Thursday, January 10, 2008

Pertunjukan “Wot Angin” Bicara Harmoni Lingkungan

Instalasi “Pawotan” Secara Simbolik Memediasi Dua Modulasi Tanah Yang Berbeda

Suhu udara pada 18 derajat Celcius membawa kesejukan di arena eks-Fabrik Gallery di jalan Bukit Pakar Timur, Bandung. Pemadangan yang indah kota Bandung di malam hari juga menjadi wisata yang menarik selain menonton pertunjukan “Kata-Kata Wot Angin”. Obor setinggi dada menerangi jalan menuju pintu masuk ke instalasi bambu yang diberi judul “Wot Angin” karya Djuandi dan Sunaryo yang berdiri megah seperti jembatan (pawotan) raksasa dari bambu. Dimensi instalasi bambu Wot Angin itu setinggi 12 meter, dengan panjang 25,5 meter dan lebar 11,5 meter. Udara dingin di sana tidak menyurutkan apresiator trimatra dan pertunjukan untuk datang menyaksikan aksi seniman dari berbagai disiplin seni.

Seniman teater, musisi tradisi Sunda, koreografer tari, dan pematung yang membuat instalasi jembatan raksasa dari bambu, mempertunjukan sebuah teater monumental yang disutradarai oleh Wawan Sofwan dengan judul Kata-kata Wot Angin. Pertunjukan dengan tema lingkungan dan angin itu digelar pada instalasi bambu dengan kemasan yang atraktif dan sederhana. Teks-teks yang hadir berupa puisi karya WS Rendra dan Muhamad Sunjaya di sana dibuat untuk merespon instalasi bambu Wot Angin, karenanya keindahan teks puisi menjadi ilustrasi karya trimatra dari bahan dasar bambu tersebut.

Pertunjukan dibuka dengan kemunculan Mohamad Sunjaya dengan membacakan penggalan puisi karya WS Rendra yang berjudul Desebabkan Oleh Angin, “Bukalah semua jendela. Ya! Dan jendela dapur juga; Biarlah angin malam masuk ke dalam,” tukas Mohamad Sunjaya dengan kostum pendeta di atas jembatan Wot Angin. Pertunjukan terus bergulir dengan menampilkan beragam bentuk seni yang dipadupadankan antara seni tradisi dan kontemporer di dalam satu tema, angin. Gerak tari kontemporer, pose para aktor dari Teater Lakon di bibir jembatan Wot Angin, silih berganti dengan kemunculan Mohamad Sunjaya dan Ayi Kurnia dengan puisinya. Begitu seterusnya seperti siklus waktu yang memang didesain oleh Wawan Sofwan, yatu dimulai dengan angin pagi, angin Muso, Bah Orok, dan diakhiri dengan angin malam.

Selain Mohamad Sunjaya yang membaca puisi dengan gaya keaktorannya, Ayi Kurnia, Tohari Yosdolac, Aep Sigar Rusadi juga tampil di atas Wot Angin membacakan penggalan puisi karya WS Rendra yang berjudul “Desebabkan Oleh Angin” serta puisi “Wot Angin” karya Muhamad Sunjaya. Bunyi puisi Mohamad Sunjaya yang dibacakan di atas Wot Angin antara lain, “kepada langit aku menuntut: kembalikan nurani kepadaku, hembuskan angin ramahmu kepadaku ke sela-sela rumpun bambu, supaya simfoni-hati kembali melagu…..”

Puisi-puisi itu memiliki kesamaan tema yaitu berbicara tentang angin. Udara adalah elemen alam yang selalu dihirup oleh manusia untuk bernafas. Perlu kiranya manusia mulai mempertimbangkan angin dalam kehidupan kita sehari-hari. “Lebih baik kita lebih sering berdialog dengan angin, menafsir angin, karena bila tidak kita akan dikutuk oleh angin,” tukas Wawan Sofwan usai pertunjukan.

