Monday, October 1, 2007
”A Day in The Life”
Sebuah temu karya seni rupa angkatan 1979
Menikmati karya rupa memang tiada habis-habisnya, seakan menikmati karya seni adalah kebutuhan dasar manusia kota. Hal ini memang benar rupanya, seperti kata Abraham Maslow dalam “Motivation”, bahwa manusia memiliki tahapan kebutuhan dasar. Kebutuhan terhadap aktualisasi diri dan mengapresiasi karya seni adalah salah satu tingkat kebutuhan manusia di tingakt atas. Apalagi ketika galeri seni di Bandung yang cukup padat jadwal pamerannya senantiasa menyajikan event pameran yang terpilih........
Banyaknya pameran karya rupa membuat penikmat seni rupa terpenuhi kebutuhan jiwanya. Sama halnya dengan mereka yang datang ke Galeri Soemardja, Bandung. Penikmat dan pengamat seni rupa Indonesia dapat melihat karya rupa antara lain: desain, grafis, lukisan, patung, dan foto performance art dari seniman dan desainer yang 28 tahun yang lalu merupakan mahasiswa seni rupa ITB Bandung, tepatnya angkatan 1979........
Terang saja tidak semua angkatan 1979 menyajikan karya-karyanya di galeri Soemardja yang kemarin (22/9) dibuka oleh Biranula Anas Zaman, Dekan FSRD ITB, dan H. Narga Syakri Habib, Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Mereka yang terlibat dalam perhelatan bersama ini antara lain: Arahmaini, Agus Suwage, Armyn F Umar, AZF Tri Hadiyanto, Elise Setyo, Budi Leksono, Djoko Sadono, Donny Garnadi, Hendar Permana, Hermanto GS, Hilman Sapriyadi, Irawan Karseno, Marintan Sirait, Narga Shakri Habib, Renee Arturpalit, Retno Pamedarsih, Rochman Nur S, Rudi Nugraha, Satiamarwan, Siswadi Djoko M, Siti Sundari, Supangkat Wahyu, Suwarno, Taat Joedawinata, Tisna Sanjaya........
A Day in The Life muncul secara spontan, tapi sengaja dan disadari diambil dari salah satu judl lagu the Beatles. Judul itulah yang menjadi simboil semangat zaman mereka yang pada saat itu, 1979, mengenyam pendidikan seni rupa di ITB. Lebih lanjut Aminuddin TH Siregar menyatakan bahwa “sejumlah nama di angkatan 1979 itu berada di dalam kelindan semangat zaman yang setidaknya ditularkan oleh para pemusik Inggris itu”. Melalui perhelatan bersama ini diharapkan terbuka sebuah pertemuan gagasan dan inspirasi antar generasi untuk memajukan seni rupa Indonesia ke depan. Barangkali para perupa muda dan seniman yang berpameran dapat saling belajar membaca jamannya masing-masing untuk memetik inspirasi kreatif ke dalam karyanya masing-masing sesuai dengan kaidah keseniannnya........
Beragam teknik dan medium yang digunakan untuk mengolah gagasan atas pilihan masing-masing disajikan dalam pameran ini. Penikmat karya rupa dapat menikmati langsung dan menafsir bagaimana semangat zaman di angkatan itu tergoreskan di dalam karyanya, baik itu lukisan, patung, maupun bentuk grafis seperti Tisna Sanjaya dengan naunsa abu-abu dan hitamnya itu........
Menurut Biranul Anas yang disampaikan dalam pembukaan mengatakan bahwa, pameran ini adalah contoh dari keberagaman cara, upaya, pendekatan dan kiat dalam berkesenian. Pameran ini menunjukkan bahwa semua upaya itu sah selama dilakukan dengan kesungguhan hati dan kesadaran budaya yang utuh........
Menariknya, penikmat karya seni rupa dapat mengapresiasi 70 karya lebih 25 seniman yang sudah malang melintang di seni rupa Indonesia dengan gagasan kreatifnya. Terdapat 6 karya patung dan instalasi dengan beragam tema dan objek. Serta 67 karya berupa lukisan, foto, dan desain yang menambah khazanah keindahan visual di Galeri Soemardja........
Semangat zaman yang ditelurkan di sudut-sudut ruang pamer dari masing-masing seniman memberikan inspirasi kreatif kepada perupa muda. Yang tentunya dapat dipilih atau dibiarkan saja menjadi seonggok gagasan kreatif di sudut karya mereka. Antara lain bagaimana sebuah realitas ditransformasikan ke dalam karya seni, serta bagaimana merancang kode-kode estetik yang disimpan pada elemen-elemen estetik di dalam bangunan karyanya........
Tentu saja bukan hanya sekedar teknik pengemasan bentuk estetik atau sebuah wacana yang ditawarkan sebagai daya tarik, karena seorang seniman harus juga mewakili semangat dirinya atau semangat jamannya pada suatu waktu karya itu diciptakan. Persoalan sikap seniman dalam membaca situasi jaman dan kondisi sosial akan menambah nilai kekhasan bahasa kode pada karyanya sehingga penikmat karya rupa dapat mengenal identitas karya dan senimannya........
Dan sebuah energi positif terjalin kuat di ruang pamer itu. Energi yang terjalin itu lebih merupakan sebuah dorongan sekaligus cambuk kepada perupa muda. “Janganlah kau ikuti kami…bergeraklah sekehendak hatimu…zaman kita berbeda…” kurang lebih demikianlah suara imajiner yang berdengung di ruang pamer ketika pameran itu dibuka secara simbolis dan ratusan penikmat karya rupa pun berhamburan mematri karya yang disajikan di dalam ruang pamer tersebut........
“Macho Man” dan “Pasukan Macho” karya Agus Suwage mendapat perhatian khusus dari apresiator. Agus Suwage menyajikan satu lukisan laki-laki telanjang yang diberi judul “Macho Man”. Sebuah gagasan paternalistik divisualkan secara kasat mata. Ikon laki-laki mendominasi karyanya di galeri Soemardja. Patung-patung kecil dengan saya dari fiberglass digantung pada dinding juga tidak kalah menariknya. Patung yang terbuat dari logam berwarna perak sejumlah 10 buah itu mendekati model patung penghargaan, namun pada selangkangannya terdapat senjata laras panjang sebagai simbol laki-laki atau macho. Sehingga ketelanjangan pada patung itu menjadi kabur terbalut konsep paternalistik atau ikon laki-laki yang mengancam........
Agus Suwage acapkali memuat teks protes atas idiom kultural dimana ia hidup. Masyarakat Indonesia yang didominasi oleh kekuatan laki-laki ini ditegaskan dalam karyanya di dalam ikon “macho”. Narasi tubuh sebagai penanda sosial terlihat secara eksplisit dalam pengolahan bentuk representasinya. Agus Suwage memang konsisten dengan imej tubuh sebagai kendaraan maknawi dari pesan yang hendak ia sampaikan kepada apresiator. Yang demikian inilah kemudian Agus Suwage dikenal sebagai kreator yang mendekonstruksi tubuh bukan hanya sebagai teks........
Kontroversi imej tubuh yang pernah mencuat di kalangan selebritis tak membuatnya jera atau berganti haluan untuk membahasakan makna melalui imej tubuh. Bahwa ketelanjangan adalah sebuah kejujuran sosial yang kini diselimuti oleh kekuasaan manusia itu sendiri, baik melalui bahasa, seni itu sendiri, dan kondisi sosial politik. Agus Suwage melihat kondisi sosial kode estetik yang dapat dicukil secara simbolik ke dalam narasi tubuh pada karyanya. Dan ikon laki-laki pada karyanya yang “Macho” itu bukanlah ikon pertama, narasi tubuh sudah lama diolah Agus Suwage karena ia juga melihat ada sebuah struktur yang stagnan atau status quo di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia........
