Tuesday, April 8, 2008

Realitas Wong Cilik vis a vis Hiburan Politis Cagub Jabar

Masyarakat yang berada di pelosok desa di seluruh Jawa Barat kurang memahami politik itu apa. Kurang paham dengan apa yang namanya politik uang. Sebagian besar masyarakat yang dikunjungi oleh masing-masing kandidat Cagub dan Cawagub terlihat bingung dengan iring-iringan kendaraan yang melaju cepat di jalan umum.

Mobilisasi massa pendukung masing-masing cagub dan cawagub merupakan setting agenda masing-masing Tim Sukses kandidat. Pemberian kaos kampanye dan pengganti uang bensin cukup membuat sejumlah pengangguran dan orang yang sedikit aktifitasnya untuk datang secara bergerombol ke lokasi kampanye akbar.

Apakah mereka benar-benar pemilih pasangan yang didukungnya? Jurnal Nasional menelisik hal itu di berbagai daerah yang dikunjungi salah satu pasangan cagub dan cawagub yang akan dipilih pada tanggal 13 April nanti.

Ibu Kurnia (42) warga Kabupaten Cianjur, tiap hari berjualan makanan ringan dan goring-gorengan di depan rumahnya. Sementara suaminya berjualan Batagor. Itu pun kadang-kadang berjualannya, bila ada modal.

Ibu Kurnia dengan 6 orang anak ini mengaku sangat terjepit dan prihatin dengan kondisi ekonomi saat ini. Harga minyak tanah memang masih normal tapi khawatir mendadak mahal. Sekarang saja harga minyak tanah sudah sangat memberatkan, katanya. Ibu Kurnia mengharapkan satu hal saja, harga kebutuhan pokok wong cilik jangan mahal.

”Jangan kampanye janji saja atuh. Kalau ada mah saya kasih uang buat beli beras dan minyak,“ ujar Ibu Kurnia sambil menggoreng pisang dibungkus adonan terigu.

Kandidat Heryawan-Dede yang secara intens mengunjungi wong cilik hanya sebatas bertanya berapa penghasilan per hari dan berapa tingkat kesulitan hidup para wong cilik. Tentu saja, Didi (34), pedagang asongan di Alun-alun Tasikmalaya, menjawab dengan cepat keluhannya kepada calon dewa penolong itu. Baru calon, belum tentu juga.

Ibu Kurnia dan Didi adalah potret masyarakat yang disapa oleh para kandidat sebagi wujud simpatinya kepada masyarakat kecil, wong cilik. Namun aksi simpatik itu hanya kepentingan sesaat dalam massa kampanye Pilgub Jabar 2008.

Asep (37) seorang pedagang daging ayam di Pasar Cagak, Kab. Subang, mengatakan bahwa pemilihan umum hingga saat ini hanya membutuhkan suara masyarakat kecil saja. Hanya suaranya saja yang mereka butuhkan untuk memenangkan salah satu pasangan kandidat. Setelah itu mereka tak pernah wujudkan janji-janji yang mereka ucapkan. Apakah ini politik? Apakah itu demokrasi? Mengerikan.

Ningsih (45) bersuamikan buruh tani garap. Tiap hari selalu mencari pinjam uang kepada tetangganya bial suaminya sudah mendapatkan kepastian mendapatkan pekerjaan sampingan, membantu pedagang sayur berjualan. Meski suaminya bekerja untuk menggarap sawah, tapi beras sangat sulit diperoleh keluarganya. Harga beras miskin (Raskin) meski terjangkau tapi mencekik buat keluarga Ningsih, karena kebutuhan lain juga harus dibeli dengan uang.

Deni Taufik (30) sudah hampir 8 tahun menarik becak untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan sekolah anaknya. Selama massa kampanye, bagi Deni bukan hal yang istimewa. Deni sudah bosan mendengar janji-janji para pejabat yang tak pernah terwujud, terlebih tak pernah memberi jalan keluar atas kesulitan hidup keluarga Deni. Tapi, selama massa kampanye Pilgub Jabar ini Deni menempel 3 kandidat cagub dan cawagub di atas penutup becaknya.

Deni bekerja keras dengan mengayuh becak dengan angan-angan suatu nanti hari ada pinjaman lunak atau ada orang kaya yang mau meminjamkan uang untuk berdagang. “Kalau saya tidak menarik becak, mau makan apa keluarga saya di rumah. Saya ingin berjualan kalau ada modal mah,” kata Deni dengan logat Sundanya yang kental.

Apakah semua janji-janji manis mereka akan terwujud atau memberi harapan panjang saja kepada tukang becak, pedagang kaki lima, janda miskin, bahkan pengangguran? Dari pantauan Jurnal Nasional di beberapa daerah kampanye menunjukan bahwa masyarakat kabupaten dan pedesaan tidak terlalu konsen terhadap tiga pasangan cagub dan cawagub.

Program-program perbaikan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan pembaharuan birokrasi selalu diucapkan sebagai bahan orasi kepada massa pendukung yang sudah dibekali kaos kampanye maupun hanya ikut-ikutan karena mau lihat artis dangdutnya saja.

Kampanye Manis – DA’I

Kampanye Manis pasangan Danny-Iwan (DA’I) dimanfaatkan oleh masyarakat, khususnya mereka yang banyak diam di rumah hingga pengangguran, untuk mendapatkan uang lebih daripada berdiam diri. Pasalnya, mereka yang berkampanye mendapatkan kaos kampanye dan uang pengganti bensin beberapa liter saja. Kampanye manis DA’I dengan musik dangdut dan artis yang menghibur hanya menjadi hiburan para wong cilik yang memang sudah patah arang mencari rezeki. Pendidikan yang rendah dan lapangan pekerjaan yang sempit kerapkali mendorong masyarakat untuk menjadi Tenaga Kerja Indonesia/Wanita (TKI/TKW) di luar negeri.

Pidato Nasionalis - AMAN

Kandidat Agum-Nu’man (AMAN) yang selalu berkesan dengan patriotisme di tengah massa pendukungnya tak lekang pula dari pandangan negatif masyarakat kecil di daerah kampanye yang dikunjunginya. Pertanyaan yang sama kerap kali muncul, apakah Jawa Barat akan berubah menjadi lebih baik nanti. Apakah usai berjoget dangdut bersama Iis Dahlia kehidupan massa pendukungnya berubah?

Massa pendukung kandidat AMAN kerapkali berlipat-lipat jumlahnya ketimbang massa pendukung pasangan lain. Akan tetapi kuantitas massa pendukung AMAN tidak bisa disamakan secara kualitasnya dengan massa pendukung DA’I atau HADE.

Orasi Jihad - HADE

Ahmad Heryawan dan Yusuf Macan Effendi selalu menggelar kampanye secara terpisah dan bertemu di lokasi kampanye akbarnya saja. Namun pasangan dengan nomor urut 3 ini terbilang berbeda dari pasangan DA’I dan AMAN. Heryawan-Dede (HADE) sangat jarang menggelar hiburan yang ekspresif dengan artis dangdut yang terkenal secara nasional.

Pasangan HADE lebih banyak melakukan aksi simpatik ke titik-titik utama dimana aktifitas masyarakat kecil berada, dan berorasi dengan nuansa islami di hadapan massa pendukungnya. “Allahu Akbar….! Allahu Akbar….! Allahu Akbar….!” (Argus Firmansah/Jurnal Nasional/Bandung)

No comments: