Thursday, January 17, 2008

Konser Musik Perdana KAIYA “Batas Perjalanan” di CCF Bandung

Menapaki Dunia Musik Ballada Kontemporer di Tahun 2008
“…Ini langkahku/walau cita-citaku melambung tinggi/ melintasi kayal dan tanah airku/kusyukuri….” (Dikutip dari syair lagu Ini Langkahku, yang dinyanyikan Fitri/KAIYA di panggung CCF Bandung, Sabtu (12/1) kemarin)
Kota Bandung banyak melahirkan musisi handal dari berbagai aliran musik. Mulai dari band Peterpan, The Titan, dan lain-lain, yang kini berada di tangga grup band populis. Semangat kreativitas anak muda Bandung di bidang musik seperti tiada hentinya, dan banyak di antara pendatang baru itu berhasil menembus dunia rekaman dan mengisi panggung-panggung hiburan di Indonesia.
Seperti halnya Cahyo Harimurti dan kawan-kawan, mereka memproklamirkan kelompok musik mereka yang baru di Bandung. Dan debut pertamanya diawali dengan konser musik perdana yang digelar di Auditorium CCF Bandung dengan judul “Batas Perjalanan” pada Sabtu malam (12/1) kemarin. KAIYA adalah kelompok musik yang terdiri dari desain fashion (Fitri Kenari), calon ekspert musik karawitan Sunda (Ibrahim Adi Surya), ilustrator musik film dokumenter (Cahyo Harimurti), hingga pedagang domba (Donnydombis). KAIYA dibentuk pada bulan November 2007 sebagai tindak lanjut dari workshop musik yang sedang dilakukan di sebuah studio lukis dari seniman kenamaan. Tetapi kehadiran mereka di panggung musik di Jakarta dan Jawa Barat bukanlah hal yang baru, karena mereka sudah sering tampil sebagai additional musician pada beberapa kelompok musik yang sudah lama ngorbit di tanah air.
Cahyo Harimurti memaparkan latar belakang terbentuknya kelompok musik itu. “KAIYA terbentuk pada tanggal 22 November 2007. Kata dasar KAIYA itu dari KAYA. Kata itu dipilih karena representasi apa yang SUDAH dimiliki kelompok, dan yang INGIN diraih kelompok. Kami punya cita-cita, persahabatan, kemauan dan kemampuan belajar sebagai kekayaan awal. Lalu memulai perjalanan bersama untuk meraih kekayaan lain yang bermanfaat dan lebih besar. Mungkin duit ha ha ha… Perjalanan juga dimaksudkan untuk membagi kekayaan yang kami miliki. Itulah sebabnya konser perdana diberi nama Batas Perjalanan,“ papar Cahyo Harimurti.
Warna aransemen KAIYA adalah musik ballada. Tema lagu yang dimainkan di atas panggung kemarin cukup beragam meski musik ballada syarat dengan tema-tema cinta universal, antara lain menyoroti persoalan pemanasan global yang didukung oleh foto-foto sumber pemanasan global sebagai latar panggungnya. Tema konser “Batas Perjalanan” menguatkan pesan tematis KAIYA bahwa lagu dan aransemen musiknya merupakan representasi dari perjalanan batin dan pengalaman hidup setiap personelnya. “Saling berbagi energi dengan cinta dan kesederhanaan,” ujar Fitri Kenari sang vokalis di atas panggung, ketika banyak penonton berinterupsi dan memintanya untuk berkata-kata.
Fitri Kenari dikenal oleh seniman Bandung sebagai desainer kostum pertunjukan drama, selain sering tampil sebagai backing vocal di beberapa konser musik ballada dari musisi asal Bandung di tanah air. Ketika diwawancara mengapa KAIYA dipilihnya untuk tampil sebagai vokalis, Fitri mengatakan usai konser bahwa, “Saya senang bernyanyi, dan mau serius di bidang ini. Selain berada di lingkungan para musisi di Bandung. Pergaulan, persahabatan dan seringnya bekerja sama di panggung membuat saya memilih langkah ini biar cepat kaya,” ujarnya dengan penuh semangat sambil tertawa. Keyakinan dan motivasi itulah yang menjadi gambaran personel KAIYA untuk terus melakukan proses kreatif di bidang musik secara bersama-sama ke depan.
Hal penting bagi vokalis KAIYA adalah bagaimana bermain musik dengan enak, bebas, dan merdeka. “Rasa itu penting dalam musik,” tambah Fitri. Dia juga sudah memiliki strategi untuk tidak mengecewakan penontonnya, yaitu memberi warna vokal yang berbeda dari penyanyi lainnya. Maka warna etnik menjadi pilihannya saat ini selama proses kreatif dilakukan bersama personel KAIYA yang lain.
Cahyo Harimurti, pemain bass, mengatakan usai konser, bahwa KAIYA masih dalam proses kreatif yang panjang. Konser perdana ini merupakan representasi awal mengenai gaya dan karakter KAIYA dalam mewarnai musik di Indonesia saat ini. “Yang penting bagi kami adalah karakternya dulu. Itulah sebabnya kami memilih Fitri Kenari sebagai vokalis kami terlepas dari segala kekurangan dan kelebihannya. Karena jelas kami semua punya kekurangan dalam banyak hal. Lihat saja latar belakang personel kami. Ada fashion designer, pedagang domba, musisi tradisional…karawitan maksudnya….menarik,” papar Cahyo di luar panggung.
KAIYA juga menampilkan permainan alat musik Sadatana pada konser “Batas Perjalanan” itu, yaitu alat musik pukul yang terbuat dari keramik. Suaranya seperti Jembe pada nada tinggi. Keunikan itu membuat KAIYA menjadi kelompok musik balada kontemporer yang khas, selain syair-syairnya yang puitis. KAIYA juga mengaransemen musiknya dengan syair puitis yang berisi kritik sosial dan kritik manusia terhadap perusakan lingkungan alam.
KAIYA memang kaya warna dan ciri khas pada musiknya selain musiknya yang memiliki karakter cukup kuat di tengah persaingan warna musik baru yang terus bermunculan di tanah air. Meski belum membuat album, KAIYA yakin akan tetap eksis selama semangat untuk berproses masih mengalir di dalam darah mereka. Pernyataan seperti itu diungkapkan oleh sang vokalis dan Cahyo Harimurti dalam wawancara santai usai konser.
Penampilan KAIYA pada konser itu cukup baik dan setiap personel menguasai panggung dengan baik pula. Fitri Kenari membawakan karakter vokalisnya dengan warna vokal etnik, dan itu menjadi ciri khas Fitri. Meskipun pada beberapa nada yang tinggi, Fitri melakukan vocal antisipatif karena tidak terjangkau dengan nada vokalnya. Lain dengan Ibrahim Adi Surya pada gitar elektriknya, ia bermain gitar dengan gaya khas aransemen musik Radiohead. Cahyo Harimurti pada bass bekerja sama dengan drummer Donnydombis untuk menciptakan harmoni komposisi musik yang dibangun oleh warna vokal Fitri dan ilustrasi melodi ala Ibrahim Adi Surya.
Setiap komposisi hampir tidak ditemukan kekosongan atau jeda, karena jam session selalu dimainkan oleh bassist, drummer, dan guitarist. Dan gaya itu sekaligus memposisikan KAIYA tidak pada kelompok musik atau penyanyi solo ballada seperti Ebiet G. Ade, Dede Harris, atau Ferry Curtis. Kemampuan masing-masing dalam memainkan alat sudah tidak memperhatikan teknis yang presisi, sehingga terkesan kemampuan personil mengolah komposisi musik memang cenderung nge-jazz tanpa melepaskan ciri baladanya. “Kami memang sudah tidak lagi bicara teknis pada konser ini. Karena kami sudah tahu kemampuan masing-masing personil untuk saling mengisi,” ujar Cahyo Harimurti.
Sambutan penonton cukup meriah dan akrab ketika KAIYA tampil di atas panggung membawakan tujuh buah lagu yang berjudul, Batas Perjalanan, Saat Pertama Tanpamu, Ketuk Pintuku, Terik, Kemuning, Sajadah Berdebu, dan lagu yang berjudul Ini Langkahku sebagai penutup konser KAIYA. Semangat KAIYA bermusik terdapat dalam syair yang berjudul Ini Langkahku, yang berbunyi “…Ini langkahku/walau cita-citaku melambung tinggi/ melintasi kayal dan tanah airku/kusyukuri….” Dikutip dari syair lagu Ini Langkahku, yang dinyanyikan Fitri di panggung.
Setiap lagu memiliki makna bagi personil KAIYA. Setiap lagu dibawakan dengan kesungguhan. Seperti lagu Sajadah Berdebu yang sangat religius dinyanyikan sang vokalis dengan komposisi akustiknya. Tapi tema lagu cinta dan kesepian manusia disajikan KAIYA pada nomor yang berjudul Saat Pertama Tanpamu, dan Ketuk Pintuku. Ciri khas musik ballada memang bertumpu pada pengolahan syair-syair cinta yang berlaku universal. Namun pada KAIYA, mereka juga menampilkan aransemen lagu panggung dengan tema cinta seseorang. Beberapa di antara syair-syairnya memang dipetik dari kisah pengalaman cinta masing-masing personilnya. Bukan curhat (curahan hati), tapi paling tidak itulah yang dirasakan KAIYA dalam memahami cinta antarmanusia yang kini terkikis oleh materialisme. (Argus Firmansah/Kontributor Bandung/KOKTAIL-Jurnal Nasional)

Thursday, January 10, 2008

Pertunjukan “Wot Angin” Bicara Harmoni Lingkungan

Instalasi “Pawotan” Secara Simbolik Memediasi Dua Modulasi Tanah Yang Berbeda

Suhu udara pada 18 derajat Celcius membawa kesejukan di arena eks-Fabrik Gallery di jalan Bukit Pakar Timur, Bandung. Pemadangan yang indah kota Bandung di malam hari juga menjadi wisata yang menarik selain menonton pertunjukan “Kata-Kata Wot Angin”. Obor setinggi dada menerangi jalan menuju pintu masuk ke instalasi bambu yang diberi judul “Wot Angin” karya Djuandi dan Sunaryo yang berdiri megah seperti jembatan (pawotan) raksasa dari bambu. Dimensi instalasi bambu Wot Angin itu setinggi 12 meter, dengan panjang 25,5 meter dan lebar 11,5 meter. Udara dingin di sana tidak menyurutkan apresiator trimatra dan pertunjukan untuk datang menyaksikan aksi seniman dari berbagai disiplin seni.

Seniman teater, musisi tradisi Sunda, koreografer tari, dan pematung yang membuat instalasi jembatan raksasa dari bambu, mempertunjukan sebuah teater monumental yang disutradarai oleh Wawan Sofwan dengan judul Kata-kata Wot Angin. Pertunjukan dengan tema lingkungan dan angin itu digelar pada instalasi bambu dengan kemasan yang atraktif dan sederhana. Teks-teks yang hadir berupa puisi karya WS Rendra dan Muhamad Sunjaya di sana dibuat untuk merespon instalasi bambu Wot Angin, karenanya keindahan teks puisi menjadi ilustrasi karya trimatra dari bahan dasar bambu tersebut.

Pertunjukan dibuka dengan kemunculan Mohamad Sunjaya dengan membacakan penggalan puisi karya WS Rendra yang berjudul Desebabkan Oleh Angin, “Bukalah semua jendela. Ya! Dan jendela dapur juga; Biarlah angin malam masuk ke dalam,” tukas Mohamad Sunjaya dengan kostum pendeta di atas jembatan Wot Angin. Pertunjukan terus bergulir dengan menampilkan beragam bentuk seni yang dipadupadankan antara seni tradisi dan kontemporer di dalam satu tema, angin. Gerak tari kontemporer, pose para aktor dari Teater Lakon di bibir jembatan Wot Angin, silih berganti dengan kemunculan Mohamad Sunjaya dan Ayi Kurnia dengan puisinya. Begitu seterusnya seperti siklus waktu yang memang didesain oleh Wawan Sofwan, yatu dimulai dengan angin pagi, angin Muso, Bah Orok, dan diakhiri dengan angin malam.

Selain Mohamad Sunjaya yang membaca puisi dengan gaya keaktorannya, Ayi Kurnia, Tohari Yosdolac, Aep Sigar Rusadi juga tampil di atas Wot Angin membacakan penggalan puisi karya WS Rendra yang berjudul “Desebabkan Oleh Angin” serta puisi “Wot Angin” karya Muhamad Sunjaya. Bunyi puisi Mohamad Sunjaya yang dibacakan di atas Wot Angin antara lain, “kepada langit aku menuntut: kembalikan nurani kepadaku, hembuskan angin ramahmu kepadaku ke sela-sela rumpun bambu, supaya simfoni-hati kembali melagu…..”

Puisi-puisi itu memiliki kesamaan tema yaitu berbicara tentang angin. Udara adalah elemen alam yang selalu dihirup oleh manusia untuk bernafas. Perlu kiranya manusia mulai mempertimbangkan angin dalam kehidupan kita sehari-hari. “Lebih baik kita lebih sering berdialog dengan angin, menafsir angin, karena bila tidak kita akan dikutuk oleh angin,” tukas Wawan Sofwan usai pertunjukan.

Saya wawancara sutradara pertunjukan kata-Kata Wot Angin, yaitu Wawan Sofwan. Dalam wawancara di tangga bambu itu Wawan Sofwan mengatakan bahwa pertunjukan itu lebih banyak bicara tentang lingkungan sekitar kita. Udara/angin menjadi titik sentral gagasan tematik untuk menggarap pertunjukan.