Lukisan “Wanita” karya Rochman Nur menampilkan kesan eksotisme perempuan Indonesia. Kain motif bunga dengan kemben jadi pakaian atas perempuan Jawa mencirikan kekhasan Indonesia yang indah karena perempuannya. Aspek budaya tidaklah hilang dalam lukisan itu. Cat akrilik merah menjadi aura sang perempuan dan warna hijau pada kulit sang perempuan menandakan sesuatu yang lain. Sosok perempuan desa dengan kesan modern nampak juga dalam pemaknaan lukisan tersebut. Ini menandakan akulturasi perempuan Indonesia pada masa kini yang sudah berbaur dengan budaya Barat. Rochman Nur melihat inspirasi sosial budaya sebagai ikon wacana keindonesiaan........
Sedangkan karya Tisna Sanjaya yang syarat dengan penanda protes sosial disuguhkan dengan karya grafisnya yang tidak lupa juga menyertakan aspek budaya Indonesia. wacana itu termaktub pada karya-karyanya yang berjudul Siklus Abu, Berpihak Pada Dengkul, dan Ronggeng Gunung. Ketiga karya yang disajikan Tisna Sanjaya tidak hanya muatan sosial, tetapi menukik pada persoalan kekuasaan yang menghegemoni........
Lukisan “Tiga Orang Peminum” karya Supangkat Wahyudi memperlihatkan estetika paradoks budaya Indonesia masa kini. Dimana tradisi kehidupan masyarakat desa sangat jomplang atau kontras dengan imej metropolitan. Bangunan pencakar langit berada di belakang tiga orang yang sedang minum jamu kesehatan. Paradoks kebudayaan Indonesia memang masih aktual dalam perbincangan kebudayaan Indonesia, yaitu antara kebudayaan primordial dan modern, antara tardisi Indonesia tua dan tradisi Indonesia baru. Selain karya-karya lukisan figuratif itu, penikmat karya rupa juga dapat menikmati lukisan abstrak yang disajikan oleh Taat Joedawinata dalam dua lukisan yang diberi judul “Para Pemburu Rezeki” dan “Baliku”........
Seniman lainnya menyajikan seni patung dan desain grafis pada iklan komersial maupun non-komersial yang digarap secara profesional dengan memperhatikan aspek fungsi karena berkepentingan dengan dunia kapitalisme. Seni patung dan seni instalasi juga digarap serius oleh seniman jebolan FSRD ITB ini. Mereka semua memang sudah menjadi seniman Indonesia yang sudah malang melintang di dunia seni rupa Indonesia baik secara nasional maupun Internasional........
Pameran SR ’79 ini kemudian menjadi sebuah kilas balik bagi perupa Indonesia yang pada masanya berjuang keras untuk mengaktualisasikan dirinya di dunia seni rupa modern Indonesia. Tentu saja pada masa itu terdapat perdebatan kultur dalam mengolah kreativitas masing melalui karyanya, yakni menyoal estetika Barat dan estetika Timur dengan kearifan lokal seni rupa Indonesia........
Namun demikian konsistensi mereka dalam memajukan khazanah seni rupa Indonesia bukan main-main. Eksistensi mereka tetap diakui oleh penikmat karya rupa dan pengamat seni rupa Indonesia. Dialog yang membincangkan bagaimana mengolah gagasan dari mulai inspirasi awal hingga bagaimana proses akhir karya itu dimaknai oleh penikmat karya rupa pun terjadi selama pameran ini berlangsung. Bagi perupa muda pameran ini bukan sekedar sebuah kilas balik bagaimana mereka menjadi seniman seni rupa dari jaman ke jaman, tetapi sebuah pelajaran berharga dapat dipetik dari pengalaman mereka yang termaktub di dalam karya-karya mereka. (Argus Firmansah/Kontributor lepas Mingguan KOKTAIL/Bandung)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment