Monday, June 9, 2008

Hak Pendidikan Bagi Semua Anak Difabel

Semua anak bangsa Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Hal itu dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Anak-anak difabel, anak dengan keterbatasan fisik atau mental, juga dijamin oleh pemerintah hak pendidikannya.

Akan tetapi pada kenyataannya masih banyak anak-anak dengan kebutuhan khusus itu tidak bisa mengenyam pendidikan secara layak setara dengan anak-anak Indonesia yang hidup normal.

Sebuah forum yang bertajuk “Pendidikan Kesetaraan Untuk Anak Difabel” yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Mashudi dan Rumah Belajar Nusantara bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional mengungkap masalah hak pendidikan untuk anak difabel di Gedung Indonesia Menggugat, Jln. Perintis Kemerdekaan 5 Bandung, Kamis (5/6) pagi.

Dante Rigmalia, praktisi pendidikan luar biasa di Jawa Barat, menjelaskan di depan forum sebagai pembicara bahwa pendidikan untuk anak-anak difabel di Jawa Barat tidak terlaksana dengan baik. Fakta bahwa masih banyak anak-anak difabel yang belum mendapatkan pendidikan dasar yang layak dari pemerintah bukan kenyataan yang baru.

Yang terserap dalam lembaga pendidikan formal baik negeri dan swasta saat ini hanya 9000 anak atau 2/3 dari total anak difabel yang ada di Jawa Barat. Sosialisasi program pendidikan untuk anak difabel pun tidak efektif dan tidak maksimal karena masalah pendataan yang buruk di Dinas Pendidikan kota Bandung dan Provinsi Jawa Barat.

Padahal pemerintah Jawa Barat melalui Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat mencanangkan Pendidikan Untuk Semua dengan tujuan mencerdaskan anak-anak di Jawa Barat, termasuk anak dari keluarga miskin.

Dante Rigmalia sebagai anggota Pokja Pendidikan Inklusif di dalam program Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat mengakui bahwa peran pemerintah melalui dinas terkait tidak bias diharapkan memecahkan masalah sarana dan prasarana pendidikan untuk anak-anak difabel.

“Pendidikan yang ada tidak bias mengakomodasi pendidikan anak difabel,” kata Dante Rigmalia di Gedung Indonesia Menggugat, Kamis (5/6) pagi.

Tidak ada kesamaan visi pada tenaga kependidikan di lingkungan pendidikan formal menyebabkan anak dengan kebutuhan khusus itu tidak memperoleh materi pendidikan yang benar. Karenanya, menurut Dante, dibutuhkan model pembelajaran untuk anak difabel sehingga mereka mendapatkan materi pendidikan dasar yang sama dengan anak normal.

Tenaga kependidikan harus memiliki pengetahuan dan pemahaman tambahan untuk melayani anak dengan kondisi khusus, sehingga materi dapat diserap oleh anak. Hal lainnya adalah fleksibilitas kurikulum materi pendidikan. Fleksibilitas kurikulum pengajaran, menurut Dante, harus disesuaikan dengan kondisi anak agar terbentuk mentalitas sumber daya manusia yang mandiri.

“Semua pihak, stake holder, dan masyarakat harus terlibat untuk memberikan pendidikan yang layak kepada anak-anak difabel,” ujar Dante Rigmalia.

Kajian pendidikan untuk anak difabel memang sudah banyak dilakukan tetapi belum diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah itu. Hanya sebagian masyarakat saja yang mau secara serius mengurusi pendidikan anak difabel melalui pembangunan infrastruktur pendidikan non-formal.

Semantara itu, Rifaat Amhariz, Konsultan Pendidikan Jakarta dan inisiator Rumah Belajar Nusantara, mengatakan bahwa pemerintah melalui dinas pendidikan yang ada di pusat tidak mau repot-repot melayani pendidikan anak difabel.

“Diknas tidak mau capek mengurus pendidikan difabel,” ujar Rifaat Amhariz di Gedung Indonesia Menggugat, Kamis (5/6) pagi.

Kondisi ini harus dibenahi oleh semua pihak, masyarakat, dengan mengubah paradigma belas kasihan terhadap anak difabel menjadi paradigma persamaan. Rifaat juga mengatakan bahwa kualitas pendidikan formal memang rendah.

Oleh karena itu pendidikan non-formal atau alternatif menjadi salah satu jalan untuk memberikan hak pendidikan kepada anak difabel. Anggaran 24 triliun rupiah untuk pendidikan nasional, dan 400 miliar rupiah untuk anggaran pendidikan difabel bisa dimaksimalkan untuk memajukan pendidikan anak-anak kebutuhan khusus itu.

Solusi yang lain, menurut Rifaat Amhariz, adalah pembangunan jaringan (networkning) antarsemua stake holder yang salah satunya menyerap lulusan tenaga kependidikan untuk diberi pengetahuan bagaimana melayani anak-anak difabel.

Rancangan program pendidikan dengan model pengajaran dan kurikulum berbasis komunitas berkemampuan khusus diharapkan dapat ditanggapi oleh semua pihak untuk bersama-sama memperjuangkan hak pendidikan anak-anak difabel. (Argus Firmansah/Bandung)

1 comment:

Unknown said...

Biaya pendidikan sekarang bertambah mahal, kasihan anak-anak yang tidak bisa bersekolah.
Biaya masuk universitas juga pasti akan bertambah mahal. Apabila anggaran pendidikan tidak bertambah maka pendidikan Indonesia tidak akan maju.
Ditambah dengan kenaikan BBM kali ini maka masadepan anak-anak Indonesia yang cerah akan menjadi utopia saja.
http://pendidikan.infogue.com/hak_pendidikan_bagi_semua_anak_difabel