Thursday, February 21, 2008

Kesadaran Terhadap Ruang Publik dan Eksistensi Komunitas

Sepanduk hitam bertuliskan “Underground Berkabung-Tragedi AACC 9 Februari 2008” tersebar di ruang-ruang publik, di sekitar outlet-outlet distro Bandung.

Komunitas-komunitas kreatif yang banyak dikelola oleh anak muda Bandung terusik oleh pemberitaan atas tragedy AACC pada tanggal 9 Februari 2008 yang lalu. Mereka menamakan peristiwa tragis itu sebagai peristiwa “Sabtu Kelabu” atau “Tragedi AACC” dimana 11 remaja Bandung meninggal dunia usai menonton konser peluncuran album grup metal BESIDE yang berjudul “Againts Ourselves” di Gedung Asia Africa Culture Center, Jalan Braga Bandung.

Isu diskrimitatif terhadap komunitas underground di Bandung pun muncul di antara komunitas kreatif yang seringkali emmang beraktifitas di dunia musik dan bisnis fashion desain yang limited edition yang dikenal oleh wisatawan sebagai distro.

Menyikapi banyaknya isu dan opini yang menyudutkan komunitas underground Bandung maka komunitas yang terdiri dari Rumah Cemara, LBH Bandung, Sunda Underground, Ujung Berung Rebels, Common Room Networks Foundation, Solidaritas Independen Bandung (SIB), Yayasan Adikaka, Rumah Musik Harry Roesly (RMHR) menyelenggarakan sebuah dialog publik dengan tema membuka kesadaran masyarakat terhadap ruang publik dan kebebasan berekspresi yang bertanggungjawab.

Dalam dialog publik yang dihadiri oleh Kimung (Ujung Berung Rebels), Addy Handi (Forgotten/ Ujung Berung Rebels), dr. Teddy Hidayat, Tisna Sanjaya, Drs HI Budhyana Msi (Kadisbudpar Provinsi Jawa Barat), Yesmil Anwar (Kriminolog UNPAD)

Dalam dialog tersebut Kimung (Ujung Berung Rebels) mengatakan bahwa saat ini yang harus dilakukan adalah introspeksi diri oleh semua komunitas yang ada di Bandung dan belajar dari tragedi tersebut. Mengeratkan kembali hubungan pertemanan dan kekeluargaan untuk sama-sama membangun kota Bandung yang lebih baik.

Acara dialog tersebut juga diselingi oleh pembacaan puisi dan penampilan musik yang masing-masuing satu lagu dari grup musik underground Bandung.

Giman, 24 tahun, anggota komunitas Rumah Cemara, memberi komentar tajam dengan mengatakan, “Saya miris membaca pemeberitaan di media tentang peristiwa tragis tersebut. Dan memunculkan opini bahwa komunitas underground dekat dengan narkoba. Jangan selalu di-stereotype-kan bahwa underground adalah pengguna narkoba,” tegasnya, kemudian disambut tepuk tangan ratusan orang yang hadir dalak dialog tersebut.

Yesmil Anwar, Kriminolog dan Sosilog Hukum UNPAD, mengatakan kepada Jurnal Nasional. Tragedi 9 Februari 2008 yang lalu itu merupakan cermin telah hilangnya kesadaran masyarakat terhadap ruang publik. Untuk menangani persoalan kota Bandung yang patologis ini dibutuhkan sebuah peraturan daerah yang mengatur kesempatan dan kreatifitas komunitas seperti ini.

“Perlu Perda atau aturan konkrit uyntuk meregulasi eksistensi anak muda di berbagai bidang, baik olah raga, musik dan lain-lain,” jelas Yesmil Anwar.

Sementara Drs. H.I. Budhyana, Msi., Kadisbudpar Provinsi Jawa Barat, memandang bahwa persolan komunitas ini memang perlu adanya sebuah regulasi yang baik, agar potensi kreatif anak muda di Bandung dan Jawa Barat terwadahi dengan baik.

“Saluran atau aliran ini jangan sampai merusak lingkungan budaya yang ada,” katany secara simbolik. Komunitas muda yang beragam ini perlu diwadahi dan diberi kesempatan. Budhyana juga mengatakan bahwa komunitas yang beragam ini adalah aset pariwisata Jawa Barat.

Marsion, orang tua almarhum Ahmad Wahyu Efendi (salah satu korban tragedi AACC), menyampaikan kata-kata bijak mewakili keluarganya. Agar anak muda Bandung terus berkarya. Pak Marsion juga menghimbau kepada penyelenggara kalau ada konser seperti itu lagi, lihatlah tempat yang memadai.

“Kepada anak-anak muda jangan sampai kapok karena kejadian itu. Kita bisa belajar dari sana, kalau ada keributan cobalah saling menghormati, jangan sampai tidak tertib. Kepada grup band Besad (BESIDE-red) jangan sampai gara-gara ini merasa disalahkan. Anggaplah semua ini sebagai musibah,” papar Marsion dengan sambutan yang antusias dari anak-anak underground Bandung.

Usai dialog itu acara diteruskan dengan penyerahan santunan kepada tiga keluarga korban yang hadir dalam acara dilaog tersebut. Komunitas solidaritas Sabtu Kelabu Bandung berhasil mengumpulkan uang 23 juta rupiah dari masyarakat Bandung, musisi dan seniman. Uang sumbangan itu akan terus dihimpun untuk seterusnya diberikan kepada 11 keluarga korban tragedi AACC 9 Februari 2008 yang lalu.

“Kami memohon maaf dan berbelasungkawa sedalam-dalamnya kepada seluruh keluarga korban. Saya merasa seperti keluarga yang ditinggalkan,” ujar Oang (salah satu personil band BESIDE) usai penyerahan uang santunan kepada keluarga korban di GK Taman Budaya Jawa Barat, Bandung, Sabtu (16/2) sore kemarin. (Argus Firmansah/Jurnal Nasional/Bandung)

No comments: