Pentas Kecil Amien Kamil
Teatrikalisasi Puisi vis a vis Poetry Performance
Bukan pentas musik reggae. Rambut gimbal dengan gaya khas rasta, itulah sosok Amien Kamil dalam serangkaian acara Crafty Days pada Minggu sore di Tobucil & Klabs (9/9). Amien Kamil adalah seorang seniman Jakarta, pendidikan terakhir Drop Out sinematografi IKJ. Ia merasa lebih bebas berekspresi dengan cara berkarya nyata secara independen. Malang melintang di dunia teater membuat dia bisa bersua dengan seniman lainnya baik tingkat nasional maupun internasional. Tak heran, program-program seni budaya di luar negeri lebih memberinya semangat ketimbang di tanah air. Namun demikian, rasa nasionalisnya tidak luntur, karena ia tetap membangun jaringan komunikasi dengan seniman-seniman Indonesia di luar sana. Ia adalah seorang actor, sutradara, skenografer, pelukis, bahkan penyair. Semua bidang itu ia geluti dengan ketekunan dan kedalaman pada makna pencarian sebuah esensi kehidupan. Sisi humanisnya memang nampak pada penampilannya yang nyeleneh, atau senewen. Ya, barangkali memang seperti itulah penampilan seniman. Santai, cuek, namun penuh dedikasi pada wacana humaniora.
Pria kelahiran Jakarta 1963 ini biasa nongkrong di komunitas Bulungan, Jakarta. Kehadirannya di Bandung adalah ajang silahturahmi dengan seniman dan komunitas di Bandung. Sore itu di Tobucil, Amien mementaskan poetry performance dengan judul “Tamsil Tubuh Terbelah”. 13 puisi ia bacakan dengan gaya khas permormanya.
Sebelum mengupas poetry performance Amien Kamil, ada hal yang menarik untuk diketahui. Amien Kamil mengatakan bahwa sebenarnya ia tidak berniat menerbitkan kumpulan puisinya. “Baru tahun ini saya punya keinginan untuk menerbitkan puisi,” katanya. Awal tahun ini ia mulai mengumpulkan kertas-kertas yang tercecer untuk dikumpulkan. Puisi-puisi itu ditulisnya di waktu senggang selama di Eropa dan Amerika ketika berkesenian bersama seniman-seniman di negara tersebut. Puisi-puisi yang syarat muatan sosial dan filosofis ditulisnya dengan gaya bebas.
Poetry Performance Amien Kamil di Tobucil kemarin cukup memukau penonton yang hadir. Sebuah pertunjukan pembacaan puisi ala seniman teater seperti Amien Kamil bukan hal baru di Bandung atau Jakarta. Bentuk ekspresif dari puisi yang dibacakan memang dianggap lebih menarik untuk diapresiasi ketimbang hanya membaca rangkaian kata-kata dalam halaman buku puisi.
Ranting dan dahan pohon yang bergantungan, dihiasi pula dengan instalasi daun pisang yang sudah kering pada dinding pembatas area pertunjukan di pekarangan kecil Tobucil menjadikannya ruang kosong yang sangat imajinatif. Di situlah Amien Kamil beraksi dari puisi-puisi karyanya sendiri yang dibacanya sendiri pula. Pembacaan kumpulan puisi yang berjudul “Tamsil Tubuh Terbelah” (Juni, 2007) karya Amien Kamil sendiri menjadi ajang promosi juga rupanya. Amien mengatakan, bahwa puisi-puisinya itu diterbitkan secara independen, dan serba mandiri. Ia mengumpulkan sendiri, mengeditnya sendiri, hingga mendistribusikan bukunya itu sendiri. Ia bersyukur karena bantuan dari kawan-kawan dan komunitasnya buku itu berhasil terbit sebagai sebuah kumpulan coretan puisi yang sebelumnya hanya sebuah kumpulan kertas yang tercecer.
Poetry Performance Amien Kamil dapat dikatakan juga seperti teatrikalisasi puisi. Mengapa teatrikal? Penampilan Amien Kamil dalam membacakan puisi-puisinya tampil dalam bentuk fragmen-fragmen teater yang terpaut dalam satu hubungan meaning yaitu the meaning of Tamsil Tubuh Terbelah. Pautan meaning itu lahir sebagai sebuah pertunjukan teater yang terbagi ke dalam beberapa adegan/fragmen. Meaning itu dihadirkan oleh Amien Kamil dengan bentuk yang tidak hanya dramatis, melainkan sangat pertunjukan atau teatrikal.
Musikalisasi atau dramatisasi puisi mungkin sudah biasa di komunitas-komunitas sastra untuk menghadirkan makna lain dari sebuah untaian kata-kata yang puitis. Akan tetapi, teatrikalisasi puisi memang masih terbilang jarang, meski bukan hal yang baru, dalam memaknai sebuah puisi dalam bentuk pertunjukan.
Poetry Performance dalam kosa kerja seniman di Eropa dan Amerika merupakan genre turunan dari teater dan seni rupa. Meski banyak dilakukan oleh teater postmodernisme di Eropa dan Barat seperti Augusto Boal atau Brecht, poetry performance atau teatrikalisasi puisi merupakan bentuk ekspresi baru yang terinspirasi dari kebekuan bentuk-bentuk ekspresi perupa.
Di dalam poetry performance, unsur teater sangat dominan selain desain visual yang menyertai pertunjukannya, seperti video art, atau audio streaming. Bentuk ekspresi Amien Kamil ini memang tidak berkembang pesat secara mapan dalam salah satu genre pertunjukan di Indonesia. Bentuk tersebut justru berkembang dan banyak digunakan oleh komunitas-komunitas seni alternatif di Indonesia.
Budaya itu juga berlangsung sama di Eropa dan Amerika. Para avant-gardist itulah yang mengembangkan bentuk-bentuk ekspresi baru di negara masing-masing untuk menemukan bentuk-bentuk alternatif dari sebuah gagasan ekspresi. Genre yang tumbuh pada tahun 1970-an itu terus berkembang secara masive di komunitas seniman di seluruh dunia. Terutama perupa muda yang jenuh dengan bentuk seni rupa yang baku. Sehingga dapat dikatakan bahwa, seniman teater dan perupa berkolaborasi untuk menemukan bentuk dirinya yang paling performatif dan esensial, bahkan fashionable. (Argus Firmansah/Penulis/Wartawan lepas tinggal di Bandung)
No comments:
Post a Comment