Wednesday, October 31, 2007

Dunia Urban dalam Koper Tua karya Hardiman Radjab

Koper-koper tua di ruang pameran bergantungan. Ada juga yang tergeletak dipulas dengan lumpur kering. Dan juga koper-koper yang diletakan di atas kotak. Semua koper-koper itu membawa cerita masing-masing. Hardiman Radjab mengatakan bahwa setiap koper memang mengisahkan sesuatu dari suatu persoalan atau renungan tentang hidup manusia yang disimbolkan pada koper-koper tua.

Perhatian Hardiman pada perilaku tubuh urban dikemas dalam serial koper bercerita itu yang diberi judul 'Seri Kawin'. Koper pertama disetting dengan cerita atau adegan prototipe mobil volkwagen saling menindih layaknya tubuh-tubuh yang melakukan incest. Koper seri kedua adalah prototipe mobil jenis truk-bak yang sejenis. Hardiman memberi judul kecil perkawinan homoseksual. Koper seri ketiga dikemas sebuah perkawinan prototipe mobil Morris dengan sepatu sebagai simbol perkawinan silang. Koper 'Seri Kawin' itu ditempatkan oleh Hardiman diurutan pertama. "Saya mendesain penempatan semua koper-koper itu sesuatu dengan dramaturginya," kata Hardiman. Dan koper 'Seri Kawin' ini banyak diapresiasi karena menimbulkan kelucuan darinya.

Mengapa Hardiman mengambil objek koper untuk mengantarkan pesan kemanusiaan secara artistik dalam bahasa seni desainnya? Koper, menurut Hardiman memiliki keunikan tersendiri sebagai benda yang berjalan, menjelajah ruang dan waktu. Koper-koper tua yang dilihatnya di sebuah stasiun di kota Paris pada tahun 1996 memberinya inspirasi bagaimana merenungkan nilai sebuah benda, koper, yang sudah tua, sendiri, ditinggalkan pemiliknya di sebuah kota atau ruang. Inspirasi itu kemudian memberinya gagasan untuk mengolah barang-barang bekas dan barang-barang tua usia di rumahnya untuk dihadirkan dalam eksistensi kebendaan yang lain. Selain memang hobi seorang Hardiman mengumpulkan barang-barang antik atau tua tentunya. Perhatiannya pada benda atau barang antik mengantarkan Hardiman ke ruang publik seni rupa untuk berdialog dalm dunia seni rupa.

Oleh sebab itulah Hardiman Radjab berpameran dengan judul "Berkoper-koper Cerita" pada Senin malam (22/10) di Geleri Soemardja, Bandung. Hendro Wiyanto, kurator pameran, dalam kurasinya yang berjudul "Koper, Panggung, Perjalanan" menyebutkan bahwa, kemunculan wacana ‘obyek’ dalam seni rupa kontemporer antara lain dipicu oleh konflik dalam perkembangan seni lukis moderen-formalis. Konflik itu memasalahkan kehadiran ‘bentuk’ (shape). Apakah ‘bentuk’ dalam perkembangan seni lukis moderen telah bergeser menjadi ‘obyek’ atau tetap sebagai medium seni lukis? (Ingatlah misalnya lukisan-lukisan bersegi banyak karya Frank Stella).

Hardiman Radjab dengan latar belakang seni kriya kayu di Institut Kesenian Jakarta, lebih eksis sebagai penata artistik panggung pertunjukan teater/drama di beberapa kota. Kedekatan Hardiman pada dunia artistik panggung teater diakuinya sebagai salah satu metode menata sebuah pameran untuk menampilkan karya-karyanya di ruang publik. Oleh sebab itulah, koper-koper Hardiman yang dipamerkan kali ini memang syarat dengan pengolahan dramaturgi, atau ilmu tentang seni drama. hal itu ditunjukan dengan plot penataan objek pameran dengan kopernya yang sangat memperhatikan struktur cerita, meski tidak melepaskan kaidah menampilkan karya rupa di ruang pameran.

Hendro Winarto menegaskan campur-tangan unsur teater pada pamerannya dengan mengatakan, "Pada obyek-obyek koper ini malahan seperti terang-terangan Hardiman memasukkan anasir ‘teater’ atau mengoper panggung teater ke dalam koper. Beberapa karyanya dalam pameran ini memetik inspirasinya dari panggung pertunjukan teater. Memang, kita tak lagi hidup di jaman seni rupa formalis, dan konflik antara (wacana) seni rupa dan (kondisi) teatrikal yang dianggap sebagai musuh seni rupa ‘murni’ itu juga tak pernah ada di lingkungan seni rupa kita.

"Saya memang belajar banyak dari teater. Tapi proses kreatif koper ini saya mengambil dari berbagai tulisan, berita di surat kabar, dan lain-lain," jelas Hardiman. Dengan latar itu, Hardiman Radjab yang memanfaatkan bentuk dan ruang yang “menjadi’ dalam koper, bahkan menghidupkannya (perhatikan, dalam pameran ini kopernya ada yang bisa ‘bernafas’), memberinya isi dan tafsiran macam-macam menjadi menarik karena kesuntukannya menggarap single-minded medium koper", Hendro Winarto.

Koper-koper tua sebanyak 25 buah yang menjadi objek karya yang dipamerkan dibuat hidup layaknya tubuh manusia urban yang seringkali menemukan ruang kesendirian, krisis eksistensi di usia senja. Hardiman menyoroti tubuh-tubuh urban yang tak hentinya melakukan perjalanan, perpindahan ruang dan waktu, budaya serta keterasingan tubuh itu sendiri.

Tubuh dalam keterasingan divisualkan oleh Hardiman melaluis sebuah etalase koper tua yang sudah menjelajahi dunia melalui terminal atau stasiun dengan sebuah video art karya Aciel Ilyas. Pengunjung pameran dapat menyaksikan bagaimana sebuah koper tua ditinggalkan di ruang-ruang publik hingga terjebak dalam keterasingan di usia senjanya. Koper itu direkayasa seolah tubuh manusia yang memiliki organ wajah dan mata. Mata koper itu terus meneteskan air mata sehingga nampak hidup yang bukan lagi sebagai koper, tapi menjadi sesuatu tubuh yang hidup dan memiliki rasa. Hardiman sengaja memamerkan objek koper seperti itu karena keprihatinannya terhadap benda (koper tua) antik yang ditinggalkan padahal ia sudah berjasa mendampingi kebutuhan tubuh manusia dalam perjalanan-perjalanan.

Hardiman "menjadikan" koper sebagai medium untuk memaknai sebuah benda dalam ruang publik dengan sudut pandang yang unik dan jeli, bahkan luar biasa karena tidak semua orang berkenan meluangkan waktu untuk memberi makna terhadap sebuah benda atau tubuh. Tak heran bila hardiman mengusung judul "Berkoper-koper Cerita" karena memang di dalam koper yang terbatas volume ruangnya dapat diisi dengan sebuah makna lain yang tidak sekedar tempat menimpan barang atau benda dalam sebuah perjalanan. tidak hanya itu, Hardiman juga mengungkapkan kehidupan tubuh-tubuh urban di perkotaan dengan kehidupan malamnya. Diskotek atau klab malam yang menjajakan wanita-wanita cantik juga disajikan oleh Hardiman dengan sangat detil dan rinci dalam skala ukurannya pada kopernya yang berjudul 'Red Light'. Lagi-lagi, kemampuan Hardiman dalam membuat panggung pertunjukan ditunjukan dengan membuat koper-koper tua yang isinya sebuah fenomena sosial tubuh-tubuh urban yang sering kita temui di sekitar kita.

Profesi Hardiman sebagai penata artistik panggung teater/drama terlihat sangat kuat pada kopernya yang berjudul 'Coffee Break'. Di dalam koper itu Hardiman membuat setting panggung sebuah bar di mana seorang napi yang kakinya dirantai pada sebuah bola besi besar dan sherrif sedang duduk bersama membincangkan sesuatu. Juga pada koper yang diberi judul 'Rest In Peace' di mana pemakaman seseorang dirancang dengan fasilitas lengkap layaknya seseorang yang masih hidup, lengkap dengan lemari berisi emas dan ruang sanati yang ada televisinya.

Koper-koper tua itu oleh Hardiman menjadi ruang diskursif tentang makna dan keberadaan entitas tubuh ataupun persoalan lingkungan. dalam koper yang diberi judul 'So Much Trouble', Hardiman membuat prototipe bencana alam lumpur lapindo yang menenggelamkan sebauh desa dan Hardiman membuat tiang dengan bendera setengah tiang di sana. Koper itu barangkali mewakili kepekaan sosial Hardiman terhadap persoalan lingkungan di Indonesia yang hingga kini tidak kunjung tuntas.

Pameran ini banyak mendapat sambutan baik dari para pengunjung. Rata-rata mereka terkesan dengan rancangan koper-koper tua yang diisi dengan cerita-cerita menarik seputar kehidupan manusia urban di perkotaan. Sehingga para pengunjung tidak perlu mengerutkan dahi untuk menafsir sebuah makna atau pesan dari koper-koper tua dengan masing-mnasing cerita di dalmnya. Dalam komentar para pengunjung pameran saya menemukan sebuah tulisan dari seorang teman Hardiman. "Aku bangga dengan kamu. 27 tahun yang lalu kamu teman SMAku yang 'tidak terlalu hebat' alias biasa saja tapi...sekarang kamu 'hebat, luar biasa....'," tulis Sofi dari Malang.

Hobi mengumpulkan barang antik tidak disia-siakan oleh Hardiman Radjab. Ia dapat memberi makna lain dari sebuah barang antik bernama koper sehingga menjadi benda lain yang unik. Hendro Wiyanto menambahkan, wacana obyek di lingkungan seni rupa kontemporer kita datang begitu saja dalam satu dekade terakhir ini. Misalnya sebagai perluasan gagasan trimatra dari para pelukis atau permainan yang mengasyikkan perihal skala oleh para pematung. Para perupa dari lingkungan kriya-seni menyambutnya dengan bermacam-macam pendekatan: olahan bentuk baru yang menyimpang dari tradisi dan fungsi wadah, pencampuran bahan, mengkopi atau mengapropriasi bentuk yang ada.

Dunia urban di dalam koper-koper itu menjadi bahan apresiasi yang menarik bagi pengunjung pameran. Kehidupan manusia atau tubuh-tubuh itu dapat dimampatkan dalam sebuah koper yang sudah menjadi medium untuk berkomunikasi, baik itu antarobjek maupun dengan apresian. Terutama bagi perupa yang memilih olahan garap di luar mainstream seni rupa modern di Indonesia saat kini, seperti lukisan atau patung misalnya. Melalui pameran Hardiman dengan koper-koper tuanya inilah para seniman kriya dapat lebih leluasa mengekplorasi bentuk seni untuk mengekspresikan gagasan seninya dengan cerapan sosial yang dipilihnya.

Meskipun dapat dikatakan unik dan segmented, pameran semacam ini banyak dilirik oleh penikmat seni di Indonesia karena mereka dapat melihat susudt pandang lain terhadap karya seni dalam membaca jaman atau fenomena sosial budaya di Indonesia. Toh, pameran Hardiman dapat diterima publik karena bahasa seni khas yang dimilikinya yaitu seni kriya. (Argus Firmansah, Kontributor KOKTAIL/Jurnal Nasional, wartawan lepas tinggal di Bandung)

Wednesday, October 17, 2007

Ekowisata Situ Gunung (Sukabumi) Perlu Pembenahan

Merayakan Hari Raya Iedul Fitri dengan pulang kampung sudah biasa, sama halnya dengan berwisata saat lebaran itu. Jutaan masyarakat, baik keluarga maupun pelajar menyerbu tempat wisata yang ada di seluruh pelosok Indonesia. Begitu pula dengan tempat-tempat wisata yang ada di Jawa Barat, mereka ketiban rejeki pengunjung selama libur lebaran tahun 2007........ Sukabumi, Jawa Barat, sejak H-1 sudah dikunjungi puluhan ribu pengunjung untuk berwisata di Sukabumi seperti pantai Pelabuhan Ratu hingga daerah wisata di utara Sukabumi yang dikelola oleh Perum Perhutani dan Taman Nasional. Situ Gunung berada di Desa Gedepangrango, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi adalah salah satu tujuan wisata masyarakat Jawa Barat dan jabodetabek selama lebaran tahun 2007........ Situ Gunung merupakan salah satu ekowisata di utara Sukabumi. Untuk tiba di Situ Gunung masyarakat banyak menggunakan kendaraan roda 4 atau roda 2, bahkan rombongan bis pariwisata seperti pelajar sekolah menengah dari Lemahabang, Jakarta, dan pelajar dari daerah Depok. Jarak tempuh sejauh 15 km dari kota Sukabumi membuat Jalan Suryakencana (Cisaat) hingga Jalan Raya Situ Gunung dipadati kendaraan roda 4, roda 2 dan puluhan bis yang membawa para pelajar........ Ekowisata di Situ Gunung terdiri dari danau Situ Gunung dengan legenda lokalnya tentang bagaimana danau itu dibuat pada tahun 1814 oleh keturunan keraton Mataram, Mbah Jalun (Rangga jagad Syahdana), yang dipersembahkan untuk anak sulungnya, Rangga Jaka Lulunta. Serta air terjun yang bernama Curug Sawer dan Curug Cimanaracun....... Akan tetapi harga tiket masuk ke kawasan ekowisata ini masih dirasa mahal oleh pengunjung yang datang ke sana. Pasalnya, harga tiket masuk tidak sebanding oleh fasilitas yang ada di kawasan wisata tersebut. Ade Kobra, 39 tahun, adalah warga Desa Nagrak, Kabupaten Sukabumi, sudah sejak tahun 1980 menjadi pedagang di dalam kawasan tersebut. Ade mengatakan, "harga tiket masuk terlalu mahal. Sedangkan fasilitas yang ada seperti sarana keselamatan dan kebersihan kurang diperhatikan. Malahan, masyarakat atau pedagang yang berinisiatif membuat sarana kebersihan dan fasilitas seperti mushala dengan bantuan donasi dari pengunjung wisata dari Jakarta. Kritikan dan saran dari masyarakat pun hanya didengarkan saja, tapi tidak ada tindak lanjutnya," papar Ade sambil memperhatikan para wisatawan yang sedang menuruni jalan setapak yang cukup terjal dan licin........ Budi Prasetyo, pengunjung asal Cipinang, Jakarta, mengatakan "keindahan alam Situ Gunung waktu saya pertama datang ke sini tahun 1987 masih bisa bertemu rusa, monyet, bahkan ular. Saya datang bersama keluarga saya ini," katanya seusai mengunjungi danau Situ Gunung. Sementara istrinya mengeluhkan harga tiket masuk yang mahal. "Tiket masuknya ke sini mahal dibanding tiket masuk kebun binatang Ragunan," katanya........ Sementara pihak pengelola situs wisata, Chendra Eka Permana, saat ditemui menenggarai masalah yang ada di situs mengatakan, "saya baru beberapa bulan menjadi menejer situs ini. Memang banyak masalah yang harus saya selesaikan sendiri, dan beberapa perbaikan dan fasilitas akan dilakukan ke depannya. Saya harus bekerja ekstra keras untuk membenahi kawasan wisata ini agar dikenal semua masyarakat, sementara pihak pemerintah daerah Sukabumi hanya menuntut target pengunjung agar pemasukan untuk mereka tercapai sesuai yang diinginkan. Padahal mengelola situs ini bukan perkara mudah," katanya optimis........ Pihak Dinas Pariwisata Daerah Sukabumi dinilai pilih kasih dalam memperhatikan aset wisata di Sukabumi. Daerah wisata pantai Pelabuhan Ratu dianggap lebih unggul ketimbang daerah wisata alam seperti Situ Gunung. "Padahal, wisata alam seperti Situ Gunung juga perlu perhatian yang nyata. namun kami maklum karena tenaga di Dinas Pariwisata Daerah Sukabumi bukan orang-orang yang profesional di bidangnya," ujar staf pengelola Situ Gunung........ Pengelolaan situs ekowisata Situ Gunung juga nampak tumpang tindih antara pihak pengelola wisata, Perum Perhutani Unit III Jabar, dengan pihak Taman Nasional bertanggungjawab menjaga kelestarian alam di kawasan seluas 100 hektar lebih itu. Aep Saefudin, petugas dari Taman Nasional, "taman Nasional di Situ Gunung hanya bertanggungjawab mengawasi kelestarian kawasan ini. Kami sedang menyelesaikan struktur baru di lembaga Taman Nasional untuk menjaga kelestarian alam di seluruh Indonesia dengan membentuk Balai Besar," jelasnya........ Langkah strategis Chendra Eka Permana sebagai menejer situs Situ Gunung yaitu melakukan upaya promosi dan menjalin kerjasama dengan media pers untuk mempromosikan kawasan wisata Situ Gunung. Menanggapi sejumlah persoalan sarana dan prasarana yang ada di Situ Gunung, Chendra mengatakan, "Ya itu harus diselesaikan per tahap. tahun 2007 ini kami sudah melakukan perbaikan sebagian sarana dan prasarana yang ada, misalnya pengecatan biar nampak bersih, juga pembersihan jalan-jalan setapak yang menghubungkan satu tempat dengan tempat wisata yang lainnya. Pokoknya saya akan promosi tempat wisata ini dulu lah, selanjutnya....baru membuat sarana penunjang lainnya dan pembenahan manajemen. Soal tiket masuk yang mahal itu memang, karena pada tahun 2006 kami pernah menelusur bahwa tiket masuk Situ Gunung termasuk tiket wisata termahal di Jawa Barat. Harga 7500 rupiah minggu ini disebabkan oleh nilai PNBP-nya 2500 rupiah sejak tahun 2006. Harga tiket yang sekarang ini dikurangi 250 rupiah untuk asuransi para pengunjung wisata, 25 prosen untuk Pemerintah Daerah Sukabumi, 2500 rupiah untuk PNBP/taman Nasional, baru sisanya masuk ke Perum Perhutani untuk mengelola dan menambah fasilitas tambahan di situs ini." katanya. (Firdaus/16 Oktober 2007)

Arus Mudik Lebaran 2007

Masyarakat Indonesia sudah menjadikan tradisi lebaran sebagai budaya pulang kampung. Tidak hanya masyarakat muslim yang mengisi semarak budaya pulang kampung ini. Masyarakat non-muslim juga turut menyemarakan perhelatan budaya masyarakat ini dengan berlibur di saat liburan panjang pada saat lebaran..... Pantauan Bandung News Agency pada tanggal 14 - 17 Oktober 2007 di jalan lintas utara dan selatan Jawa Barat menunjukkan, animo masyarakat dalam merayakan Hari Raya Iedul Fitri tahun 2007 dengan pulang kampung tetap banyak. di sejumlah daerah kabupaten di jawa barat menunjukan grafik pengguna kendaraan roda 2 meningkat pesat bak kacang goreng. Meski ekonomi masyarakat oleh sejumlah pihak dianggap masih morat-marit, budaya pulang kampung di saat lebaran tahun 2007 tetap dilakukan dengan segala upaya, khususnya bagi mereka yang bekerja merantau...... Jalan tol memang banyak diserbu pengguna kendaraan roda 4, hingga terdapat penumpukan di gerbang tol Padalarang misalnya (14/10) yang akan keluar/masuk jalan tol Purbaleunyi. Mereka yang pergi meninggalkan rumah untuk berlibur dan pulang kampung campur aduk. Petugas lalu lintas pun berupaya keras menertibkan pengguna kendaraan dalam menggunakan jalan raya..... Pada tahun ini banyak masyarakat yang memanfaatkan hari lebaran (H+1) untuk pergi ke kampung mereka menemui sanak saudara atau orang tuanya. Peningkatan terus terjadi hingga H+3. namun dikarenakan jumlah hari libur para pekerja/buruh di Indonesia sangat beragam, maka arus balik pun sudah terjadi mulai H+3 di sejumlah daerah di Jawa Barat. Cianjur dan Sukabumi misalnya, tidak sedikit pekerja/buruh sudah mulai memadati terminal dan stasiun KA untuk kembali ke daerah perantauan mereka....... Asep, 23 tahun, warga Sukabumi sudah sejak tanggal 13 oktober tiba di kampung halamannya, namun pada tanggal 18 Oktober 2007 sudah harus masuk kerja sift malam. "ya...mau bagaimana lagi? jatah liburnya cuma beberapa hari," katanya. Perbedaan tanggal masuk kerja menyebabkan petugas lalu lintas dan produsen jasa angkutan pun kewalahan mengatur armadanya untuk melayani para pemudik dan masyarakat yang pergi liburan. Walhasil, armada yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan para pengguna jasa angkutan antarkota antarprovinsi. Bis Sangkuriang AC jurusan Bandung-Sukabumi pun terpaksa harus menjejal penumpang dalam bisnya yang biasanya hanya mengangkut penumpang sejumlah kursi yang tersedia. "kasihan mereka yang mau mudik...kami angkut saja daripada mereka berdiri lama di pinggir jalan," ujar kondektur bis Sangkuriang (14/10) di dalam bis...... Para pengendara roda 2 pun terus memadati jalan raya untuk tujuan yang beragam, yaitu liburan atau pulang kampung. Hingga H+4 jalan raya yang menghubungkan kabupaten/kota Bandung hingga Jakarta arus kendaraan roda 4 dan roda 2 mengalami fluktuasi, namun jalan raya itu didominasi oleh pengguna jalan roda 2 setiap harinya...... Kota Bandung sendiri sejak H+1 hingga H+4 dipadati pengunjung yang singgah dari kampung mereka ke kota tujuan atau sengaja liburan di kota Bandung untuk berwisata belanja. Petugas lalu lintas di pintu masuk kota Kandung di jalan raya Padalarang melakukan sistem buka-tutup jalan untuk mengurangi kemacetan arus pemudik maupun arus balik. Kemacetan tidak hanya dialami oleh para pengguna jalan roda 4, para pengendara roda 2 pun terpaksa harus antre di persimpangan atau perempatan jalan........(Hoofdredacteur Bandung News Agency)

Monday, October 1, 2007

Pengemis, Gepeng Musiman, dan PSK Kota Bandung

Ramadhan: Mencari Berkah di Kota Bandung Ratusan gepeng atau kaum dhuapa berdatangan ke kota Bandung dan mengisi pelataran toko di jalan-jalan protokol kota Bandung. Tujuannya pengemis musiman ini cuma satu, mengais rezeki atau berkah dari orang-orang yang mengasihaninya........ Sekelompok mahasiswa di Bandung, bahkan juga ormas sibuk berkonvoi di tengah malam hingga jelang waktu sahur di jalan Merdeka, Asia-Afrika, Jend. Sudirman, serta jalan Jend. A. Yani untuk menyapu para pengemis dengan membagikan makanan atau uang. Dan tidak hanya pengemis musiman yang kecipratan rezeki, tukang becak dan pedagang asongan pun kebagian........ Makin dekat hari Iedul Fitri makin banyak pula para pengemis musiman di kota Bandung. Dengan modal dus bekas atau karung, mereka tidur di pelataran toko menunggu dibangunkan para donatur memberi mereka makanan. Jelang waktu Lebaran biasanya mereka mengais keuntungan yang tidak sedikit. Tahun kemarin saja ada yang mencapai jutaan rupiah dalam semalam. Tak heran bukan hanya anak kecil atau orang tua saja yang berada di jalan yang sering dilalui konvoi donatur, beberapa titik dipenuhi oleh anggota keluarga lengkap mulai dari kakek-nenek hingga bayinya........ Keadaan ini tentunya merayu para donatur yang berkonvoi untuk memberikan mereka ala kadarnya: makanan, pakaian layak pakai, atau makanan. Rayuan inilah yang sinyalir digunakan oleh para pengemis atau gepeng musiman di kota Bandung untuk mengais keuntungan di bulan Ramadhan........ Alasan mereka rata-rata adalah keterbatasan ekonomi atau kemiskinan, dengan dalih agar dapat memeriahkan lebaran tiap tahun dengan keadaan yang setara dengan orang lain yang membelanjakan uangnya untuk membeli baju baru. Tentu saja, mereka bukan pengemis seluruhnya karena sebahagian besar mereka berprofesi sebagai pengemis musiman spesialis bulan Ramadhan........ Pemerintah kota Bandung belum memiliki aturan yang jelas seperti peraturan pemerintah daerah yang diterapkan oleh Pemda DKI Jakarta, akhirnya para gepeng dan pengemis musiman merantau ke kota Bandung. Sehingga para gepeng atau pengemis musiman bisa leluasa mencari nafkah sebagai pengemis........ Tak heran pula bila pemandangan malam hari di kota Bandung dipenuhi oleh para gepeng dan pengemis di jalan-jalan utama. Asep, pemulung kota Bandung, mengatakan bahwa mereka bukan pengemis. Mereka adalah pekerja yang profesinya sebagai pengemis. Beberapa di antara kelompok mereka menyewa gerobak agar terlihat sebagai pemulung sampah. Pada waktu lebaran mereka pulang ke daerah masing-masing dengan membawa hasil mengemisnya di kota Bandung........ Para donatur yang keliling kota Bandung tidak memperhatikan hal ini. Mereka hanya ingin berbagi dengan mereka alasannya, dan mereka mengabadikan kegiatan itu dengan kamera foto dan video. Sebuah perilaku yang saling menguntungkan pada dini hari di kota Bandung. Para donatur merasa telah berbagi, sementara mereka yang mengemis mendapatkan keuntungan besar dua minggu jelang akhir bulan suci Ramadhan........ Sementara di sudut yang biasa digunakan sebagai tempat mangkal para penjaja seks komersil terus berjalan. Pelayanan seks komersil tetap berjalan di kota Bandung. Menurut para "pelindung" mereka, psk-psk itu juga membutuhkan biaya pulang kampung dan uang untuk membeli baju baru, katanya. Soal bulan suci Ramadhan seyogyanya diisi dengan kegitan ritual, mereka seolah menutup kuping soal cara mencari uang. Yang penting uang, masalah halal/haram nomor sekian........ Mendekati lebaran makin banyaklah psk betumur belasan tahun yang mencari pelanggan atau melayani pelanggannya dengan mangkal di persimpangan Jalan Braga - Tamblong, Bandung. Menurut pantauan, mereka pendatang baru dari kawasan mangkal lainnya. Wajah-wajah baru mulai bermunculan di sana. Tapi, mereka tidak dapat ditertibkan karena mereka sangat lincah menghindari aparat ketika pengantar mereka siap sedia membawa lari psk remaja di sana. Walhasil, yang terjadi adalah kucing-kucingan aparat dan psk di kawasan jalan Braga, Bandung........ Inilah paradoks kota Bandung yang katanya akan mengusung kota religius pada tahun-tahun mendatang. Praktik asusila terus berjalan meski di sejumlah daerah ditertibkan secara paksa oleh ormas Islam (Hoofdredacteur Bandung News Agency)

Tajil Jazz: Ngabuburit di Sabuga Bandung

Ngabuburit dengan Jazz Bandung Eksplorasi pada komposisi musik yang tidak pernah berhenti membuat musik jazz menjadi musik yang selalu menarik untuk diapresiasi oleh masyarakat Bandung dan masyarakat jazz pada umumnya. Tajil Jazz menjadi sebuah ajang pertemuan para musisi jazz di Bandung untuk saling berapreasi dan unjuk kemampuan mengolah komposisi dan aransemen nada dasar. Improvisasi dari tiap musisi menjadi sajian hiburan menarik bagi penikmat musik jazz sambil menunggu buka puasa di Sabuga, Bandung........ Banyak musisi dan kelompok jazz asal Bandung yang sudah eksis di dunia jazz Indonesia. Mereka antara lain, Brew Ensemble, Discover, Klabklasik, Symbio, Fakta, The Statement, Lintas Jazz, Bandoeng Jazzy, Kanggep, Imam Pras Quartet, Amir Ishak Quartet, Imel and Friends, Tiwi Shakuhachi, Krisnan Mohamad, Aurum, Koalisi, Starlite, Bad Boy Blues, Trioscapes, Riza Arshad, dan Sri Aksana Sjuman, Oele Pattiselanno, Idang Rasyidi, Alfred Sugiri, dan lain-lain........ Jumat sore (28/9) di Sasana Budaya Ganesha, Bandung, adalah momen religius sekaligus menghibur juga penting bagi musisi jazz untuk saling mengapresiasi kemampuan mengolah musik jazz masing. Di sana Komunitas Jazz Bandung dan komunitas Jendela ide menggelar acara “ngabuburit” atau kumpul bareng jelang buka puasa di Central Auditorium Hall, dengan menghadirkan kelompok dan musisi jazz asal Bandung dan debutan musisi jakarta sebagai additional playernya. Karinding Collaborative Project, Contra Indigo, 4Peniti, duet piano Andi Danial (The Statement) dan Zefanya Putra, serta penampilan The Statement dengan beberapa nomor lawas dari musisi jazz dunia........ Penikmat musik jazz Bandung tidak saja mengapresiasi musik jazz dari para musisi Bandung yang biasa membawakan nomor-nomor komposisi andalannya, tetapi mengapresiasi komposisi jazz dari kelompok musisi muda dan berbakat dengan talenta dana alat musik lokal atau tradisi. Mereka dengan alat musik yang dikuasainya mengolah nada dasar dengan cukup memukau dan patut dihargai sebagai upaya eksplorasi musikalitas musisinya........ Karinding Collaborative Project misalnya, yang terbentuk pada tahun 2006. Terdiri dari Aweng pada kendang. Bintang Manira, 15 tahun. Pernah berpartisipasi dalam workshop Mamadou Diabate (percussionist, Burkina Faso, Africa), Tomoko (composer, Tokyo, Japan), Trio Dingo (musician, Australia), Keiko Takeya (choreographer, Tokyo, Japan), Slamet Gundono-Wayang Suket, dll. Ada juga Jalu, 20 tahun, yang saat ini bergabung dengan Bad Boyz Blues & Elbe Jazz Big Band UPI. Bermain dalam Mystical Earth Jatiwangi, Sabuga Jazzfest For Freedom, dll. Kelompok ini dilengkapi oleh Tesla Manaf Effendi, 20 tahun. Saat ini memperdalam gitar jazz pada Venche. Kemudian Yudi Taruma di Swhara, 27 tahun. Dengan mayor kecapi, mempelajari beragam alat musik tradisional ini pernah bergabung dengan Zithermania (1999-2002) dengan sejumlah pertunjukan di Sabuga-Bandung, CCF Bandung, Rumah Nusantara, AACC, LIP Yogyakarta, Bali World Music, dll. Ia juga aktif adalam membuat komposisi untuk pertunjukan. Membuat komposisi untuk pertunjukan Artpro, Black Marcet, Teater Matahari........ Contra Indigo. Kelompok jazz yang terbentuk di KlabJazz Bandung ini berkeinginan memberikan warna baru dalam khazanah musik jazz Indonesia. Dengan personil Bubu pada vocal, Metta pada piano & synth, Fik Eka pada bass dan Bayou pada drum, mereka tampil mewarnai Pekan Jazz Preanger 2005, Para Jazz 1&2, Urban Sound of Jazz at La Piazza feat.Shelomita, Java Jazz on The Move di Paskal Hypersquare, Jazz Up The Night - Cellar Lounge, International Java Jazz Festival 2007, dll......... Contra Indigo mendapat sambutan cukup meriah dari penikmat jazz yang hadir di haal tersebut. Kelompok jazz yang mendapat binaan Imam Pras, dan diasah kemampuannya dalam KlabJazz Bandung ini mengaku sedang menggarap album sendiri. Ratna Dewi Anggraeni yang akrab dipanggil Bubu ini mengatakan, “Tahun ini sedang dalam proses pembuatan album Contra Indigo, tapi belum tahu kapan selesainya,” katanya usai tampil di panggung Tajil Jazz. Kelompok musisi jazz ini mengaku bahwa musik jazz lebih disukai dan pertemanan di KlabJazz mendorong mereka untuk gabung secara solid dan membuat Contra Indigo sejak mereka masih duduk di bangku kuliah. Kelompok dengan aliran punk-jazz dan fusion ini membawakan komposisi lagu yang berjudul “So What”, Have Good Time”, “Good Time Bad Time”, dan “Sweetes Taboo”, dengan penampilan yang santai dan akrab di pentas bersama penikmat dan penggemarnya........ KlabJazz adalah sebuah perkumpulan yang berkecimpung dalam usaha memasyarakatkan musik jazz melalui beragam kegiatan di Bandung. Sebuah tempat yang yang sekarang ini resmi dinamakan Common Room. Tumbuhnya Klab Jazz sebagai wadah bagi para pecinta musik dan musisi jazz Bandung merupakan angin segar, mengingat kota Bandung merupakan salah satu 'penghasil' musisi-musisi jazz kawakan tanah air....... Musisi Jazz Bandung melihat musik Gamelan, tari Topeng, musik klasik, wayang orang, waltz, tari Bali adalah warisan yang sah untuk mengeksplorasi musik dengan gagasan individu atau kelompok untuk memajukan dan memasyarakatkan musik jazz di kota Bandung, masyarakat jazz khususnya. Kegiatan Klabjazz antara lain: Jazzsphere Artspace (2004), Bandung Jazz Statement (2004), Konser Untuk Korban Tsunami (2005), Ganesha Jazz Event (2005), “D-JAZZ JUNCTION (2005)........ Taufik Eka, atau Fik Eka panggilan akrabnya mengungkapkan harapannya agar kesempatan yang lebih terbuka dapat diberikan kepada kelompok jazz baru, agar wacana dan musik jazznya terus berkembang. “Jazz sudah banyak perkembangan dengan pendekatan pada sound, dan lain-lain…intinya, jazz adalah musik apresiasi,” tambah Fik Eka........ 4Peniti, dengan latar belakang permainan musik di sejumlah cafe & pub di kota Bandung & Jakarta, 4 musisi muda Bandung yang terdiri dari Rudy pada bass, Zaki pada gitar & vokal, Ammy pada biola dan Ary pada drum membentuk sebuah band yang berirama kontemporer. Jam terbang yang cukup tinggi disertai pengalaman yang cukup di dapur rekaman sebagai additional musician, membuat permainan grup ini bisa dikategorikan sebagai grup band papan atas........ Sajian istimewa dalam Tajil Jazz ini adalah Duet Piano Andi Danial (The Statement) & Zefanya Putra, 13 Tahun, pad atahun 2004 prestasi Zefa telah terukir di Museum Rekor Indonesia (MURI), sebagai pianis termuda yang pernah menyelenggarakan konser tunggal klasik & jazz di Bandung. Lewat formasi Zefa & Uncles band, Zefa berhasil meraih Juara I dan dinobatkan sebagai The Best Keyboard Player dalam Kompetisi Jazz yang diadakan oleh Jazz Goes To Campus 2005. Zefa juga turut mewarnai beberapa pentas Internasional seperti International Java Jazz Festival 2005 & 2006, Bali Jazz Festival 2005, Jazz Goes To Campus 2005, Jak Jazz Festival 2006. selain sebagai jazz Icon, Zefa didaulat untuk main solo di Mosaic Music Festival Esplanade S'pore, Maret 2007........ The Statement, berdiri pada tahun 2004 dengan formasi: Sepsa Zulkaida pada drum. Menjadi the best drummer Yamaha Indonesia tahun 2006, juri pada Yamaha Indonesia 2007 serta mengajar di Gilang Ramadhan Music School. Dan Andi Danial pada piano. Meraih the best keyboardist pada Hang Tuah Jazz Event 1997. Hingga kini mengajar di Purwacaraka Music Studio. Hery Wijaya pada kontra bass. Merupakan additional bass player pada sejumlah rekaman. Aktif tampil bersama grup band F.A.K.T.A. Dalam performanya di Tajil Jazz ini The Statement menggunakan vokalis Lea sebagai addisional player dengan membawakan komposisi lagu “Warna”. The Statement membawakan komposisi “Green Dolphine State”, “Spain”, “Warna”, “Giant Step”, dll........ Seperti lazimnya permainan musik jazz tentu saja ada jam session dari masing-masing musisi. Pada nomor komposisi “Spain”, drummer Sepsa Zulkaida, menunjukan aksi hebohnya dengan permainan stick drum-nya mengolah bunyi dan beat yang selaras dengan komposisi nada serta tempo yang enak........ Dwi Cahya Yuniman, komunitas jazz Bandung, dalam sebuah event jazz di Bandung pada bulan Juli 2007 mengatakan, "Bagi musisi jazz Kota Bandung, yang saat ini semakin menampakkan talenta dan kepiawaiannya, juga merupakan sarana bermain sekaligus wahana untuk mencari bakat-bakat baru dalam musik jazz"........ Musik jazz di Bandung menurut pengamat musik jazz Bandung, Youngky, bukan musik baru karena dari kota Bandung inilah bnayaik musisi jazz lahir ke kancah jazz nasional maupun internasional........ Uniknya di Bandung, dengan kekayaan musik tardisional yang ada di Jawa Barat membuat musisi jazz Bandung dapat bereksplorasi lebih jauh. Jazz dan gamelan Sunda atau dengan kendang bukan hal yang mustahil untuk dikemas dalam sebuah komposisi jazz. Inilah yang antara lain dilakukan oleh Karinding Collaborative Project, mereka membuat komposisi jazz dengan alat musik dan nada dasar campuran antara kecapi, bass, gitar, perkusi, dan kendang. Mereka mambawakan komposisi yang berjudul Moksha, Before I sleep, dan Amorphati........ Zaelani, Jendela Ide, mengatakan bahwa musisi jazz itu sudah biasa angkat alat sendiri dan memainkannya sendiri. “Itulah kehidupan musisi jazz,” komentaranya. Setelah mengapresiasi komposisi yang dibawakan oleh Karinding CP itu, Zaelani juga mengatakan bahwa musik jazz sangat terbuka dengan segala kemungkinan eksplorasi musiknya. Sebuah gagasan musikalitas yang unik bisa diciptakan dan diolah dengan alat musik tradisional seperti Karinding, atau alat musik genggong kalau di Bali. “Karinding merupoakan perspektif baru terhadap jazz. Kita harus membuka kesempatan bagi musisi muda untuk berkolaborasi, karena siapa tahu ada musisi jazz besar yang mau main bersama musisi muda ini,” tambah Zaelani........ Andi Danial, The Statement, mengatakan bahwa “Musik dengan komposisi nada tradisi dalam dunia jazz masih dicari untuk dieksplorasi, seperti kelompok jazz Krakatau Band misalnya. Jadi sesuatu yang tradisional memang disukai oleh musisi jazz dunia, seperti halnya musisi Indonesia menyukai musik Barat........ Chico Hindarto, pengamat musik jazz, pernah menulis "Demokrasi Dalam Musik Jazz," dalam Wartajazz.com, bahwa jazz merupakan musik yang memperhatikan keseimbangan antara penampilan individu dan keutuhan kelompok. Musik jazz lebih menggunakan pola sebagai suatu bentuk kesepakatan kelompok yang dengan konsisten dilaksanakan secara bersama-sama. Musik jazz memberi kesempatan pada tiap individu untuk mengajukan pendapat tiap pribadi. Jadilah harmoni yang menjadi ciri khas musik jazz. Selain itu ekspresi individu atau improvisasi dalam komposisi jazz sangat dipengaruhi oleh kondisi pemain sehingga besar kemungkinan tiap kondisi membuahkan improvisasi yang berbeda-beda. Juga pengolahan notasi dasarnya........ Akar musik jazz berasal dari Work Song para budak kulit hitam - bukan kaum borjuis – musik jazz terus berkembang dan kini menyentuh sajian hiburan musik kalangan atas. Dalam sejarah musik jazz, pada jaman Swing musik jazz dijadikan pengiring dansa kaum ekonomi atas, namun selanjutnya musik jazz berkembang dari klab-klab kecil di pelosok NewYork, Chicago atau New Orleans. Dan selanjutnya musik jazz menjadi sarana hiburan dan apresiasi. Chiko Hindarto pernah menyatakan dalam Demokrasi Dalam Musik Jazz, bahwa musik jazz lebih tepat dikatakan musiknya kaum intelektual tinggi dan bukan kelas atas saja........ Perpaduan komposisi jenis musik dalam jazz bukan hal yang tabu karena di awal tahun 1960-an jazz dapat dikolaborasikan dengan musik bossanova atau samba asal Brazil. Atau dipadu dengan Art Rock di tahun 1970-an hingga menjadi fusion........ Harry Lim, salah seorang empu jazz Indonesia pada jaman jadul (jaman dahulu) yang lahir di Batavia, East Indies (sekarang: Jakarta, Indonesia) pada tanggal 23 Pebruari, 1919, lahir pada keluarga keturunan Tiong Hoa, yang diperkirakan berasal dari Jawa Tengah dan meninggal pada tanggal 26 Juli, 1991, di New York City, NY. Belajar di Batavia dan kemudian meneruskan studi di Belanda. Beliau mulai secara aktif menggauli Jazz di negeri Kincir Angin dan mulai menciptakan hubungan dengan banyak musisi Jazz Amerika yang sedang berkunjung ke Eropa. Beliau pindah ke Amerika Serikat di tahun 1939 dan mulai bekerja dengan label rekaman Keynote, sebagai produser, ditahun 1943 sampai 1946. Beliau menekankan perhatian kepada rekaman-rekaman grup kecil dengan tema Jazz klasik, yang mengutamakan peranan para pemain Swing terkemuka dan para tradisionalis. Musik-musik yang tercakupi dimulai dari Dixie sampai ke Bop walau tetap tema yang diutamakan adalah dari para musisi Swing........ Jazz di Bandung merupakan musik hiburan dan apresiasi terhadap dunia musik itu sendiri. Musik yang rata-rata digemari di kalangan mahasiswa ini terus mengalami perkembangan dan perubahan, dari komposisi alternatif hingga kolaborasi antara musik tradisi maupun jazz kontemporer. Namun demikian penikmat jazz di Bandung cukup puas dengan banyaknya komunitas dan kelompok jazz baru dengan eksplorasi masing-masing dan mampu berkompetisi secara kreatif di Bandung, Jakarta, maupun luar negeri. (Argus Firmansah/Kontributor lepas Mingguan KOKTAIL/Bandung).

”A Day in The Life”

Sebuah temu karya seni rupa angkatan 1979 Menikmati karya rupa memang tiada habis-habisnya, seakan menikmati karya seni adalah kebutuhan dasar manusia kota. Hal ini memang benar rupanya, seperti kata Abraham Maslow dalam “Motivation”, bahwa manusia memiliki tahapan kebutuhan dasar. Kebutuhan terhadap aktualisasi diri dan mengapresiasi karya seni adalah salah satu tingkat kebutuhan manusia di tingakt atas. Apalagi ketika galeri seni di Bandung yang cukup padat jadwal pamerannya senantiasa menyajikan event pameran yang terpilih........ Banyaknya pameran karya rupa membuat penikmat seni rupa terpenuhi kebutuhan jiwanya. Sama halnya dengan mereka yang datang ke Galeri Soemardja, Bandung. Penikmat dan pengamat seni rupa Indonesia dapat melihat karya rupa antara lain: desain, grafis, lukisan, patung, dan foto performance art dari seniman dan desainer yang 28 tahun yang lalu merupakan mahasiswa seni rupa ITB Bandung, tepatnya angkatan 1979........ Terang saja tidak semua angkatan 1979 menyajikan karya-karyanya di galeri Soemardja yang kemarin (22/9) dibuka oleh Biranula Anas Zaman, Dekan FSRD ITB, dan H. Narga Syakri Habib, Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Mereka yang terlibat dalam perhelatan bersama ini antara lain: Arahmaini, Agus Suwage, Armyn F Umar, AZF Tri Hadiyanto, Elise Setyo, Budi Leksono, Djoko Sadono, Donny Garnadi, Hendar Permana, Hermanto GS, Hilman Sapriyadi, Irawan Karseno, Marintan Sirait, Narga Shakri Habib, Renee Arturpalit, Retno Pamedarsih, Rochman Nur S, Rudi Nugraha, Satiamarwan, Siswadi Djoko M, Siti Sundari, Supangkat Wahyu, Suwarno, Taat Joedawinata, Tisna Sanjaya........ A Day in The Life muncul secara spontan, tapi sengaja dan disadari diambil dari salah satu judl lagu the Beatles. Judul itulah yang menjadi simboil semangat zaman mereka yang pada saat itu, 1979, mengenyam pendidikan seni rupa di ITB. Lebih lanjut Aminuddin TH Siregar menyatakan bahwa “sejumlah nama di angkatan 1979 itu berada di dalam kelindan semangat zaman yang setidaknya ditularkan oleh para pemusik Inggris itu”. Melalui perhelatan bersama ini diharapkan terbuka sebuah pertemuan gagasan dan inspirasi antar generasi untuk memajukan seni rupa Indonesia ke depan. Barangkali para perupa muda dan seniman yang berpameran dapat saling belajar membaca jamannya masing-masing untuk memetik inspirasi kreatif ke dalam karyanya masing-masing sesuai dengan kaidah keseniannnya........ Beragam teknik dan medium yang digunakan untuk mengolah gagasan atas pilihan masing-masing disajikan dalam pameran ini. Penikmat karya rupa dapat menikmati langsung dan menafsir bagaimana semangat zaman di angkatan itu tergoreskan di dalam karyanya, baik itu lukisan, patung, maupun bentuk grafis seperti Tisna Sanjaya dengan naunsa abu-abu dan hitamnya itu........ Menurut Biranul Anas yang disampaikan dalam pembukaan mengatakan bahwa, pameran ini adalah contoh dari keberagaman cara, upaya, pendekatan dan kiat dalam berkesenian. Pameran ini menunjukkan bahwa semua upaya itu sah selama dilakukan dengan kesungguhan hati dan kesadaran budaya yang utuh........ Menariknya, penikmat karya seni rupa dapat mengapresiasi 70 karya lebih 25 seniman yang sudah malang melintang di seni rupa Indonesia dengan gagasan kreatifnya. Terdapat 6 karya patung dan instalasi dengan beragam tema dan objek. Serta 67 karya berupa lukisan, foto, dan desain yang menambah khazanah keindahan visual di Galeri Soemardja........ Semangat zaman yang ditelurkan di sudut-sudut ruang pamer dari masing-masing seniman memberikan inspirasi kreatif kepada perupa muda. Yang tentunya dapat dipilih atau dibiarkan saja menjadi seonggok gagasan kreatif di sudut karya mereka. Antara lain bagaimana sebuah realitas ditransformasikan ke dalam karya seni, serta bagaimana merancang kode-kode estetik yang disimpan pada elemen-elemen estetik di dalam bangunan karyanya........ Tentu saja bukan hanya sekedar teknik pengemasan bentuk estetik atau sebuah wacana yang ditawarkan sebagai daya tarik, karena seorang seniman harus juga mewakili semangat dirinya atau semangat jamannya pada suatu waktu karya itu diciptakan. Persoalan sikap seniman dalam membaca situasi jaman dan kondisi sosial akan menambah nilai kekhasan bahasa kode pada karyanya sehingga penikmat karya rupa dapat mengenal identitas karya dan senimannya........ Dan sebuah energi positif terjalin kuat di ruang pamer itu. Energi yang terjalin itu lebih merupakan sebuah dorongan sekaligus cambuk kepada perupa muda. “Janganlah kau ikuti kami…bergeraklah sekehendak hatimu…zaman kita berbeda…” kurang lebih demikianlah suara imajiner yang berdengung di ruang pamer ketika pameran itu dibuka secara simbolis dan ratusan penikmat karya rupa pun berhamburan mematri karya yang disajikan di dalam ruang pamer tersebut........ “Macho Man” dan “Pasukan Macho” karya Agus Suwage mendapat perhatian khusus dari apresiator. Agus Suwage menyajikan satu lukisan laki-laki telanjang yang diberi judul “Macho Man”. Sebuah gagasan paternalistik divisualkan secara kasat mata. Ikon laki-laki mendominasi karyanya di galeri Soemardja. Patung-patung kecil dengan saya dari fiberglass digantung pada dinding juga tidak kalah menariknya. Patung yang terbuat dari logam berwarna perak sejumlah 10 buah itu mendekati model patung penghargaan, namun pada selangkangannya terdapat senjata laras panjang sebagai simbol laki-laki atau macho. Sehingga ketelanjangan pada patung itu menjadi kabur terbalut konsep paternalistik atau ikon laki-laki yang mengancam........ Agus Suwage acapkali memuat teks protes atas idiom kultural dimana ia hidup. Masyarakat Indonesia yang didominasi oleh kekuatan laki-laki ini ditegaskan dalam karyanya di dalam ikon “macho”. Narasi tubuh sebagai penanda sosial terlihat secara eksplisit dalam pengolahan bentuk representasinya. Agus Suwage memang konsisten dengan imej tubuh sebagai kendaraan maknawi dari pesan yang hendak ia sampaikan kepada apresiator. Yang demikian inilah kemudian Agus Suwage dikenal sebagai kreator yang mendekonstruksi tubuh bukan hanya sebagai teks........ Kontroversi imej tubuh yang pernah mencuat di kalangan selebritis tak membuatnya jera atau berganti haluan untuk membahasakan makna melalui imej tubuh. Bahwa ketelanjangan adalah sebuah kejujuran sosial yang kini diselimuti oleh kekuasaan manusia itu sendiri, baik melalui bahasa, seni itu sendiri, dan kondisi sosial politik. Agus Suwage melihat kondisi sosial kode estetik yang dapat dicukil secara simbolik ke dalam narasi tubuh pada karyanya. Dan ikon laki-laki pada karyanya yang “Macho” itu bukanlah ikon pertama, narasi tubuh sudah lama diolah Agus Suwage karena ia juga melihat ada sebuah struktur yang stagnan atau status quo di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia........ Lukisan “Wanita” karya Rochman Nur menampilkan kesan eksotisme perempuan Indonesia. Kain motif bunga dengan kemben jadi pakaian atas perempuan Jawa mencirikan kekhasan Indonesia yang indah karena perempuannya. Aspek budaya tidaklah hilang dalam lukisan itu. Cat akrilik merah menjadi aura sang perempuan dan warna hijau pada kulit sang perempuan menandakan sesuatu yang lain. Sosok perempuan desa dengan kesan modern nampak juga dalam pemaknaan lukisan tersebut. Ini menandakan akulturasi perempuan Indonesia pada masa kini yang sudah berbaur dengan budaya Barat. Rochman Nur melihat inspirasi sosial budaya sebagai ikon wacana keindonesiaan........ Sedangkan karya Tisna Sanjaya yang syarat dengan penanda protes sosial disuguhkan dengan karya grafisnya yang tidak lupa juga menyertakan aspek budaya Indonesia. wacana itu termaktub pada karya-karyanya yang berjudul Siklus Abu, Berpihak Pada Dengkul, dan Ronggeng Gunung. Ketiga karya yang disajikan Tisna Sanjaya tidak hanya muatan sosial, tetapi menukik pada persoalan kekuasaan yang menghegemoni........ Lukisan “Tiga Orang Peminum” karya Supangkat Wahyudi memperlihatkan estetika paradoks budaya Indonesia masa kini. Dimana tradisi kehidupan masyarakat desa sangat jomplang atau kontras dengan imej metropolitan. Bangunan pencakar langit berada di belakang tiga orang yang sedang minum jamu kesehatan. Paradoks kebudayaan Indonesia memang masih aktual dalam perbincangan kebudayaan Indonesia, yaitu antara kebudayaan primordial dan modern, antara tardisi Indonesia tua dan tradisi Indonesia baru. Selain karya-karya lukisan figuratif itu, penikmat karya rupa juga dapat menikmati lukisan abstrak yang disajikan oleh Taat Joedawinata dalam dua lukisan yang diberi judul “Para Pemburu Rezeki” dan “Baliku”........ Seniman lainnya menyajikan seni patung dan desain grafis pada iklan komersial maupun non-komersial yang digarap secara profesional dengan memperhatikan aspek fungsi karena berkepentingan dengan dunia kapitalisme. Seni patung dan seni instalasi juga digarap serius oleh seniman jebolan FSRD ITB ini. Mereka semua memang sudah menjadi seniman Indonesia yang sudah malang melintang di dunia seni rupa Indonesia baik secara nasional maupun Internasional........ Pameran SR ’79 ini kemudian menjadi sebuah kilas balik bagi perupa Indonesia yang pada masanya berjuang keras untuk mengaktualisasikan dirinya di dunia seni rupa modern Indonesia. Tentu saja pada masa itu terdapat perdebatan kultur dalam mengolah kreativitas masing melalui karyanya, yakni menyoal estetika Barat dan estetika Timur dengan kearifan lokal seni rupa Indonesia........ Namun demikian konsistensi mereka dalam memajukan khazanah seni rupa Indonesia bukan main-main. Eksistensi mereka tetap diakui oleh penikmat karya rupa dan pengamat seni rupa Indonesia. Dialog yang membincangkan bagaimana mengolah gagasan dari mulai inspirasi awal hingga bagaimana proses akhir karya itu dimaknai oleh penikmat karya rupa pun terjadi selama pameran ini berlangsung. Bagi perupa muda pameran ini bukan sekedar sebuah kilas balik bagaimana mereka menjadi seniman seni rupa dari jaman ke jaman, tetapi sebuah pelajaran berharga dapat dipetik dari pengalaman mereka yang termaktub di dalam karya-karya mereka. (Argus Firmansah/Kontributor lepas Mingguan KOKTAIL/Bandung)