Anak Senang Orang Tua Juga Bangga
Ratusan anak-anak sekolah dasar dan pra-sekolah berkumpul bersama teman-temannya dengan mengenakan kostum seni tari tradisi khas Nusantara. Mereka Nampak riang gembira mengenakan kostum atau busana tari yang dikenakannya. Karena mereka akan tampil di atas panggung dengan ditonton oleh ratuan teman dan orang tua murid dari daerah se-Jawa Barat.
Mereka adalah siswa-siswi Sekolah Dasar Puri Artha, Kabupaten Karawang, dan siswa-siswi Sekolah Dasar Islam Terpadu Atikah Musaddad Al-Wasilah, Kab Garut, yang secara bergiliran akan mementaskan tarian khas Nusantara dalam kemasan tari anak secara kolosal di Gedung Kesenian Taman Budaya Jawa Barat, Bandung, Sabtu sore kemarin (5/1).
Pertunjukan tari kolosal itu merupakan ajang festival yang digelar Rigas Dance Theatre, Bandung, setingkat Jawa Barat. Tarian yang disajikan oleh siswa-siswi cilik itu meliputi seni tari etnik dari Indonesia yang meliputi: Tari Islami, tari Bunga, Tari Kelinci, Tari Kodok, Tari Ayam, Tari Kaulinan, Tarian khas dari Aceh, Tarian khas dari Kalimantan, Tari Tor-Tor, Tari Kecak (Bali), Tarian khas dari Ambon, Tarian khas dari Jawa Timur, Tarian khas dari Papua, dan Tarian tradisi khas Jawa Barat. Tentunya, tarian khas dari daerah-daerah di seluruh pelosok Nusantara itu dikemas dalam penataan koreografi yang sederhana, dan dengan pola lantai yang mudah diingat oleh penari-penari ciliknya, dengan pengarah gerak Rosikin WK.
Penampilan tari 400 anak dari dua sekolah dasar itu dinilai Rosikin WK sendiri sebagai pembimbing ektrakulikuler di sekolah tersebut, serta oleh dua orang alumni STSI Bandung, yaitu Neng Subartin dan Agiel Gusti Febrian. Setiap kelompok penampil tarian dikompetisikan untuk dinilai dari sisi penampilan dan kreativitas anak-anak di atas panggung. Festival itu sebenarnya lebih merupakan sajian inagurasi dari kegiatan ekstrakulikuler kesenian di sekolah mereka masing-masing. Tak ada panduan apakah mereka menari dengan aturan yang sesungguhnya. Yang penting mereka mampu tampil di atas panggung dengan rasa percaya diri mereka dan kemampuan bekerjasama dengan teman-temannya.
Rosikin WK, pengarah program Festival Tari Kolosal, mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan salah satu bentuk pengabdian seniman kepada masyarakat, khususnya kepada anak-anak dalam mengenal khazanah seni tradisi Nusantara. Melalui Yayasan Rigas, di mana di dalamnya ada program studio tari dan studi teater, senantiasa mengajak semua lapisan masyarakat untuk sama-sama melestarikan khazanah seni tradisi Indonesia. “Kami melakukan pengolahan, pengembangan, dan mereproduksi khazanah seni etnik yang ada di Nusantara,” ujarnya di hadapan anak-anak didiknya serta para orang tua siswa-siswi yang terlibat dalam kegiatan festival tersebut.
Setting panggung yang dibuat paten untuk semua tarian, dengan latar setting pintu istana keratin Jawa. Penataan lampu didesain terang dan warna-warni, demikian halnya dengan warna kostum anak-anak yang manari di atas panggung pun dipilih warna-warna yang cerah untuk memotivasi anak-anak agar gembira. Setiap kelompok tarian tertentu diikuti oleh sedikitnya 37 anak, seperti misalnya kelompok Tari Islami dari siswa-siswi Sekolah Dasar Islam Terpadu Atikah Musaddad Al-Wasilah, Kab Garut. Mereka tampil dengan pola lantai grouping (berkelompok), pola horisontal, vertikal, dan melingkar, dan huruf U. dan gerakan tarian yang diiring lagu shalawat Nabi Muhammad itu menggunakan perpaduan gerakan Tari Saman dari Aceh. Serta dilengkapi dengan busana Islami sewajarnya.
Yang menarik justru Tari Kaulinan dengan iringan lagu “Cis Kacang Buncis”. Yaitu tarian rakyat khusus anak-anak yang menampilkan pola permainan khas anak-anak di desa-desa yang ada di tanah Parahyangan. Anak laki-laki mengenakan busana petani dengan sarung yang diselendangkan, kepala mengenakan “Iket” (kain bermotif yang dililitkan pada kepala), serta membawa kentongan dari bambu yang diwarnai. Dalam tariannya kelompok anak laki-laki itu juga membunyikan kentongan tersebut pada gerakan-gerakan tertentu. Anak perempuan juga tidak kalah menariknya. Busana khas masyarakat petani di Parahyangan memunculkan pesona kecantikan mereka yang masih polos dan ceria. Mereka mengenakan kain kebaya dengan kain disarungkan pada bawahannya, dan mengenakan tudung yang dihiasi motif bunga.
Dalam tampilan keseluruhan busana mereka memang cenderung islami. Namun tidak seluruhnya, karena pada busana Tari Legong (Bali) diwujudkan sebagaimana busana seorang penari Legong dari Bali. Selain busana yang menarik dan cantik, gerakan tari mereka di atas panggung juga mengundang rasa greget dan lucu. Bayangkan saja bila anak Anda menari dengan kemampuan tubuh mereka seumurnya lalu ditampilkan di atas panggung seadanya, maka rasa kagum dan bangga pun Anda rasakan seperti halnya para orang tua siswa yang hadir menonton anak kesayangan mereka pentas di atas panggung.
Mereka bukan penari sungguhan atau calon penari sekalipun. Tapi kehadiran mereka di atas panggung dengan rasa percaya diri serta motivasi yang kuat dari mereka saja sudah membuat takjub orang tua mereka, bahkan penonton umum.
Demikian halnya dengan orang siswi dimana anak terlibat dalam pementasan tari kolosal tersebut. Mereka mengatakan gembira dan senang karena anaknya bias tampil di atas panggung seperti apa adanya mereka dan percaya diri ketika ditonton oleh orang banyak dan temannya sendiri. Anak-anak pun bersemangat mengikuti kegiatan tersebut, dan memiliki motivasi yang kuat. Seperti Topan Taufik Hidayat, siswa Sekolah Dasar Puri Artha, Kabupaten Karawang, mengatakan dengan semangatnya, “Saya sedang emnunggu giliran tampil. Saya akan menarikan tari Jawa Timur,” tukasnya.
Bapak Bambang AR, 47 tahun, orang tua Aulia Rahmawati, siswi kelas 5 di Sekolah Dasar Puri Artha, Kabupaten Karawang, bahwa sebagai seorang ayah mendukung kegiatan pendidikan seni tradisi itu sejauh kegiatannya memang positif untuk putrinya. “Kegiatan ini memang baik untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak dan menumbuhkan motivasi ke hal yang positif,” ujar Bapak Bambang sambil mempersiapkan kamera saku untuk emngabadikan penampilan putrinya di atas panggung. Ketika diminta keterangan oleh Jurnal Nasional, Bapak Bambang mengatakan bahwa kegiatan ekstrakulikuler di bidang pendidikan seni tari tradisi itu adalah keinginan sang anak. “Saya sebagai orang tua mendukung keinginan anak saya asalkan kegiatannya positif. Kan saya tidak bias melarang keinginan anak,” lanjut Bapak Bambang di selasar GK. Taman Budaya Jawa Barat, sore kemarin (5/4). Walhasil, festival tari kolosal yang dibawakan oleh anak-anak cilik itu memukau para penonton dan tamu undangan, terutama orang tua siswa-siswi yang datang dari berbagai daerah di Jawa Barat. (Argus Firmansah/Kontributor Bandung/Baca Tabloid KOKTAIL Edisi 017; tgl. 17-23 Januari 2008)
No comments:
Post a Comment