Thursday, February 21, 2008

Inovasi Jurnaslisme Indonesia Penting Untuk Perubahan Sosial

Pemberitaan meninggalnya mantan Presiden Soeharto masih tersimpan dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia melalui media massa, khususnya berita di televisi, yang dipandang agak berlebihan dalam menampilakn profile mantan presiden yang kedua itu. Juga tragedi di Gedung Asia Africa Culture Center, Bandung, yang menewaskan 10 remaja Bandung pada tanggal 9 Februari 2008 yang lalu. Mereka adalah Agung Fauzi (17), M. Yusuf Ferdian (18), Ahmad Wahyu, Ahmad Dani Furqon (15), Dicky Zaelani Sidik (20), Yadi Kurniadi (16), Kristianto, Dodi, Novi Febriana (15), korban terakhir yang dikenali keluarga korban adalah tubuh Ressa Maulana (15).

Dua peristiwa berkabung ini meninggalkan jejak kritis untuk dianalisis oleh pengamat dan jurnalis itu sendiri. Bisa dikatakan sebagai upaya otokritik terhadap jurnalisme Indonesia sekarang.

Jurnalisme di Indonesia dalam memberikan informasi kepada masyarakat pun menjadi sorotan kalangan jurnalis dan masyarakat. Fenomena pemberitaan mantan presiden kedua itu menjadi cermin jurnalisme Indonesia masa kini. Bagaimana kualitas berita yang disampaikan kepada masyarakat akhir-akhir ini dapat memberikan inspirasi dan perubahan positif pada segi sosial kemasyarakat rakyat Indonesia.

Cermin jurnalisme Indonesia masa kini menjadi bahan perbincangan menarik di berbagai daerah dengan sejumlah persolan profesionalisme jurnalis dalam melakukan peliputan di lapangan, termasuk peran kapital perusahaan media massa dalam memposisikan dirinya sebagai medium. Baik itu memediasi masyarakat dengan pemerintah, maupun antarmasyarakat sendiri.

Mira Kusmarini, Ashoka Indonesia, mengatakan bahwa sekarang ini yang dibutuhkan adalah inovasi sosial yang berkembang dari paradigma jurnalisme atau masyarakat yang dapat memebrikan masukan untuk perbaikan sosial masyarakat Indonesia sekarang. ”Kita membutuhkan media watch yang independen sebagai lembaga yang bertanggungjawab atas kontrol kualitas jurnalistik terhadap masyarakat,” papar Mira Kusmarini.

Jurnalisme di Indonesia rupanya menimbulkan banyak persoalan yang dibincangkan dalam sebuah diskusi dengan tema peningkatan jurnalisme yang independen, profesional dan enterpreneurial di Indonesia di Kantor Sekretariat Ashoka Indonesia di Jalan Durma, Bandung, Selasa (12/2) siang kemarin.

Isu yang dibincangkan dalam diskusi tersebut antara lain masalah suap di dalam jurnalisme Indonesia, kesadaran individu jurnalis untuk tidak menerima imbalan dalam bentuk apapun, kualitas jurnalis di Indonesia. Dalam persoalan suap atau uang amplop atau uang yang ditransfer ke rekening jurnalis dari narasumber Agus Rakasiwi, Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandung, memaparkan fakta suap yang dilakukan oleh jurnalis di lapangan dari berbagai organisasi pers di daerah.

Sementara Tosca Santoso, KBR 68H, juga alumni Fellow Ashoka 2006, mengatakan sikap pesimisnya terhadap situasi makro bangsa Indonesia yang pada kenyataannya bahwa suap dalam jurnalisme Indonesia sejalan dengan tradisi korupsi. Suap dalam jurnalisme Indonesia sinyalir menjadi distorsi dalam agenda pemberitaan media massa yang bersangkutan. ”Bagaimana menghilangkan suap di media selama korupsi dan suap itu masih dominan dan itu akan mendistorsi agenda berita,” ujar Tosca Santoso. Informasi penting yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak terpenuhi, sedangkan mereka yang memiliki kekuatan kapital dapat mendominasi agenda pemberitaan.

Kondisi demikian mendapat masukan dari Aan, Ketua Forum Diskusi Wartawan Bandung, mengatakan bahwa semua itu dapat diubah apabila salah satu lapisan diperkuat dengan jurnalis yang berkualitas. ”Yang penting adalah memperkuat jurnalis di lapangan. Bagaimana seorang jurnalis meng-create sebuah berita dan bukan menunggu bola,” paparnya Aan Sulhan Syafe’i dengan semangat. ”Dominasi pemain isu di lapangan sangat penting. Newsmaker itulah kekuatannya apabila di newsroom dodominasi oleh kekuatan kapital,” tambah Aan.

Diskusi itu berlangsung setelah acara penyerahan penghargaan kepada tiga pemenang Kompetisi Jurnalistik ”Kewirausahaan Sosial Menuju Indonesia Yang Lebih Baik”. Dewan Juri yang terdiri dari Ichlasul Amal (Dewan Pers), Fred Hehuwat (Ashoka Indonesia) dan Tosca Santoso (KBR 68H). Suwastinah Atmojo, The Jakarta Post, memenangkan juara pertama disusul oleh Rach Alida Bahawares, Majalah Mingguan Gatra, sebagai juara kedua, serta Islaminur Pempasa, Pikiran Rakyat, pemenang ketiga. Program tersebut merupakan kerja sama Ashoka Indonesia dengan British Council Indonesia.

Ashoka Indonesia mengajak masyarakat dan jurnalis untuk berpikir dalam paradigma bagaimana menjadi agen perubahan dan inovator sosial di bidang jurnalistik. Semangat kewirausahaan sosial adalah konsep Ashoka Indonesia untuk mengajak semua elemen masyarakat untuk selalu mencari solusi yang inovatif dalam menghadapi kondisi sosial menuju Indonesia yang lebih baik.

Diskusi yang dihadiri oleh jurnalis itu membuka lembaran fakta di lapangan bagaimana jurnalis di lapangan menyampaikan informasi faktual kepada perusahaan media massa di mana mereka bekerja dan diproduksi untuk konsumsi informasi masyarakat. Namun isu yang hangat dibicarakan adalah persoalan profesionalisme, kesejahteraan pekerja pers dan suap terhadap jurnalis di Indonesia. Program Ashoka Indonesia untuk Journalist Fellowship Indonesia adalah bagaimana memberi apresiasi kepada masa lampau dan masa yang akan datang untuk membuat inovasi yang berdampak pada masyarakat. ”Bila perlu secara finance kita bantu untuk perluasan gagasan kepada masyarakat,” jelas Mira Kusmarini kepada wartawan. (Argus Firmansah/Jurnal Nasional/Bandung)

No comments: