Monday, July 30, 2007

A Mild Live Soundrenaline 2007 - Sounds of Change - Bandung

Kampanye Perubahan Lewat Musik
A Mild Live Soundrenaline 2007 mengusung tema "Sounds of Change", maksudnya adalah keinginan bersama untuk mengakomodir semangat dan energi positif dari musisi yang tampil dalam event tahun ini. Musik diyakini sebagai bahasa universal. Segala bentuk perbedaan dapat disatukan melalui musik. Melalui musim juga pesan-pesan sosial bernafaskan perubahan lebih mudah disampaikan kepada semua orang. Dan musik juga dapat menumbuhkan semangat semua orang.
Amelia Nasution, Penasehat Teknis dari TIM HM Sampoerna, menyatakan, "Kami meminta musisi dan band yang tampil untuk menyuarakan dan memperlihatkan perubahan ke penampilan (performance) yang lebih baik agar memuaskan music maniacs di Tanah Air." A Mild Live Soundrenaline mengharapkan tantangan ini dapat ditunjukkan dalam aksi panggung mereka di hadapan ribuan penonton yang datang ke event ini. Sosialisasitema event tahun ini tidak hanya ditujukan kepada musisi yang terlibat dalam tur 5 kota tahun ini, tetapi penonton juga diharapkan dapat memberi energi positif dalam suatu perhelatan musisi besar baik dari Indonesia dan luar negeri. A Mild Live Soundrenaline juga membentuk sebuah "board of change", yaitu dewan juri yang akan menilai penampilan musisi dengan misi menebarkan semangat perubahan positif kepada penonton dan musisi lainnya.
Event musik terbesar ini merupakan produk A Mild Live Soundrenaline yang ketujuh, sejak produksi perdananya pada 2-3 November 2002 di Parkir Timur, Senayan, Jakarta, dengan tema event "EXPERIENCE 'EM ALL". Aura "Sounds of Change" juga dihembuskan di Lapangan Brigif II, Cimahi, Jawa Barat, 29 Juli kemarin. Cimahi (Bandung) adalah kota ketiga setelah merampungkan kampanye perubahan lewat musik di Pangkalan TNI AU, Padang (15/7), dan Lap. Parkir Std. Bumi Sriwijaya, Palembang (22/7) kemaren.
A Mild Live Soundrenaline 2007 menampilkan musisi-musisi besar yang tak kalah serunya di A Mild Stage, yaitu, D'Masiv, The Rain, Rebecca, Java Jive, The Titans, Ello, Naff, Cokelat, Samsons, Nidji, Dewa. Di panggung ini juga tampil band dari negeri Canada, USA, yaitu Dearest.
Di Simpati Stage anak-anak muda Cimahi, Bandung, Cianjur, Indramayu, Cirebon, Sukabumi, dan Brebes disuguhi komposisi musik dan lagu dari kelompok musik dan musisi: BOS, The Upstairs, KSP, Steven & The Coconuts Treez, Melly Goeslow, Tompi, Shanty, PAs Bnad, Naif, dan Ari Lasso.
A Mild Live Soundrenaline 2007, Sounds of Change, juga memberi kesempatan kepada musisi dan band-band indie label di Talent Stage. Yang tampil di sana yaitu Female (Bandung), Not Negative, Nyiur Melambai, Time Bomb (Bandung), Putih, Jawara, Talua, Beethoven from Stereo, Serend, Raygava, Riviera, The Nox Second Civil, Marvell (Bandung), Jaddah, Lady van Johan, Wasabi, Five Minute (Bandung), Dunia, NEo, Zorro, Burger Kill (Bandung), Seringai (Jakarta), Getah, Caffeine (Bandung), Republik (Bandung), Mickel Says, Funky Kopral, Sultan, Cangcuter (Bandung), Juliet, Kojo, Sequinn, Frezia, ST 12 (Bandung), dan Dygta (Bandung). Para penonton yang datang dari berbagai kota dan kabupaten di Jawa Barat ini dihadapkan pada banyak pilihan musisi atau band yang ingin mereka saksikan aksi panggungnya. Banyak penonton kecapean sendiri setelah berburu panggung untuk menyaksikan musisi dan band favorit mereka yang tampil di tiga panggung besar tadi.
Udara panas serta debu tak menyurutkan semangat mereka untuk menyaksikan musisi dan band besar itu. ada yang berteduh di bawah tenada Food Court dengan menu cepat saji dan minuman ringannya. Ada juga yang tetap semangat mengikuti games dan kuis yang diselenggarakan A Mild Live Soundrenaline 2007 dan sponsor event ini. Tidak hanya panggung musik yang disuguhkan kepada penonton A Mild Live Soundrenaline 2007 kali ini.
Itu memang sudah direncanakan oleh tim A Mild Live Soundrenaline 2007 bersama Deteksi Production yang merujuk pada format kegiatan layaknya sebuah festival. Selain game dan kuis. A Mild Live Soundrenaline 2007 juga menyediakan Billiard Zone bagi anak-anak muda yang ingin rehat dengan bermain bola billiard. Giant Obstacles, sebuha permaina ekstrim yang menantang keseimbangan tubuh dan kekuatan, tapi menyenangkan. Ada juga tenda Musiclinic, dimana para pengunjung dapat belajar langsung tentang bermusik dengan bertatap muka dengan musisi atau artis kelompok band. Tidak ketinggalan juga untuk para wartawan yang meliput acara A Mild Live Soundrenaline 2007, Panitia penyelenggaran membuat Red Carpet dalam format Press Room. Foto musisi/band yang tampil sambil wawancara langsung. Sedangkan para penonton diberi kesemptan dengan idola mereka di tenda Meet & Greet. Pengunjung diperbolehkan berfoto bareng atau minta tandatangan.
Waaaaah....semua kebutuhan publik untuk berinteraksi dengan musisi dan band kondang tersediadi arena A Mild Live Soundrenaline 2007 di Lapangan Brigif II, Cimahi, kemarin. Tentu saja kesempatan ini tidak disia-siakan oleh penonton yang datang ke arena A Mild Live Soundrenaline 2007. Malahan festival ini menjadi ajang berburu foto, tandatangan dari sang idola, bahkan bersalaman secara langsung.
Suasana pun rehat sejenak sore harinya. Para penonton duduk di atas rumput Lapangan Brigif II bersama teman, sahabat, kekasih, atau keluarga mereka. Di Press Room, Steven & Coconuts Treez hadir dalam konferensi pers. Wartawan foto yang belum merasa puas memotret aksi mereka di atas Simpati Stage pun hadir untuk mengapresiasi pernyataan atau jawaban band Steven & Coconuts Treez yang secara konsisten membawakan komposisi lagu dengan bit reggae. Meski reggae identik dengan mariyuana, Steven & Coconuts Trees memang tidak bisa mengelak dari image Rastavaria dengan mariyuananya. Namun band ini menyatakan, bahwa mereka hanya mengadaptasi musik reggaenya saja. Karena dengan musik itulah mereka dapat memberi pesan moral kepada pendengar musiknya. Bagaimana hidup sehari-hari tanpa berbuat kriminil, bertahan hidup, menerima apa adanya. Musik Reggae, katanya, bisa dinikmati kapan saja, siapa saja, bagaimanapun juga.