Konteks itu kemudian terhubung dengan karya instalasi Wot Angin karya Djuandi dan Sunaryo yang dibuat tiga bulan yang lalu. “Awalnya kami lebih pada merespon instalasi Wot Angin, kemudian bicara soal angin. Naskah pertunjukan satu tema dengan yang ditulis Sandra Long, penulis naskah pertunjukan di MainTheatre di kota itu, yang berjudul The Wind B Minor,” paparnya.

Akan tetapi pertunjukan Wot Angin ini bukan terusan gagasan artistik dari workshop seniman pertunjukan bulan Oktober yang lalu. Pertunjukan ini pada awalnya merupakan gagasan trimatra karya Pak Djuandi dan Sunaryo berupa instalasi Wot Angin. Proses kreatif pertunjukan dan latihan selama tiga bulan cukup menantang Wawan Sofwan. Pasalnya pertunjukan teater yang diarah oleh Wawan Sofwan tidak beranjak dari naskah drama seperti biasanya, tapi dari instalasi bambu dengan tema angin. Tantangannya lebih pada mencari susunan gerak, juga bagaimana konteks jembatan (pawotan - wot) ini dapat dihubungkan. Bagaimana aktor yang ada di atas instalasi jembatan itu dapat bergerak secara estetik dari dekat ke jauh dari penonton.

Dalam proses kreatifnya Wawan Sofwan menggunakan konsep pertunjukan mengalir atau terus bergerak, seperti halnya angin. Instalasi Wot Angin yang digunakan sebagai stage selama pertunjukan berlangsung tidak diperlakukan sebagai stage saja, tetapi tetap memperlakukannya sebagai karya instalasi. Para penonton melihat instalasi, seni trimatra, sekaligus stage pertunjukan ketika para aktor dan penari mengolah ruang gerak dan menghidupkan ruang trimatra tersebut.

Puisi dalam pertunjukan tersebut digunakan sebagai plot atau frame pertunjukan, dan puisi Muhamad Sunjaya, “Wot Angin” dan puisi WS Rendra, “Disebabkan Oleh Angin“, dianggap memiliki konteks yang sama dengan tema pertunjukan akhirnya dipilih. “Bagaimana kita berangkat dari teks puisi yang dikaitkan dengan gerak. Itulah yang menjadi tantangan seniman yang terlibat dalam pertunjukan ini,” papar Wawan lagi.

Angin selalu bergerak dari wilayah padat ke wilayah kosong. Pertunjukan Kata-Kata Wot Angin ini juga mencoba menyajikan bentuk pertunjukan seperti angin. Actor yang muncul dari arah utara jembatan bergerak ke selatan melalui Wot Angin ke arah penonton, lalu membaur dengan penonton – sebagai simbol angin yang bergerak ke wilayah padat. Kemasan usable dengan musik tradisi khas Sunda dan tembang dari “pupuh”, akting juga tarian kontemporer dari komunitas Ayo Sekolah dalam pertunjukan Kata-kata Wot Angin mengesankan pertunjukan menjadi ringan - tapi tidak melesapkan esensi pertunjukan, dengan pertimbangan bahwa sutradara sangat mempertimbangkan kualitas dan kuantitas publik yang beragam.

Wawan juga mengatakan bahwa pertunjukan Kata-kata Wot Angin, “Ini bicara angin Kalimantan dan angin di belahan bumi yang lain. Bagaimana kita tumbuhkan kesadaran tentang angin, dan pada lingkungan di sekitar kita. Yang dihirup manusia adalah udara, bukan agama, bukan negara atau yang lain,” ujar Wawan Sofwan, hari Minggu (6/1) malam kemarin di tangga bambu Wot Angin. Ketidakseimbangan siklus angin akhir-akhir ini di berbagai belahan bumi berdampak pada bencana-bencana yang terjadi di tanah air dan di negara lain. Tentunya keindahan teks puisi tersebut menjadi daya tarik pertunjukan tersebut karena dihidupkan oleh aktor dan musisi Bandung.

Musik khas Sunda yang dibawakan oleh Ari Ariyandi, Dany Harida, Dian R., Asep Permana dengan citarasa Parahyangan dalam pertunjukan tersebut didesain oleh Ayi Itah Purnama agar harmonis dengan instalasi Wot Angin yang menjadi area pertunjukan. Demikian halnya dengan desain kostum para penari yang dirancang oleh Fitri Kenari, menambah unik dan khas pertunjukannya dalam setiap gerak koreografi tari kontemporer dari Gelora Riska, Euis Diah P., Lita Febriani, Diashri, Giran Ikhlas, Asep Hendrajat (Ayo Sekolah) sebagai penarinya.

Suasana asri dan kehadiran bambu sebagai simbol estetis lebih dirasakan lagi ketika Komunitas Hong menampilkan tiga aki-aki (laki-laki tua), yaitu Udan, Sumita, yang berjalan dari utara instalasi Wot Angin ke arah penonton sambil menembang “beluk” (sejenis gumam dalam tradisi budaya Sunda) dan menaburkan biji beras.

Sementara Djuandi, seniman patung, pembuat instalasi Wot Angin bersama Sunaryo, mengatakan bahwa, “Pertunjukan itu (Kata-Kata Wot Angin) merupakan kepuasan seniman trimatra, karena karyanya dapat dinikmati dan diapresiasi melalui pengalaman langsung publik dengan berada di dalam ruang trimatra yang dibuatnya,” tuturnya dengan semangat. Sedangkan latar belakang pembuatan instalasi Wot Angin, menurut Djuandi, “Berawal dari persoalan trimatra bagi pematung, yaitu bagaimana sebuah mediasi dibuat antara dua modulasi tanah yang berbeda di area itu, lalu dibuatlah jembatan (wot) sebagai mediasinya sehingga dua modulasi itu bias menjadi satu kesatuan artistik ruang trimatra.”

Sebelum pertunjukan direncanakan untuk digelar Djuandi bersama Sunaryo, Wawan Sofwan dan kawan-kawan seniman lainnnya bersepakat bahwa angin penting untuk direnungkan. Dan Wawan Sofwan bereaksi untuk berimpresi dalam karya tersebut. Hala yang palin penting bagi Djuandi adalah instalasi dalam ruang, bagaimana orang masuk ke dalamnya.

Jadi, nilai simboliknya memang jembatan tersebut. Dan Sunaryo menambahkan aksentuasi angin pada gagasan instalasi tersebut, maka lahirlah Wot Angin. “Bagi kami seniman trimatra, merasa senang dan puas ketika karya jadi sebagai karya urban dan dapat dinikmati dan dialami secara langsung oleh publik, sehingga tidak menjadi benda pajang saja. Sensasi trimatra dialami dari karya itu. Kami juga senang sekali orang lain melihat, merasakan ketinggian di dalam ruang instalasi itu. Dan punya manfaat buat orang lain,” tambah Djuandi.

Pertunjukan Kata-Kata Wot Angin ditutup dengan ujaran puisi dari Mohamad Sunjaya, “…mungkin…angin dan bambu bisa menjadi jemari-tangan; untuk bersalaman; ketika melebar jurang meluas retak nilai-nilai kemanusiaan; mungkin…angin dan bambu bisa menjadi jembatan untuk mempertemukan kembali nurani…..sudi kiranya engkau tidak gampang sewot…aaammiiinn.” (Argus Firmansah/Kontributor Bandung/KOKTAIL)

Tari Kolosal Kreativitas Anak

Anak Senang Orang Tua Juga Bangga
Ratusan anak-anak sekolah dasar dan pra-sekolah berkumpul bersama teman-temannya dengan mengenakan kostum seni tari tradisi khas Nusantara. Mereka Nampak riang gembira mengenakan kostum atau busana tari yang dikenakannya. Karena mereka akan tampil di atas panggung dengan ditonton oleh ratuan teman dan orang tua murid dari daerah se-Jawa Barat.
Mereka adalah siswa-siswi Sekolah Dasar Puri Artha, Kabupaten Karawang, dan siswa-siswi Sekolah Dasar Islam Terpadu Atikah Musaddad Al-Wasilah, Kab Garut, yang secara bergiliran akan mementaskan tarian khas Nusantara dalam kemasan tari anak secara kolosal di Gedung Kesenian Taman Budaya Jawa Barat, Bandung, Sabtu sore kemarin (5/1).
Pertunjukan tari kolosal itu merupakan ajang festival yang digelar Rigas Dance Theatre, Bandung, setingkat Jawa Barat. Tarian yang disajikan oleh siswa-siswi cilik itu meliputi seni tari etnik dari Indonesia yang meliputi: Tari Islami, tari Bunga, Tari Kelinci, Tari Kodok, Tari Ayam, Tari Kaulinan, Tarian khas dari Aceh, Tarian khas dari Kalimantan, Tari Tor-Tor, Tari Kecak (Bali), Tarian khas dari Ambon, Tarian khas dari Jawa Timur, Tarian khas dari Papua, dan Tarian tradisi khas Jawa Barat. Tentunya, tarian khas dari daerah-daerah di seluruh pelosok Nusantara itu dikemas dalam penataan koreografi yang sederhana, dan dengan pola lantai yang mudah diingat oleh penari-penari ciliknya, dengan pengarah gerak Rosikin WK.
Penampilan tari 400 anak dari dua sekolah dasar itu dinilai Rosikin WK sendiri sebagai pembimbing ektrakulikuler di sekolah tersebut, serta oleh dua orang alumni STSI Bandung, yaitu Neng Subartin dan Agiel Gusti Febrian. Setiap kelompok penampil tarian dikompetisikan untuk dinilai dari sisi penampilan dan kreativitas anak-anak di atas panggung. Festival itu sebenarnya lebih merupakan sajian inagurasi dari kegiatan ekstrakulikuler kesenian di sekolah mereka masing-masing. Tak ada panduan apakah mereka menari dengan aturan yang sesungguhnya. Yang penting mereka mampu tampil di atas panggung dengan rasa percaya diri mereka dan kemampuan bekerjasama dengan teman-temannya.
Rosikin WK, pengarah program Festival Tari Kolosal, mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan salah satu bentuk pengabdian seniman kepada masyarakat, khususnya kepada anak-anak dalam mengenal khazanah seni tradisi Nusantara. Melalui Yayasan Rigas, di mana di dalamnya ada program studio tari dan studi teater, senantiasa mengajak semua lapisan masyarakat untuk sama-sama melestarikan khazanah seni tradisi Indonesia. “Kami melakukan pengolahan, pengembangan, dan mereproduksi khazanah seni etnik yang ada di Nusantara,” ujarnya di hadapan anak-anak didiknya serta para orang tua siswa-siswi yang terlibat dalam kegiatan festival tersebut.
Setting panggung yang dibuat paten untuk semua tarian, dengan latar setting pintu istana keratin Jawa. Penataan lampu didesain terang dan warna-warni, demikian halnya dengan warna kostum anak-anak yang manari di atas panggung pun dipilih warna-warna yang cerah untuk memotivasi anak-anak agar gembira. Setiap kelompok tarian tertentu diikuti oleh sedikitnya 37 anak, seperti misalnya kelompok Tari Islami dari siswa-siswi Sekolah Dasar Islam Terpadu Atikah Musaddad Al-Wasilah, Kab Garut. Mereka tampil dengan pola lantai grouping (berkelompok), pola horisontal, vertikal, dan melingkar, dan huruf U. dan gerakan tarian yang diiring lagu shalawat Nabi Muhammad itu menggunakan perpaduan gerakan Tari Saman dari Aceh. Serta dilengkapi dengan busana Islami sewajarnya.
Yang menarik justru Tari Kaulinan dengan iringan lagu “Cis Kacang Buncis”. Yaitu tarian rakyat khusus anak-anak yang menampilkan pola permainan khas anak-anak di desa-desa yang ada di tanah Parahyangan. Anak laki-laki mengenakan busana petani dengan sarung yang diselendangkan, kepala mengenakan “Iket” (kain bermotif yang dililitkan pada kepala), serta membawa kentongan dari bambu yang diwarnai. Dalam tariannya kelompok anak laki-laki itu juga membunyikan kentongan tersebut pada gerakan-gerakan tertentu. Anak perempuan juga tidak kalah menariknya. Busana khas masyarakat petani di Parahyangan memunculkan pesona kecantikan mereka yang masih polos dan ceria. Mereka mengenakan kain kebaya dengan kain disarungkan pada bawahannya, dan mengenakan tudung yang dihiasi motif bunga.
Dalam tampilan keseluruhan busana mereka memang cenderung islami. Namun tidak seluruhnya, karena pada busana Tari Legong (Bali) diwujudkan sebagaimana busana seorang penari Legong dari Bali. Selain busana yang menarik dan cantik, gerakan tari mereka di atas panggung juga mengundang rasa greget dan lucu. Bayangkan saja bila anak Anda menari dengan kemampuan tubuh mereka seumurnya lalu ditampilkan di atas panggung seadanya, maka rasa kagum dan bangga pun Anda rasakan seperti halnya para orang tua siswa yang hadir menonton anak kesayangan mereka pentas di atas panggung.
Mereka bukan penari sungguhan atau calon penari sekalipun. Tapi kehadiran mereka di atas panggung dengan rasa percaya diri serta motivasi yang kuat dari mereka saja sudah membuat takjub orang tua mereka, bahkan penonton umum.
Demikian halnya dengan orang siswi dimana anak terlibat dalam pementasan tari kolosal tersebut. Mereka mengatakan gembira dan senang karena anaknya bias tampil di atas panggung seperti apa adanya mereka dan percaya diri ketika ditonton oleh orang banyak dan temannya sendiri. Anak-anak pun bersemangat mengikuti kegiatan tersebut, dan memiliki motivasi yang kuat. Seperti Topan Taufik Hidayat, siswa Sekolah Dasar Puri Artha, Kabupaten Karawang, mengatakan dengan semangatnya, “Saya sedang emnunggu giliran tampil. Saya akan menarikan tari Jawa Timur,” tukasnya.
Bapak Bambang AR, 47 tahun, orang tua Aulia Rahmawati, siswi kelas 5 di Sekolah Dasar Puri Artha, Kabupaten Karawang, bahwa sebagai seorang ayah mendukung kegiatan pendidikan seni tradisi itu sejauh kegiatannya memang positif untuk putrinya. “Kegiatan ini memang baik untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak dan menumbuhkan motivasi ke hal yang positif,” ujar Bapak Bambang sambil mempersiapkan kamera saku untuk emngabadikan penampilan putrinya di atas panggung. Ketika diminta keterangan oleh Jurnal Nasional, Bapak Bambang mengatakan bahwa kegiatan ekstrakulikuler di bidang pendidikan seni tari tradisi itu adalah keinginan sang anak. “Saya sebagai orang tua mendukung keinginan anak saya asalkan kegiatannya positif. Kan saya tidak bias melarang keinginan anak,” lanjut Bapak Bambang di selasar GK. Taman Budaya Jawa Barat, sore kemarin (5/4). Walhasil, festival tari kolosal yang dibawakan oleh anak-anak cilik itu memukau para penonton dan tamu undangan, terutama orang tua siswa-siswi yang datang dari berbagai daerah di Jawa Barat. (Argus Firmansah/Kontributor Bandung/Baca Tabloid KOKTAIL Edisi 017; tgl. 17-23 Januari 2008)

Friday, January 4, 2008

Krisis Minyak Tanah di Bandung dan Sekitarnya

Kelangkaan Minyak Tanah Akibat Liburan Panjang dan Belum Tuntasnya Program Konversi Minayk Tanah ke Gas

Bandung News memantau distribusi minyak tanah untuk konsumsi masyarakat kota Bandung ketika isu kelangkaan minyak tanah mulai merebak. Sebulan terakhir saja, usai libur panjang masyarakat Bandung dan sekitarnya dikejurkan dengan kelangkaan minyak tanah untuk konsumsi rumah tangga dan industri rumahan. Harga minyak tanah melambung, bahkan susah diperoleh oleh masyarakat. Di beberapa kecamatan di kota/kabupaten Bandung masyarakat harus antri sejak pagi dini hari untuk mendapatkan jatah minyak tanah di bawah 10 liter per hari.

Untuk mengantisipasi rebutan minyak tanah sebagian besar pangkalan membuat sistem pendaftaran, artinya masyarakat harus mendaftarkan diri untuk memperoleh minyak tanah bila agen mengirim pasokannya ke pangkalan minyak tanah. Walhasil banyak masyarakat yang membutuhkan minyak tanah kecewa setelah antri selam berjam-jam tidak kebagian juga.

Kondisi ini kemudian memunculkan keresahan masyarakat, terutama industri kecil yang menggunakan bahan bakar minyak tanah dalam jumlah besar. Sinyalir kepala keluarga membeli minyak tanah dalam jumlah besar untuk menyimpannya di rumah masing-masing. Ini dilakukan untuk mengantisipasi kelangkaan minyak tanah semakin parah. Harga jual yang diperoleh masyarakat Bandung pun bervariasi, mulai dari Rp. 2.500 – 4.000 per liter di pengecer minyak tanah, itu pun tidak lebih dari 10 liter untuk setiap rumah. Harga minyak tanah memang sempat melonjak menjadi Rp. 5.000 – 10.000 per liter untuk setiap warga yang ikut antri di pangkalan untuk mendapatkan 4 liter saja, namun harga turun kembali setelah pasokan minyak tanah ke pangkalan usai liburan panjang kemarin mulai teratur. Padahal Pertamina menetapkan harga minyak tanah Rp. 2.250/liter.

Daerah kabupaten Bandung yang belum menjalankan program konversi minyak tanah ke gas pun kena getahnya. Keresahan masyarakat menjamur di mana-mana. Karena panik, banyak masyarakat pengguna minyak tanah juga beramai-ramai membeli minyak tanah melebihi jumlah konsumsi hariannya.

Pangkalan minyak tanah yang berada di kabupaten Bandung pun diserbu para pedagang eceran dari kota Bandung untuk memenuhi kebutuhan masyarakat/konsumen. Pasalnya, jumlah kiriman minyak tanah dari agen untuk didistribusikan di pangkalan-pangkalan minyak tanah yang tersebar di semua Kecamatan berkurang, sementara pangkalan minyak tanah di daerah Kabupaten Bandung tetap jumlahnya.

Sebuah pangkalan minyak tanah milik Pak Haji Nurkim yang ada di daerah Kabupaten Bandung disuplai sebanyak 20.000 liter setiap minggunya. Seperti yang dikatakan Asep (27 tahun), pemilik pangkalan minyak tanah di jalan Kolonel Masturi, Lembang, Kabupaten Bandung.

Kekurangan pasokan minyak tanah di kabupaten Bandung justru disebabkan oleh libur panjang, yaitu hari raya Iedul Adha, Natal dan Tahun Baru 2008. Para agen tidak menyuplai minyak tanah ke pangkalan karena karyawannya liburan.

Kelangkaan minyak tanah di kota Bandung memang kena imbas program konversi minyak tanah ke gas, sehingga distribusi minyak tanah untuk daerah kota Bandung dikurangi karena diasumsikan beberapa daerah sudah menjalankan program konversi minyak ke gas.

Namun demikian, masalah pun muncul di beberapa kecamatan yang baru menjalankan program konversi minyak tanah ke gas baru sampai pendataan konsumen minyak tanah untuk rumah tangga. Tentu saja hal ini berimplikasi pada kekuarangan suplai minyak tanah di kota Bandung.

Pak Iran, 47 tahun, seorang pengecer minyak tanah di Kecamatan Cidadap, kotamadya Bandung, mengaku jumlah minyak tanah yang dapat dibelinya berkurang drastis. Sebelum ada program konversi minyak tanah ke gas Pak Iran biasa mendapatkan jatah 300-400 liter setiap minggu. Kini pak Iran hanya mendapatkan 40% dari jumlah normal. “Saya kan pedagang eceran yang terdaftar di pangkalan ini, dan gapat harga beli 2500 per liter. Jumlah minggu ini belum tahu karena ada pengurangan jumlah minyak tanah. Ya…bagi-bagi dengan pengecer yang lain saja,” ujar Iran data ditemui dalam antrian panjang di pangkalan minyak tanah PT Pemuda Fajar Perkasa milik H.C. Basir S., Kelurahan Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap, Bandung, tadi pagi (4/1).

Jumlah minyak tanah untuk dijual langsung di warung-warung pengecer memang dikurangi yang semula mendapat jatah 40 liter menjadi 20 liter atau 15 liter saja dua kali seminggu. Pengurangan ini tentu saja berdampak pada antrian panjang di setiap pangkalan setiap harinya. “Saya beli minyak dari pangkalan sebesar 2.500 per liter dan dijual kepada warga seharga 3.500 per liter,” lanjut Pak Iran.

Alih-alih, dalam seminggu terakhir antrian panjang hanya pada saat kiriman minyak tanah datang dari agen-agen minyak tanah, dan itu pun langsung habis diserbu pengecer dan masyarakat langsung dengan harga jual di pangkalan berkisar Rp. 2.300-2500 per liternya. Sementara pangkalan minyak tanah yang menjual minyak tanahnya dengan harga melebihi dari 3000 per liter sudah mendapat tindakan dari aparat kepolisian setempat. Mereka yang melanggar dengan harga jual tinggi didenda 100 juta rupiah dan pangkalannya ditutup atau tidak boleh beroperasi lagi. “Saya tidak mau menjual harga minyak melebihi aturan. Saya mau aman-aman saja meskipun untungnya sedikit,” ujar Asep di pangkalan induk milik ayahnya yang berada di Jalan Kolonel Masturi, Desa Cihideung-Lembang, Kabupaten Bandung.

Pemandangan berupa antrian jeriken yang panjang menjadi hal biasa di setiap pangkalan minyak tanah di setiap kecamatan kota/kabupaten Bandung. Jeriken-jeriken itu adalah milik masyarakat atau pengecer yang sudah terdaftar untuk mendapatkan minyak tanah dalam jumlah terbatas. Jeriken itu menumpuk karena tidak selalu mendapat giliran diisi minyak tanah pada jadwal kiriman minyak tanah dari agen di pangkalan. (Argus Firmansah/Kontributor Bandung)