Monday, November 19, 2007

Tubuh Cantik Itu, Tumbuh dan Bicara…..

Foto-foto korban perang dunia mencecar dinding putih. Komposisi seruling dari Jepang mengisi ruangan pentas kemudian tenggelam diayun petikan dawai pada melodi solo seperti kecapi. Suasana tragis dibangun sejak mula pementasan. Tubuh berbicara soal makna dan pesan dari peristiwa sejarah kemanusiaan. Tubuh itu bak perempuan yang gemulai tariannya dalam titik nadir kepedihan tubuh korban perang dan kekerasan.

Monolog tubuh cantik itu tidak bicara secara verbal, hanya movement dan pengolahan ekspresi dalam struktur narasi non-verbal. Bentuk ekspresi seperti ini merupakan gerakan baru dari seniman visual art di Amerika Serikat dalam genre performance art. Di mana bentuk-bentuk teater, seni rupa, bahkan tari selalu menyertakan peranan teknologi untuk membuat kompleksitas tanda secara visual.

Pina Bausch, seniman Jerman, pada tahun 1980 dalam karya koreografinya, Rite of Spring, di Olympic Art Festival di Los Angeles (USA) menampilkan bentuk garapan teater-tari metode Grotesque untuk mengemas movement-nya. Di mana pengulangan movement dikemas secara simbolik hingga menjadikannya sebuah pemandangan metafora gerakan/movement kekerasan di mana perempuan sebagai korban. Genre pertunjukan postmodern ini terus berkembang hingga ke negara berkembang seperti Indonesia hingga saat ini. Wacana itu hadir dalam monolog yang dibawakan oleh Tony Broer.

Kearifan lokal pada seni tradisi di tiap daerah menjadi bahan racikan bumbu penadaan pada pertunjukan, sehingga dikenal Teater Antropologi. Sebuah genre teater postmodern yang mengolaborasikan seni modern yang konsumtif dengan seni tradisi lokal. Pertunjukan pun cenderung terasing dari penonton teater pada umumnya, karena bahasa non-verbal mendominasi karya-karya sejenis itu.

Bahasa tubuh dibuat sebagai objek komunikasi antara penonton dan aktor. Tak ada teks ujaran di sana. Yang ada hanya bahasa tubuh dan gambar. Sebuah bentuk teater embodiement (ketubuhan) yang dipadukan dengan wacana seni postmodernisme. Tubuh seperti kata atau kalimat karena ia bercerita di dalam jalinan gambar yang silih berganti membangun suasana rindu dalam deraan peluru dan bom nuklir.

Itulah gambaran sebuah monolog tubuh berjudul “Rajah Tubuh Lahir Perang” yang disajikan oleh Tony Broer, aktor muda yang sudah melanglang di jagat teater dunia, dan digelar di Aula Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, pada Sabtu malam (10/11) kemarin yang bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan Nasional.

Kebaya emas menutupi balutan kain kasa yang menutup luka masuk ke atas pentas dalam movement patah-patah seiring bunyi peluru yang berhamburan. Tony Broer dalam pentas tunggalnya menjadi seorang ibu, setangkai bunga, dan pohon sebagai simbol kehidupan. Bahkan kupu-kupu yang menari di monumen tentara yang wafat mengimplisitkan keterasingan dan kebisuan manusia usai peristiwa yang mempertaruhkan kemanusiaan, atas nama kekuasaan, yaitu perang! Perang meninggalkan sejarah nilai-nilai kemanusiaan yang binasa.

Monolog tubuh Broer dengan karakter perempuan yang teraniaya justru menjadi puisi tubuh yang cantik dengan movement yang hidup bak bunga mekar atau kupu-kupu yang terbang mengitari bunga bangkai yang terbuat dari kain kasa berwarna ungu dan biru.

Sajian monolog tubuh pun menjadi perhatian pelajar yang menonton pertunjukan tersebut. Meski sebagian banyak dari mereka tidak begitu paham dengan pementasan itu, mereka acungkan jempol karena pertunjukan monolog tubuh itu menyedot konsentrasi dan perhatian pada aktor itu, Tony Broer. Ada juga salah seorang penonton yang melihat pertunjukan Tony Broer seperti sebuah ode buat psk yang dikeroyok empat laki-laki. “Broer seperti pelacur yang digebukin empat orang laki-laki…..hahahahaha….” ujar Asep usai menonton pertunjukan.

Broer berbekal kemampuan teater Butoh dari tradisi Jepang membangun bahasa visual di atas pentas dengan paduan tari tradisional Indonesia. Teks-teks puitis yang abstrak dibahasakan melalui tubuh dan layar yang memuat rekaman pendek peristiwa perang dan montase foto-foto korban perang. Tubuh-tubuh aktor itu dan bahasa gambar menjadi bahasa simbolik untuk mengomunikasikan sebuah tema besar, bahwa nilai kemanusiaan terkoyak di sana. Sebuah pertunjukan teater tubuh yang teatrikal dengan montage of image yang sangat cepat dan menegangkan.

Tony Broer, sutradara sekaligus pemain dalam pertunjukan teater itu, memaparkan bahwa pertunjukan itu adalah sebuah ode untuk kemanusiaan dalam bahasa teater dengan mengolah eksplorasi tubuh aktor. Bahasa gambar di layar dengan montase foto-foto dan rekaman perang itu menjadi tubuh sejarah, sedangkan tubuh aktor adalah tubuh sekarang yang menginterpretasi sejarah tubuh dan kemanusiaan.

Inspirasi pertunjukan ini adalah perang yang terjadi di atas muka bumi sepanjang sejarah peradaban manusia. Bahwa kemanusiaan itu sendiri direkayasa untuk mencapai kepentingan kekuasaan, dan dominasi politik dunia. Perang dalam pertunjukan Rajah Tubuh Lahir Perang secara eksplisit menggambarkan tubuh-tubuh pada peradaban manusia saat ini. Kekerasan terhadap tubuh adalah simbol dehumanisasi dalam monolog tubuh tersebut.

Bentuk eksplorasi gerak tubuh dengan mengambil gerak tarian Tarawangsa sengaja digunakan sebagai simbol tubuh Asia yang memprotes perang di atas dunia ini. Dan tradisi Butoh, Jepang, diakui Broer mempengaruhi pola gerakan yang dieksplorasi dalam monolognya. Tradisi Butoh diterapkan dalam proses kreatifnya. Disiplin tubuh aktor sangat dibutuhkan untuk menjadi sesuatu di atas pentas dan penonton dapat menangkap bahasa simbolnya. Tubuh Broer sendiri nampak sebagai tubuh yang terlatih dan kenyal. “Saya melihat pengaruh Butoh pada gaya Broer tampil. Suatu distorsi tubuh aktor”, tutur Arthur S Nalan, peneliti budaya di Jawa Barat. (Argus Firmansah/Kontributor lepas KOKTAIL/Jurnal Nasional/Bandung).

Mempelajari Fantasi Mozart Yang Tak Berbatas

Mereka yang memiliki rasa ingin tahu lebih banyak perihal musik klasik, khususnya karya Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791), mengikuti seminar musik klasik bertajuk “Kajian Filosofis dan Peride Klasik” di Aula RS. Santo Borromeus, Bandung (8/11) kemarin. Seminar yang dikemas dalam bentuk edutainment menurut Gracia Pietersz merupakan program pembelajaran efektif sekaligus menghibur……..

Puluhan mahasiswa di Bandung dan pemeluk agama Katolik memadati ruang aula tersebut. Selain menggali ilmu pengetahuan tentang musik klasik Mozart dari Romo Karl Edmund Prier, SJ. dan Rachmad Pudjo Hartono, mereka juga disuguhi penampilan musik klasik karya Mozart dari Orkestra Bumi Siliwangi, Yohannes Siem, dan Saint Laurentius Quartet……..

Orkestra Bumi Siliwangi menyajikan Sonata Piano KV 331 di nada A Major (Andante) dan Sonata Piano KV 545 di nada C Major (Allegro) dengan penampilan yang cukup baik dan indah. Peserta seminar pun dapat membuka peta ingatan kolektifnya pada musik klasik karya Mozart dengan sajian tersebut.…….

Musik klasik memang sangat matematis bila dilihat dari sisi teknisnya. Mozart mendesain musiknya dengan perhitungan yang matang selain fantasinya yang tak berbatas dalam membuat varian nada. “Fantasi Mozart tak terhingga, sehingga musik sederhana menjadi lebih indah,” papar Romo Karl Edmund Prier, SJ., pengajar musik liturgy asal Jerman. Namun demikian, mempelajari musik klasik bukan perkara yang mudah. Seseorang yang mau bias membawakan komposisi musik klasik harus giat berlatih untuk menemukan akurasi nada, tempo, dan rasanya. Banyak not yang sulit dimainkan. “Musik klasik harus dihidupkan dari hati kita karena musik klasik ada di dalam hati kita. Ia adalah kesempurnaan di dalamnya dan dapat mencerminkan diri kita,” lanjutnya……..

Musik klasik di Indonesia bukan hanya sajian apresiatif bagi pendengar musik klasik. Musik klasik di masyarakat Indonesia banyak digunakan sebagai media terapi psikologis, bahkan bagi keluarga seringkali diperdengarkan kepada anak kecil untuk melatih kemampuan tanggapan yang dikerjakan oleh otak kiri dan kanan, yaitu melatih intuisi dan sensor motoriknya……..

Namun bagi umat Katolik, musik klasik bukan sekedar apresiasi musikalitas dan kebutuhan hiburan saja, tetapi merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Romo Karl Edmund Prier, SJ. mengatakan dalam materi seminarnya, bahwa musik di manapun selalu berhubungan dengan agama yang diyakini oleh suatu masyarakat. “Musik klasik adalah sebuah kegiatan kontemplasi. Yaitu sebuah cara untuk mencari kebenaran yang dalam melalui musik. Itulah yang dilakukan Mozart melalui karya-karyanya. Mozart, Schubert, Haydn merupakan tokoh penting musik klasik di Vienna,” tutur Romo Karl Edmund Prier, SJ……..

Stamford Symphony Orchestra dalam Vienna, City of My Dreams: music of Mozart, Schubert/Mahler & Haydn (StamfordPlus.com) mencatat, “Maestro Preu menjelaskan bahwa Vienna merupakan pusat musik klasik bagi banyak negeri. Kualitas musisinya, minatnya pada patron-patron, dan keindahan serta pusat kota menjadikannya inspirasi yang sempurna. Bukan saja sebuah pusat dari gagasan musik ‘serious’: baik musik klasik dan musik pop saling berdampingan, serta saling mendukung satu sama lain, dengan saling mengapresiasi dan mendukung untuk mendapatkan derajat yang baru……..

Kota Vienna merupakan kota budaya, di mana musisi klasik eksis. Mereka membuat musik yang terbaik dna indah di zamannya. Karya Mozart dapat dibedakan dengan musik di zamana sebelumnya, yaitu ketika zaman Barok musik serupa lebih bersifat kaku pada aturan-aturan musik klasik. Dan hal ini sangat kontras dengan musik klasik yang dibuat oleh Mozart. Kebebasan ekspresi Mozart dalam membuat nada komatis yang banyak serat nada hiasan dapat merubah nada Andante menjadi Allegro, karena Mozart banyak menggunakan nada variasi yang disembunyikan……..

Romo Karl Edmund Prier, SJ juga memberikan kritik pada perkembangan musik di Indonesia. “Musik zaman sekarang terlalu cepat selesai, cepat puas. Hal itu didukung oleh kondisi alamnya yang subur sehingga membuat malas sebagian besar masyarakat Indonesia,” katanya. Memang pada kenyataannya musik perkembangan musik modern di Indonesia sangat dipengaruhi oleh musik-musik yang berkembang di Inggris dan Amerika. Terdapat krisis identitas di dalam musik-musik yang muncul saat ini di tanah air, padahal Indonesia memiliki kekayaan khazanah musik tradisional di Nusantara ini yang sangat diminati oleh pecinta musik di dunia……..

Pada zaman musik klasik sebelum Mozart, banyak karakter dan ciri musik yang kaku karena pengaruh pandangan religi zaman itu. Kebebasan individu musisinya tidak muncul karena lebih banyak menonjolkan kekuatan dan nilai religiusnya. Berbeda dengan Mozart yang lebih leluasa mengekspresikan fantasinya, musik klasik dari kota Vienna ini justru lebih menonjolkan sisi individualis sang musisi, dan tidak terpaku pada aturan musik………

Mengapa sebenarnya musik klasik dikatakan terlalu matematis. “Filosof pertama dalam filsafat musik adalah Pythagoras (570-480 SM) dari Yunani. Ia mengupoas musik dari relasi angka seperti proporsi-proporsi dalam interval. Namun kemudian murid Pythagoras melengkapi pandangannya ke dalam dunia transenden, sehingga menjadi satu kesatuan. Bahwa musik adalah sebuah kosmos atau ciptaan teratur,” papar Romo Karl Edmund Prier, SJ……..

Sementara Rachmad Pudjo Hartono, pengajar musik di UPI Bandung, mengupas Sonata KV 333, Movement I pada sesi berikutnya. Bertoloneo Christofani (1655-1731) adalah penemu piano pertama yang mengalunkan nada musik klasik pada abad 17. Karakteristik karya Mozart ditemukan pada semua karyanya, dan bila disimpulkan diperoleh data bahwa cirri musik klasik Mozart adalah terdapat banyak motif dengan varian yang beragam pula. Motif atau kumpulan nada yang diulang-ulang inilah yang sekaligus menjadi ciri karya-karya musik klasik dari Mozart……...

Terdapat sejumlah bentuk komposisi musik yang menarik di periode klasik yang bertahan hingga abad 20. Salah satunya yaitu Sonata Form atau Sonata Allegro Form. Ini adalah bentuk komposisi yang terdapat pada salah satu movement cepat baik itu di dalam kuartet string, simfoni, maupun sonata sendiri. Sonata Form terdiri dari tiga bagian; eksposisi, development, rekapitulasi (termasuk coda atau nada akhirnya)……..

Perasaan dan pikiran tidak bisa lepas satu sama lain, karenanya cenderung matetamtis untuk membuat harmoni dalam musik, yaitu menyatukan fantasi dan akurasi matematis sehingga diperoleh keindahan nada yang sempurna. Bentuk komposisi dalam musik klasik antara lain Simfoni, Konserto, Tema dan Motivasi, dll. Pelajaran singkat mengenai musik klasik karya Mozart ditutup dengan penampilan Saint Laurentius Quartet dalam membawakan Flute Quartet di nada D. (Argus Firmansah, Kontributor KOKTAIL-Jurnal Nasional, Bandung)

Longser Pancakaki di CCF Bandung

Longser Dulu Lain Sekarang Seni pertunjukan tradisional rakyat Jawa Barat memiliki pertunjukan Longser yang dipopulerkan oleh Akil alias Bang Tilil pada tahun 1915. Pertunjukan Longser diteruskan oleh anak didik Bang Tilil yaitu Ateng Jafar dengan mendirikan kelompok Pancawarna (1939) di Kampung Bojong Koneng, Desa Rancamanyar, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung. Masa keemasan Longser di Bandung pada tahun 1965-1975-an, dan sempat dianggap kesenian Lembaga Kesenian Rakyat - PKI oleh pemerintah masa itu. Tapi Ateng Jafar dan kawan-kawan tidak terbukti terlibat karena pada masa LEKRA Ateng Jafar menolak dimasukkan ke dalam kesenian di bawah LEKRA........ Meneruskan tradisi seni rakyat ini, sejak Bang Tilil hingga kini oleh Warsa, menantu Ateng Jafar. Longser terus hidup di wilayah kabupaten dan kota Bandung sebagai tontonan hiburan yang merakyat. Pertunjukan tradisi yang biasa digelar pada musim panen padi di masyarakat Sunda umumnya sebagai wujud rasa syukur kepada Sri Pohaci (Dewi Kesuburan)........ Masyarakat Kota Bandung menyaksikan pertunjukan Longser masa kini yang disajikan oleh kelompok Longser Pancakaki di Pusat Kebudayaan Ferancis (CCF) Bandung Senin (5/11) kemarin. Mereka membawakan judul “Katurug..Katutuh” yang artinya sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sebuah peribahasa atas peristiwa naas yang dialami oleh penduduk sebuah desa........ Pertunjukan Longser dibuka dengan aransemen musik gamelan dengan lagu Sunda, setelah dinyalakan Oncor oleh pemimpin kelompok Longser Pancakaki pertunjukan sudah diawali dengan efek kelucuan dari para pemain. Mereka masuk ke tengah penonton untuk memperkenalkan diri lalu berpamitan keluar, pemimpin Longser pun menegur karena bukannya masuk ke area pentas justru keluar lagi........ Para pemain yang terdiri dari Dadan Permana, Rano Sumarno, Kodrat Firmansyah, Junjun, Giri Mustika, Wawan Wah, dan penari cantik sebagai Ronggeng adalah Rina Belo, Fitri Fier, Hanifah, lalu masuk ke area pentas dari belakang. Pertunjukan dilanjutkan dengan Kidung dan Rajah yang bertujuan untuk meminta do’a........ Pertunjukan Longser diteruskan oleh Ronggeng dengan tari Gaplek oleh Rina Belo sendiri. Penonton pun menikmati eksotisme tarian kesuburan yang erotis tersebut. Beberapa pnonton melemparkan uang logam dan kertas kepada penari lalu secara spontan diambil oleh para pemain yang duduk berjajar di belakang Oncor........ Usai menyajikan tarian erotis dari penari muda itu, para pemain masuk dengan sebuah cerita bagian pertama atau sering disebut dalam istilah dramaturgi adalah Exposition. Cerita awal dengan kemunculan Dukun atau Paranormal ini mengetengahkan perihal perjodohan anak-anak muda yang sudah lama tidak mendapat pasangan. Kemudian menyinggung masalah agama/aliran sesat. Setelah mengusung suasana lucu dan komikal, para pemain yang lain masuk ke arena pentas dengan mengusung topik/cerita masalah yang menggemparkan seluruh penduduk desa. Tiap keluarga memiliki masalah masing. Ada yang bermasalah dengan penyakit yang menimpa anaknya. Serta penuturan seorang warga yang kebingungan. Setelah masing-masing mengungkapkan masalahnya, pria kebingungan itu ditanya apa masalahnya. Dia menjawab, “Saya sudah dua minggu tidak punya masalah,” katanya. Kontan para penonton tertawa terbahak-bahak setelah mendengar jawaban pria bingung tersebut........ Penonton dihibur lagi dengan sajian tari Kembang Tanjung. Tarian kesuburan juga yang semakin erotis gerakannya. Gerakan tarian eortis dengan goyang pinggulnya membuat penonton terkesima, padahal para penari mengenakan kostum yang wajar dan indah secara visual. Ulah para pemain Longser tak henti-hentinya membuat penonton tertawa terbahak-bahak. Sementara para penari menyajikan kebolehannay di hadapan penonton, para pemain justru sibuk mengambil uang yang dilemparkan ke arena pentas dengan tujuan menggoda........ Senyum manis dari bibir penari eksotis pun makin menyeringai bak kembang yang baru mekar. Namun usai musik pengiring dari para pengrawit penari itu juga ikut-ikutan mengambil uang kertas yang ada di dekat telapak kakinya – berebut dengan pemain Longser yang sedari tadi menggodanya........ Cerita berlanjut dengan masuknya para penduduk yang diperankan oleh dua penari eksotis tadi. Keduanya berperan sebagai ibu (Tukiyem) dan anak gadinya (Inah) yang ingin segera mengawinkan anak gadisnya itu. Mereka menemui seorang Dukun (Rano Sumarno) atau parnormal untuk dimintai petunjuk agar kengininannya dapat terlaksana. Hari baik harus ditentukan dengan hati-hati agar perkawinannya mendapatkan keselamatan. Namun apa yang dikatakan sang Dukun pada Tukiyem dan Inah saat itu, dengan nada bercanda, “Mengapa tidak melihat kalender saja untuk melihat tanggal yang baik?!” Hari lahir, zodiak pun ditanyakaan untuk dihitung oleh sang Dukun, hingga akhirnya ditemukan hari baiknya adalah hari Minggu pada jam sebelas malam. Penonton pun tertawa geer mendengar celetukan sang Dukun........ Tidak hanya ibu dan anak tadi. Penduduk lain juga datang secara bergerombol ke kediaman Dukun tersebut, karena mereka sepakat untuk minta petunjuk kepada Dukun untuk mencari jalan keluar dari masalah di desanya. Mereka datang berduyun-duyun ke rumah Dukun untuk mencari pemecahan maslah di desanya. Sang Dukun pun merenung dan memikirkna jalan keluar dari semua masulah penduduk desa itu. “Begini saja, setiap warga yang memiliki anak di bawah satu tahun agar menghanyutkannya di sungai.” Penduduk pun bingung mengapa harus menumbalkan anak di bawah umur satu tahun. Namun demi selesainya masalah, mere manut saja dan menuruti nasihat sang Dukun........ Dalam kebingungan para penduduk Kuwu, pemimpin desa, datang mengampiri mereka. Lalu masalah pun diungkapkan kepada sang Kuwu. Mendengar nasihat yang diberikan sang Dukun kepada mereka, Kuwu menjelaskan bahwa pemecahan masalahnya bukan dengan cara menghanyutkan anak. Kuwu justru membongkar akal bulus Dukun kepada warga. “Kalian tahu….Dukun itu terlibat kasus penjualan anak ke luar negeri. Makanya kalian semua sudah ditipu.” Terang saja penduduk terkejut mendengar kabar dari Kuwu, dan mengurungkan niat mereka untuk menumbalkan anak yang nyata-nyata hanya akal bulus Dukun untuk menjual anak yang dihanyutkan penduduk di sungai. “Kita justru harus introspeksi diri…siapa tahu masalah ini memang peringatan dari Tuhan kepada seluruh penduduk desa.” Akhirnya mereka mengerti dan pertunjukan Longser Pancakaki usai dengan ditutup oleh aransemen gamelan........ Longser dulu lain sekarang. Seni tradisi masyarakat Sunda ini terus dihidupkan oleh penggiat seni dan budaya di Bandung. Selain karena penggarapan seninya yang mudah dan eksotis beberapa kalangan masih melihat produk seni tradisi ini dianggap menjual terutama dalam upaya mendukung kampanye program pemerintah......... Longser kini terus mengalami perkembangan mutakhir setelah pada tahun 1990-an seniman modern mempopulerkan seni Longser di dunia televise dengan nama Longser Antar Pulau dalam kemasan bahasa Indonesia........ Seniman teater di Bandung masih memperhatikan kearifan lokal dalam kesenian rakyat yang ada di Jawa Barat. Bentuk-bentuk teater tradisional sedemikian rupa direvitalisasi dengan mengolaborasikannya dengan teater modern. Maka, bentuk teater tradisi pun muncul dalam kemasan masa kini dengan tidak menghilangkan elemen penting yang menjadi ciri khas teater tradisi tersebut. Dan pertunjukan Longser menjadi salah satu minat seniman akademis untuk tetap melestarikan hiburan masyarakat hingga kini........ Pertunjukan Longser popular di kalangan akademisi dari kelompok Longser Pancawarna. Mengapa Pancawarna, menurut Hermana, salah satu penggiat Longser Pancakaki dalam kemasan semi-modern, mengatakan bahwa Pancawarna itu memiliki arti lima warna atau lima ciri, yaitu Wawayangan, Tarian, Bodoran, Silat, dan gerak Pencak........ Ciri Pertama, Longser Pancawarna selalu menyajikan unsur Wawayangan. Pada unsure pertunjukan ini para pemain Longser memainkan gerak-laku wayang golek di hadapan penontonnya. Kedua, unsur tarian. Dalam struktur pertunjukan Longser memiliki daya tarik erotis melalui tarian-tarian rakyat yang diambil dari genre tarian kesuburan masyarakat Jawa Barat pada jaman dahulu. Tarian kesuburan ini selalu disajikan dalam beberapa sesi dalam keseluruhan pertunjukannya........ Ketiga, unsur Bodoran atau lawakan. Bodoran atau lawakan ini disajikan pada bagian cerita dan biasanya cerita diambil dari kisah hidup sehari-hari masyarakat tani di mana ia menggelar pertunjukannya. Keempat, adalah Silat yaitu gerakan beladiri yang menjadi ciri khas beladiri tradisional masyarakat Jawa Barat. Ciri yang kelima, adalah gerak Pencak. Gerak Pencak ini diambil dari gerakan Silat akan tetapi tidak selengkap gerak Silat pada jurus tertentu, dalam bagian ini gerak Pencak justru digunkan oleh pemain Longser untuk menambah efek kelucuan dan dramatis dalam mengusung cerita. Itulah sebabnya, mereka menamakan kelompok Longser Pancawarna........ Arthur S. Nalan dalam sebuah diskusi usai pertunjukan memaparkan asal usul Longser kepada penonton. Bahwa Longser merupakan pertunjukan rakyat khas Jawa Barat. Unsur obrolan seks dalam pertunjukan hiburan rakyat merupakan fenomena budaya lokal. Arthur juga menjelaskan salah satu teori pemeranan dalam teater tradisi Longser itu. Dalam sebuah komposisi pemerana atau permainan sandiwara/cerita dalam pertunjukan Longser selalu ada pemain yang menggunakan Teori Kontras. Teori ini adalah ujaran pemain yang lain dari konteks yang sedang dibincangkan dalam sebuah cerita, dan itu menimbulkan efek lucu untuk menghibur penonton Longser........ Ia juga mengatakan dalam sejarah hidupnya teater tradisi Longser ini dapat digunkan untuk medium propaganda, misalnya program penyuluhan Keluarga Berencana. Selain medium propaganda, Longser memiliki potensi sebagai media kampanye kepada masyarakat desa karena pesan-pesan penting dapat dikemas dalam cerita yang diusung dalam pertunjukan Longser........ Oleh karenanya dibutuhkan keterbukaan pikiran dan pandangan semua lapisan masyarakat untuk sama-sama menghidupkan kesenian tradisional. Longser sebagai salah satu bentuk seni budaya yang hidup di masyarakat Jawa Barat perlu diperhatikan kelestariannya, salah satunya dengan bentuk kemasan Longser yang sering dibawakan oleh kelompok Longser Pancakaki, dan kelompok Longser lainnya yang ada di beberapa daerah. Sebab di dalmnya terdapat khazanah kearifan local dalam bentuk bahasa daerah, seni tari, dan bentuk hiburan rakyat......... Longser Pancakaki memang bukan tiruan dari Longser Pancawarna seutuhnya. Kelompok Longser Pancakaki justru dengan sengaja memasukan unsur teater modern dalam sajiannya sebagai bentuk upaya mengadaptasi bentuk pertunjukannya dengan selera penonton atau masyarakat saat kini. (Argus Firmansah, Kontributor lepas KOKTAIL di Bandung).

Saturday, November 10, 2007

Aksi Pelajar di Bandung Menolak Ujian Nasional Penentu Kelulusan

Pelajar SMU yang tergabung di dalam Gerakan Siswa Bersatu Jawa Barat melakukan aksi damai di depan Kantor Gubernur Provinsi Jawa Barat Jum’at (9/11) kemarin. Mereka melayangkan protes menolak UN (Ujian Nasional) dijadikan penentu kelulusan. Mereka memandang pemerintah tidak memperhatikan mutu pendidikan dasar 9 tahun. “Standar pendidikan dinaikkan sedangkan mutu pendidikan tidak,” ujar Wildan Maulana, siswa BPI I, Bandung, di atas kendaraan demonstrasi.

Aksi damai menolak UN yang dilakukan para pelajar itu justru tidak membuat ketegangan dengan aparat yang berjaga di balik pagar kantor Gubernur Jabar. Masyarakat juga wartawan malah tersenyum dan sesekali tertawa mendengar celotehan para pelajar dalam orasi mereka. Sejumlah keluhan dari hati para pelajar di sana terungkap tulus dan polos mengenai pendidikan di sekolah masing-masing. Misalnya beban pelajaran yang harus diikuti dengan sejumlah pembayaran wajib yang membebani orang tua siswa.

Mereka memprihatinkan sikap pemerintah dalam menjalankan sistem pendidikan nasional. Muhamad Akhsan, 46 tahun, orang tua siswa yang melakukan aksi damai menolak UN itu mengatakan, “Saya sebagai orang tua siswa sangat prihatin…bagaimana anak sekolah ikut memperhatikan kesulitan orang tuanya, tutut memikirkan biaya pendidikan yang harus disediakan orang tuanya. Undang-undang dan aturan tidak jelas, sehingga membebani murid dalam menempuh pendidikan. Pemimpin sekarang hanya membuat kebijakan tanpa melihat kenyataan,” paparnya.

Pelajar dan orang tua siswa yang hadir di tempat aksi menyayangkan pendidikan nasional saat ini. Mereka menganggap UN sebagai Tuhan pendidikan, dan mengerdilkan pendidikan. Yang dianggap paling penting justru bagaimana peluang dan kesempatan setiap anak dapat menempuh pendidikan yang lebih tinggi. “Tidak fair anak diukur oleh 3 atau 6 mata pelajaran,” sahut Akhsan. (A. Firdaus, Hoofdredakteur)

Sunday, November 4, 2007

Komedi Stamboel Matjam-Matjam Maoenja ala STB

Bertepatan dengan ulang tahun Studiklub Teater Bandung (STB) yang ke 49 tahun pada tanggal 30 Oktober 2007 kemarin, digelar sebuah pagelaran drama komedi berjudul "Ah, Matjam-Matjam Maoenja" (les Precieuses Ridiculous) karya Moliere terjemahan Asrul Sani yang disutradarai oleh I Gusti Nyoman Arya Sanjaya di GK. Rumentang Siang…….

Sarekat Kerontjong Imam Camus melantunkan lagu tempo doeloe dengan syair masa kini yang isinya adalah sinopsis kisah drama yang akan dimainkan oleh Ayi Kurnia Iskandar, Dedi Warsana, Kemal Ferdiansyah, Ria Ellsya Mifelsa, Uchan Ayu Kinanti, Dwi Setiono, Yussak, dan deden Bell. Di tengah iringan musik kerontjong tersebut para aktor muncul dan berfose di bibir panggung menyanyikan lagu yang berisi sinopsis pertunjukan juga……..

Drama komedi yang disajikan STB kali ini mengangkat kisah sebuah perjodohan Icih dan Otih (diperankan oleh Ria dan Uchan) oleh pamannya yang berambisi menjadi seorang Abtenaar di kampung itu. Sang Paman (diperankan oleh Ayi Kurnia Iskandar) berpikir secara investasi politik dengan menjodohkan anak dan keponakannya kepada du bangsawan kaya di daerah itu, tapi dua dara itu menolaknya dengan alasan yang bermacam-macam…….

Sang Paman sudah kesal dengan gaya hidup anak gadis dan keponakannya itu. Biaya bedak dan lain-lainnya membuat pengeluaran Sang Paman lebih besar. Karena dua dara itu sudah dipengaruhi gaya hidup berjuasi yang macam-macam maunya, sekaligus menolak gaya perjodohan yang berbau dagang. Kedua bangsawan kaya itu (diperankan Yussak dan Deden Bell) merasa terhina dengan penolakan lamarannya……..

Dua bangsawan itu pun mengeluarkan akal bulusnya untuk membalas dendam kepada dua dara yang jual mahal itu. Maka dua bangsawan itu menyuruh dua pelayannya untuk menyamar dengan bersandiwara sebagai keturunan bangsawan dan berpengetahuan tinggi……..

Kelucuan pun muncul dalam bentuk tingkah laku dua Raden palsu itu yang berusaha keras merayu Icih dan Otih yang telah mengganti nama menjadi nama Noni Belanda. Raden Pandji Gumilang (Dedi Warsana) mengaku sebagai pujangga tersohor dan kepalsuan itu diyakini oleh dua dara, hingga keduanya terjebak dalam bujuk rayunya. Keyakinan mereka semakin kuat setelah kawan Pandji Gumilang muncul, yaitu Raden Kelana Abiseka (Kemal Ferdiansyah), mengaku sebagai mantan tentara. Akan tetapi Kelana Abiseka agak kikuk dalam bersandiwara namun tidak mencurigakan karena dibantu kawannya yang menyamar sebagai Pandji Gumilang……..

Kedua dara itu nampak kegirangan dengan perkenalan kedua Raden palsu itu yang mempesonakan hati mereka. Semua bujuk rayu dua penyamar itu dapat mengelabui dua dara yang bergaya layaknya Noni Belanda itu. Dalam sebuah acara dansa di rumah dara manis itu, penyamaran mereka terbongkar oleh dua majikan mereka sendiri. Pandji Gumilang dan Kelana Abiseka pun terkejut dan paik setelah dua majikannya muncul dan menelanjangi jati diri mereka. "Inilah jaman sekarang...habis manis sepah dibuang!", ujar Pandji Gumilang yang kesal diakhir dialognya setelah menanggalkan pakaian kebesaran sebagai bangsawan. Rasa malu pun muncul dari wajah dua pemain sandiwara itu, begitu pula dengan dua dara manis yang telah tertipu oleh ulah penipuan dua pelayan itu……..

Kerugian besar harus ditanggung Sang Paman, karena anak gadis dan ponakan itu telah tertipu oleh dua pelayan yang mengaku bernama Raden Pandji Gumilang dan Raden Kelana Abiseka. Di akhir pembongkaran sandiwara itu Sang Paman murka dan melampiaskan kekesalannya kepada dua dara manis itu yang maunya macam-macam itu. Maka, dua dara itu hanya dapat menyesali perbuatannya dengan manangis……..

Drama komedi stamboel "Ah. Matjam-Matjam Maoenja" coba mengangkat fenomena sosial masyarakat pada tahun 1950. Di mana para saudagar dan petualang mulai menemukan pijakannya. Penulis juga bermunculan dengan semangat baru saati itu. Sementara itu gaya feodalisme masih mencengkeram kalangan tua, dan kalangan muda dipengaruhi gaya berjuasi warisan kolonial. Dalam situasi yang paradoks tersebut muncul kesenjangan generasi di mana kemunafikan serta semangat pembaruan yang belum matang berada di dua kutub yang saling berlawanan. Di antara kesenjangan itulah eksistensi para petualang mengambil momen penting dengan beragam bentuk kepalsuan dan romantisme puitis……..

Konteks jaman saat itu agaknya merepresentasikan keunikan tersendiri dalam pandangan sutradara dengan menampilkan komedi stamboel ini. Dengan maksud bahwa sajian drama komedi "Ah. Matjam-Matjam Maoenja" ini merupakan sebuah peringatan sekaligus kritik implisit terhadap situasi dan jaman di tanah air. Peminjaman teks oleh STB dari karya Moliere ini merupakan upaya kreatif yang sanggup dilakukan seniman panggung yang berada di bawah payung STB untuk menyuarakan aspirasi kemanusiaan dalam tatanan sosial saat ini……..

Bentuk drama stamboel memang berada di koridor kritik sosial secara eksplisit di ruang tafsir kesenian rakyat di jamannya. Cara-cara ini dianggap masih ampuh oleh STB untuk menyuarakan aspirasinya saat ini. Terlepas dari ampuh tidaknya kritik sosial melalui kesenian, paling tidak seniman muda teater STB tidak gagap vokal dalam menanggapi persoalan kemanusiaan yang disebabkan oleh budaya borjuasi yang dibungkus dengan istilah abru saat ini. Dengan demikian, STB melalui sajian dramanya kali ini masih menunjukan eksistensinya dalam dunia teater di tangan kreatif generasi muda STB masa kini untuk melangkah ke masa depan……..

Drama komedi stamboel ala STB itu merupakan persembahan awal dari STB kepada penonton STB di Bandung dari serangkaian acara ulang tahun STB yang ke 50 tahun mendatang. Drama komedi stamboel "Ah, Matjam-Matjam Maoenja" merupakan adaptasi sutradara terhadap naskah dengan konteks jaman tahun 1950 di mana kondisi sosial masyarakat Indonesia di daerah masih feodal. Masalah perjodohan pun masih dikait-kaitkan dengan pertimbangan status sosial keluarga. Drama komedian karya adaptasi Moliere tersebut cukup apik diperankan oleh para aktor kali ini. Pengolahan seni peran Dedi Warsana, pemeran utama dalam lakon tersebut, dengan gaya khas mokal-mokalnya, bersama actor dan aktris yang lain mampu membuat ger para penonton yang didominasi oleh penonton remaja dan keluarga besar STB dari angkatan pertama…….

Pertunjukan dengan durasi 80 menit itu mampu menghibur penonton yang hadir dalam perayaan Ultah STB yang ke 49 tahun. I Gusti Nyoman Arya Sanjaya mengatakan tidak cukup waktu untuk mempersiapkan pertunjukan teater yang lebih dramatis bagi penontonnya. Tak ada pilihan lain, maka sutradara memilih lakon tersebut untuk menghibur penontonnya. Meski demikian, penonton cukup terhibur dengan sajian drama komedi stamboel tersebut……..

Kondisi STB saat ini memang dipengaruhi oleh seniman yang aktif dalam pengabdian mempertahankan nama baik STB di masyarakat teater. Manajemen aktor di STB hanya sebagai provider melalui progarm kursus akting dan pertunjukan atau garapan rutin setiap tahunnya. Sehingga keterlibatan aktor dalam menyajikan pertunjukan dengan nama STB tidak terpaku pada sistem keanggotaan aktor STB secara baku. Tak heran bila dalam sajian teaternya selalu ada wajah-wajah baru yang muncul di pentas atas nama garapan STB……..

Eksistensi seniman teater angkatan muda di STB terus berusaha mematangkan kemampuan seni peran melalui lakon-lakon drama yang dipentaskan di atas panggung teater. Salah satu jargon teater STB adalah memanusiakan ide-ide. Jargon ini masih dipelihara dari generasi pertama, yaitu aktor Muhamad Sunjaya sampai Ayi Kurnia Iskandar. Sementara bidang penyutradaraan dari Suyatna Anirun Alm. sampai I Gusti Nyoman Arya Sanjaya. Konsep memanusiakan ide-ide yang terkandung dalam naskah lakon diejawantahkan oleh sutradara bersama aktor-aktornya secara praktis meski masih berhati-hati dalam memetik sebuah interpretasi terhadap ide dalam naskah lakon. Hal ini terlihat dari garapan-garapan STB sebelumnya. Namun persoalan kualitas sajian pentas maih bebas nilai, artinya para penonton STB sendirilah yang menilainya…….

Menilik eksistensi STB dapat dikatakan bahwa krisis aktor dan sutradara masih sedikit menjadi persoalan. Keluar dan masuknya aktor baru membuat kualitas garapan STB menjadi sebuah pasang surut. Beban moral dalam kesenian memang bisa dikatakan tidak ada. Tapi bagaimanapun juga STB pernah menyandang popularitas kelompok teater yang paling produktif dengan kualitas yang jempolan selama kepemimpinan Suyatna Anirun pada tahun 1970-1980. Masih dapatkah STB mempertahankan kewibawaan namanya melalui garapan-garapan lakon adaptasi maupun lakon yang ditulis oleh penggiat STB? Inilah yang dikuatirkan oleh STB di masa yang akan datang…….

Namun seperti yang dikatakan oleh I Gusti Nyoman Arya Sanjaya, seniman STB yang sudah memberikan kontribusi kreatifnya kepada STB sejak 1988, mengatakan bahwa tantangan kreatif setiap seniman di dalam proses kreatifnya bersama STB dibedakan pada kondisi dan situasi jamannya. Tentunya, pandangan I Gusti Nyoman Arya Sanjaya dapat menjadi salah satu jawaban menyoal pasang surut kulaitas garapan di STB selama ini. STB pernah berjaya ketika dikemudikan oleh Suyatna Anirun sejak perintisannya oleh Jim Lim pada awal kelahiran STB sebagai kelompok teater di Bandung…….

Patut diakui bahwa dari program acting course STB banyak melahirkan aktor yang berkualitas yang akhirnya melahirkan pula sutradara-sutradara muda dengan kelompok-kelompok teater baru di Bandung seperti Actors Unlimited, misalnya. STB bagi pengamat perkembangan teater di Bandung masih dianggap sebagai bengkel seniman teater dengan Sang Guru Suyatna Anirun Alm. yang lama mengabdikan hidupnya untuk kemajuan STB di dunia teater modern Indonesia…….

Jejak-jejak kreatif Suyatna Anirun menjadi inspirasi bagi aktor-aktor muda di Bandung, baik dalam tubuh STB sendiri maupun kelompok teater lainnya di Bandung. Dan seiring perubahan jamannya STB terus berupaya adaptif dengan perubahan cara pandang penonton atau masyarakat pendukung terhadap teater modern hingga saat ini. Lebih-lebih dikarenakan oleh pengaruh budaya televisi yang bagi sebagian besar masyarakat lebih cepat menanggapi bentuk hiburan yang dibutuhkan dengan membuat strategi kemasan tontonan secara lebih modern.(by Argus F., posted to HU Pikiran Rakyat)

Chamber Music Series Di CCF Bandung

Kota Bandung dikenal sebagai tempat lahirnya musisi di berbagai aliran musik. Pada Jum'at malam kemarin, pecinta musik klasik disuguhkan komposisi klasik karya Beethoven, Bruch, Bottessini, Brahms, Eccles, dan Thoene, oleh dua musisi klasik asal Indonesia dan Jerman. Dua musisi klasik itu adalah Ary Sutedja, pianis klasik, dan Marcel Becker seorang virtuoso double-bass asal Jerman. Mereka menyuguhkan permainan cantiknya di hadapan khalayak di dalam auditorium Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Bandung kemarin (26/10) yang dihadiri oleh musisi Bandung dan pecinta musik klasik dari kota Bandung dan Jakarta…….

Program Chamber Music Series yang kemas oleh Mutia Dharma bersama CCF Bandung ini cukup memberi angin segar kepada masyarakat pecinta musik klasik di Bandung dan Jakarta. Oleh karena program tersebut dibagi menjadi beberapa konser kecil dengan musisi atau komposer yang berbeda di setiap kotanya dan pada tanggal yang berbeda pula…….

Ary Sutedja dan Marcel Becker berkolaborasi membawakan komposisi karya Beethoven, Bruch, Bottessini, Brahms, Eccles, dan Thoene dalam G Minor, C Mayor. Dalam konser kecil itu juga Marcel Becker sempat membawakan koposisi secara solois dalam mebawakan gubahan karya Thoene dalam tangga nada rezitativo Karl, Aleggro, Vargo, dan ditutup dengan Allegro. Permainan Marcel dengan double-bass yang itu cukup membuat pukauan pecinta musik klasik yang hadir di dalam ruangan konser itu. Pasalnya, penguasaan Marcel terhadap musik gubahan Thoene dapat dikatakan cukup baik. Apalagi penjiwaan Marcel terhadap komposisi itu dapat dilihat dan dirasakan dengan memperhatikan keindahan nada-nadanya…….

Demikian halnya dengan Ary Sutedja, harmoni yang dibangun dalam konser itu, antara piano dan double-bass, sungguh cantik dan indah untuk dinikmati. Pecinta musik klasik seakan dibawa ke negeri Eropa di mana musik-musik klasik diciptakan dan diperdengarkan hampir di setiap ruang publik yang khusus menyajikan musik-musik klasik…….

"Komposisi ini sering dibawakan di atas panggung, bukan karena komposisi ini sering dipandu oleh Conducter terkenal, tetapi karena variasinya. Dan Double-bass, bila hadirin sering mendengarnya, bukan instrumen asing untuk dinikmati khusunya oleh masyarakat pecinta musik klasik di perkotaan," ujar Marcel Becker sebelum membawakan komposisi Allegro di Concerto "alla Mendelssohn" gubahan Giovanni Bottessini……

Ary Sutedja, pianis dari tanah air ini adalah seorang pianis klasik terkemuka di Indonesia. Ia adalah seorang master lulusan Towson State University di Amerika Serikat dan Konservatorium St. Petersburg, Rusia. Sejak kepulangannya ke Indonesia pada tahun 1993 ia aktif sebagai musisi, pengajar dan juri lomba musik klasik dan lain-lain. Sedangkan Marcel Becker adalah seorang virtuoso double-bass asal Jerman. Ia mulai menekuni alat musik bass pada usia 13 tahun. Ia menyelesaikan pendidikan musiknya di Folkwanghochschule di kota Essen dan Musikhochschule, Koeln, Jerman. Saat ini ia bermain dengan Royal Liverpool Philharmonic Orchestra dan orkestra kamar European Camerata. (Argus Firmansah/kontributor lepas KOKTAIL/Bandung. Selengkapnya baca KOKTAIL Edisi No. 008)

Thursday, November 1, 2007

Hujan Lebat Akibatkan Banjir dan Genangan Air di Kota Bandung

Hujan lebat di Kota Bandung sepekan terakhir timbulkan genangan air dan banjir di beberapa titik di wilayah kota Bandung. Pembenahan sistem drainase di kota Bandung dari tahun ke tahun tidak pernah tuntaskan masalah genangan air dan banijr.

Jalan KH Wahid Hasyim, misalnya, setelah diguyur hujan selama satu jam (1/11) mengakibatkan genangan air di jalan itu sehingga mengambat kelancaran transportasi dalam kota pada pukul 12.30 wib. Pengendara sepeda motor harus ekstra hati-hati ketika melewati jalan itu.

Puluhan pengendara sepeda motor dan beberapa angkutan kota terpaksa harus mengalami kerusakan mesin karena air bah dari saluran air di bawah jalan raya meluap karena tidak mampu menanpung jumlah air yang masuk ke saluran di sana.

Meski perbaikan saluran air dalam kota di Jalan Peta sedang diperbaiki, masalah genangan air dan banjir di wilayah itu tetap saja muncul dan merugikan masyarakat pengguna jalan raya.

Kondisi jalan yang berlubang karena terkikis air bah dari saluran yang tersumbat hingga saat ini belum mendapat perhatian dari Dinas Pekerjaan Umum kota Bandung, dan kondisi itu dapat dilihat di Jalan Inggit Garnasih. Pengguna jalan raya harus hati-hati melalui jalan itu di samping kurangnya penerangan jalan dan jalan yang rusak. (Hoofdredacteur)