Saturday, June 14, 2008

Tindak Pidana Pembajakan Software Menurun

Kasus pelanggaran hak cipta piranti lunak atau software bajakan di Indonesia pada 2007 mengalami penurunan yang signifikan. Pada 2006, kasus software bajakan yang ditangani Kepolisian RI sebanyak 1.443 kasus, tapi pada 2007 turun drastis menjadi 598 kasus. Meski demikian kepolisian masih menilai bahwa tindak pidana di urutan pertama di Indonesia adalah pembajakan software.

Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskim) Mabes Polri, Inspektur Jenderal Polisi Paulus Purwoko, MDA, mengatakan penurunan itu itu tidak lepas dari gencarnya upaya aparat Kepolisian dalam mengawasi dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran software. Itu dikatakannya usai jumpa pers “Pelatihan Penanganan Tindak Pidana Hak Cipta Software oleh End-User” di Galeri Ciumbuleuit Apartement, Jalan Ciumbuleuit Bandung, Kamis (12/6) pagi.

Program “Pelatihan Penanganan Tindak Pidana Hak Cipta Software oleh End-User” dilaksanakan oleh aparat penegak hukum se-Indonesia - dengan BSA (Bussnies Saftware Alliance) Indonesia bagi 120 orang anggota kepolisian, Jaksa, dan PPNS se-Indonesia di Bandung mulai 12 –13 Juni 2008 di Hotel Ciumbuleuit Bandung.

“Pembarantasan terhadap pelanggaran hak kekayaan intelektual memang menjadi fokus pemerintah dan aparat penegak hukum saat ini,” kata Paulus di Galeri Ciumbuleuit Apartement, Jalan Ciumbuleuit Bandung, Kamis (12/6) pagi.

Kepala Unit I Indag Direktorat II Eksus Bareskrim Mabes Polri, Komisaris Besar Polisi Rycko Amelza Dhaniel, menambahkan pada 2007, Kepolisian berhasil menangkap 12 tersangka pengguna software bajakan untuk pabrikan, 61 orang duplikator, dan 668 pedagang. tiga bulan terakhir ini jumlah tersangka pelanggaran piranti lunak yang berhasil dijaring baru 16 orang duplikator dan 36 pedagang.

”Wilayah yang paling banyak kasus pelanggaran hak cipta ini ada di daerah DKI Jakarta dan Jawa Timur,” kata Rycko.

Paulus juga menjelaskan, belakangan ini telah terjadi perubahan modus operandi penggandaan software bajakan dari sebelumnya dilakuan secara pabrikan menjadi industri rumahan (home industry) dengan menggunakan cakram atau cd burning. Hal ini, kata Paulus, membuat pengawasan menjadi semakin sulit.

Prosedur penanganan tindak pidana software, kata Paulus, sampai saat ini baru dibentuk hingga tingkat Kepolisian Daerah (Polda). Struktur di bawahnya belum dibentuk, kecuali untuk kota-kota besar. Namun fungsi pengawasan tersebut tetap melekat pada tingkat Polres dan Polsek untuk efektifitas pengawasan dan penindakan.

Selain melakukan pelatihan terhadap aparat penegak hukum, kata Paulus, pemberantasan software bajakan juga harus dilakukan dengan memperketat pengawasan terhadap masuknya barang-barang untuk memproduksi software bajakan, seperti pengawasan di bandar udara.

”Untuk itu kerjasama yang baik dengan dinas bea dan cukai penting akrena itu adalah tugasnya,” ujar Paulus.

Paulus menegaskan, kepolisian tidak melakukan razia terhadap perseorangan. Sebab prioritas pemberantasan software bajakan adalah corporate end user piracy, yaitu perusahaan yang melakukan pembajakan untuk kepentingan komersial.

Karena itu, kata paulus, bila ada razia software bajakan yang mengaku dari Kepolisian ke rumah-rumah atau tempat-tempat umum, masyarakat dihimbau untuk minta aparat btersebut memperlihatkan identitas dan surat tugasnya.

Bantahan serupa juga disampaikan Kepala Perwakilan BSA (Bussnies Saftware Alliance) Indonesia Donny A.Sheyoputra, bahwa anggota BSA tidak ada yang terlibat dalam razia itu. ”Fokus kami tetap kepada perusahaan yang melakukan pembajakan untuk kepentingan komersil,” ujarnya.

“Ternyata pembajakan software di tiga negara yang sebelumnya tidak tersurvei itu justru lebih buruk dari Indonesia,” tambah Donny.

Berdasarkan laporan tahunan BSA dan International Data Center (IDC) pada 2005 menyebutkan bahwa 87% software yang diinstal dalam komputer yang beredar di Indonesia pada tahun 2004 adalah software bajakan. Namun berkat adanya upaya hukum terhadap para pembajak, angka ini turun menjadi 85% pada tahun 2006.

”Nilai kerugian akibat peredaran software ilegal itu mencapai US$350 juta atau sekitar Rp 3,2 triliun,” kata Donny.

Penggunaan software bajakan dipastikan merugikan negara karena para pembajak tidak membayar pajak. Di pihak lain, pembajakan sangat merugikan industri software karena tidak bisa bersaing dengan software bajakan yang hampir tak mengeluarkan biaya. Keadaan ini akan membuat daya saing industri software semakin lemah dan membuat calon investor tidak tertarik untuk berinvestasi di Indonesia.

”Polisi tidak pernah melakukan razia terhadap perseorangan, seperti di bandara. Hukum ditegakkan sebagai bentuk rekayasa sosial untuk mengubah perilaku masyarakat yang malas dengan membajak karya cipta negara lain,” ujar Paulus di akhir jumpa pers di Galeri Ciumbuleuit Apartement, Jalan Ciumbuleuit Bandung, Kamis (12/6) pagi. (Argus Firmansah/Bandung)

No comments: