Lakon Kehidupan di Teater (A Life in the Theatre) merupakan sebuah drama karakter yang mengisahkan hubungan dua aktor panggung. Robert, pensiunan aktor, dan John adalah aktor muda yang berbakat. Mereka menghadapi beberapa produksi pementasan dengan lakon yang berbeda-beda. “Kehidupan di Teater” membawa penonton pada kisah hidup dua aktor yang berbeda situasi psikologisnya. John memilkiki karir sebagai aktor yang menanjak dan sukses karena semangatnya. Sedangkan, Robert merasa tersaingi oleh karir John yang menanjak.
Lakon ini memang mengisahkan kehidupan aktor muda dan aktor tua di panggung dan di luar panggung. Keduanya selalu berdiskusi dalam mengolah pola acting yang akan dilakukan di panggung, sekaligus saling mengkritisi masing-masing mereka. Perbedaan tafsir antara aktor muda dan aktor tua seringkali menjadi bahan perdebatan di antara mereka, juga mengapresiasi kritikus teater yang menurut Robert suka mengada-ngada dengan free pass yang diberikan manajer gedung produser pementasan.
Menonton lakon dua aktor ini seperti melihat sebuah film dokumenter yang mengisahkan seluk beluk kehidupan aktor di panggung maupun dalam kehidupannya sehari-hari. Ruang privasi personal seringkali tidak dipersoalkan.
David Mamet (1947- ) adalah seorang aktor Amerika, penulis naskah dan sutradara juga. Karya dramanya yang dramatis merefleksikan diskriminasi social dan ketidakpuasan pada masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun karyanya sangat puitis, dan fragmen-fragmennya penuh humor dengan spectacle (kejutan yang memukau). Karya-karya Mamet cukup terkenal karena kcermatannya menggarap lakon, pendek, tepat, namun kadang-kadang agak vulgar.
Lakon itu dianggap paling tepat oleh sutradara, Wawan Sofwan, bila dibawakan oleh aktor Mohammad Sunjaya dan Wrachma Rachladi Adji. Tokoh Robert yang diperankan Mohammad Sunjaya sesuai dengan latar belakang Mohammad Sunjaya yang hidup sebagai aktor di Indonesia, usianya yang ke 70 menjadi momen penting bagi penikmat teater di Indonesia. Yaitu bagaimana mengetahui kehidupan seorang aktor yang sesungguhnya. Bagaimana mereka melakukan pekerjaannya sebagai seniman di panggung dan di belakang panggung. Juga kehidupan pribadinya sehari-hari.
Wawan Sofwan, melihat naskah dan sosok Mohammad Sunjaya sebagai hubungan filosofis tentang sisi kehidupan manusia yang menggeluti hidup dari acting di panggung. Apa yang menjadi muatan esensial dari naskah lakon A Life in the Theatre dengan kehidupan Mohammad Sunjaya sebenarnya memiliki korelasi dan kesamaan biografi secara profesi, bahwa kehidupan seorang aktor seperti Mohammad Sunjaya kurang lebihnya direfleksikan melalui pementasan naskah David Mamet tersebut.
Mohammad Sunjaya dan Wrachma Rachladi Adji membawakan tokoh Robert dan John dalm bentuk teater realis. Peristiwa yang terjadi di panggung merupakan bentuk representatif dari hidup dua manusia yang memilih pekerjaan sebagai aktor panggung. Mohammad Sunjaya terlihat tidak sebagai aktor di panggung yang sedang membawakan perannya. Karena pengalaman dan jam terbang Mohammad Sunjaya sebagai aktor panggung sudah piawai, memerankan tokoh bukan hal baru lagi baginya. Justru kecanggungan itu nampak dari tokoh yang diperankannya. Kecanggungan itu didorong secara psikologis oleh lawan mainnya yang terbilang aktor muda yang sangat berbakat dan sukses. Robert (Mohammad Sunjaya) adalah cerminan seorang actor yang sudah berada di titik nadir kesuksesannya. Kecemasan akan popularitasnya, serta perasaan tersaingi terlihat jelas dari ujaran dialog dan bahasa tubuh Robert di panggung.
Tokoh John (Wrachma Rachladi Adji) sendiri terlihat lebih santai dan bersemangat sebagai aktor muda berbakat di atas panggung. Namun demikian, Robert seringkali mengomentari bentuk peran yang dibawakan John saat latihan maupun di panggung. Perbedaan usia antara Robert dan John menjadi sebuah gap psikologis. Penonton atau bahkan wanita muda tentu saja lebih mengidolakan aktor muda ketimbang aktor yang sudah udzur seperti Robert. Kisah tragis, puitis, dan sekaligus lucu di panggung itu dihidupkan oleh permainan Mohammad Sunjaya dan Wrachma Rachladi Adji dengan kerjasama yang baik di panggung, sehingga penonton menikmati pementasan itu dengan khidmat dan santai.
Sisi tragis kehidupan aktor panggung memang cermat ditulis David Mamet. Begitu pula Wawan Sofwan dalam menggarap Mohammad Sunjaya dan Wrachma Rachladi Adji untuk pentas Kehidupan Di Teater. Pra produksi yang digarap cukup pendek, yaitu dua bulan, oleh Wawan Sofwan menjadi tantangan tersendiri bagi kedua aktor dari Bandung itu dalam mengolah bentuk pemeranannya. Gagasan artistik Wawan Sofwan terhadap lakon cukup komunikatif dalam pementasannya. Tantangan bagi Wawan Sofwan sebagai sutradara aktor senior seperti Wawan Sunjaya justru terletak pada pengolahan ruang pentas.
Penonton terbagi atas dua sudut penglihatan yang berseberangan sekaligus berhadapan. Tapi bukan berbentuk sudut arena. Aktor harus menyadari blocking ketika dia berakting, karena setiap sudut terdapat penonton yang sedang mengapresiasi laku perannya. Dibutuhkan pengolahan ruang dan area bermain yang sangat cermat untuk membagi pandangan aktor kepada penonton.
Pementasan Kehidupan Di Teater yang disutradarai Wawan Sofwan dengan aktor Mohammad Sunjaya dan Wrachma Rachladi Adji dalam produksi Actors Unlimited, Bandung, itu digelar di auditorium Pusat Kebudayaan Francis (CCF) Bandung pada Jumat malam kemarin (7/9). Pementasan tersebut sekaligus merupakan perayaan ulang tahun Actors Unlimited yang ke 8. Wawan Sofwan menggagas pertunjukan ini berbarengan dengan perayaan ulang tahun Mohammad Sunjaya yang ke 70 tahun. Actors Unlimited didirikan pada tanggal 28 Agustus 1999, pementasan perdananya berjudul “The Art” dalam program pentas keliling kota-kota di Indonesia. Lembaga yang didirikan Mohammad Sunjaya bersama rekan-rekannya adalah organisasi nirlaba, perkumpulan seniman, yang bergerak dalam bidang teater. Actors Unlimited didirikan di Kota Bandung pada 28 Agustus 1999 bersama Wawan Sofwan, IGN Arya Sanjaya, Diana G. Leksanawati, Fathul A. Husein, dan Sonny Soeng.
Pementasan Kehidupan Di Teater bagi Mohammad Sunjaya adalah sebuah gambaran yang menelanjangi kehidupan aktor di panggung dan di belakang panggung. Misalnya seorang promter atau “juru bisik” sudah lazim digunakan dalam setiap pementasan teater baik di luar negeri maupun di Indonesia. Hal-hal teknis inilah yang tidak banyak diketahui oleh penonton. Dalam pementasan itu semua hal yang istilah “di belakang layar” ditunjukan kepada penonton. Makanya, naskah dan pementasan itu merupakan sebuah ketelanjangan dunia aktor panggung.
Mohammad Sunjaya kali pertama berakting di atas panggung dilakukannya sejak duduk di bangku sekolah menengah atas, yaitu pada tahun 1955. Judul lakonnya waktu itu adalah “Di Langit Ada Bintang” karya Utuy Tatang Sontani dengan sutradara Noor Asmara. Profesi aktor bagi Mohammad Sunjaya adalah pilihan hidup rupanya. Ia adalah aktor angkatan pertama di Studiklub Teater Bandung (STB) yang berdiri tahun 1958, dan sempat menjabat sekretaris di STB. Dalam sebuah interview dengan Mohammad Sunjaya, ia mengatakan bahwa menjadi aktor panggung sudah menjadi candu. “Bagi saya menjadi aktor sudah menjadi candu,” katanya menegaskan. Meski hidup dari aktor panggung belum bisa memberikan kemapanan di Indonesia, ia mendapatkan kepuasan karena menjadi lebih manusiawi.
Wrachma Rachladi Adji kali pertama dikenal sebagai aktor tubuh Teater Payung Hitam, Bandung, pada saat itu ia masih berstatus mahasiswa Jurusan teater, STSI Bandung. Kemampuannya sebagai actor diolahnya kemudian dengan mementaskan monolog-monolog yang diproduksinya sendiri dengan bantuan kawan-kawan. Setelah menjadi aktor independenlah Wrachma Rachladi Adji mulai mengasah peran-peran realis di panggung. (Argus Firmansah/Wartawan lepas di Bandung/Baca berita ini di Tabloid KOKTAIL Edisi No.002, 13-19 September 2007)
No comments:
Post a Comment