Kemampuan seorang aktor ketika berakting atau memainkan perannya di atas pentas selalu diuji oleh apresiasi penontonnya. Terlepas dari naskah apapun yang dibawakannya, tuntutan seorang aktor jelas harus dapat memberikan keindahan peran itu kepada penonton. Kemampuan aktor dalam membawakan tokoh yang diperankan memang selalu diuji di ruang pentas monolog. Studiklub Teater Bandung (STB), di Bandung, mengemas sebuah pertunjukan teater yang berisi tiga repertoar drama yang dipertontonkan sekaligus dalam satu malam. Persembahan itu diberi judul Satu Malam Tiga Repertoar dengan arahan sutradara I Gusti Nyoman Arya Sanjaya atau lebih akrab dipanggil Kang Arya. Meski “kang” adalah panggilan untuk pria beretnis Sunda. IGN Arya Sanjaya tak keberatan karena di STB ia banyak bergaul dengan bahasa orang-orang Sunda.
Satu Malam Tiga Repertoar itu digelar di Auditorium CCF, Bandung, pada Jum’at malam (18/1) kemarin. Para aktor yang tampil dalam tiga repertoar itu adalah Ayi Kurnia Iskandar, Dedi Warsana dan Deden Bell. Masing-masing aktor tampil dengan naskah yang berbeda di setiap babaknya. Repertoar itu cukup pendek karena terdiri dari tiga babak drama dengan tiga repertoar. Setiap aktor menyajikan keindahan aktingnya selama 20-30 menit di atas pentas.
Aktor pertama dalam Satu Malam Tiga Repertoar adalah Dedi Warsana dengan judul “Symphoni #4”. Naskah Symphoni #4 dan dua naskah lainnya adalah naskah yang ditulis dan sekaligus disutradarai oleh IGN Arya Sanjaya sendiri yang dipersembahkan khusus untuk pertunjukan STB. “Saya menunggu saat yang tepat untuk menampilkan pertunjukan dari naskah saya ini, dan awal tahun inilah kesempatannya,” ujar IGN Arya Sanjaya usai pertunjukan di CCF Bandung (18/1) kemarin.
Dedi Warsana menampilkan tokoh musisi gitar dalam repertoarnya yang berjudul Symphoni #4. Kisah musisi gitar itu berlangsung dalam sebuah konser perdana yang akan dikerjakannya. Akan tetapi, konser perdana itu hanya diisi dengan cerita-cerita sang musisi gitar itu tentang sejarah alat musik petik, yaitu gitar, juga cerita komposisi musik klasik karya musisi di Eropa. “Nomor pembuka dalam konser perdana saya ini adalah karya Bach. Bacharudin maksudnnya,” ujar musisi gitar yang diperankan Dedi Warsana. Para penonton pun tertawa keras setelah memperhatikan aktor STB itu menyebut nama Bacharudin, bukannya Johann Sebastian Bach (1685-1750); komposer Jerman yang muncul pada jaman Baroque.
Bacharudin itu rupanya sahabat sang musisi gitar yang dianggapnya ahli gitar klasik dan banyak tahu sejarah musik klasik. Kisah yang diceritakan musisi gitar itu menjadi interupsi panjang hingga menjadi dongeng sebenarnya di atas panggung konser perdananya. Dongeng tentang sahabat dekatnya yang bernama Bacharudin. Karena kecintaanya pada sahabat, ia juga membacakan surat dari Bacharudin setelah meletakan gitar konsernya pada boks gitar. Dalam akhir suratnya itu ditulis bahwa dirinya adalah seorang pria dengan tampan pas-pasan namun berbakat memainkan gitar. Cerita pun berganti setelah ia sadar bahwa penonton seharusnya mendengar konser gitarnya. “Maaf, seharusnya saya memainkan gitar ini untuk konser perdana saya ini, tapi maaf….boleh saya bercerita lagi?” ujar si aktor yang kemudian bercerita tentang aliran musik rock dan faedahnya. “Musik hingar bingar atau musik berbau cadas itu bisa mempercepat proses tumbuhnya sel-sel baru bila Anda terluka….,” katanya. “Tentunya anda tahu bila saya terluka pada jari tangan? Saya tahu yang saya butuhkan. Obat merah,” katanya di atas pentas konser perdananya. Dongeng-dongeng itulah yang kemudian menjadi konser perdana musisi gitar yang diperankan Dedi Warsana dalam judul Symphoni #4. Ketika lampu di pentas redup hingga gelap para penonton masih tertawa dengan ulah sang musisi gitar itu. Beberapa penonton berbisik sambil tertawa, “Jadi konser apa itu tadi?”, ujar mahasiswi UPI Bandung.
Penampilan Dedi Warsana dalam repertoarnya berhasil menghibur para penonton STB di Auditorium CCF Bandung malam itu. Kemampuannya mengolah irama pertunjukan serta improvisasi akting dengan berinteraksi pada penonton membuat sajian pembuka Satu Malam Tiga Repertoar jadi menarik. Bentuk drama komedi tentang musisi gitar yang terjebak dengan dongeng sejarah musik gitar dan sahabatnya itu membuat penonton akrab karena suasana yang diciptakan oleh akting Dedi Warsana.
Penonton masih terheran-heran karena kelucuan repertoar pertama yang disajikan Dedi Warsana. Repertoar kedua pun digelar usai master of ceremony mengantar sajian drama pendek yang kedua. “Symphoni April” menjadi judul repertoar kedua atau babak kedua dalam sajian STB yang berjudul Satu Malam Tiga Repertoar. Deden Bell tampil pada repertoar kedua. Drama ini masih mengisahkan sebuah konser musisi, dan yang kedau adalah musisi harva.
Lagi-lagi penonton tertawa setelah mendengar ujaran tokoh peran, musisi harva, dalam repertoar kedua ini. “Maaf, alat musiknya belum tiba di belakang panggung karena teman saya yang membawa alat musik itu terjebak macet di jalan Pasteur,” katanya. Musisi harva itu tahu benar apa yang dilakukan menghadapi konser musik harva tanpa alat musik. Kemudian ia mulai menjelaskan mengapa alat musik harva dipilihnya. Mulailah dongeng panjang tentang sejarah hidupnya sebelum ia menjadi musisi harva yang terkenal. Musik yang keluar dari dentingan harva memberinya kedamaian dalam hidup. “Harva adalah cinta kedua saya. Saya dan istri saya rela menutup usaha kami untuk menjadi musisi harva. Apalagi setelah menandatangani kontrak rekaman….” papar sang musisi harva.
Kekuatan akting Deden Bell dalam repertoarnya kurang memikat penonton rupanya. Padahal bentuk repertoarnya adalah komedi, seperti halnya repertoar Dedi Warsana. Sajian Symphoni April oleh Deden bell memunculkan kesan bahwa penguasaan keaktoran Deden Bell terhadap teks Symphoni April yang ditulis IGN Arya Sanjaya belum maksimal, sehingga pesan-pesan pendukung yang dimainkan dalam logika mono-dialog tidak terjamah. Hasilnya, unsur kelucuan dan elemen komediannya tidak terbangun dengan baik. Repertoar yang sejatinya menimbulkan efek lucu dan gelak tawa dari penonton tidak tercipta, sehingga menjadi repertoar yang terasa “dingin”. Yang nampak justru karakter musisi harva itu dibuat lucu, padahal esensi karaketer komedian adalah over-realism.
Repertoar penutup atau babak ketiga adalah “Symphoni Patet Pat”. Repertoar ketiga ini diperankan oleh Ayi Kurnia Iskandar. Lakon Symphoni Patet Pat adalah repertoar parodi implisit dari Nyanyian Angsa karya Anton Chekhov. Tokoh dalam Symphoni Patet Pat adalah seorang aktor tua dan pemabuk. Pekerjaan dari pensiunan actor panggung ini hanya mengulang kisah masa kejayaan hidupnya sebagai aktor panggung, serta peran-peran kecil yang selalu dimainkannya. Hidupnya selama 67 tahun diabdikannya pada panggung teater. Meski peran-peran itu sebenarnya hanya peran-peran “badut” dalam sebuah repertoar besar.
