Sarekat Kerontjong Imam Camus melantunkan lagu tempo doeloe dengan syair masa kini yang isinya adalah sinopsis kisah drama yang akan dimainkan oleh Ayi Kurnia Iskandar, Dedi Warsana, Kemal Ferdiansyah, Ria Ellsya Mifelsa, Uchan Ayu Kinanti, Dwi Setiono, Yussak, dan deden Bell. Di tengah iringan musik kerontjong tersebut para aktor muncul dan berfose di bibir panggung menyanyikan lagu yang berisi sinopsis pertunjukan juga……..
Drama komedi yang disajikan STB kali ini mengangkat kisah sebuah perjodohan Icih dan Otih (diperankan oleh Ria dan Uchan) oleh pamannya yang berambisi menjadi seorang Abtenaar di kampung itu. Sang Paman (diperankan oleh Ayi Kurnia Iskandar) berpikir secara investasi politik dengan menjodohkan anak dan keponakannya kepada du bangsawan kaya di daerah itu, tapi dua dara itu menolaknya dengan alasan yang bermacam-macam…….
Sang Paman sudah kesal dengan gaya hidup anak gadis dan keponakannya itu. Biaya bedak dan lain-lainnya membuat pengeluaran Sang Paman lebih besar. Karena dua dara itu sudah dipengaruhi gaya hidup berjuasi yang macam-macam maunya, sekaligus menolak gaya perjodohan yang berbau dagang. Kedua bangsawan kaya itu (diperankan Yussak dan Deden Bell) merasa terhina dengan penolakan lamarannya……..
Dua bangsawan itu pun mengeluarkan akal bulusnya untuk membalas dendam kepada dua dara yang jual mahal itu. Maka dua bangsawan itu menyuruh dua pelayannya untuk menyamar dengan bersandiwara sebagai keturunan bangsawan dan berpengetahuan tinggi……..
Kelucuan pun muncul dalam bentuk tingkah laku dua Raden palsu itu yang berusaha keras merayu Icih dan Otih yang telah mengganti nama menjadi nama Noni Belanda. Raden Pandji Gumilang (Dedi Warsana) mengaku sebagai pujangga tersohor dan kepalsuan itu diyakini oleh dua dara, hingga keduanya terjebak dalam bujuk rayunya. Keyakinan mereka semakin kuat setelah kawan Pandji Gumilang muncul, yaitu Raden Kelana Abiseka (Kemal Ferdiansyah), mengaku sebagai mantan tentara. Akan tetapi Kelana Abiseka agak kikuk dalam bersandiwara namun tidak mencurigakan karena dibantu kawannya yang menyamar sebagai Pandji Gumilang……..
Kedua dara itu nampak kegirangan dengan perkenalan kedua Raden palsu itu yang mempesonakan hati mereka. Semua bujuk rayu dua penyamar itu dapat mengelabui dua dara yang bergaya layaknya Noni Belanda itu. Dalam sebuah acara dansa di rumah dara manis itu, penyamaran mereka terbongkar oleh dua majikan mereka sendiri. Pandji Gumilang dan Kelana Abiseka pun terkejut dan paik setelah dua majikannya muncul dan menelanjangi jati diri mereka. "Inilah jaman sekarang...habis manis sepah dibuang!", ujar Pandji Gumilang yang kesal diakhir dialognya setelah menanggalkan pakaian kebesaran sebagai bangsawan. Rasa malu pun muncul dari wajah dua pemain sandiwara itu, begitu pula dengan dua dara manis yang telah tertipu oleh ulah penipuan dua pelayan itu……..
Kerugian besar harus ditanggung Sang Paman, karena anak gadis dan ponakan itu telah tertipu oleh dua pelayan yang mengaku bernama Raden Pandji Gumilang dan Raden Kelana Abiseka. Di akhir pembongkaran sandiwara itu Sang Paman murka dan melampiaskan kekesalannya kepada dua dara manis itu yang maunya macam-macam itu. Maka, dua dara itu hanya dapat menyesali perbuatannya dengan manangis……..
Drama komedi stamboel "Ah. Matjam-Matjam Maoenja" coba mengangkat fenomena sosial masyarakat pada tahun 1950. Di mana para saudagar dan petualang mulai menemukan pijakannya. Penulis juga bermunculan dengan semangat baru saati itu. Sementara itu gaya feodalisme masih mencengkeram kalangan tua, dan kalangan muda dipengaruhi gaya berjuasi warisan kolonial. Dalam situasi yang paradoks tersebut muncul kesenjangan generasi di mana kemunafikan serta semangat pembaruan yang belum matang berada di dua kutub yang saling berlawanan. Di antara kesenjangan itulah eksistensi para petualang mengambil momen penting dengan beragam bentuk kepalsuan dan romantisme puitis……..
Konteks jaman saat itu agaknya merepresentasikan keunikan tersendiri dalam pandangan sutradara dengan menampilkan komedi stamboel ini. Dengan maksud bahwa sajian drama komedi "Ah. Matjam-Matjam Maoenja" ini merupakan sebuah peringatan sekaligus kritik implisit terhadap situasi dan jaman di tanah air. Peminjaman teks oleh STB dari karya Moliere ini merupakan upaya kreatif yang sanggup dilakukan seniman panggung yang berada di bawah payung STB untuk menyuarakan aspirasi kemanusiaan dalam tatanan sosial saat ini……..
Bentuk drama stamboel memang berada di koridor kritik sosial secara eksplisit di ruang tafsir kesenian rakyat di jamannya. Cara-cara ini dianggap masih ampuh oleh STB untuk menyuarakan aspirasinya saat ini. Terlepas dari ampuh tidaknya kritik sosial melalui kesenian, paling tidak seniman muda teater STB tidak gagap vokal dalam menanggapi persoalan kemanusiaan yang disebabkan oleh budaya borjuasi yang dibungkus dengan istilah abru saat ini. Dengan demikian, STB melalui sajian dramanya kali ini masih menunjukan eksistensinya dalam dunia teater di tangan kreatif generasi muda STB masa kini untuk melangkah ke masa depan……..
Drama komedi stamboel ala STB itu merupakan persembahan awal dari STB kepada penonton STB di Bandung dari serangkaian acara ulang tahun STB yang ke 50 tahun mendatang. Drama komedi stamboel "Ah, Matjam-Matjam Maoenja" merupakan adaptasi sutradara terhadap naskah dengan konteks jaman tahun 1950 di mana kondisi sosial masyarakat Indonesia di daerah masih feodal. Masalah perjodohan pun masih dikait-kaitkan dengan pertimbangan status sosial keluarga. Drama komedian karya adaptasi Moliere tersebut cukup apik diperankan oleh para aktor kali ini. Pengolahan seni peran Dedi Warsana, pemeran utama dalam lakon tersebut, dengan gaya khas mokal-mokalnya, bersama actor dan aktris yang lain mampu membuat ger para penonton yang didominasi oleh penonton remaja dan keluarga besar STB dari angkatan pertama…….
Pertunjukan dengan durasi 80 menit itu mampu menghibur penonton yang hadir dalam perayaan Ultah STB yang ke 49 tahun. I Gusti Nyoman Arya Sanjaya mengatakan tidak cukup waktu untuk mempersiapkan pertunjukan teater yang lebih dramatis bagi penontonnya. Tak ada pilihan lain, maka sutradara memilih lakon tersebut untuk menghibur penontonnya. Meski demikian, penonton cukup terhibur dengan sajian drama komedi stamboel tersebut……..
