Monolog Guru Yang “Terjebak”
Sebuah karung di antara dedaunan dan semak-semak meringkuk di tengahnya. Kemudian keluarlah suara manusia yang berujar penyesalan dirinya. Dia teringat saat itu, pada ibu kandung yang telah membesarkannya menjadi seorang bajingan, manusia hina, dan kotor. “Terima kasih ibu, cintamu begitu tulus dan abadi,” katanya di dalam karung itu. Namun katanya lagi, sudah tak mungkin untuk kembali ke dalam rahim sang ibu karena penyesalannya itu. Dosa besar baginya karena telah menjadi manusia kotor yang mencoreng wajah ibu kandungnya.
“Aku bukan Sidharta Gautama yang suci, aku manusia kotor dan hina. Aku terbuang,” ujarnya kemudian. Menyadari keterjebakannya dalam masalah itu ia berontak, ingin pergi. “Aku harus meloloskan diri dari semua masalah ini,” tukasnya sembari mencoba keluar dari dalam karung. Hingga kemudian ia lupa diri. Tapi ia terus menggeliat untuk keluar dari keterjebakannya dalam “karung” masalah itu.
Adegan serius berlanjut dengan masuknya dua orang penari dari pemain “Tubuh Lahir Tubuh Perang” yang sempat dipentaskan di Studio Teater bulan Juli lalu. Akan tetapi kemudian Hermana, pemain monolog “Terjebak”, menjelaskan adegan itu sebagai upaya sabotase dari pemain lain itu. Penonton pun disadarkan akan hal itu hingga membuat tertawa. Hermana keluar dari perannya sebagai guru yang terjebak masalah ekonomi dalam monolog itu. Kemudian berinteraksi dengan para penonton dan membuat sebuah dialog tentang guru. “Guru adalah pahlawan tanpa jasa, bagaimana menurut anda guru itu?” Tanya Hermana kepada penonton. Beberapa penonton angkat bicara menjawab pertanyaan dari Hermana. Ada yang menjawabnya dengan pernyataan keprihatinannya terhadap figur guru. Ada juga yang menjawab bahwa menjadi guru itu baik. “Saya merasa tidak terjebak menjadi guru. Saya senang menjadi guru, karena guru adalah jalan dakwah bagi saya, bukan profesi,” tutur Rahmat, 35 tahun, salah seorang penonton monolog itu.
Suasana cair itu kembali diarahkan pada pementasan oleh Hermana. Saat itu ia menjadi tokoh guru dalam perannya membawakan monolog Terjebak. Pementasan yang digelar dalam rangka ulang tahun Jurusan Teater STSI Bandung yang ke 29 di Gedung Patanjala, STSI Bandung kemarin (24/8). “Guru adalah pilar pembangunan bangsa. Karena guru lahirlah seorang pengusaha, tentara, wartawan, bahkan pejabat,” katanya. Semua penonton merasa diyakinkan oleh Hermana bahwa profesi guru adalah mulia. Namun demikian Hermana dalam perannya menjelaskan keadaan ekonomi guru-guru honorer yang diberi imbalan tidak memadai.
Suasana tragis pun terbangun dengan ujaran Hermana dalam pentas Terjebak itu. Kemudian muncul rekaman gambar seputar peristiwa demonstrasi pendidikan dan demonstrasi guru di beberapa kota. Adegan berlanjut dengan kisah dirinya yang menjadi guru honorer. Ketika itu ia menceritakan suatu kejadian runtut yang menyebabkan dia mati sebagai manusia. Yaitu ketika anak kesayangannya sakit dan dirawat di rumah sakit. Ketika itu ia tidak memiliki uang untuk menebus biaya rumah sakit. Karena itulah ian memberanikan diri untuk menjual buku kepada murid-murid yang diajarnya. Karena gaji guru honorer tidak mencukupi untuk membayar biaya rumah sakit.
Dalam kisah itu dia tertangkap oleh aparat karena tindakannya menjual buku kepada murid. Meski akhirnya dia dibebaskan, namun rasa bersalah teru menghantuinya. Maka dia menerima surat keputusan yang memberhentikannya sebagai guru honorer secara tidak hormat dari sekolah. Dia kemudian beralih profesi menjadi seorang pemulung. Namun profesi itu tidak juga menyejahterakan keluarganya. Anak dan istrinya sangat merindukan dia pulang. Namun dia belum mempunyai cukup uang untuk keluarganya di kampong.
Ekstasi kesulitan ekonomi dalam hidupnya divisualkan dengan adegan dikotik. Lagu “Kucing Garong” diperdengarkan dan dia menari di sana. Adegan ini lebih nampak sebagai puncak keputus-asaan dirinya yang tidak mampu mencari nafkah yang layak. Kesan hiburan di diskotik pun tidak terasa sebagai adegan hiburan.
Bencana tragis dalam hidupnya yang telah menjadi mantan guru it uterus berlanjut. Dia menerima sepucuk surat dari istrinya. Sebuah surat yang berisi kerinduan seorang istri dan anak kepadanya. Belum sempat dia membalas surat itu terdengar kabar bahwa kampunya dilanda bencana. Rekaman bencana nasional yang menimpa masyarakat Indonesia beberapa saat lalu, seperti banjir, gempa bumi, dan tsunami, ditayangkan pada layar di belakang panggung.
Saat itu dia hanya bisa meratapi tubuh anaknya yang sudah menjadi mayat. Rumahnya hancur berantakan. Istrinya entah di mana terkuburnya. Suasana sedih pun dihantar dengan alunan komposisi musik yang berisi puisi “Kemerdekaan” buah karya Toto Sudarto Bachtiar, yang dibacakan oleh seorang gadis kecil. Pertunjukan monolog Terjebak ditutup dengan gambar bendera merah putih pada layar di belakang panggung, sementara dia terkujur di tanah dengan kain putih yang menutupinya.
***
Repertoar monolog Hermana yang berjudul “Terjebak” dikemas dengan sentuhan teknologi melalui sajian gambar-gambar hidup berupa video dokumenter dan animasi - multimedia di pentas. Penciptaan suasana tragis tokoh guru honorer yang dibawakan oleh Hermana itu tentu saja terasa lebih dramatis dan artistik, meskipun secara visual masih jauh dari kesempurnaan karena faktor peralatan media yang digunakan sangat terbatas kualitasnya.
Sementara itu, akting Hermana menggunakan konsep “Teater Sabrehna”. Bentuk teater Sabrehna menjadi ciri khas repertoar Hermana. Metode Brechtian, salah satu akar konsep Sabrehna, sendiri adalah teori pembawaan peran (akting) yang berasal dari teater anti ilusi atau antitesa dari proses empati yang disuguhkan oleh Aristoteles. Teater Verfremdungseeffekt (teater efek - pengasingan) atau alienasi, menegaskan adanya efek pengasingan yang muncul oleh alur cerita yang tidak berhubungan secara sebab-akibat, terpisah dan hanya terhubung oleh tema sentral. Pemain justru harus menjaga jarak dengan peran, sehingga pemain dapat berdialog dengan perannya sendiri. Itulah ciri teater epis Brecht.
Konsep teater Sabrehna dalam repertoar “Terjebak” juga repertoar sebelumnya diambil dari bahasa Sunda yang artinya seadanya, senyatanya. Jadi, teater Sabrehna adalah sabrehna apa yang dilihat, sabrehna apa yang dipikirkan, sabrehna apa yang dirasakan, dan sabrehna apa yang digerakkan dalam koridor kesadaran penuh tanpa mengesampingkan etika dan kekuatan estetik sebagai pertanggungjawaban kepada publik. “Main-main dalam bermain, tapi tidak main-main,” kata Hermana dalam proses latihan suatu produksi teater. Ia menekankan bahwa kesanggupan pemain itu harus ada ketika sedang bermain, berakting, dan adanya kesadaran untuk berkomunikasi dengan publik.
Konsep ini menjawab pertanyaan para kritikus dan penulis pertunjukan selama ini. Yakni ditunjukan dengan interupsi adegan ketika Hermana berada di tengah penonton dan berdialog dengan penonton secara langsung. “Jangan takut, jangan tegang! Ini bagian dari pertunjukan,” ujar Hermana kepada salah seorang penonton yang duduk di kursi paling depan yang terlihat tegang atau mungkin terganggu konsetrasinya saat menonton. Pada momen ini suasana pertunjukan agak cair, hingga kemudian Hermana memberi kesempatan kepada penonton untuk berkomentar tentang sosok dan peranan guru bagi masyarakat. Aktor turun ke area penonton memang tidak lazim ditemukan dalam pementasan teater realisme. Hermana melakukan hal ini karena konsep Sabrehna yang dipakainya.
Pertunjukan atau akting Hermana itu berlanjut lagi. Di atas pentas ia menjadi tokoh guru kembali. Dengan intensitas dan kesungguhan membawakan tokoh perannya. Kesedihan dengan air mata yang keluar terkesan benar-benar sedih. Ketika ia mengisahkan kisah sedih yang menimpa keluarganya. Hermana mengakui itu kepada saya dalam wawancara singkat setelah pertunjukan usai, bahwa tangis di atas pentas tadi benar-benar ekspresi kesedihannya terhadap guru-guru honorer di Indonesia. Jadi, air mata itu memang air mata sungguhan. Bentuk ekspresi ini kemudian disebutnya dengan kesungguhan memerankan tokoh di pentas. Jadi, memang tidak main-main.
Lakon “Terjebak” yang ditulisnya sendiri, dipentaskan sendiri, dan disutradarai sendiri ini merupakan sebuah repertoar yang dipersembahkan kepada seorang guru aktor di Bandung bahkan Indonesia, yaitu almarhum Suyatna Anirun. (Argus Firmansah/Kontributor lepas Koktail - Jurnal Nasional)
No comments:
Post a Comment