Wednesday, June 13, 2007

Tubuh Perang Rebirth dan Protes

Protes Tubuh-Tubuh Perang

Tubuh itu adalah kendaraan makna. Bahasa tubuh dibuat sebagai objek komunikasi. Lagi-lagi konsep embodiement (ketubuhan) dalam pertunjukan teater Indonesia kembali disuguhkan kepada penonton teater di Bandung. Studio Teater (STSI Bandung) menggelar pertunjukan teater yang disutradarai oleh Tony Broer, aktor Kelompok Teater Payung Hitam, Bandung, dengan mengeksplorasi tubuh aktor-aktor akademis dalam sebuah judul Tubuh Lahir Tubuh Perang di Studio Teater STSI Bandung pada Kamis (31/5) kemarin.

Tony Broer hadir sebagai aktor tunggal dalam monolog itu pada awalnya. Hingga kemudian merekrut calon-calon aktor dan aktris melalui workshop embodiement dalam teater modern di Bandung. Broer suah terlatih dalam ekplorasi ketubuhannya setelah lama melanglangbuana dalam produksi teater tubuh di Kelompok Payung Hitam, Bandung.

Teater embodiement memang bukan tontonan baru dalam kancah seni pertunjukan di Indonesia. Sebut saja Budi S Otong (Teater Dol), Rahman Sabur (Kelompok Payung Hitam), dan Yudi Ahmad Tajudin (Yogyakarta), mereka mengeksplorasi tubuh sebagai kendaraan makna setelah “kata-kata” habis dimakan rayap sejarah teater Realisme di Bandung pada jaman Suyatna Anirun (Studiklub Teater Bandung). Paradigma ini menjawab kebekuan teater modern Indonesia yang sudah bosan dengan penggunaan dialog dan akting Realisme di atas panggung.

Broer dengan bekal teater Butoh, Jepang, mencoba membangun konstelasi estetika pertunjukan ke dalam teater modern kekinian di Bandung. Semangat inilah yang melatarbelakangi dia untuk berproses kreatif dengan metode ketubuhannya itu. Teks-teks muncul melalui interpretasi bebas penontonnya yang secara visual diimpulsifkan melalui bahasa gambar (video) dan tarian tubuh yang lebih bermakna.

Foto-foto penembakan dan video Perang Dunia II ditembakkan ke layar putih dengan cepat silih berganti. Montase itu mengantar imajinasi penonton pada situasi perang, kemudian ditayangkan sebuah video penembakan serdadu dalam frame bidikan satelit dengan sensor panas di malam hari.

Lampu spot merah membidik lantai pentas dibingkai mayat-mayat korban perang. Mayat-mayat dengan kostum kain kafan dan bunga-bunga di kepalanya bangkit, belajar berjalan, kemudian mencoba menjadi burung, atau kupu-kupu, atau manusia lagi, namun cacat – karena mereka adalah mayat yang sudah hancur tubuhnya. Mayat-mayat itu menjadi tubuh waspada bersamaan dengan tembakan montase foto-foto korban perang dan peristiwa peperangan seolah merepresentasikan peperangan di Timur Tengah.

Monolog-monolog tubuh melalui eksplorasi dasar tubuh aktor membangun fragmen-fragmen peristiwa di mana mayat-mayat itu menjadi tubuh waspada, berusaha hidup kembali untuk menghentikan perang sementara manusia terus berperang. Begitu seterusnya, perang, peluru diluncurkan dengan sangat cepat…..dor! dor! dor! dor! dor! dor! dor! Mayat-mayat baru bergelimpangan dalam jumlah ratusan, ribuan, hingga jutaan. Tanah pun jadi merah bersungai-sungai darah tentara, anak-anak, ibu, dan bapak-bapak. Kemudian hanya ada satu monumen kemanusiaan yang tertembak peluru, yaitu sebuah senapan yang ditancap ke tanah dengan sebuah helm di atasnya beserta sepatu boot seorang tentara yang mati di sampingnya.

Sebuah syair miris dibacakan melalui tubuh yang menggeliat dari dalam tanah. Aktor dan sutradara Tony Broer menari dengan gaya Tarawangsa (tari ritus, tradisi Sumedang, Jawa Barat). Sesosok tubuh dari Asia hendak protes untuk hentikan perang di Timur Tengah. Dalam ritusnya, tubuh itu menggeliat dari dalam tanah, berusaha menjadi sesuatu yang bermakna, entah apa.

Sebuah bendera Amerika Serikat berkibar di layar, dan tubuh waspada berdiri tegak dengan simbol penghormatan tentara Nazi. Tubuh waspada kembali bersama tubuh-tubuh lainnya memprotes perang untuk segera dihentikan, tapi tanpa suara. Suara manusia tidak lagi terdengar karena dentuman peluru terus memburu tubuh-tubuh manusia. Pertunjukan teater tubuh sore itu menggunakan plot sirkuler dimana peristiwa terus berulang, peristiwa perang terus berlangsung.

Tubuh-tubuh aktor itu dan bahasa gambar menjadi bahasa simbolik untuk mengomunikasikan sebuah pesan besar, kampanye anti-perang. Sebuah pertunjukan teater tubuh yang teatrikal dengan montase image yang sangat cepat dan menegangkan.

Tony Broer, sutradara dan pemain dalam pertunjukan teater itu, memaparkan bahwa pertunjukan itu adalah sebuah kampanye anti-perang melalui bahasa pertunjukan teater dalam bentuk eksplorasi tubuh aktor-aktornya. Bahasa gambar di layar dengan montase foto-foto dan rekaman perang itu adalah tubuh sejarahnya, sedangkan tubuh aktor adalah tubuh sekarang. Aktor-aktor ini dirangsang untuk melatih tubuh-tubuhnya agar bicara dengan bahasa tubuh, dan bisa dimengerti penonton tanpa bicara – oral. Montase gambar/image yang disajikan bersama aksi para aktor disetting sebagai memori perang, atau sejarah perang di dunia.

Inspirasi pertunjukan ini adalah peperangan yang terjadi di Timur Tengah. Di mana kemanusiaan sudah mati untuk kepentingan kekuasaan, dominasi, dan politik. Perang dalam pertunjukan Tubuh Lahir Tubuh Perang dijadikan model peradaban manusia sekarang. Rekaman-rekaman video perang yang tidak terpublikasi sengaja disajikan dalam pertunjukan ini untuk mengetuk kesadaran penonton bahwa kemanusiaan sedang diperangi untuk kepentingan kekuasaan global. Broer mengaku video dan foto-foto itu diambil dari internet.

Pertunjukan anti-perang ini, menurut Broer, adalah sebuah protes kepada negara adikuasa yang sewenang-wenang melegalkan perang di kawasan Timur Tengah. Perang Irak dengan sekutu Amerika Serikat, misalnya, menjadi sumber inspirasi kreatif bagi Broer untuk membahasakan tema perang ke dalam bentuk eksplorasi tubuh. Bagaimana tubuh bicara secara simbolik, dan komunikatif dengan penonton.

Bentuk eksplorasi gerak tubuh dengan mengambil akar gerakan tarian Tarawangsa sengaja digunakan sebagai simbol tubuh Asia yang memprotes perang di atas dunia ini. Broer mengimpresikan perang ke dalam bahasa tubuh.

Pertunjukan Butoh, Jepang, diakui Broer mempengaruhi pola gerakan yang dieksplor dalam Tubuh Lahir Tubuh Perang. Spirit Butoh diterapkan dalam proses kreatifnya. Misalnya, bagaimana manusia belajar berjalan kemudian menjadi apapun. Spirit itulah yang menjadi latar belakang eksplorasi tubuh untuk menemukan bentuk komunikasi teater ini.

Disiplin tubuh aktor sangat dibutuhkan untuk menjadi sesuatu di atas pentas dan penonton dapat menangkap bahasa simbolnya. Dan bentuk eksplorasi ini menjadi sebuah tawaran dalam khazanah teater di Bandung, dan di Indonesia pada umumnya.

Dalam kesempatan itu juga saya mewawancarai Arthur S. Nalan, penulis naskah drama dan sutradara teater di Bandung. Ia berkomentar bahwa pertunjukan Tubuh Lahir Tubuh Perang merupakan pertunjukan yang menarik. Ia melihat Broer sebagai aktor coba mendisiplinkan bahasa tubuh. Embodiement. Broer mencoba melatih kesadaran tubuh aktor-aktornya dengan eksplorasi bentuk tubuh yang bicara.

Tubuh Broer sendiri sudah nampak sebagai tubuh yang terlatih dan kenyal. Sedangkan bagi aktor-aktornya yang masih berstatus mahasiswa tingkat satu di Jurusan Teater eksplorasi tubuh itu menjadi pengalaman baru mereka.

Pertunjukan teater ini terlihat bahwa Broer coba membaca kondisi dunia, globalisasi, perang sebagai cerapan estetis. Dan sangat tendensius terhadap polisi dunia, Amerika Serikat. Di sisi lain, pertunjukan itu belum menunjukkan masalah kekuasaan itu sendiri. Kebodohan manusianya, serta politik adu-domba yang secara sengaja untuk melemahkan kesadaran itu tidak ada dalam pertunjukan itu.

Juga renungan ketubuhan lokal, Indonesia, tidak terperhatikan oleh Broer dalam garapannya. Broer belum mencerap persoalan yang ada di tanah air sebagai inspirasi, reungan dan konten estetis ke dalam pertunjukannya. Satu hal lagi, kelemahan Broer dan mungkin juga teater di Bandung adalah pewacanaan dari pertunjukan itu. Pertunjukan Broer tidak menyertakan seorang dramatur, bila dalam pertunjukan drama misalnya.

Namun demikian, apa yang coba ditawarkan Broer dalam pertunjukan itu bisa jadi proses pembelajaran, dan warna baru melalui eksplorasi tubuh. “Saya melihat pengaruh Butoh pada gaya Broer tampil. Suatu distorsi tubuh aktor”, tutur Arthur. Tafsir terhadap peristiwa dunia, perang, tidak harus direpresentasikan secara kasat mata. Berkaitan dengan kondisi teater di Bandung memang sedang krisis aktor, terutama aktrisnya. Boleh jadi bentuk teater Tony Broer dengan eksplorasi tubuh itu menjadi salah satu model teater di Bandung saat ini.

Kekurangan sajian pertunjukan teater Realisme STB dalam Inspektur Jenderal (12/5) kemarin seakan menjadi hipotesa untuk pembaruan teater modern di Bandung. Teater ketubuhan boleh jadi suatu tawaran baru untuk menghidupkan apresiasi teater modern. (Argus Firmansah/Kontributor/Komunitas Pantau – Bandung/31 Mei 2007)

No comments: