Tuesday, July 29, 2008

Urgent: Remaja Sukabumi Terancam Maut Akibat Sakit Jantung Bawaan Lahir

Remaja Sukabumi Butuh Bantuan Segera Obati Jantung Cacat Lahir.................... Hilman, 15 tahun, sudah dua minggu terkujur di atas tempat tidur tak berdaya akibat penyakit jantung yang dibawanya sejak lahir......................... Anak ketiga dari bapak salim, 58 tahun, yang juga sedang sakit terkena stroke, itu membutuhkan bantuan segera untuk pengobatan Hilman yang cacat jantung sejak lahir itu. penyakit jantungnya bukan disengaja dibiarkan, tapi karena memang tidak mampu membiayai pengobatan Hilman tutur sang Ibu di Jalan Selabintana KM3 Rt 09 RW 02 No. 352, Desa Warnasari, Kecamatan Sukabumi 43151, Selasa (29/7) malam kepada Bandung News....................... Penyakit Hilman seterusnya menjadi kambuhan. Dua minggu terakhir dadanya terasa sesak untuk bernafas. Pernah dibantu pengurusan administrasi ke Rumah Sakit jantung Harapan Kita, Jakarta, oleh pengurus RT dan RW setempat akan tetapi tidak pernah ada kabar......................... Rumah sakit setempat pun seakan menolak perawatan apalagi melaksanakan operasi jantung Hilman..................... Menurut kakak kandungnya, Intan (24) di Bandung pada Selasa (29/7) malam, bahwa penyakit jantung yang dideritakan oleh adiknya, Hilman, sudah ada sejak lahir dan mengalami kebocoran pada klepnya................. Kini keluarga malang itu hanya bisa menunggu bantuan donor untuk membiayai pengobatan Hilman di rumah sakit secara layak......................... "Dia masih muda dan ingin meneruskan sekolahnya, walaupun sering bolos karena jantungnya sering kambuh," kata ibunya......................... Pak Salim, ayah kandung, tak berdaya di atas tempat tidur karena stroke yang dideritanya. Pak Salim pun tak bisa bicara, hanya kedipan mata dan cucuran air mata ketika mengetahui penyakit jantung anaknya kambuh lagi......................... "Kalau ada orang yang baik hati, tolonglah anak saya," ujar sang ibu.................... Pak Salim adalah salah satu keluarga yang kurang mampu, kedua anaknya yang sudah bekerja hanya mampu memberi penghidupan sehari-hari saja.......................... Melalui berita ini, Bandung News memberi kesmepatan kepada semua pihak untuk membantu meringankan penderitaan keluarga Pak Salim di Sukabumi. Hilman sangat membutuhkan bantuan karena orang tuanya tak bisa lagi mencari nafkah akibat stroke yang dideritanya setahun terakhir........................... Bagi siapa pun yang berniat menolong keluarga Pak Salim bisa menghubungi Bandung News di 081802109157 (Argus)

Thursday, July 17, 2008

Pemasaran Industri Kreatif Bambu Harus Dibenahi

Indonesia memiliki 7000 jenis bambu yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi ekonomi kerakyatan dengan mengembangkan kreatifitas masyarakat lokal melalui kreasi produk yang dapat dikonsumsi oleh pasar dunia.

Saat ini, bambu sudah dikembangkan secara ekonomi oleh Saung Angklung Udjo dengan menggelar pertunjukan musik bambu, yaitu musik angklung. Selain berdampak ekonomi yang positif, bambu juga dikembangkan melalui alat musik yang berfungsi ganda, yaitu seni pertunjukan dan sarana pendidikan musik.

Program wisata budaya yang dikembangkan Saung Angklung Udjo di Bandung sudah memberikan sumbangan devisa kepada negara yang cukup signifikan. Tidak hanya itu, seni pertunjukan angklung juga memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat sekitar dengan pembinaan menjadi sentra industri angklung guna memenuhi kebutuhan pasar alat musik angklung dengan perputaran uang senilai 10 miliar rupiah per tahun.

Konsep community development yang dikembangkan dalam industri kreatif bambu itu sekarang sudah bisa menghidupi 200 keluarga dan 121 pengrajin bambu yang aktif se-Jawa Barat.

Meski demikian pola pembinaan industri kreatif berbasis ekonomi kerakyatan dengan memanfaatkan komoditas bambu perlu diperbaiki untuk pencitraan internasional bahwa komoditas bambu adalah kekayaan sekaligus kearifan lokal yang bernilai ekonomis.

Komoditas bambu berpotensi tinggi secara ekonomi dengan kemasan pertunjukan musik angklung. Untuk meluaskan pasar komoditas yang dikreasi melalui bambu maka Saung Angklung Udjo akan menggelar Workshop dan Temu Pasar Kerajinan Bambu pada tanggal 5-29 Agustus 2008 di Saung Angklung Udjo, Bandung.

”Bambu sangat potensial menjadi basis ekonomi kerakyatan dengan mengembangkan industri kreatifnya yang saat ini memiliki permintaan pasar yang sangat besar,” kata SatriaYanuar Akbar, Operational Director Saung Angklung Udjo, di Bandung, Kamis (17/7) pagi.

Kenaikan nilai ekonomi dan investasi pada tahun 2006-2007 tercatat sebuah peningkatan 92% atau 3 miliar rupiah untuk memenuhi sebagian besar pasar komoditas di Korea, Jepang, dan Malaysia. Sementara itu pada semester pertama tahun 2008 tercatat nilai perputaran uang sebesar 10 miliar rupiah di kawasan kecamatan Padasuka, Bandung.

Satria lebih lanjut mengatakan bahwa investasi itu berlangsung dengan konsep community development sehingga terbangun ketergantungan secara bersama karena satu sama lain saling menghidupi. Misalnya, produksi petani bambu disalurkan kepada pengrajin pada beberapa unit kerja, antara lain produksi angklung, pemasaran dan after selling.

Agus Muharam dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan - Deperindag RI, mengatakan saat ini perlu dikembangkan konsep one village one product.

”Konsep itulah yang kini sedang berjalan di bawah pengelolaan industri kreatif bambu Saung Angklung Udjo,” pungkas Satria Yanuar Akbar.

Dengan demikian, perlu sinergitas semua pihak untuk memberikan dorongan positif terhadap investasi industri kreatif. Sehingga sentimen nasionalisme dan kearifan lokal yang mendorong peningkatan permintaan pasar melebihi 10 miliar rupiah per tahun dapat dimanfaatkan secara maksimal.

Ditargetkan masyarakat dapat terlibat secara ekonomi untuk kesejahteraannya. Petani yang sudah aktif mendorong industri bambu ini antara lain Sumedang, Suakbumi, dan Majalengka.

Program Workshop dan Temu Pasar Kerajinan Bambu pada tanggal 5-29 Agustus 2008 di Saung Angklung Udjo Bandung nanti akan menghadirkan 93 buyer potensial, 5 universitas se-Jawa Barat untuk menopang manajemen kemasan produk, serta melibatkan 10 kelompok industri kreatif binaan.

Melalui strategi pewacanaan itu diharapkan masyarakat Jawa Barat dapat terlibat guna memenuhi kebutuhan produk bambu yang saat ini mencapai 19.000 unit per bulan, padahal kemampuan para pelaku industri baru mencapai 6000 unit per bulan. (Argus Firmansah/Bandung)

Saturday, July 12, 2008

Saying What Others Might Not Journalistic Imperatives

The world of journalism, like any other profession, can be muddled with a plethora of distractions, self-interests and agendas that certainly do not serve the cause of a free press. Outside as well as inside pressures and interests often compromise the very essence of the journalist's mission.

In general terms, a journalist should hold her or himself accountable to some basic guiding principals, the attainment of which are at times extremely difficult: to relay the story the way the journalist sees it, not the way she or he is expected to see it; to avoid sensationalism, and to adhere to as much objectivity as possible.

A journalist is a conveyor of information, whether that is regarding a car accident on a highway or the news of a village that was wiped off the map in Afghanistan. Regardless of what story is being told, a journalist must consult his or her conscience in the way the story is conveyed, without fear and without regard for anyone's vested interests. On a practical level, there comes a time when a journalist has to take sides; when one's moral responsibility compels one to take the side of the victim, the weak, the dispossessed and the disadvantaged.

Through many years I have found, to my dismay, that often the authentic story is the least of anyone's concern. A poignant example of this is the Western media's representation of the Mid-East- based Al-Jazeera network. At their inception, various Western powers and their respective media initially welcomed Al-Jazeera, as it, at that time, seemed primarily focussed on exposing the dirty laundry of Arab regimes. It was encouraged, celebrated and often used to highlight the intolerance of Arab states to freedom of expression rights.

It was only after the terrorist attacks of 9/11 and the deadly war on Afghanistan, and later Iraq, that Al-Jazeera was transformed from being an "island" of democracy and freedom to a derided mouthpiece of terror. The fact is nothing has really changed in the way Al-Jazeera conducts its reports, a process that entails including all involved parties to make a case for themselves and "grilling" all those involved, largely with the same journalistic standards. It was truly unfair that Al-Jazeera was reduced from a complex media body to an "Osama bin Laden network".

This type of reductionism is beneficial, however, to some, for it diverts debate from issues of great import to that of pointing fingers and making what is immaterial the essence of discussion. That said; there are many in the West who enjoy Al-Jazeera's presence and have borrowed heavily from the network to make a case for their opposition to war.

But it must also be said that within Al-Jazeera itself similar agendas and interests cloud the presentation of many issues. Al-Jazeera is a very complex structure, with many internal pushes and pulls, many within who have their own self-serving agendas, just like anywhere else. It's not a cohesive political structure and is indeed subject to its governmental and personal interests. But again, it was wrongly viewed with reductionism, exaggeration and hype.

While many would find that alternative forms of media are the answer to such growing problems as these, current media trends testify to the fact that more is not always better and that advanced technologies, while they may advance certain aspects of communications and allow disadvantaged groups greater access, also create useless competition and misinformation. But for the most part, today's media -- those outlets particularly manifested through large media conglomerates -- are establishments with clear political agendas, explicit or subtle, but unmistakable.

In a recent article I wrote, "Managing consent: the art of war, democracy and public relations", I tried to trace the history of that relationship between the state, the corporation and the media. In a more recent article, "Media language and war: manufacturing convenient realities", I attempted to further refashion the discussion to more contemporary periods, using Iraq as the centrepiece. Generally, I think that the media is willingly used -- or allows itself to be used -- for political agendas and for state propaganda, a role that can only be described as fraudulent. Nonetheless, the huge gap left open by subservient corporate media called and allowed for the development of alternative means of communication, some with their own agenda but widespread enough to balance out.

At the end of the day, members of the press must answer to themselves, fellow citizens and those whom they represent in their reports. Making waves and making enemies in this line of work does not necessarily mean you are doing anything wrong. On the contrary, you may indeed be on the right track. It is when you speak out on issues that cause discomfort or offence that you truly find your integrity as a writer. You learn quickly that you cannot necessarily have friends in high places and at the same time maintain the trust and respect of those on the ground.

In my own experience, there are moments -- if rare -- when I feel gratified; when I know that I have raised enough awareness regarding a certain topic, moving it from the rank of the negligible to that worthy of attention. I felt exhilarated when one of my articles resulted in a fiery statement from an embassy, demanding that my articles be blocked from that country's newspapers. I very much like it when a newspaper in Nigeria, or a Burmese opposition newspaper, for example, runs my articles regarding matters in their respective countries. Such endorsements may perhaps raise some eyebrows, but they are also indication that you are on the right track. (Ramzy Baroud)

About Writer:

Ramzy Baroud is an author and editor of PalestineChronicle.com. His work has been published in many newspapers and journals worldwide. His latest book is The Second Palestinian Intifada: A Chronicle of a People's Struggle (Pluto Press, London).

Source:

http://www.counterpunch.org/baroud07062008.html

Friday, July 4, 2008

Rempah, Bisnis dan Gaya Hidup

Gaya hidup sehat kini menjadikan rempah-rempah sebagai salah satu komoditas yang dicari. Tengok racikan minuman sehat alami seperti kunyit dan jahe. Lalu beragam aroma terapi yang diambil dari tumbuh-tumbuhan seperti kayu manis dan jahe. Istilah hidup back to nature membuka peluang bisnis pengembangan beragam komoditas ini.

Nusantara ini, begitu kaya akan rempah-rempah. Investasi di bidang itu, kini mencapai lebih US$20 miliar. Namun, lagi-lagi, potensi yang besar belum tergarap optimal karena mengalami kendala. Contohnya di Jawa Barat, pemasaran produk ini memerlukan terobosan baru. Untuk itu, diadakan kegiatan Spice Fest 2008 (festival rempah).

Ketua Kerukunan Usaha Kecil dan Menengah Indonesia (KUKMI) Jawa Barat Teti Kadi mengatakan, Spice Fest 2008 yang akan digelar 5 Juli merupakan pembinaan bagi petani rempah-rempah agar berkembang dan maju.

Pendapatan asli daerah (PAD) Jawa Barat dari sektor pertanian sebesar 50 persen. Karena itu pola pembinaan petani harus diubah agar bisa mandiri dalam mengelola produksinya.

“Pertanian Jawa Barat harus bangkit dan maju,” katanya dalam jumpa pers di Bandung, Selasa (1/7) pagi.

Produk organik yang berkembang sekarang ini memang mahal tetapi bisa menjadi solusi ketahanan ekonomi petani bila dikelola dengan baik.

Kebutuhan rempah-rempah di Singapura saja mencapai 100 ton per hari meliputi berbagai jenis rempah antara lain jahe, lengkuas, kunyit, kencur, dan lain-lain. Potensi itu, kata Teti, harus dimanfaatkan dengan mempromosikan rempah-rempah unggulan dari Jawa Barat. Setidaknya ada 50 jenis rempah di Jawa Barat sedang dibudidayakan sebagai potensi ketahanan pangan.

Kasubdin Pengelolaan Panen dan Pemasaran Dinas Pertanian Jawa Barat Sri Ratna Pertiwi mengatakan, pembinaan para petani pangan, agrokultur serta pengusaha usaha kecil menengah (UKM) belum maksimal. Untuk itu, kegiatan Spice Fest menjadi jembatan Dinas Pertanian untuk pembinaan kepada petani rempah.

Spice Fest akan menjadi wahana transaksi para buyer tingkat nasional dan internasional dengan petani rempah yang menggarap sebanyak 7.000 jenis. KUKMI Jabar bertindak sebagai pembina pemasaran dalam Spice Fest 2008 ini.

Sri mengatakan mengungkapkan, rempah-rempah yang dihasilkan Jawa Barat sudah lebih dari 6.800 ton per tahun dari Sukabumi, Sumedang, Garut, Majalengka, Kuningan, Cirebon, dan kabupaten lain. Komoditas itu dipasok untuk memenuhi kebutuhan rempah di Jepang, Taiwan, Singapura, dan negara lainnya.

Dalam kegiatan festival rempah itu juga dibagikan 1.000 pohon rempah untuk ditanam di rumah-rumah dan taman kota. “Tujuannya, menata lingkungan Kota Bandung lebih hijau,” kata Wawan Juanda, panitia Spice Fest 2008.

Spice Fest 2008 akan digelar bagi masyarakat Jawa Barat dengan kegiatan seputar rempah-rempah. Seperti SpiceTalk yang membincangkan pemanfaatan rempah-rempah untuk kesehatan, Spice Mart menyajikan UKM di komoditas rempah dan pertanian lainnya, acara musik jaz bertemakan rempah-rempah, yaitu Spice Jazz, dan lain-lain. (Argus Firmansah/Jurnal Nasional/Bandung)