Malam pun menjelang, satu per satu musisi kondang dan band idola masyarakat mulai mengisi waktu yang terasa cepat berlalu. Para penonton pun segera merapat ke barikade, agar sedekat mungkin menyaksikan penampilan para musisi dan band terkemuka itu. Dan ratusan penonton terus berdatangan setiap jamnya, sehingga arena seluas 600 m2 pun padat. Di sela performa musisi dan band di panggung beberapa musisi/band yang sudah terjadwal untuk hadir selama lima menit di Red Carpet diserbu wartawan. Sedangkan wartawan foto sibuk mencari sudut yang paling bagus untuk memotret momen-momen menarik untuk dikirim ke media masing-masing.
Band Scraping fo Change (USA) mengungkapkan rasa gembiranya dalam event A Mild Live Soundrenaline 2007, selain karena tema acara sesuai dengan nama band mereka. Sambutan penonton Bandung yang antusias menumbuhkan semangat baru bagi mereka untuk terus berkarya.
Band Naff, di Press Room (Red Carpet), mengatakan kepada para wartawan bahwa aliran musik Naff adalah Pop-Tulus, "kita bikin yang kita bisa, kita hanya bikin satu rasa musik saja daripada bikin macam-macam rasa," ujar Naff. Mereka juga mengatakan bahwa lagu-lagu cinta yang mereka ciptakan adalah kisah nyata.
Di hadapan kerumunan penonton, tepat di atas Simpati Stage, penyanyi seksi dan mungil bernama Shanty membawakan lagu-lagu hitnya dengan iringan penari latar dengan pakaian yang seksi sekali. setelah membawakan dua tembang hitnya, Shanty menyanyikan salah satu lagu ciptaan Iwan Fals, yaitu "Bento".Antusias penonton juga, apalagi mereka yang membawa spanduk OI (Orang Indonesia), nampak dalam sorotan spotlight. Keringat dan debu tak mereka pedulikan menempel di wajah dan baju-baju mereka. sahut "Sekali lagi....Asyik!" dan "Bento!" oleh penonton dan Shanty silih berganti bersahutan dalam alunan lagu tersebut. Kemudian Shanty membawakan tembang lawas yang berjudul "Tua-Tua Keladi". 'Dia bilang Shanty cantik....Mulut lelaki katanya selalu begitu.....Mengaku bujangan kepada setiap wanita ternyata cucunya segudang'.
Dearest (Canada) di Red Carpet mengungkapkan musik dan audiens di Bandung bagus sekali. Lagu mereka yang berjudul "Changes The World" senada dengan konsep Mild Live Soundrenaline 2007. Yakni perihal perubahan yang menginspirasi. Opini mereka terhadap Indonesia yang diisukan sebagai negara yang ada teroris dan ketidaknyamanan lainnya bagi wisatawan asing untuk datang ke Indonesia, disanggah oleh mereka. Mereka bilang, orang yang mengatakan Indonesia macam-macam itu tidak tahu keadaan Indonesia di dalamnya. Jujur mereka bilang baru pertama kali ke Indonesia, dan semua anggapan buruk tentang Indonesia tidak mereka temukan. Justru melalui event ini kita harus sama-sama berpikir dan bertindak secara positif untuk kenyamanan hidup bersama. Pokoknya, mereka bilang "We Love this country", cinta negeri Indonesia maksudnya.
Kembali ke Simpati Stage, Pass Band membawakan lagu pertama berjudul "Pantai Abis". Di atas panggung Yuki, vocalis Pass Band, menuai harapan dengan mengatakan, "Pengen Bandung lebih hijau. Macet juga hilang. Korupsi juga hilang." Yuki juga menyambut fans mereka yang datang dari Sukabumi, Cianjur, Cirebon, Brebes, dan Indramayu. Penonton dan Pass Band nyanyi sama-sama dalam lagu "Bosan". "Kita pun dengar semua alasan...kita bosan dengar banyak cerita." Pada lagu ketiga, Pass Band membawakan lagu untuk 'Bobotoh PERSIB', setelah menyambut VIKING PERSIB di tengah ratusan penonton. Yuki memanggil pemain PERSIB, yaitu Edi AP dan Dedi Kurnia. Penonton, Viking PERSIB, pun bersorak gembira ketika dua pemain PERSIB naik ke panggung dengan sebuah bola sepak. Lagu yang berjudul "Aing Pendukung PERSIB" dirilis Pass Band sebagai persembahan bagi PERSIB dan pendukung grup sepak bola Bandung itu. Selama lagu itu dibawakan, dua pemain PERSIB memainkan bola dengan kecakapan mereka. Dan pada lagu berikutnya, Pass Band menyertakan tiga orang musisis tradisional yang memainkan seruling bambu dan gitar akustik yang dipetik yang terdengar seperti petikan kecapi.
Selanjutnya, para penonton bergumul di depan dua panggung besar, yaitu A Mild Stage dan Simpati Stage dimana band/musisi besar Indonesia beraksi membasuh kerinduan penggemar mereka. Mereka adalah band Cokelat, solois Ari Lasso, Samsons dengan iringan A Mild Live String Ensamble, Nidji, Naif dan Dewa sebagai penutup Mild Live Soundrenaline 2007 di Lapangan Brigif II, Cimahi Jawa Barat.
Band Nidji tampil membawakan lagu-lagu hitnya disertai performance aktor-aktor dengan baju luar angkasa, memakai helm, dan tongkat lampu merah sembari membawa slogan-slogan cinta, kedamaian, kebebasan, harapan pada sebuah papan. Ari Lasso masih membawakan lagu-lagu bertema cintanya, yang berjudul "Mengejar Matahari", "Seandainya", "Cinta Buta", "Penjaga Hati", "Cinta Terakhir", "Rahasia Cinta", "Misteri Ilahi", dan ditutup dengan lagu "Art Cinta".
Penonton sudah nampak lelah dan dahaga. Namun satu band penutup belum tampil, yaitu band Dewa. Penonton sudah terlihat lelah. wajah-wajah melongok ke panggung ketika Dewa naik panggung membawakan lagu pertama yang berjudul "Pangeran Cinta". Percikan api yang diletuskan dari tabung-tabung kecil di bibir panggung membangkitkan sisa tenaga para penonton. Suasana itu pun dimanfaatkan Dewa dengan lagu "I Want to Back Free", "Laskar Cinta".
Suasana kembali menanjak saat Mulan Kwok naik ke panggung menyanyikan "Cinta Kau dan Dia" dan lagu "Sedang Ingin Bercinta". Semangat penonton tumbuh kembali ketika aksi Mulan Kwok dengan pakaian seksinya, goyangannya, bersama Ahmad Dhani (Dewa) di mulut panggung. Usai lagu kedua, penonton berseru, 'Cium...cium...cium...!' kepada dua artis kondang di hadapan mereka.
Sadari seruan penonton yang menjurus, Mulan langsung mundur ke tengah panggung, 'Emang Tukul....salah acara!', sahut Mulan mesem-mesem. Lalu Dhani bilang, 'Penyanyi yang satu ini agak malu-malu.' Maka penonton pun menyerukan, 'Uuuuu...Uuuuuu...'.Tanpa jeda, Dewa membawakan lagu selanjutnya yang berjudul "Mati Aku Mati", dan ditutup dengan lagu "Arjuna Mencari Cinta".Penonton pun membubarkan diri sebelum lagu terakhir Dewa selesai dibawakan. (Argus Firmansah/Kontributor Bandung - Mingguan Jurnal Nasional)

Thursday, July 26, 2007

Drama Legenda Jakabandung di GK Sunan Ambu, Bandung

Mitos Erotisme dalam Lakon Drama Jakabandung
Sebuah pertunjukan berdurasi 150 menit ini cukup melelahkan untuk diapresiasi. Apalagi dengan banyaknya jeda dengan perubahan setting peristiwa pentas. Tatang R. Macan menjadi sutradara pertunjukan Kidung Jakabandung yang digelar di GK Sunan Ambu, STSI Bandung, pada tanggal 24-25 Juli kemarin. Pertunjukan yang diambil dari legenda Danau Bandung ini memang syarat dengan kearifan lokal. Mitologi menjadi inspirasi kreatif dalam mencipta sebuah pertunjukan drama dengan nuansa tradisi yang cukup menggugah masyarakat Bandung menyoal legenda dan mitologi Danau Bandung. Alkisah, Lahar Burangrang telah menyumbat Citarum di Sanghyang Tikoro (tempat mengalirnya sungai Citarum ke bawah gunung di bagian barat Danau Bandung - Batujajar). Akibat pertempuran Gangga (penguasa air) dan Argapati (penguasa gunung), daratan Parahyangan berubah menjadi telaga yang disebut Danau Bandung. Danau yang besar bagi keturunan Sang Gangga telah menjadi bencana. Turunan Sang Gangga memilih jalan bertapa, agar pertempuran Gangga dengan Argapati, sekaligus bencana, dapat diakhiri. Pertapaan mereka disetujui Sunan Ambu, sebab perkawinan Nyi Badra (turunan Gangga) dengan Raja Darmika (turunan Argapati) telah memberi jalan berakhirnya permusuhan. Restu Sunan Ambu ditandai dengan turunnya syarat, yaitu harus memiliki keturunan laki-laki dan diberi nama Jakabandung. Jakabandung-lah yang sanggup membuka sumbatan Sanghyang Tikoro. Pertunjukan ini dikemas seperti repertoar drama kolosal dengan pola pengadegan wayang orang. Pertunjukan drama Kidung Jakabandung ini merupakan upaya kreatif Tatang R Macan sebagai sutradara dalam membuka peta ingatan masyarakat Bandung dalam hal sejarah nenek moyangnya. Di mana cukilan teks-teks sejarah - legenda ”Danau Bandung” - ditransformasikan ke dalam bentuk yang artistik di pentas, baik dari kostum pemain, gaya pembawaan perannya (akting), musik, penataan pentas, penataan lampu, serta multimedia. Bahasa visual cukup menarik diapresiasi, seolah membawa kesadaran penonton ke jaman dahulu kala. Akan tetapi bahasa masih menjadi kendala komunikasi, yaitu ujaran bahasa Sunda dari pemain yang tidak ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Pertunjukan ini memang digarap secara agak kurang serius oleh sang sutradara, namun pertunjukan malam kedua gangguan komunikasi masih terjadi. Yaitu, penyajian gambar-gambar yang ditembak ke layar belakang panggung terlihat tidak relevan. Lanskap pabrik dan pekerja industri pada jaman modern dengan subjek orang asing jelas mengganggu imajinasi penonton pada adegan-adegan dengan konteks waktu jaman purba. Hal lain adalah kekakuan para pemain dalam membawakan perannya masing-masing. Maka pertunjukan pun jadi terkesan main-main, mirip pergelaran Srimulat, namun tetap saja tidak menimbulkan kelucuan yang mengundang tawa. Salah seorang penata yang terlibat dalam garapan tersebut mengatakan kepada saya pada malam kedua (25/7) usai pertunjukan, bahwa pertunjukan malam kedua, para pemainnya diberi kebebasan karena pertunjukan tersebut sudah diujikan (dalam Program Ujian Pascasarjana, ISI Yogyakarta - penulis). Hal ini sangat disayangkan karena penonton tidak mau tahu tujuan dari pertunjukan tersebut, sementara mereka sudah membeli tiket dan beberapa diundang untuk mengapresiasi. Dengan demikian, penggarap pertunjukan terlihat tidak profesional dalam menyajikan tontonan kepada publik – penonton. Pertunjukan Kidung Jakabandung memang merupakan tafsir sutradara ke dalam bahasa pertunjukan. Hal inilah yang memberi ruang kreatif bebas bagi sutardara sebagai seniman setelah melakukan penghayatan terhadap naskah Sangkuriang karya Utuy Tatang Sontani dan naskah Jakabandung yang ditulis oleh M.A. Salmun. Tatang R Macan dalam pengantar pertunjukan menyatakan bahwa, keinginan untuk melakukan pembacaan ulang terhadap kosmologi, daya religi, mitologi dan entitas manusia merupakan sebuah bentuk pencarian secara ilmiah dalam menciptakan lakon. Hal ini menjadikannya sebuah eksperimen yang perlu diperhitungkan, bagaimana pemahaman terhadap legenda masyarakat diperoleh pelurusan tafsir dengan falsafah Sunda tentang pencarian jati diri Jakabandung. Pengembaraan tokoh dalam mengkaji diri, dari ketidaktahuan menuju tahu, dari antagonistik menuju harmonisasi sosial-spiritual, dan dari amarah menuju pencerahan. Latar belakang inilah yang menjadi konsep pengembaraan Jakabandung (Harya Prabu) direpresentasikan ke dalam bentuk pertunjukan. Pengembaraan Jakabandung di pentas dibuat sangat manusiawi oleh sutradara. Dalam pertapaannya, Jakabandung mendapat godaan erotika, dimana wujud godaan itu dikemas dengan penghadiran perempuan-perempuan seksi yang syarat dengan gerak erotis (diperankan oleh Rina Bello, Linda Tasriani, Nendah Herawati, Mala T, Nurfitriani Fadzriah, Dewi Lestari). “Ini bukanlah erotis…ini adalah ritual,” ujar salah seorang penari yang berperan sebagai penggoda dalam adegan pertapaan Jakabandung. Adegan itu menjelaskan bahwa tradisi budaya Jawa Barat selalu terkait dengan gerakan erotis perempuan. Perempuan diposisikan sebagai seduction (rayuan) oleh sutradara. Adegan ini juga menjadi semacam otokritik kepada masyarakat Bandung sekarang, bahwa perempuan sang pemilik erotisme selalu menjadi penggoda bagi laki-laki. Wacana gender dalam pertunjukan ini memposisikan perempuan sebagai seduction. Sisi manusiawinya, Jakabandung memang tergoda oleh seorang perempuan yang bernama Arcamanik (Lala M Dara). Perempuan dengan penyakit kulit yang menjijikan. Dan kecantikan dari Arcamanik dipulihkan oleh Jakabandung di atas perahu dengan memandikannya dengan air ramuan, sehingga bau busuk dari penyakit Arcamanik jadi lenyap. Pertentangan Rakyat Guriang (Latif Prayitna, Abdhiana, Asep Holidin, Wanggi, Afrizal, Rasyadin, Wail, Dian Remeh) terhadap tindakan Jakabandung yang tergoda oleh Arcamanik jelas muncul, akan tetapi tindakan itu direstui oleh Aki Rahiang Anjun (Rusman Nurdin).
Pertentangan, antagonistik, berlanjut dengan pertempuran Jakabandung dengan tentara penguasa gunung, yang hadir dengan boneka-boneka raksasa berwajah binatang. Hingga akhirnya Jakabandung memenangkan pertempuran itu. Sangat disayangkan pertunjukan drama legenda ini tidak tergarap secara rinci dengan kemasan pertunjukan yang apik. Sehingga sajian yang diapresiasi penonton tidak fokus pada esensi pesan dari tema pertunjukan yang diusung oleh penggarap. Beberapa penonton juga menyatakan rasa kurang puasnya setelah menonton pertunjukan Kidung Jakabandung itu. Hampir semua penonton hanya tertarik pada salah satu adegan saja. Yaitu adegan Jakabandung digoda, dirayu oleh perempuan-perampuan seksi yang tampil dengan gerak tari erotisnya. Perempuan-perempuan (penari) tampil dengan pose-pose menantang birahi laki-laki, terlebih dengan pakaian dalamnya (baju tidur masa kini) yang warna merah, kuning dan biru yang menyala itu. (Argus Firmansah/Kontributor Bandung/ Mingguan Jurnal Nasional, 4 Agustus 2007).

Konstelasi Abu Abu dan Ruang Publik Kota Bandung

Konstelasi Abu-Abu: Sebuah Interupsi Politik Budaya dari Arief Tousiga
Sebuah pameran tunggal dari Arief Tousiga digelar di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung pada tanggal 24 Juli 2007 kemarin. Pameran itu menyajikan proses berkarya dalam bentuk fotografi dan video art. Foto-foto itu memuat gambar-gambar proses pembuatan patung figur manusia, penempatan figure di ruang-ruang publik kota Bandung, hingga beberapa foto yang melukiskan respon masyarakat terhadap patung figure yang dibuat mirip manusia asli dengan warna abu-abu. Patung-patung figure yang menjadi mimesis manusia asli itu dibuat pada tahun 2004 di Rumah Proses kemudian ditempatkan di Kopi Selasar – Selasar Sunaryo Art Space, SPBU 34.401.22 Dago, McDonald’s Setiabudi, Perpustakaan FSRD ITB, Cascade Factory Outlet, dan Kimia Farma No. 10 di Jalan Braga. Respon masyarakat terhadapo keberadaan patung-patung figur mimesis manusia itu direkam dalam kaset video dan jepretan foto, dokumentasi inilah yang dipamerkan di Selasar Sunaryo Art Space dari tanggal 24 – 31 Juli 2007.
Dalam pengantar pembukaan pameran karya Arief Tousiga, kurator Selasar Sunaryo Art Space, menyatakan ketertarikannya terhadap karya Arief ini lebih pada bagaimana menumbuhkan wacana estetika dengan subject matter-nya adalah ruang publik. Proyek seni publik ini cukup menarik karena Arief Tousiga mendudukan kota Bandung sebagai ruang publik yang layak diberi petanda. Pendekatan artistic di ruang publik macam ini menawarkan wacana yang menarik sebagai salah satu genre perupaan yang sudah mapan dewasa ini. Dengan menyodorkan sebuah pertanyaan, manakah yang private dan publik? Heru Hikayat, kurator pameran Arief Tousiga, mengatakan dalam pembukaan pameran bahwa, Arief menggunakan setilasi pada gubahan visualnya. Karena membuat patung figur manusia yang hidup memang susah, di luar kekuasaan kreatornya sebagai manusia biasa, maka ia membuat rancangan mimesis dari figur tubuh manusia itu dengan gubahan visal abu-abu.
Pembukaan pameran tunggal itu dibuka dengan sebuah orasi budaya oleh Setiaji Purnasatmoko. Dalam orasinya, Mas Aji, panggilan akrabnya, memaparkan konsep definitive tentang ruang publik dalam perspektif sejarah kebudayaan. Orasinya berpijak dari wacana filsafat penandaan dari jaman kebudayaan industri tahun 60-an. Sehingga diperoleh pemahaman definitif relatif menyoal ruang publik dalam term-nya sebagai realitas. Ruang publik dalam ranah filsafat tanda (semiotika) adalah realitas. Realitas ini dibangun atas konstruksi tanda oleh aktivitas produksi, sehingga muncul realitas baru melalui proses rasionalisasi. Mas Aji menawarkan pertanyaan atas karya Arief Tousiga ini dengan bunyi, sejauhmana Konstelasi Abu-Abu adalah rasionalisasi ruang? Apakah kota (Bandung) adalah produk atau karya? Masing-maisng ruang yang ditandai Arief Tousiga dengan menampatkan patung-patung itu bukan alam, maka konstelasi abu-abu jadi produk yang membunuh ruang publik itu sendiri.
Sementara pemaparan Diyanto, perupa asal Bandung, menyatakan bahwa, karya Arief ini menarik sebagai wacana estetik. Cuma, yang menjadi persoalan apakah titik-titik Ruang Publik itu direncanakan atau secara politis memaknai ruang? Apakah proses penandaan itu dari patung ke ruang atau sebaliknya? Diyanto juga menilai karya Arief sebagai aksi positif untuk menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat menyoal hakikat atau makna ruang-ruang publik yangmana mereka kunjungi. “Saya kira Ruang Publik memang harus ditandai oleh objek seni, sehingga muncul pemahaman ruang kota.” Pada kesempatan yang sama, Diyanto juga mengkritisi karya patung figuratifnya itu. “Kalau diamati patung-patung itu kehilangan rinci ketika patung figur itu diberi pakaian. Padahal tadi diuangkapkan bahwa Arief memperhatikan rinci karya-karyanya.”
Karya Arief Tousiga ini sebenarnya bukan karya baru dalam wacana seni rupa di abad ini. Perupa atau seniman di Amerika dan Eropa sudah banyak melakukan karya sebagai interruption art space di kota-kota besar seperti Paris, New York, atau kota besar yang menjadi ikon peradaban maju lainnya. Karya semacam ini tidak mengolah hasil akhirnya baik dalam bentuk fotografi atau video art. Sebagai seni yang berpijak pada kebudayaan posmodernisme, penandaan justru sudah dimulai sejak proses fotografi atau pembuatan video art itu sendiri. Masyarakat mengapresiasi karya mereka yang hadir sekonyong-konyong di ruang publik milik umum, dan bentuk apresiasi dari masyarakat itulah yang menjadi penandaan eksternal terhadap karya mereka.
Apa yang menjadi orientasi dari perupa genre ini merujuk pada istilah semiotika, antara lain: citraan baru, realitas baru, representasi dari sesuatu, ada/mengada, pikiran, interpretasi, pikiran, kesadara/ketidaksadaran, media, bahkan anti-estetik. Yasraf Amir Piliang, dalam esai katalognya, mengantarkan karya Arief itu pada wacana seni postmodernisme. Bagaimana kita dapat emmbedakan antara realitas dan citra realitas di dalam dunia yang dibangun oleh tumpangtindih antara citra dan realitas? Bila citra bukan realitas, apakah ‘kehadirannya’ menunjuk pada sebuah realitas di luar dirinya? Apakah realitas hadir ‘mendahului’ citra, atau citra dapat hadir tanpa rujukan pada realitas? Bila citra itu dapat hadir tanpa ada realitas yang mendahuluinya, bagaimana kita menerima citra itu sebagai ‘realitas’?
Tulisan Yasraf pada katalog pameran Arief melegitimasi wacana karyanya sekaligus menempatkan Konstelasi Abu-Abu pada ranah visual art ala Amerika. Penandaan secara simulasi, imaging, serta politik wacana kebudayaan juga nampak jelas dinyatakan oleh Yasraf Amir Piliang melalui teks-teks panjang di katalognya. Di dalam karya-karya patung Arief Tousiga, representasi itu sendiri (patung-patung) yang dibaurkan dengan realitas harian di jalan, apotik, perpustakaan, restoran cepat saji, bertujuan menggugah perasaan tentang lenyapnya batas antara citra dan realitas.
Konstelasi Abu-Abu bergerak di antara pengalaman penampakan: (1) pengalaman berhadapan dengan dunia ‘realitas murni’ atau ‘alamiah’ [natural reality], yaitu pengalama face-to-face di hadapan realitas, yang tanpa mediasi dan intervensi citra, (2) pengalaman berhadapan dengan ‘citra realitas’ [mirror image of reality], yaitu representasi realitas melalui aneka medium dan ekspresi, (3) pengalaman berhadapandengan ‘citar murni’ [pure image], yaitu citra yang dibangun secara artifisial, yang terlepas dan tak ada relasinya dengan dunia realitas itu sendiri. Yasraf juga menyatakan bahwa karya Arief itu memiliki tiga medan tatapan (gaze), yaitu: (1) ‘tatapan langusng’ [face-to-face], tatapan yang di dalamnya mata berhadapan secara langsung dengan objek-objek yang ditatap, (2) ‘tatapan yang dimediasi’ [mediated gaze], mata tidak berhadapan langsung dengan objek yang ditatap, (3) ‘tatapan murni’ [pure gaze], tatapn yang di dalam strukturnya mata secara langsung berhadapan dengan sebiah citra murni, yang tak ada relasinya dengan realitas.
Dalam wacana ini memang muncul persoalan jarak antara objek citraan dengan subjek. Akan tetapi wacana ini telah tumbang di kebudayaan asalnya, yaitu Amerika, karena kesadaran estetika dalam diskursus posmodernisme hanya sebuah replika dari titik balik peradaban Barat yang kehilangan identitas wacana kebudayaannya setelah pikiran-pikiran filsafat dalam sangkutpautnya dengan globalisasi semacam itu tidak menuntaskan masalah sosial dan individu (humanisme universal). Arief Tousiga sendiri melihat sebelah mata ketika melihat budaya metropolis orang-orang Bandung dengan tindakan konsumerismenya. Peristiwa budaya yang terjadi di ruang publik kota Bandung tidak dapat semena-mena dikatakan sebagai produk budaya global murni. Bahwa gaya hidup, konsumerisme, tidak memiliki akar sejarah budaya seperti yang terjadi di Amerika dan Eropa pada abad 20.
Sejarah budaya Indonesia berbanding terbalik dengan arah kemajuan kebudayaan Barat dan Eropa. Kesadaran inilah yang tidak ditemukan jejaknya pada seniman muda yang menatap kebudyaan Barat dan Eropa sebagai citra tertinggi, padahal kebudayaan mereka kini mulai menelisik kebudayaan Asia Tenggara, Indonesia khususnya, sebelum istilah Nusantara muncul dalam wacana kebudayaan secara geografis. Yasraf memang terbilang rajin memungut istilah-istilah kebudayaan postmodern dalam menilik suatu karya yang menggunakan instrumen atau produk-produk globalisme. Padahal senyatanya, Indonesia (Asia Tenggara) belum melalui peradaban industri seperti Amerika dan Eropa.
Konsep ruang dimaknai secara rasional oleh masyarakat kita hanya menjadi sebuah tindakan adopsi parsial untuk menyusun pemikiran pseudo-Western dalam estetikanya. Bukankah konsep ruang dan maknanya sudah kita miliki di dalam mitologi budaya Indonesia yang terpelihara oleh masyarakat yang Jawa, Sunda, Melayu, bahkan Asmat sekalipun. Wacana realitas dengan teks-teks panjang Yasraf Amir Piliang tidak lebih dari sekedar pengutipan istilah budaya yang sempat trend di Amerika pada tahun 1970-an. Sebuah wacana yang muncul dari gerakan seniman yang mengalami cultural-shock di abad industri. Dan Konstelasi Abu-Abu itu hanya sebuah pameran proses bagaimana Arief Tousiga memberi makna pada ruang-ruang publik. Perdebatan wacana di dalam karya itu tak lebih dari politisasi wacana estetik yang diadopsi dari gerakan estetik Amerika pada abad 20, khususnya oleh Yasraf Amir Piliang yang sempat mengenyam serpihan wacana postmodernisme di Amerika. Maka karya Arief Tousiga pun cenderung menjadi tindakan snobis estetika Amerika. Kekayaan dari kearifan lokal kita tidak tersentuh dalam karya Arief Tousiga.
Inilah beberapa teks asli dari sanga pemilik kebudayaan global menenggarai wacana ruang publik karya Arief Tousiga sebagai mimesis seni postmodernisme Amerika dan Eropa. Sehingga apresiator memiliki consciousness terhadap adoption of terms yang dilakukan Yasraf Amir Pilaing dalam katalog pameran Arief.
...the scenario of the 'overexposed city', as the French urban socioligist Paul Virilio calls it, captures the postindustrial ambience that we begin to experience in the changing relationships of our bodies and our consciousness to the sprawling ubiquity and instantaneousness of information in our electronic culture. Virilio explains this sprawl in terms of a telecommunicational world of absolute speed that will ultimately abliterate cities and their inhabitants. But there is another fiercely debated French theory. Jean Baudrillard's concept of 'simulation' semms even more pertinent to American perceptions of the technological 'revolution' and the new 'automobility' of audiovisual information (Johannes Birringer, 1991;114).
The problematic of postmodernism-and its significance as a cultural struggle over the perception and evolution and evaluation of the historical moment in which we live-involves both aesthetic and political question. Much of this discourse and ideological critique, as a repertoire of posibilities for an ongoing inquiry into the social processes of reading and viewing capitalist development and modernization rather than imposing an apparatus of imported and domestic concept of poststructuralism/postmodernism, are made to converge here on the question of how one might have to rethink the idea of performance in the mid-1980s and after. This is especially true at the level of postindustrial information and communication technology and mass-mediational system (Johannes Birringer, 1991;169-170).
.....As Jean Baudrillard observes, our livestyles have grown used to the soft, homogenizing operation od mass communication and commodification forms (with especially high acceleration and self-replication in fashion, entertainment, and art market) which render 'real' formal distinctions (i.e. qualitative perceptions of meaning) and the particularity of aesthetic objects virtually obsolescent categories in view of tehe emerging noncategirical logic of ourely operational surfaces-teh logic of 'imagogenetics' and 'computergrammatics', for examples, taht was so forcefully captured by Nancy Burson's recent exhibition of 'simulacra: Forms without Substance' (International Center of Photography) (Johannes Birringer, 1991;171).
Inilah cermin generasi muda yang kehilangan identitas budayanya sendiri, sehingga melupakan filsafat budaya lokal bangsa Indonesia. Namun demikian karya patung mimesis dengan perdebatan menyoal ruang publik merupakan ekspresi seniman muda yang mengenyam pendidikan seni di Institut Teknologi Bandung. (Argus Firmansah/Kontributor Mingguan Jurnal Nasional/Komunitas Pantau - Bandung).

Wednesday, July 25, 2007

Pameran "Perang Hamad Khalaf" di Galeri Soemardja

Mitologi Yunani Kuno dalam Dunia Rupa
Pameran bertajuk Camouflage: Acts of War karya hamad Khalaf digelar di Galeri Soemardja, Bandung. Pameran tersebut dibuka pada tanggal 20 Juli hingga 8 Agustus dengan Rifky Effendy sebagai kurator.Hamad menyajikan karya objek dan instalasi sebagai salah satu genre seni rupa yang diamininya. Medium itu dianggap bisa merepresentasikan perenungannya terhadap perang dan trauma yang dialaminya. Serpihan-serpihan sisa Perang Teluk menjadikannya sebagai salah satu tonggak perubahan tata sosial-ekonomi global dalam karya-karya Hamad.
Teks kamuflase terinspirasi oleh peristiwa sejarah Perang Teluk di dataran Timur Tengah berapa tahun yang lalu, di mana Irak menginvasi negeri penghasil minyak dunia, Kuwait. Rifky mencatat bahwa karya-karya Hamad Khalaf itu adalah sebuah konteks relasi seni visual dengan perang yang dikorelasikan dengan motologi Yunani Kuno. Dalam dongeng “Illiad” karya Homer, terurai bagaimana manusia saling membunuh, mencurangi, konspirasi dengan para dewa. Perang dibuat sebagai metafor dari nilai kehidupan sendiri. Pameran ini menyentuh pokok soal perang dengan gestur yang lebih puitis dan erotis, tapi politis sekaligus. Menyamarkannya dengan apropriasi citra mitologi Yunani diterapkan ke dalam objek-objek militer. Objek-objek itu dibungkus oleh benda-benda yang seolah menjadi artefak arkeologis, sehingga apresiator lebih melihatnya sebagai benda-benda yang lazim ditemukan di museum sejarah.
Perang Irak-Kuwait menjadi inspirasi kreatifnya untuk mengumpul dan menyusunnya menjadi sebuah kumpulan benda sejarah. Benda-benda militer bekas tentara militer itu dikemas dalam bentuk replika. Proses kreatifnya memang diawali dengan pengumpulan benda-benda bekas tentara militer sebanyak lebih dari 600 objek. Sebagian hasil koleksinya disimpan di tempat tinggalnya di Kuwait, dan sisanya di simpan di studio milik pribadinya di Bali, Indonesia.Kegemarannya membaca mitologi Yunani sejak usia remaja dan digabung dengan kesenangannya pada koleksi benda-benda menumbuhkan kesadaran kreatifnya untuk menjadikannya sesuatu. Sesuatu itu kemudian dihubungkan dengan perasaannya terhadap perang. Maka semua itu menjadi gagasan kreatif untuk mencipta sebuah konstelasi perupaan yang dapat mewakili perasaannya. Pokok soal perang dikumpulkannya hingga terdorong untuk mengoleksi benda-benda sisa perang, termasuk serpihan Bom Bali (2003).
Dalam sudut pandang perang yang diramunya dengan mitologi Yunani Kuno, maka benda-benda itu pun menjadi sebuah kumpulan artefak. Dan artefak itu emnjadi narasi yang terpenggal dan tercerai, sehingga rangkaian narasi itu tampak seperti sebuah puzzle. Melalui karya ini, Hamad berhasil membuat intertekstualitas antara objek-objek militer, peristiwa perang, dan mitologi Yunani yang dipandangnya erotis itu. Objek-objek itu tentunya berdiri sendiri sebagai teks, dibangun dalam satu relasi artistik Camouflage: Act of War. Apresiator diundang untuk melakukan sebuah proses interpretasi dan artikulasi terhadap arketif perang pada objek-objek yang dihadirkan Hamad Khalaf di ruang publik seni rupa, Galeri Soemardja. Bagaimana objek-objek perang Irak itu menumbuhkan kesadaran bahwa esensi perang itu bukan sekedar destruksi, melainkan sebuah narasi kekuasaan politis.
Dari objek-objek itu apresiator dapat menelisik sisi lain dari perang, bahwa aksi politis dengan peralatan tempur itu merupakan kumpulan tindakan fragmented yang erotis ketika dikorelasikan dengan mitologi Yunani Kuno. Ada sisi humanisme dekonstruktif dalam perang, bahwa persoalan perang bukan sekedar bagaimana kekuasaan itu menelanjangi humanisme secara politis. Hingga menjadi perkara yang menakutkan dan traumatis. Oleh karena itu benda-benda yang disajikan bersama gambar-gambar arketif mitologis menjadi memorabilia yang seksis bagi manusia universal.Perang dalam sejarah peradaban merupakan keniscayaan yang selalu mengiringi hidup manusianya. Ironisnya, tulis Rifky Effendy, perang memancarkan enerji artistic yang luar biasa, seperti juga tema-tema dalam karya-karya maestro seperti Goya, Picasso, Kollwitz, maupun karya sastra dan filsafat. Maka perang memaknai budaya manusia dari jaman ke jaman secara estetika.
Aminudin TH Siregar menyatakan, bahwa artefak perang seperti tentara, masker gas, selongsong peluru, granat, helm, dan sarung tangan dilukiskan Hamad dengan penggalan citraan dari mitologi Yunani kuno. Dan Hamad percaya, kesenian adalah jalan lain untuk mengelola enerji negative akibat perang. Maka serpihan-serpihan perang itu pun bagi Hamad merupakan renungan-renungan yang terpetik dari situasi globalisasi abad 21.Hamad Khalif yang lahir di Kuwait 1971 ini lulusan Schiller University, Paris. Bekerja sebagai analis retail minyak di Kuwait Petroleum Corp., Kuwait dan Rotterdam (1994-2001). Senior representative di Kuwait Petroleum Far East, Singapura (2001-2003). Les Argonautes, sebuah situs instalasi khusus dan video di Hall Miro III, UNESCO Headquarter, Paris pada tahun 1998. pameran pertama digelar di Galeri Nadi, Jakarta bertajkuk Acts of War di Jakarta. Sebelum melakukan eksibisi di Galeri Soemardja yang bertajuk Acts of War, Hamad menggelarnya di Galeri Cemara 6, Jakarta, pada tahun ini. (Argus Firmansah/Kontributor Mingguan Jurnal Nasional/Komunitas Pantau - Bandung)

Pameran "Organisma Kota" di Galeri Redpoint Bandung

Eksplorasi Karakter Visual Sri Maryanto Tiga teknik visual yang digarap Sri Maryanto pada Pameran Tunggal “Organisma Kota” adalah lukisan, drawing dan cukil kayu di Galeri RedPoint, Bandung. Pameran tunggal Organisma Kota itu dibuka oleh Tisna Sanjaya pada tanggal 20 Juli 2007 kemarin yang akan digelar hingga 12 Agustus 2007. Pameran tunggal tersebut merupakan prorgam eksibisi Galeri RedPoint yang terakhir sejak tahun 1993 berkiprah sebagai ruang publik karya-karya grafis dari seniman lokal, nasional, hingga internasional. Sri Maryanto yang akrab dipanggil Antok ini menyajikan 10 karya deengan medium lukisan, 6 karya dengan teknik cukil kayu pada MDF, serta 7 karya drawingnya. Antok menggarap visual pertumbuhan kota sebagai inspirasi kreatifnya. Penampilan kota yang lazimnya menjadi pemandangan berupa gedung megah dan keras itu diolah secara alami dengan penggunaan ikon tumbuhan seperti, batang pohon atau daun. Sehingga kesan visual sebuah pemandangan kota dengan bangunan kuatnya dibuat gemulai dan eksotis. Dan kesan ini membuat karya-karya Antok terasa akrab sekaligus miris, karena mengingatkan kita pada sebuah kerinduan hijau daun dan pepohonan rindang yang jadi tempat berteduh masyarakat dari sengatan matahari atau air hujan.Judul karya “Bercocok Tanam” misalnya, sebuah goresan drawing dengan karakter kuat pada kertas oleh pensil dan ballpoint dari tangan Antok. Drawing tersebut memposisikan sosok manusia yang sedang menanam tanaman. Akan tetapi tunas-tunas pohon yang tampil pada drawing tersebut bukan pohon sebenarnya, karena terlihat ada jendela kaca pada tubuh pohon tunas itu. Ini jelas merupakan simbol pembangunan kota dengan bangunan-bangunan tinggi, tapi nampak gemulai dan fleksibel seolah dahan-dahan yang tengah ditiup angin. Demikian halnya dengan karya Antok dengan teknik cukil kayunya. Karya “Pencakar Langit” misalnya, warna ungu yang dominan menawarkan sebuah kesendirian dan keluguan sebuah bangunan pencakar langit yang berbentuk batang pohon besar dengan dahan-dahannya yang merambah ke langit. Gambar “Pencakar Langit” pun nampak anggun jadinya. Tidak garang seperti wujud asli pencakar langit yang banyak ditemukan di kota besar seperti Jakarta.Satu lukisan yang sangat eksotis dan cantik dipandang. Yaitu lukisan Antok yang berujudul “Tetap Tumbuh”. Lukisan ini menyajikan gambar batang pohon dengan nuansa gradasi warna hijau lumut yang berbentuk geliat tubuh perempuan. Heru Hikayat dalam pengantar pameran Antok (20/7) mengatakan, karya-karya Antok ini menunjukan sebuah kepedulian pada sebuah penampilan kota. Bentuk organik pada gambar-gambarnya memperlihatkan gemulainya alam. Teknik garapan karyanya dengan cukil kayu, drawing dan lukisan dilakukan secara konsisten, sehingga muncul karakter kuat Antok pada karya-karyanya. Dan karya-karya Antok itu memang sangat akrab, terutama bagi masyarakat kota Bandung. Sedangkan Tisna Sanjaya dalam orasi pembukaan pameran “Organisma Kota”, memaparkan teknik eksplorasi visual dari karya-karya Antok ini sebagai pengayaan kreativitas seorang kreator grafis. Dalam kurasinya, Heru mencatat, bentuk-bentuk organik yang diapresiasi dari karya-karya Antok awalnya mengingatkan tentang penampang kota organik seperti terlihat dari peta udara. Dan Antok tidak lagi sibuk dengan rinci naratif yang menghubungkannya dengan kenyataan actual. Hubungan yang dimaksud adalah dalam pola satire. Kali ini Antok membangun suatu asosiasi: tindak pengkolonian manudia di alam dianggap serupa dengan pertumbuhan organik. Dengan kata lain, soal natur dan kultur yang biasa dibedakan secara diametral, pada karya-karya Antok didudukan simetris.Kedua hal ini diasosiasi dalam suatu asosiasi antara bangunan tempat manusia berkegiatan dengan tetumbuhan. Lalu di luar keduanya adalah alam: dataran, laut, langit, awan. Begitu asosiasi ditetapkan, ia bisa lincah menggarap keberbedaan masing-masing teknik. Heru melihat karya drawing sebagai induk eksplorasi teknik penggarapan visual di karyanya. Citraan yang dihasilkan pada karya-karya Antok menyerupai pisau bermata dua: di satu sisi ia membuat jarak dengan kenyataan, di sisi lain ia menandai kenyataan tertentu. Dan kekhasan masing-masing medium menjadikannya puitis. Inilah karya grafis dari tangan kreatif pemuda asal Klaten, Jawa Tengah. Antok seakan merindukan dunia organik yang terus tumbuh di dalam dunia metropolis. Sebuah kerinduan yang juga mengetuk apresiator soal alam yang terganggu di kota-kota besar karena pertumbuhan kebudayaan manusia dalam wujudnya yang megah, kasar, dan tidak gemulai. Boleh jadi karya “Organisma Kota” merupakan peringatan atas kekayaan alam yang semestinya ada seiring pembangunan kebudayaan manusia di salah satu dataran yang disebut ‘kota’. Maka kesadaran terhadap lingkungan alam pun mengetuk imajinasi manusia kota yang mengapresiasi karya Antok itu. (Argus Firmansah/Kontributor Bandung Mingguan Jurnal Nasional/Komunitas Pantau)

Friday, July 20, 2007

Esai Foto: "Merah Bolong" Teater Payung Hitam

Pertunjukan Merah Bolong digelar oleh Teater Payung Hitam pada tanggal 18-19 Juli 2007 di GK. Dewi Asri - STSI Bandung. Pertunjukan ini disutradarai oleh Rachman Sabur, dan akan dipentaskan juga di Australia pada tanggl 10 Agustus 2007 (Foto/Teks: Argus Firmansah)

Pendidikan di Kota Bandung Masih Mahal

Penerimaan Siswa Baru Bermasalah di Bandung
Tahun ajaran baru di sekolah-sekolah sudah akan memuali proses pendidikan dasar sembilan tahun. Akan tetapi sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh pihak sekolah dasar sampai sekolah lanjutan atas dan kejuruan ditemukan oleh Koalisi Pendidikan Kota Bandung dalam pemantauannya. Anggota KPKB yang berjumlah 15 orang menghadap Komisi D DPRD Kota Bandung, Senin pagi kemarin (16/7) dan diterima anggota dewan yang antara lain oleh Ibu Kusmeni, Bapak Ahmad Nugaraha, Ibu Ros Komala Dewi, dan Bapak Arif Ramdani di Ruang Rapat Komisi untuk mengakomodir hasil pemantauan dan pengaduan masyarakat Bandung dalam pelaksanaan penerimaan siswa baru (PSB) 2007.
Koordinator KPKB, Iwan Hermawan, memberikan sejumlah data faktual kepada anggota Komisi D perihal pelanggaran-pelanggaran dalam proses PSB kemarin di Bandung. KPKB menemukan bukti pelanggaran yang antara lain: pelanggaran SK Kadisdik No. 422.1/2307-TU/2007 poin 4.1.9; perihal penolakan/pengusiran siswa dari keluarga tidak mampu di sebuah SMP berstatus negeri oleh seorang wakil kepala sekolah di lapangan sekolahnya. Siswa dan orang tua siswanya tidak diterima di ruangan sebagaimana mestinya. Pelanggaran SK Kadisdik No. 422.1/2307-TU/2007 poin 1.6; oleh sebuah SMK Negeri memungut biaya sebesar 500.000,00 kepada siswa dari keluarga tidak mampu pada saat daftar ulang. Pelanggaran Petunjuk Teknis (Juknis) Disdik Kota Bandung tentang Penyelenggaraan Seleksi Akademis pada SMP pada poin C.4.p; dalam kasus penyegelan sampul LJK di ruang Panitia yang seharusnya dilaksanakan di ruang Seleksi oleh Pengawas Ujian.
Pelanggaran lain adalah, banyaknya sekolah-sekolah (SD - SMK) yang memungut biaya saat mendaftar ulang dalam kisaran 500.000,00 sampai 2.000.000,00. tindakan ini melanggara SK Kadisdik No. 422.1/2307-TU/2007 poin 3.5.3., 4.5.4., 5.5.4., 6.5.4. Juga masih berlangsungnya program Masa Orientasi Sekolah (MOS) di hampir seluruh sekolah di Bandung. Sebuah kegiatan perpeloncoan yang dilakukan oleh kakak kelasnya dengan memperlakukan siswa baru sewenang-wenang; siswa baru harus membawa barang-barang/makanan yang sulit dicari dengan biaya yang mahal. Tindakan perpeloncoan ini melanggar SK Kadisdik No. 422.1/2307-TU/2007 poin 4.5.6., 5.5.6., 6.5.6.
KPKB menuntun dibentuknya sebuah Tim Investigasi Independen tentang pelanggaran PSB oleh Dinas Pendidikan Kota Bandung yang melibatkan Dewan pendidikan Kota Bandung dan LSM Pendidikan. Mereka juga menuntut agar Pemkot Bandung memberikan sanksi sesuai dengan PP No 30/1980 tentang Disiplin PNS kepada Kepala Sekolah sebagai penanggungjawab PSB di sekolahnya jika terbukti melanggar Peraturan Walikota dan SK Kadisdik No. 422.1/2307-TU/2007 tentang PSB. Tuntutan terakhir KPKB adalah menghimbau agar dihentikan segala bentuk penjualan atribut sekolah kepada siswa. Alasan mereka adalah tindakan itu memberatkan orang tua siswanya dan bertentangan dengan sekolah sebagai lingkungan berwawasan wiyata mandala.
Setelah mendengar masukan dari KPKB anggota Komisi D mengatakan, sudah berulang kali melakukan pengawasan kepada Dinas Pendidikan Kota Bandung jauh sebelum pelaksanaan PSB. Akan tetapi rupanya ada sindikasi antara Kepala Sekolah dan Dinas Pendidikan terhadap pelanggaran aturan-aturan PSB tersebut, dan hingga saat ini belum ditemukan faktanya. Arif Ramdani menegaskan, “Akan meberi tindakan tegas terhadap pelanggaran yang terjadi ini. Dan akan melakukan evaluasi dengan memanggil Dinas Pendidikan kota Bandung dalam waktu dekat…setelah PSB mungkin.” Aspirasi KPKB perihal penyelewengan PSB yang ditemukan KPKB, Arif Ramdani, Komisi D, merupakan informasi berharga untuk mengawasi dan mengevaluasi PSB di Bandung.
Di dalam forum itu Dan Satriana mengatakan, bahwa persoalan ini sudah bertahun-tahun dikemukakan, akan tetapi tidak ada penyelesaian. Masalah itu muncul berulang kali dengan modus yang sama, dan tidak ada perbaikan. Satriana mengatakan juga maslah PSB Online yang tidak efektif, akses macet, pemeliharaan dan instrumen yang tidak mendukung aksesibilitas masyarakat terhadap online system tersebut. Ia juga menilai internet di sekolah-sekolah sangat tidak efisien bila hanya digunakan untuk PSB saja, padahal alokasi dana cukup besar untuk penyelenggaraan sistem itu.
Pertemuan KPKB dengan Kimisi D itu juga dihadiri oleh orang tua siswa yang tertimpa masalah serupa. Ibu Nita, warga kotamadya Bandung memaparkan, anaknya sudah tercantum di PSB Online dan diterima di SMPN 3 Bandung. Tetapi pihak sekolah menanyakan asal sekolah anaknya. Setelah diterangkan bahwa anaknya dari sekolah dasar di Kabupaten Bandung, maka anaknya hanya diterima pada piliha kedua, yaitu SMPN 10 Bandung. “Saya bertanya, apakah sistem ini sudah benar atau tidak?” keluhnya.
Persoalan ini dibungkam oleh pihak sekolah yang melakukan pelanggaran dengan memberi uang pelicin kepada wartawan, sehingga sekolah yang bermasalah tidak terungkap. Meski demikian, anggota Komisi D tidak dapat berbuat banyak untuk menyelesaikan masalah pendidikan di Bandung, karena terbatas pada kewenangannya sebagai pengawas pelaksanaan pendidikan saja. Padahal sudah berulangkali melakukan evaluasi melalui Dinas Pendidikan Kota Bandung. (Argus Firmansah/Kontributor Bandung).

Teater Palagan dan Kisah Desanya

Teater Bunyi pentaskan “Dunia dari Suara Kami”
Orang-orang kampung Palagan sedang melaksanakan ronda malam, siskamling. Mereka membincangkan kehidupan sehari-hari warga kampung. Soal ekonomi warga dalam suasana akrab penuh canda. Kang Diki mencurahkan kehidupannya sebagai supir bus yang sepi muatan akhir-akhir ini. Seruling dari bambu ditiup. Suasana masyarakat desa kian terasa jauh dari kehidupan hangar binger perkotaan. Kebanyakan dari mereka yang bekumpul di pos siskamling adalah petani. Pembicaraan pun lebih banyak membahas kehidupan petani, namun harga kebutuhan pokok dikeluhkan warga karena mahal.
Dua orang pemuda yang gemar mengintip hendak pergi ke kampang Palagan, karena menurut rumor ada janda kaya di kampung itu. Tengah malam itu, mereka habis pulang menonton wayang di sudut kampung yang lain. Setibanya di rumah janda, mereka melihat jendela kamar janda tinggi sekali sehingga mereka harus bahu-membahu menaiki jendela agar dapat melihat janda di dalamnya. “Biasanya jam 3 pagi janda sedang asyik-syiknya anu,” ujar salah pemuda dengan dialek melayu Palembang. “jaman sekarang ngga penting jandanya, yang penting duitnya yang banyak,” sahut pemuda pengintip yang lainnya. Pergilah dua pemuda melayu itu ke rumah janda.
Namun aksi mereka gagal, karena jatuh dari jendela itu. Warga kampong yang sedang siskamling mendengar suara mereka. Tentu saja mereka curiga ada maling di rumah janda. Dua pemuda itu pun tertangkap basah, lalu diinterogasi.“Kamu maling yah?” tanya salah seorang warga.“Tembak di tempat!” sahut yang lain. Penonton tertawa mendengar celetukan pemain itu. Kedua pemuda pun gugup dan ketakutan sambil menjelaskan tujuannya di halaman rumah janda itu.“Bakar saja!” tukas yang lain lagi. Penonton tertawa lagi mendengar celetukan pemain yang lain. Dua pemuda itu menjelaskan bahwa mereka habis menonton wayang golek, tujuan ke kampung Palagan untuk melihat janda kaya.“Jangan bertele-tele!” tukas
warga yang ikut siskamling. Dan akhirnya dua pemuda itu mengaku perbuatannya, mengintip janda kaya. Aksi warga yang sedang siskamling ingin menghakimi dua pemuda itu terhalang oleh kedatangan seorang hansip. Dua pemuda itu diamankan hansip. Warga kecewa karena tidak bisa berbuat apa-apa terhadap dua pemuda seberang itu. Kemudian ditanya maksud dan tujuan mereka di rumah janda oleh hansip.“Kami mau mengintip janda, kang hansip,” sahut pemuda itu.“Lain ngajak urang ngintip janda mah,” kata hansip. Penonton dan warga siskamling tertawa sambil ngedumel, “ngeduluin ronda ngintip jandanya.”Tidak lama kemudian terdengar suara adzan shubuh. Warga siskamling pulang ke rumah masing-masing. Pemuda Palembang dan hansip pun lenyap. Lalu terdengar suara ayam berkokok dari salah satu pemain yang berperan sebagai warga yang sedang siskamling. Alkisah, waktu di kampung itu sudah pagi hari. Sebuah keluarga petani diperankan oelh sepasang pemain dengan menggunakan bahasa Jawa. Adegan ini pun tak kalah lucunya bagi penonton, karena memang cara berujar pemainnya yang lucu. Kreativitas imajinasi mereka menjelaskan keterangan waktu, pagi hari, divisualkan dengan adegan siaran radio dari berbagai jenis berita dan program radionya. Kantor berita Radio Palagan misalnya, menyiarkan berita ekonomi seputar harga kebutuhan sayur-sayuran dan kebutuhan pokok lainnya. Radio Palagan yang lain, masing-masing memberitakan informasi politik, informasi olahraga, juga radio anak muda dengan sajian program request lagu dengan sms (sort messege servise). Masuk lagi kemudian tukang perabotan dapur. Tukang perabot rumah tangga ini menawarkan sebuah coet dengan harga 45 ribu rupiah. Pemain yang berperan sebagai warga terkejut dengan harga itu, karena biasanya tidak lebih dari 5 ribu rupiah. Lalu dengan santai pedagang itu menjelaskan harga coet semahal itu, ”Ini bukan coet biasa, Bu. Coet ini harganya 45 ribu rupiah karena ada emasnya.” Penonton pun tertawa lagi. Tukang sayur juga sama, menawarkan harga sayur dengan harga tinggi. Kondisi harga kebutuhan pokok yang mahal ini menjadi bahan gunjingan para ibu-ibu di kapung Palagan. Adegan dilanjutkan dengan munculnya seorang pemuda yang muncul di pentas dengan membaca sebuah puisi. Kemudian bertemu kawannya di jalan dan berkumpul di warung kopi.“Pesan kopi, kopinya jangan terlalu manis, karena yang bikinnya udah manis,” ujar pemuda kepada kawannya. Di warung itu mereka berbincang-bincang tentang banyak hal. Topik pembicaraan utamanya adalah Hari Ulang Tahun kampong Palagan yang ke-20. Lalu, soal pendidikan sekolah yang mahal. Warga kampung Palagan mengeluhkan biaya sekolah anak-anaknya yang mahal. Karena mahalnya ada anak yang sudah berumur dua puluh tahun belum sekolah. Kemudian dijelaskan perihal dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kepada warga yanga ada di warung itu. Namun tiap kali juru penerang menjelaskan soal pendidikan, warag yang ada di warung mengeluarkan suara rebut sehingga tidak terdengar penjelasan perihal pentingnya pendidikan bagi masyarakat. Pertunjukan teater yang diperankan oleh anak-anak penyandang cacat dari Yayasan Wyataguna, Bandung, membuat penonton yang hadir di auditorium Center Culturel France (CCF) Bandung tertawa dan haru sekaligus malam itu. Menyaksikan permainan drama tanpa alur cerita yang dibawakan oleh mereka. Pertunjukan itu merupakan representasi kreativitas masyarakat tuna netra dalam sebuah kelompok yang diberi nama Teater Palagan. Pertunjukan perdana itu disutradarai oleh Bobteguh. Pertunjukan ini menitikberatkan pada unsur bunyi sebagai media transformasi visual. Mereka menamakan pertunjukan itu sebagai “peristiwa suara…” yang dihasilkan dari proses latihan teater dan improvisasi masing-masing pemain. Bunyi adalah media komunikasi pemain-pemain Teater Palagan yang tergolong berkemampuan khusus itu. Bloking pemain pun statis, bermain di masing-masing area berakting sesuai dengan kelompok perannya. Meski demikian, permainan teater mereka dapat ditangkap dan diapresiasi dengan baik oleh penonton. Walaupun bahasa yang mereka gunakan dominan berbahasa Sunda. Pertunjukan teater yang berlangsung selama 40 menit ini mementaskan kehidupan masyarakat desa yang khas dengan persoalan hidupnya seputar harga beras, biaya pendidikan yang mahal, rumor tentang janda baru, dan kehidupan petani lainnya. Sehingga, kesan yang ditimbulkan dari permainan akting mereka adalah keakraban dan sederhana. Pertunjukan yang diberi judul “Dunia dari Suara Kami” ini secara ekplisit adalah sebuah gambaran kehidupan manusia dari pandangan masyarakat dengan kemampuan khusus. Bahwa sebuah kehidupan manusia yang reka untuk kebutuhan seni pentas dapat diwujudkan melalui kreativitas masyarakat berkemampuan khusus ini. Pentas teater ditutup dengan adegan pembacaan sajak dari seorang gadis yang isinya adalah doa bagi masyarakat akan peningkatan harkat dan maratabat kemanusiaan manusia Indonesia. (Argus Firmansah/Kontributor Bandung Jurnas Minggu).

Monday, July 16, 2007

Pangandaran Tersenyum 2007; Kenali Negerimu...Cintai Negerimu

Direktorat Jenderal Promosi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia menggelar program "Pangandaran Tersenyum; Kenali Negeri, Cintai Negerimu" di kawasan wisata Pangandaran, Kabupaten Ciamis, pada hari Selasa (10/7) sebagai upaya pemerintah pusat bekerjasama dengan pemerintah setempat untuk merevitalisasi aset wisata daerah. Progam ini dilakukan untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisata dari luar negeri ke tanah air. Setahun bencana tsunami di Pangandaran dengan ratusan korban jiwa bagi masyarakat Jawa Barat merupakan sejarah alam di mana manusia hanya bagian dari Alam Raya.
Program Pangandaran Tersenyum 2007 yang digelar di lapangan Boulevard Pantai Barat Pangandaran dimeriahkan dengan panggung musik yang menghadirkan Voo band, YSG Band, Time Bomb Blues, Andi/Riff, dan Naif. Untuk kali pertama grup musik Naif menampilkan aksi panggungnya di Pantai Pangandaran. (Argus Firmansah, 10 Juli 2007)