Gedung Ex-Landraad di Bandung dikenal masyarakat Indonesia karena di gedung bersejarah itulah Soekarno membacakan pleidoi “Indonesia Menggugat” di hadapan hakim-hakim Belanda pada tanggal 18 Agustus – 22 Desember tahun 1930.
Gedung bersejarah itu kini difungsikan menjadi ruang publik bagi masyarakat Indonesia yang peresmiannya dihadiri oleh Sekretaris Daerah (Sertda) Lex Laksamana, serta dihadiri Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, Dedem Ruchia Wakil Ketua Yayasan Siliwangi, dan budayawan Taufik Rahzen, serta tokoh-tokoh Bandung seperti Bapak Solihin GP pada hari Senin (18/6) kemarin Gedung Indonesia Menggugat di Jalan Perintis Kemerdekaan No 5 Bandung.
Peresmian Gedung Indonesia Menggugat oleh perwakilan Gubernur Jawa Barat, Lex Laksamana siang itu dibuka oleh Memet Hamdan sebagai Ketua Pengelola Gedung Indonesia Menggugat. Dalam pidatonya, ia menyampaikan bahwa pengelola Gedung Indonesia Menggugat beraktivitas atas dasar semangat penyebaran hakikat kemanusiaan dimana pleidoi Indonesia Menggugat menjadi tonggak perjuangan hakikat kemanusiaan dan martabat bangsa Indonesia. Di dalam gedung ini terdapat tiga bidang konsepsi yang melandasi langkah-langkah yang akan dituangkan ke dalam bentuk program kegiatan.
Pertama adalah Indonesia Muda, konsep ini menjadi landasan pikiran komunitas Indonesia Menggugat dalam melakukan advokasi kegiatan orang-orang yang berpikir dan berpandangan muda. Kedua, Indonesia Merdeka, konsep ini merupakan kajian sejarah nasional bangsa yang kemudian menjadi bahan renungan untuk melakukan sesuatu untuk bangsa Indonesia. Ketiga, Indonesia Menggugat, bahwa Indonesia Menggugat merupakan wadah untuk mengaktualisasikan diri Indonesia Muda dalam melaksanakan kajian dan gerakan kemanusiaan yang berwawasan kebangsaan ini.
Dalam kesempatan itu juga dilaksanakan peresmian sebuah Perpustakaan Mashudi yang berada di dalam Gedung Indonesia Menggugat, secara simbolik ditandai dengan penyerahan sebuah buku biografi HC Mashudi (alm). Acara dilanjutkan dengan pereglaran sebuah mololog yang dibawakan oleh Wawan Sofwan dengan tema kelahiran Pancasila. Wawan Sofwan dalam monolog pendek selama 10 menit itu menguti pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945, yang kemudian diperingati oleh bangsa Indonesia sebagai Hari Lahir Pancasila. “sekarang saya tidak mendengar ada kesejahteraan di tanah Indonesia ini...seharusnya ada politik ekonomi yang mensejahterakan sosial rakyat Indonesia...kesejahteraan bersama yang bersama-sama,” pekik Wawan Sofwan di atas podium Gedung Indonesia Menggugat.
Acara Dialog Terbuka yang bertajuk “Re-Interpretasi Pancasila” dihadir sebagai keynote speaker yaitu Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, dan Taufik Rahzen, budayawan, dengan moderator Aat Soeratin. Hidayat Nur Wahid mengatakan, “kami adalah generasi yang lahir setelah konstituante dibubarkan, kami tidak memiliki ikatan emosional dengan proses penyusunan Pancasila, karena saat itu kami belum,” ujar Hidayat Nur Wahid dalam pemaparan awalnya sebagi keynote speaker dialog tersebut. Lebih lanjut Hidayat menganalisa konteks Pancasila sekarang sebagai dasar bangsa dan negara Indonesia, bahwa selayaknya Pancasila menjadi dasar kehidupan masyarakat Indonesia. Karena dengan berlandaskan Pancasila kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera dapat tercipta. Di mana tidak akan ada lagi korupsi di negara ini. Bukankah tidak ada agama atau Tuhan apapun yang mewajibkan umatnya untuk korupsi. Masyarakat Indonesia hendaknya melepaskan diri dari stigmatisasi yang dilakukan Orde Baru. Mereka yang menganggap orang lain tidak pancasilais adalah bagian dari rezim Orde Baru. Justru merekalah yang dalam pelaksanaannya melanggar setiap asas yang ada dalam sila-sila dalam Pancasila.
Era reformasi ini, Hidayat juga menyatakan keprihatinannya. “Saya sedih karena dalam era reformasi yang muncul adalah ‘nail Orba’ dengan melakukan stigmatisasi tidak pancasilais,” kata Hidayat, “janganlah Pancasila dijadikan tameng karena itu hanya akan mnejadi anomali, pengulangan stigmatisasi Orba.”
Taufik Rahzen mengkaji konteks relasi Pancasila dengan tonggak sejarah nasional bangsa Indonesia. Indonesia Muda, di mana di dalamnya terdapat penerbitan pers nasional pertama di Indonesia yaitu Medan Prijaji, dan Soekarno muda yang melakukan konstruksi semangat kebangsaan Indonesia dengan gerakan mempersatukan kamu muda saat itu. Nasionalisme kita adalah nasionalisme berdasarkan kesamaan nasib dan kehendak. Keindonesiaan pada masa Indonesai Muda berdasarkan dialog panjang yang berprinsip bertanah air dan berbahasa, sepert termuat di dalam sumpah Pemuda.
Violeta Rahmanda, siswi kelas 11 SMU 9 Bandung, kepada Jurnal Nasional mengatakan, bahwa Pancasila saat ini masih penting. “kalau tidak ada Pancasila mungkin nati bisa perang-perangan,” katanya di Gedung Indonesia Menggugat dalam acara Dialog tersebut. Ia menjelaskan, di sekolahnya bnayak teman-temannya yang berasal dari beragam suku bangsa Indonesia, dan kami menjaga kebersamaan kami sebagai pelajar. (Argus Firmansah, Bandung, 18 Juni 2007)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment