Pelajar SMU yang tergabung di dalam Gerakan Siswa Bersatu Jawa Barat melakukan aksi damai di depan Kantor Gubernur Provinsi Jawa Barat Jum’at (9/11) kemarin. Mereka melayangkan protes menolak UN (Ujian Nasional) dijadikan penentu kelulusan. Mereka memandang pemerintah tidak memperhatikan mutu pendidikan dasar 9 tahun. “Standar pendidikan dinaikkan sedangkan mutu pendidikan tidak,” ujar Wildan Maulana, siswa BPI I, Bandung, di atas kendaraan demonstrasi.
Aksi damai menolak UN yang dilakukan para pelajar itu justru tidak membuat ketegangan dengan aparat yang berjaga di balik pagar kantor Gubernur Jabar. Masyarakat juga wartawan malah tersenyum dan sesekali tertawa mendengar celotehan para pelajar dalam orasi mereka. Sejumlah keluhan dari hati para pelajar di sana terungkap tulus dan polos mengenai pendidikan di sekolah masing-masing. Misalnya beban pelajaran yang harus diikuti dengan sejumlah pembayaran wajib yang membebani orang tua siswa.
Mereka memprihatinkan sikap pemerintah dalam menjalankan sistem pendidikan nasional. Muhamad Akhsan, 46 tahun, orang tua siswa yang melakukan aksi damai menolak UN itu mengatakan, “Saya sebagai orang tua siswa sangat prihatin…bagaimana anak sekolah ikut memperhatikan kesulitan orang tuanya, tutut memikirkan biaya pendidikan yang harus disediakan orang tuanya. Undang-undang dan aturan tidak jelas, sehingga membebani murid dalam menempuh pendidikan. Pemimpin sekarang hanya membuat kebijakan tanpa melihat kenyataan,” paparnya.
Pelajar dan orang tua siswa yang hadir di tempat aksi menyayangkan pendidikan nasional saat ini. Mereka menganggap UN sebagai Tuhan pendidikan, dan mengerdilkan pendidikan. Yang dianggap paling penting justru bagaimana peluang dan kesempatan setiap anak dapat menempuh pendidikan yang lebih tinggi. “Tidak fair anak diukur oleh 3 atau 6 mata pelajaran,” sahut Akhsan. (A. Firdaus, Hoofdredakteur)
No comments:
Post a Comment