Lelaki tua dan pemabuk itu hidup di belakang panggung setelah pensiun jadi aktor. Dalam repertoar itu ia menceritakan bagaimana hidupnya ditakdirkan untuk menjadi seniman panggung dengan peran-peran kecilnya. Sekaligus menjadi laki-laki yang tidak laku. Karena tak ada wanita yang mau menikah dengan dirinya. Pensiunan aktor panggung itu selalu mencekik leher botol minuman keras di atas pentas. Dalam kesadaran dan tidak sadarnya ia terus mengoceh tentang dunia aktor panggung yang dibanggakannya. Sifat post-power-syndrom sebagai aktor pun kerap kali muncul dengan menunjukan kepada penonton betapa indah peran-peran kecil yang dimainkannya pada masa lalu, antara lain repertoar yang berjudul King Lear, Nyanyian Angsa, Hamlet dan Julious Caesar. Pada puncak repertoar itu ia mengatakan dalam mono-dialognya, “Masa lalu adalah kenangan yang menggairahkan!” ujar si tua mabuk. Ayi Kurnia Iskandar cukup baik memainkan karakter tokoh dari naskah parodi karya IGN Arya Sanjaya dan berhasil menghibur penonton STB malam itu melalui tokoh pemabuk, pensiunan aktor panggung itu.
Satu Malam Tiga Repertoar yang disajikan IGN Arya Sanjaya atas nama STB itu ditonton oleh aktor dan tim produksi STB pada masa awal masa keemasannya. Ayi Kurnia Iskandar mengatakan, “Seperti ditonton oleh Pak Yatna,” ujarnya usai pentas setelah menerima karangan bunga dari tokoh senior STB. Repertoar STB kali ini merupakan persembahan para aktor muda dalam perayaan “Lustrum-50 tahun STB”.
Retno Dwimarwati, pengajar di salah satu sekolah tinggi seni Bandung, mengatakan bahwa repertoar teater STB kali ini berbeda. Karakter IGN Arya Sanjaya sebagai sutradara lebih menonjol dan keluar dari mainstream STB. Pasalnya, STB memiliki mainstream pertunjukan dengan naskah drama dari luar. Hampir 99 prosen STB memang selalu mementaskan naskah sastra drama dari Eropa atau Amerika. Namun kali ini IGN Arya Sanjaya menyajikan repertoar dari naskah yang ditulisnya sendiri. “Buat saya jadi menarik, karena orang-orang muda sekarang berani-berani mementaskan naskah sendiri,” kata Retno Dwimarwati di luar Auditorium CCF Bandung, Jum’at malam (18/1) kemarin.
Penonton STB sudah tahu bahwa STB memiliki patron menggarap naskah luar dan disajikan dengan tingkat akurasi dan presisi yang baik disesuaikan dengan ciri khas atau karakter aktornya pada penonton teater modern di tanah air, khususnya di Bandung. Kecerdasan Suyatna Anirun dalam menghidupkan STB tidak ditemukan pada penerus STB setelah Suyatna Anirun meninggal dunia.
Setelah STB ditinggalkan Suyatna Anirun, IGN Arya Sanjaya memang paling banyak menggelar repertoar teater modern selain Yoyo C. Durachman. Namun kedua sutradara itu muncul sebagai dirinya sendiri, bukan STB. “Itu memang sulit. Apalagi dengan nama besar STB yang mungkin jadi beban untuk penerusnya. Arya misalnya, ia seperti terjebak dalam patronase Suyatna Anirun dan melakukan pengulangan repertoar yang sudah digarap oleh Suyatna Anirun dan itu tidak kesampaian. Tapi pada garapan ini kenakalan dan karakter Arya muncul sebagai dirinya sendiri,” lanjut Retno Dwimarwati.
“Saya memang menulis naskah ini sendiri dan sudah lama dibuatnya. Garapan ini memang tidak memperdulikan nama STB yang besar itu. Kalau saya mampunya segitu…ya itulah kemampuan saya,” ujar IGN Arya Sanjaya usai pertunjukan. Arya, sutradara, mengatakan bahwa konsep kemasan yang disajikan dalam pertunjukan Satu malam Tiga Repertoar adalah parodi terhadap naskah-naskah besar. Bagaimana membuat durasi pertunjukan sependek mungkin dengan muatan yang maksimal. Oleh sebab itulah tiga repertoar dengan durasi yang tidak sampai tiga puluh menit itu dikemas dalam satu sajian teater. “Penonton sekarang itu kan tidak tahan bila menonton pertunjukan sampai berjam-jam, makanya dibuat pertunjukan atau repertoar pendek-pendek yang tidak lebih dari tujuh puluh menit,” papar IGN Arya Sanjaya. (Argus Firmansah/Kontributor Bandung/KOKTAIL)
No comments:
Post a Comment