Monday, February 11, 2008

Melukis Abstrak dengan Fotografi

Fotografi adalah karya seni seperti halnya lukisan
Pecinta fotografi Indonesia mendapat suguhan apresiasi seni fotografi dari fotografer Jepang, yaitu Eikoh Hosoe, Hiroshi Sugitomo, Miho Akioka, Miyuki Ichikawa, Akiko Sugiyama, Chie Yasuda, Kazuo katase, Hiroko Inoue, Tomoko Yoneda, Tomoaki Ishihara, Michihiro Shimabuku. Mereka menyajikan seni fotografi dari berbagai teknik mengekspos objek foto yang dibumbui konsep sajian yang sangat sederhana namun membuka cakrawala seni fotografi. Karya-karya yang disajikan oleh para fotografer jepang itu membuka diskursus seni fotografi kontemporer yang dilatarbelakangi oleh kepekaan para fotografer terhadap entitas alam sekitar.
Masing-masing fotografer membuat konsep estetika yang berlainan dan dilakukan dengan intensitas yang sangat tinggi pada karyanya. Rincian objek foto yang dicetak dengan kertas khusus memberikan kepuasan estetika yang maksimal. Begitu pula dengan pengolahan image-nya yang dapat dikatakan tidak main-main dengan hasil bidikannya. Dari karya-karya yang disajikan di dalam pameran Counter-Photography, Japan’s Artist Today terlihat perhitungan yang matang dan penyusunan konsep fotografi yang jelas terukur, sehingga hasil yang ditampilkannya pun sesuai dengan bahasa keindahan masing-masing fotografer.
Eikoh Hosoe, fotografer Jepang berusia 75 tahun, lulusan Tokyo College of Photography tahun 1954, menyajikan seni fotografi berseri sebanyak enam frame foto berjudul “Embrace” (pelukan). Keintiman tubuh manusia disajikan dengan bahasa halus dan substansial melalui warna dwi tunggal, hitam dan putih. Gradasi warna putih yang dominan yang menyerempet ke hitam melewati abu-abu. “Embrace” memberi citraan pada rasa tubuh yang milik saya, kamu, dan semua. Karya Eikoh Hoseo itu membawa kita pada ruang penyadaran bahwa tubuh kita adalah keindahan itu sendiri. Tubuh laki-laki dan tubuh perempuan pada titik dari garis yang menggurat kertas Gelatin Print Paper hingga membentuk sebuah esensi kehidupan oleh kepakaan fotografis Eikoh Hosoe. Kamera Hosoe tidak menangkap sebuah sudut pandang yang dominan dari tubuh, sehingga karyanya tidak mengesankan sebuah manipulasi fotografik pada ketelanjangan atau esensi jenis kelamin yang berbeda.
Kemudian tiga buah foto blur atau tidak fokus karya Hiroshi Sugimoto dengan nuansa arsitektur terpajang di dinding pintu masuk ruang pamer pertama yang diberi judul “Chapel de Notre Dame du Haut, Le Corbusier” yang dibuat pada tahun 1998. Kecenderungan terhadap bentuk lukisan abstrak sangat menonjol pada foto-foto yang dipamerkan. Seni fotografi karya Hiroshi Sugimoto berkarakter gaya arsitektur. Objek fotonya adalah arsitektur gereja Chapel de Notre Dame du Haut, Le Corbusier dan Pasific Design Center, Cesar Pelli. Teknik fotografi blur atau samar dilihat dari segi seni sehingga foto yang samar itu memiliki kekuatan pictorial yang kuat. Tentunya dengan pengolahan kertas cetak foto karyanya menjadi intens, hasil dari pengolahan kreativitas fotografi yang serius.
Foto-foto itu adalah hasil karya seni fotografi dari sejumlah fotografer asal negeri Sakura – Jepang – yang berkolaborasi dalam sebuah sajian bersama berjudul Counter-Photography, Japan’s Artist Today yang digelar dalam sebuah pameran foto di Galeri Selasar Sunaryo Arts Space, Bandung, dari tanggal 18 Januari – 10 Februari 2008.
Para pecinta seni fotografi dapat menimba ilmu fotografi melalui karya yang cenderung melukiskan abstraksi secara rinci dan akurat dari sebuah hasil jepretan kamera foto. Sajian pameran memang nampak biasa saja. Sebuah pameran seni fotografi dengan berbagai medium cetak dan teknik pengolahan hasil fotografi yang dijepret oleh para fotografer senior dari Jepang itu. Karya estetis itu dicetak pada kertas Gelatin Silver Print, Hemp Paper, Type-C Print, Crystal Print dan kertas Type-R, juga medium Museum Board.
Jika satu per satu dilihat dengan seksama. Muncullah beragam tafsir terhadap karya-karya yang disajikan dalam pameran seni fotografi tersebut. Betapa tidak, karya seni fotografi yang disajikan dalam Counter-Photography, Japan’s Artist Today itu mengundang rasa penasaran bagi para tukang jepret yang datang melihat pameran tersebut. Teknik fotografi yang sederhana itu berhasil tampil luar biasa dengan pengolahan potensi estetika yang dieksplorasi dengan leluasa.
Melukis dengan cahaya adalah kata kunci sebuah karya seni fotografi. Konsep ini dengan tegas disajikan oleh Miho Akioka melalui seri karyanya yang berjudul “Light in Sway”. Bidang-bidang yang dibentuk oleh pergumulan titik putih yang bergradasi dengan warna biru langit memberinya karakter kuat dalam tema foto abstrak di atas kertas Hemp. Garis-garis cahaya yang ter-capture oleh kamera Miho Akioka memberi karakter kuat pada bentuk lukisan abstrak kontemporer di dunia. Namun demikian langit sebagai entitas makro kosmos tetap menjadi objek yang didekati olehnya.
Yang paling menonjol dalam pameran Counter-Photography, Japan’s Artist Today itu adalah seni fotografi karya Eikoh Hosoe dengan “Kamaitachi”-nya dan Instalasi fotografi karya Hiroko Inoue yang berjudul “Absence”. Eikoh Hosoe dalam esai foto berjudul “Kamaitachi” adalah hasil kolaborasi dirinya dengan seniman penari Butoh (Tari tradisi Jepang) yaitu Tatsumi Hijikata. Karya seni fotografi Eikoh Hosoe diambil di kota Akita, tempat kelahiran Hijikata, pada tahun 1965-68. Eikoh Hosoe layaknya seorang antropolog dalam pengambilan fotonya. Dia bergaul dengan masyarakat petani di Akita. Eikoh Hosoe menyajikan keunikan penari Butoh dalam melakukan aksi performanya dengan ilustrasi lingkungan di mana Hijikata hidup di tengah kampungnya. Esai foto itu merupakan tragikomis Hijikata dengan pembalikan hubungannya sebagai seniman Butoh dan kampungnya yang menurut kacamata Eikoh Hosoe agak sulit dipertemukan. Kehidupan seniman Butoh di luar panggung agak jarang terekspos dalam media seni, maka Eikoh Hosoe dalam seni fotografinya berupaya menampilkan sisi hubungan alam sekitar dengan Tatsumi Hijikata.
Hiroko Inoue mengetengahkan sebuah koleksi foto tentang dunia di luar yang dilihat dari balik jendela, di dalam institusi (rumah sakit) mental subjeknya. Semua foto itu dibidiknya dengan jendela besi sebagai frame-nya. Dia, dengan intens, mengumpulkan foto-foto dunia di luar jendela itu dengan mengelilingi setiap jendela kamar sambil berbincang dengan staf rumah sakit itu juga kepada pasien-pasien yang dia kunjungi. Tujuan dari pengambilan foto itu dijelaskan kepada pasiennya, bahwa dia hendak mengomposisikan kembali adegan-adegan kehidupan dari jendela itu melalui cara pandangnya sebagai pasein. Oleh sebab itu Hiroko menggunakan bahan kain dalam teknik cetak fotonya. Karyanya, menurut Yuri Mitsuda (kurator The Shoto Museum of Art), adalah membangun sebuah dialog dengan gambaran dunia yang-di-luar dan membangun konstruksi pemaknaan tubuh pada memori seniman serta entitas fisik alam. Seolah-olah bahwa kamera yang membidik gambaran visual dunia di luar itu adalah tubuh, juga yang-di-luar itu adalah tubuh/objek. Hiroko Inoue menghidupkan objek-objek tersebut sekaligus memperlakukannya sebagai tubuh yang hidup dan bicara – secara fotografis.
Salah satunya adalah rasa ingin tahu dari Tulus (21 tahun) mahasiswa Jurusan Arsitektur - UNPAR, Bandung, “Luar biasa. Padahal penyajiannya sederhana. Rupanya, sebuah foto yang indah itu tidak harus fokus, yang blur malah jadi indah dalam pameran ini,” katanya masih penasaran. “misalnya pada karya Tomoaki Ishihara yang berjudul “UNTITLED (#195)” yang dibuat pada tahun 1998, dilihat seperti ada ruang yang bermakna lain dengan objek kepala yang blur,” papar Tulus kemudian. Karena para fotografer dari Jepang itu tidak satu pun yang hadir di Bandung untuk berdialog dengan para pengunjung pameran seni fotografi tersebut. Tulus pun penasaran untuk berdialog dengan Tomoaki seputar teknik dan maksud dari konsep foto tersebut.
Melalui pameran ini para fotografer kontemporer Jepang melalui karyanya mengenalkan kepada public fotografi dan masyarakat umum, yaitu sebuah inovasi dalam seni fotografi dengan sebuah pendekatan terhadap realitas dunia dan alam di sekitar manusia. Karya-karya yang disajikan bukan sebagai bukti dokumentri terhadap realitas khusus apapun. Mereka justru mengangkat kembali aspek realitas yang telah menjadi tidak nampak lagi, tidak bernama, atau bahkan “ruh”-nya. Karya itu menegaskan sebuah upaya menyajikan realitas baru dan cara alternatif dalam melihat dunia. Yuri Mitsuda, mengatakan dalam pengantar pamerannya bahwa, “Di sebuah jaman di mana masyarakat saling berhubungan antara tuntutan yang berseteru dari globalisasi dan pluralisme. Pendekatan inovatif ini diharap akan menyingkirkan sebuah alur antara yang melihat dan semua kesempatan untuk sebuah temuan baru.”
Fenomena ini jelas berbeda dengan para pecinta seni fotografi di Indonesia. Fotografer asing cenderung membuat abstrak hasil seni fotografinya melalui sebuah pameran public yang serupa dengan pameran lukisan abstrak, sedangkan para fotografer di Indonesia seringkali menyajikan hasil fotografinya dengan pengolahan kreatif yang sangat sederhana. Bahwa hasil jepretan para fotografer di Indonesia sebatas memanfaatkan momen fotografis dari objek yang dibidiknya dengan teknologi kamera yang dimilikinya. Bahwa keindahan karya fotografi terletak pada keindahan warna dengan focusing objek foto yang maksimal. Hal itu diamati oleh Silvia, 22 tahun, mahasiswi Jurusan Arsitektur-UNPAR, Bandung, “Pameran fotografi di Indonesia banyak seringkali berorientasi pada dokumentri peristiwa atau momen sejarah dan aktivitas masyarakat. Hasilnya dipamerkan begitu saja, tanpa pengolahan image yang maksimal,” katanya. Dia juga mengatakan bahwa “Karya fotografi dari Jepang itu punya karakter corak ragam yang sama. Sesuatu yang berhubungan dengan alam itulah yang dianggap menarik. Ya, itu karena karakter orang Jepang yang dekat dengan alam. Mereka memamerkan seni fotografinya dengan pengolahan terhadap hasil jepretannya,” papar Silvia usai mengunjungi pameran tersebut di Galeri Selasar Sunaryo Art Space, Jum’at (25/1) kemarin.
Seni fotografi pada akhirnya dibincangkan di ruang seni visual. Seperti halnya seni rupa kontemporer dewasa ini. Bahwa sebuah gambar foto dapat diolah sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah lukisan yang bernilai dengan sajian rasa yang beragam tentunya. Persoalan teknik membidik objek memang tidak dibicarakan dalam pameran Counter-Photography, Japan’s Artist Today karena yang disajikan kepada kita adalah bagaimana melukis dengan teknologi alat rekam (kamera) pada ukuran kepekaan lensa terhadap cahaya yang mampu di-capture-nya. Jauh dari itu, hasil jepretan sebuah kamera foto dapat diolah menjadi lukisan abstrak maupun realis sesuai dengan kreativitas dan cara pandang fotografernya. (Argus Firmansah/Kontributor Bandung/Koktail)

2 comments:

Anonymous said...

kita anak-anak unit fotografi UGM yogyakarta pernah mengadakan pameran foto tentang yogykarta di retsumeikan asia pasific university beppu jepang.

info lengkap : www.dagadu2007.blogspot.com

setelah itu, teman teman dari beppu akan berpameran di ruang sidang 1 gelanggang mahasiswa UGM.

Pameran berlangsung dari tanggal 15 hingga 20 feb 2008

thx
didi ufo
dawai_asmaradana@yahoo.com
www,suatuketika.multiply.com

Anonymous said...

Mantap. Teruskan perjuangan kreatifnya agar dapat belajar banyak dari fotografer yang lebih profesional. Kapan kita bisa kerjasama untuk pameran yah?
kebetulan saya ada rencana untuk pameran "un-aesthetics frame" tahun ini