Monday, November 19, 2007

Tubuh Cantik Itu, Tumbuh dan Bicara…..

Foto-foto korban perang dunia mencecar dinding putih. Komposisi seruling dari Jepang mengisi ruangan pentas kemudian tenggelam diayun petikan dawai pada melodi solo seperti kecapi. Suasana tragis dibangun sejak mula pementasan. Tubuh berbicara soal makna dan pesan dari peristiwa sejarah kemanusiaan. Tubuh itu bak perempuan yang gemulai tariannya dalam titik nadir kepedihan tubuh korban perang dan kekerasan.

Monolog tubuh cantik itu tidak bicara secara verbal, hanya movement dan pengolahan ekspresi dalam struktur narasi non-verbal. Bentuk ekspresi seperti ini merupakan gerakan baru dari seniman visual art di Amerika Serikat dalam genre performance art. Di mana bentuk-bentuk teater, seni rupa, bahkan tari selalu menyertakan peranan teknologi untuk membuat kompleksitas tanda secara visual.

Pina Bausch, seniman Jerman, pada tahun 1980 dalam karya koreografinya, Rite of Spring, di Olympic Art Festival di Los Angeles (USA) menampilkan bentuk garapan teater-tari metode Grotesque untuk mengemas movement-nya. Di mana pengulangan movement dikemas secara simbolik hingga menjadikannya sebuah pemandangan metafora gerakan/movement kekerasan di mana perempuan sebagai korban. Genre pertunjukan postmodern ini terus berkembang hingga ke negara berkembang seperti Indonesia hingga saat ini. Wacana itu hadir dalam monolog yang dibawakan oleh Tony Broer.

Kearifan lokal pada seni tradisi di tiap daerah menjadi bahan racikan bumbu penadaan pada pertunjukan, sehingga dikenal Teater Antropologi. Sebuah genre teater postmodern yang mengolaborasikan seni modern yang konsumtif dengan seni tradisi lokal. Pertunjukan pun cenderung terasing dari penonton teater pada umumnya, karena bahasa non-verbal mendominasi karya-karya sejenis itu.

Bahasa tubuh dibuat sebagai objek komunikasi antara penonton dan aktor. Tak ada teks ujaran di sana. Yang ada hanya bahasa tubuh dan gambar. Sebuah bentuk teater embodiement (ketubuhan) yang dipadukan dengan wacana seni postmodernisme. Tubuh seperti kata atau kalimat karena ia bercerita di dalam jalinan gambar yang silih berganti membangun suasana rindu dalam deraan peluru dan bom nuklir.

Itulah gambaran sebuah monolog tubuh berjudul “Rajah Tubuh Lahir Perang” yang disajikan oleh Tony Broer, aktor muda yang sudah melanglang di jagat teater dunia, dan digelar di Aula Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, pada Sabtu malam (10/11) kemarin yang bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan Nasional.

Kebaya emas menutupi balutan kain kasa yang menutup luka masuk ke atas pentas dalam movement patah-patah seiring bunyi peluru yang berhamburan. Tony Broer dalam pentas tunggalnya menjadi seorang ibu, setangkai bunga, dan pohon sebagai simbol kehidupan. Bahkan kupu-kupu yang menari di monumen tentara yang wafat mengimplisitkan keterasingan dan kebisuan manusia usai peristiwa yang mempertaruhkan kemanusiaan, atas nama kekuasaan, yaitu perang! Perang meninggalkan sejarah nilai-nilai kemanusiaan yang binasa.

Monolog tubuh Broer dengan karakter perempuan yang teraniaya justru menjadi puisi tubuh yang cantik dengan movement yang hidup bak bunga mekar atau kupu-kupu yang terbang mengitari bunga bangkai yang terbuat dari kain kasa berwarna ungu dan biru.

Sajian monolog tubuh pun menjadi perhatian pelajar yang menonton pertunjukan tersebut. Meski sebagian banyak dari mereka tidak begitu paham dengan pementasan itu, mereka acungkan jempol karena pertunjukan monolog tubuh itu menyedot konsentrasi dan perhatian pada aktor itu, Tony Broer. Ada juga salah seorang penonton yang melihat pertunjukan Tony Broer seperti sebuah ode buat psk yang dikeroyok empat laki-laki. “Broer seperti pelacur yang digebukin empat orang laki-laki…..hahahahaha….” ujar Asep usai menonton pertunjukan.

Broer berbekal kemampuan teater Butoh dari tradisi Jepang membangun bahasa visual di atas pentas dengan paduan tari tradisional Indonesia. Teks-teks puitis yang abstrak dibahasakan melalui tubuh dan layar yang memuat rekaman pendek peristiwa perang dan montase foto-foto korban perang. Tubuh-tubuh aktor itu dan bahasa gambar menjadi bahasa simbolik untuk mengomunikasikan sebuah tema besar, bahwa nilai kemanusiaan terkoyak di sana. Sebuah pertunjukan teater tubuh yang teatrikal dengan montage of image yang sangat cepat dan menegangkan.

Tony Broer, sutradara sekaligus pemain dalam pertunjukan teater itu, memaparkan bahwa pertunjukan itu adalah sebuah ode untuk kemanusiaan dalam bahasa teater dengan mengolah eksplorasi tubuh aktor. Bahasa gambar di layar dengan montase foto-foto dan rekaman perang itu menjadi tubuh sejarah, sedangkan tubuh aktor adalah tubuh sekarang yang menginterpretasi sejarah tubuh dan kemanusiaan.

Inspirasi pertunjukan ini adalah perang yang terjadi di atas muka bumi sepanjang sejarah peradaban manusia. Bahwa kemanusiaan itu sendiri direkayasa untuk mencapai kepentingan kekuasaan, dan dominasi politik dunia. Perang dalam pertunjukan Rajah Tubuh Lahir Perang secara eksplisit menggambarkan tubuh-tubuh pada peradaban manusia saat ini. Kekerasan terhadap tubuh adalah simbol dehumanisasi dalam monolog tubuh tersebut.

Bentuk eksplorasi gerak tubuh dengan mengambil gerak tarian Tarawangsa sengaja digunakan sebagai simbol tubuh Asia yang memprotes perang di atas dunia ini. Dan tradisi Butoh, Jepang, diakui Broer mempengaruhi pola gerakan yang dieksplorasi dalam monolognya. Tradisi Butoh diterapkan dalam proses kreatifnya. Disiplin tubuh aktor sangat dibutuhkan untuk menjadi sesuatu di atas pentas dan penonton dapat menangkap bahasa simbolnya. Tubuh Broer sendiri nampak sebagai tubuh yang terlatih dan kenyal. “Saya melihat pengaruh Butoh pada gaya Broer tampil. Suatu distorsi tubuh aktor”, tutur Arthur S Nalan, peneliti budaya di Jawa Barat. (Argus Firmansah/Kontributor lepas KOKTAIL/Jurnal Nasional/Bandung).

No comments: