tubuh.

Pertunjukan Butoh, Jepang, diakui Broer mempengaruhi pola gerakan yang dieksplor dalam Tubuh Lahir Tubuh Perang. Spirit Butoh diterapkan dalam proses kreatifnya. Misalnya, bagaimana manusia belajar berjalan kemudian menjadi apapun. Spirit itulah yang menjadi latar belakang eksplorasi tubuh untuk menemukan bentuk komunikasi teater ini.

Disiplin tubuh aktor sangat dibutuhkan untuk menjadi sesuatu di atas pentas dan penonton dapat menangkap bahasa simbolnya. Dan bentuk eksplorasi ini menjadi sebuah tawaran dalam khazanah teater di Bandung, dan di Indonesia pada umumnya.

Dalam kesempatan itu juga saya mewawancarai Arthur S. Nalan, penulis naskah drama dan sutradara teater di Bandung. Ia berkomentar bahwa pertunjukan Tubuh Lahir Tubuh Perang merupakan pertunjukan yang menarik. Ia melihat Broer sebagai aktor coba mendisiplinkan bahasa tubuh. Embodiement. Broer mencoba melatih kesadaran tubuh aktor-aktornya dengan eksplorasi bentuk tubuh yang bicara.

Tubuh Broer sendiri sudah nampak sebagai tubuh yang terlatih dan kenyal. Sedangkan bagi aktor-aktornya yang masih berstatus mahasiswa tingkat satu di Jurusan Teater eksplorasi tubuh itu menjadi pengalaman baru mereka.

Pertunjukan teater ini terlihat bahwa Broer coba membaca kondisi dunia, globalisasi, perang sebagai cerapan estetis. Dan sangat tendensius terhadap polisi dunia, Amerika Serikat. Di sisi lain, pertunjukan itu belum menunjukkan masalah kekuasaan itu sendiri. Kebodohan manusianya, serta politik adu-domba yang secara sengaja untuk melemahkan kesadaran itu tidak ada dalam pertunjukan itu.

Juga renungan ketubuhan lokal, Indonesia, tidak terperhatikan oleh Broer dalam garapannya. Broer belum mencerap persoalan yang ada di tanah air sebagai inspirasi, reungan dan konten estetis ke dalam pertunjukannya. Satu hal lagi, kelemahan Broer dan mungkin juga teater di Bandung adalah pewacanaan dari pertunjukan itu. Pertunjukan Broer tidak menyertakan seorang dramatur, bila dalam pertunjukan drama misalnya.

Namun demikian, apa yang coba ditawarkan Broer dalam pertunjukan itu bisa jadi proses pembelajaran, dan warna baru melalui eksplorasi tubuh. “Saya melihat pengaruh Butoh pada gaya Broer tampil. Suatu distorsi tubuh aktor”, tutur Arthur. Tafsir terhadap peristiwa dunia, perang, tidak harus direpresentasikan secara kasat mata. Berkaitan dengan kondisi teater di Bandung memang sedang krisis aktor, terutama aktrisnya. Boleh jadi bentuk teater Tony Broer dengan eksplorasi tubuh itu menjadi salah satu model teater di Bandung saat ini.

Kekurangan sajian pertunjukan teater Realisme STB dalam Inspektur Jenderal (12/5) kemarin seakan menjadi hipotesa untuk pembaruan teater modern di Bandung. Teater ketubuhan boleh jadi suatu tawaran baru untuk menghidupkan apresiasi teater modern. (Argus Firmansah/Kontributor/Komunitas Pantau – Bandung/31 Mei 2007)