Kondisi STB saat ini memang dipengaruhi oleh seniman yang aktif dalam pengabdian mempertahankan nama baik STB di masyarakat teater. Manajemen aktor di STB hanya sebagai provider melalui progarm kursus akting dan pertunjukan atau garapan rutin setiap tahunnya. Sehingga keterlibatan aktor dalam menyajikan pertunjukan dengan nama STB tidak terpaku pada sistem keanggotaan aktor STB secara baku. Tak heran bila dalam sajian teaternya selalu ada wajah-wajah baru yang muncul di pentas atas nama garapan STB……..
Eksistensi seniman teater angkatan muda di STB terus berusaha mematangkan kemampuan seni peran melalui lakon-lakon drama yang dipentaskan di atas panggung teater. Salah satu jargon teater STB adalah memanusiakan ide-ide. Jargon ini masih dipelihara dari generasi pertama, yaitu aktor Muhamad Sunjaya sampai Ayi Kurnia Iskandar. Sementara bidang penyutradaraan dari Suyatna Anirun Alm. sampai I Gusti Nyoman Arya Sanjaya. Konsep memanusiakan ide-ide yang terkandung dalam naskah lakon diejawantahkan oleh sutradara bersama aktor-aktornya secara praktis meski masih berhati-hati dalam memetik sebuah interpretasi terhadap ide dalam naskah lakon. Hal ini terlihat dari garapan-garapan STB sebelumnya. Namun persoalan kualitas sajian pentas maih bebas nilai, artinya para penonton STB sendirilah yang menilainya…….
Menilik eksistensi STB dapat dikatakan bahwa krisis aktor dan sutradara masih sedikit menjadi persoalan. Keluar dan masuknya aktor baru membuat kualitas garapan STB menjadi sebuah pasang surut. Beban moral dalam kesenian memang bisa dikatakan tidak ada. Tapi bagaimanapun juga STB pernah menyandang popularitas kelompok teater yang paling produktif dengan kualitas yang jempolan selama kepemimpinan Suyatna Anirun pada tahun 1970-1980. Masih dapatkah STB mempertahankan kewibawaan namanya melalui garapan-garapan lakon adaptasi maupun lakon yang ditulis oleh penggiat STB? Inilah yang dikuatirkan oleh STB di masa yang akan datang…….
Namun seperti yang dikatakan oleh I Gusti Nyoman Arya Sanjaya, seniman STB yang sudah memberikan kontribusi kreatifnya kepada STB sejak 1988, mengatakan bahwa tantangan kreatif setiap seniman di dalam proses kreatifnya bersama STB dibedakan pada kondisi dan situasi jamannya. Tentunya, pandangan I Gusti Nyoman Arya Sanjaya dapat menjadi salah satu jawaban menyoal pasang surut kulaitas garapan di STB selama ini. STB pernah berjaya ketika dikemudikan oleh Suyatna Anirun sejak perintisannya oleh Jim Lim pada awal kelahiran STB sebagai kelompok teater di Bandung…….
Patut diakui bahwa dari program acting course STB banyak melahirkan aktor yang berkualitas yang akhirnya melahirkan pula sutradara-sutradara muda dengan kelompok-kelompok teater baru di Bandung seperti Actors Unlimited, misalnya. STB bagi pengamat perkembangan teater di Bandung masih dianggap sebagai bengkel seniman teater dengan Sang Guru Suyatna Anirun Alm. yang lama mengabdikan hidupnya untuk kemajuan STB di dunia teater modern Indonesia…….
Jejak-jejak kreatif Suyatna Anirun menjadi inspirasi bagi aktor-aktor muda di Bandung, baik dalam tubuh STB sendiri maupun kelompok teater lainnya di Bandung. Dan seiring perubahan jamannya STB terus berupaya adaptif dengan perubahan cara pandang penonton atau masyarakat pendukung terhadap teater modern hingga saat ini. Lebih-lebih dikarenakan oleh pengaruh budaya televisi yang bagi sebagian besar masyarakat lebih cepat menanggapi bentuk hiburan yang dibutuhkan dengan membuat strategi kemasan tontonan secara lebih modern.(by Argus F., posted to HU Pikiran Rakyat)
No comments:
Post a Comment