Saya wawancara sutradara pertunjukan kata-Kata Wot Angin, yaitu Wawan Sofwan. Dalam wawancara di tangga bambu itu Wawan Sofwan mengatakan bahwa pertunjukan itu lebih banyak bicara tentang lingkungan sekitar kita. Udara/angin menjadi titik sentral gagasan tematik untuk menggarap pertunjukan.

Konteks itu kemudian terhubung dengan karya instalasi Wot Angin karya Djuandi dan Sunaryo yang dibuat tiga bulan yang lalu. “Awalnya kami lebih pada merespon instalasi Wot Angin, kemudian bicara soal angin. Naskah pertunjukan satu tema dengan yang ditulis Sandra Long, penulis naskah pertunjukan di MainTheatre di kota itu, yang berjudul The Wind B Minor,” paparnya.

Akan tetapi pertunjukan Wot Angin ini bukan terusan gagasan artistik dari workshop seniman pertunjukan bulan Oktober yang lalu. Pertunjukan ini pada awalnya merupakan gagasan trimatra karya Pak Djuandi dan Sunaryo berupa instalasi Wot Angin. Proses kreatif pertunjukan dan latihan selama tiga bulan cukup menantang Wawan Sofwan. Pasalnya pertunjukan teater yang diarah oleh Wawan Sofwan tidak beranjak dari naskah drama seperti biasanya, tapi dari instalasi bambu dengan tema angin. Tantangannya lebih pada mencari susunan gerak, juga bagaimana konteks jembatan (pawotan - wot) ini dapat dihubungkan. Bagaimana aktor yang ada di atas instalasi jembatan itu dapat bergerak secara estetik dari dekat ke jauh dari penonton.

Dalam proses kreatifnya Wawan Sofwan menggunakan konsep pertunjukan mengalir atau terus bergerak, seperti halnya angin. Instalasi Wot Angin yang digunakan sebagai stage selama pertunjukan berlangsung tidak diperlakukan sebagai stage saja, tetapi tetap memperlakukannya sebagai karya instalasi. Para penonton melihat instalasi, seni trimatra, sekaligus stage pertunjukan ketika para aktor dan penari mengolah ruang gerak dan menghidupkan ruang trimatra tersebut.

Puisi dalam pertunjukan tersebut digunakan sebagai plot atau frame pertunjukan, dan puisi Muhamad Sunjaya, “Wot Angin” dan puisi WS Rendra, “Disebabkan Oleh Angin“, dianggap memiliki konteks yang sama dengan tema pertunjukan akhirnya dipilih. “Bagaimana kita berangkat dari teks puisi yang dikaitkan dengan gerak. Itulah yang menjadi tantangan seniman yang terlibat dalam pertunjukan ini,” papar Wawan lagi.

Angin selalu bergerak dari wilayah padat ke wilayah kosong. Pertunjukan Kata-Kata Wot Angin ini juga mencoba menyajikan bentuk pertunjukan seperti angin. Actor yang muncul dari arah utara jembatan bergerak ke selatan melalui Wot Angin ke arah penonton, lalu membaur dengan penonton – sebagai simbol angin yang bergerak ke wilayah padat. Kemasan usable dengan musik tradisi khas Sunda dan tembang dari “pupuh”, akting juga tarian kontemporer dari komunitas Ayo Sekolah dalam pertunjukan Kata-kata Wot Angin mengesankan pertunjukan menjadi ringan - tapi tidak melesapkan esensi pertunjukan, dengan pertimbangan bahwa sutradara sangat mempertimbangkan kualitas dan kuantitas publik yang beragam.

Wawan juga mengatakan bahwa pertunjukan Kata-kata Wot Angin, “Ini bicara angin Kalimantan dan angin di belahan bumi yang lain. Bagaimana kita tumbuhkan kesadaran tentang angin, dan pada lingkungan di sekitar kita. Yang dihirup manusia adalah udara, bukan agama, bukan negara atau yang lain,” ujar Wawan Sofwan, hari Minggu (6/1) malam kemarin di tangga bambu Wot Angin. Ketidakseimbangan siklus angin akhir-akhir ini di berbagai belahan bumi berdampak pada bencana-bencana yang terjadi di tanah air dan di negara lain. Tentunya keindahan teks puisi tersebut menjadi daya tarik pertunjukan tersebut karena dihidupkan oleh aktor dan musisi Bandung.

Musik khas Sunda yang dibawakan oleh Ari Ariyandi, Dany Harida, Dian R., Asep Permana dengan citarasa Parahyangan dalam pertunjukan tersebut didesain oleh Ayi Itah Purnama agar harmonis dengan instalasi Wot Angin yang menjadi area pertunjukan. Demikian halnya dengan desain kostum para penari yang dirancang oleh Fitri Kenari, menambah unik dan khas pertunjukannya dalam setiap gerak koreografi tari kontemporer dari Gelora Riska, Euis Diah P., Lita Febriani, Diashri, Giran Ikhlas, Asep Hendrajat (Ayo Sekolah) sebagai penarinya.

Suasana asri dan kehadiran bambu sebagai simbol estetis lebih dirasakan lagi ketika Komunitas Hong menampilkan tiga aki-aki (laki-laki tua), yaitu Udan, Sumita, yang berjalan dari utara instalasi Wot Angin ke arah penonton sambil menembang “beluk” (sejenis gumam dalam tradisi budaya Sunda) dan menaburkan biji beras.

Sementara Djuandi, seniman patung, pembuat instalasi Wot Angin bersama Sunaryo, mengatakan bahwa, “Pertunjukan itu (Kata-Kata Wot Angin) merupakan kepuasan seniman trimatra, karena karyanya dapat dinikmati dan diapresiasi melalui pengalaman langsung publik dengan berada di dalam ruang trimatra yang dibuatnya,” tuturnya dengan semangat. Sedangkan latar belakang pembuatan instalasi Wot Angin, menurut Djuandi, “Berawal dari persoalan trimatra bagi pematung, yaitu bagaimana sebuah mediasi dibuat antara dua modulasi tanah yang berbeda di area itu, lalu dibuatlah jembatan (wot) sebagai mediasinya sehingga dua modulasi itu bias menjadi satu kesatuan artistik ruang trimatra.”

Sebelum pertunjukan direncanakan untuk digelar Djuandi bersama Sunaryo, Wawan Sofwan dan kawan-kawan seniman lainnnya bersepakat bahwa angin penting untuk direnungkan. Dan Wawan Sofwan bereaksi untuk berimpresi dalam karya tersebut. Hala yang palin penting bagi Djuandi adalah instalasi dalam ruang, bagaimana orang masuk ke dalamnya.

Jadi, nilai simboliknya memang jembatan tersebut. Dan Sunaryo menambahkan aksentuasi angin pada gagasan instalasi tersebut, maka lahirlah Wot Angin. “Bagi kami seniman trimatra, merasa senang dan puas ketika karya jadi sebagai karya urban dan dapat dinikmati dan dialami secara langsung oleh publik, sehingga tidak menjadi benda pajang saja. Sensasi trimatra dialami dari karya itu. Kami juga senang sekali orang lain melihat, merasakan ketinggian di dalam ruang instalasi itu. Dan punya manfaat buat orang lain,” tambah Djuandi.

Pertunjukan Kata-Kata Wot Angin ditutup dengan ujaran puisi dari Mohamad Sunjaya, “…mungkin…angin dan bambu bisa menjadi jemari-tangan; untuk bersalaman; ketika melebar jurang meluas retak nilai-nilai kemanusiaan; mungkin…angin dan bambu bisa menjadi jembatan untuk mempertemukan kembali nurani…..sudi kiranya engkau tidak gampang sewot…aaammiiinn.” (Argus Firmansah/Kontributor Bandung/KOKTAIL)

No comments: