Sabtu (1/3) malam di awal bulan Maret sebuah perhelatan yang tak kalah penting digelar pameran lukisan pertama bertajuk Linescape di Galeri Space59, Bandung. Pameran lukisan kali pertama di galeri tersebut mendapat sambutan yang cukup antusias dari seniman rupa Bandung, karena ruang publik untuk menjadi tempat komunikasi seniman dengan kolektor dan masyarakat bertambah di kota Bandung.
Malam itu, Kiky Rizky A. Zaelani mengantar pembukaan pameran Linescape pada wacana bagaimana menimbang kembali kekuatan garis sebagai bagian penting dalam konstruksi suatu karya.
“Pameran ini didukung oleh kemampuan menggambar. Pameran ini mengusung tema lanskap dan tema tersebut bertujuan untuk mengundang seniman-seniman untuk mengeksplorasi kemungkinan yang lebih terbuka,” ujar Kiky Rizky A. Zaelani sebagai kurator pameran.
Sementara Bambang Sugiharto, sebagai kurator galeri Space59, mengatakan, “Ketika seni rupa sudah berkembangbiak kemana-mana. Maka ‘garis’ sebagai akar seni rupa harus digali kembali.”
Persoalan garis memang menjadi penting untuk direvitalisasi seiring lompatan dinamika seni rupa di jaman sekarang, khususnya di dalam pameran ini.
Perkembangan seni rupa di Bandung terus mendewasa hingga kualitas garis diperdalam dengan warna, diperlebar dengan permainan bidang, diperkuat dengan barik, dibetot agar menonjol dengan pencampuran media dan akhirnya hadir di atas kanvas. Demikian pengantar Bambang Sugiharto dalam pameran tersebut.
Pameran Linescape bagi bambang Sugiharto adalah pembeberan upaya-upaya menggali berbagai kemungkinan yang dikandung oleh garis. Semacam gerak mundur memahami secara baru drawing atau menggambar sebagai fondasi seni rupa, yang biasanya diabaikan atau disepelekan.
Begitu besar makna sebuah garis dalam pameran yang diikuti oleh 15 seniman muda Bandung. Dalam pameran tersebut, masing-masing seniman melakukan tafsiran kreatif dan mengaplikasikan garis itu apa dan seperti pada medium yang dipilihnya.
Keberagaman tafsir dan persepsi estetis yang terlihat dari 17 lukisan yang tersaji di dinding galeri, itu menunjukan bahwa seni rupa Bandung memang sudah memamahbiak hingga menjadi fenomena gambar yang mengomunikasikan realitas ilusorisnya (linescape).
Wacana menarik dari perbincangan filosofis terhadap sebuah gambar telah mendorong kreatifitas perupa muda dalam memahami dan memaknai garis sebagai akar dari sebuah bentuk estetik.
Lain halnya dengan Rosid (39 tahun). Lukisan yang diberi judul “Sound of Nature” oleh Rosid menguatkan sebuah karakter dan identitas Rosid yang sejatinya memang merajut bahasa visual dengan garis-garis, coretan, arsiran yang saling bertindih. “Bagi saya garis adalah pengolahan rasa dan kepekaan,” ujar Rosid usai pembukaan pameran.
Garis bukan sekedar pijakan bentuk. Di sana ada sebuah intensitas dalam benak seniman bagaimana arsiran itu bicara soal rasa. Pengulangan garis hingga terkesan sebuah tumpukan padahal pergulatan rasa yang ada.
Dari pameran ini dapat dikatakan bahwa drawing bukan hanya sekedar gambar. Ia memiliki greget baru setelah nukilan garis diwacakan secara intens dan kreatif melalui lukisan yang dipamerkan.
Pengolahan garis melalui gambar lanskap hingga menjadi lukisan “Linescape” berukuran 100x150 cm dari seniman muda Bandung seperti pada karya Radi Arwinda (25 tahun), yaitu “Apet”. Ia memperlakukan garis sebagai pisau imajinasi atas resepsi cultural anak muda jaman sekarang. Komik, distro, seks bebas, gaul, seksi, dan istilah metropolis lainnya itu dikesankan seperti mainan anak-anak oleh Radi Arwinda. Padahal lukisan yang cenderung komik bergambar gadis seksi itu jelas-jelas merupakan persepsi Radi Arwinda terhadap kebabasan imajinasi kaum muda di Bandung yang tak berbatas.
Oco Santoso (32 tahun), menyajikan lukisan dengan kekuatan garis yang tidak kalah kuat. Lukisan berjudul “Figure I” adalah gambar seorang lelaki yang sedang memikul tubuh sahabat, atau entah saudaranya, bertelanjang dada. Semangat kerja keras dan humanis sangat terkesan pada lukisan itu. Garis-garis tegas yang menguatkan kesan kerja keras dibuatnya dengan teknik melumerkan cat, sehingga ekspresi tubuh tokoh dalam lukisan tersebut menjadi muncul.
Tubuh dalam pameran Linescape itu memang dominan sebagai objek lukisan para seniman muda yang terlibat dalam pameran itu. Kecuali karya Rosid dengan objek bunga Anthurium yang bernuansa merah dengan latar pantai dan semenanjungnya.
Tubuh dan garis seperti ada korelasi estetis dalam pandangan para seniman muda ini. Bahwa tubuh itu juga belum tentu bermakna manusia tanpa sentuhan rasa. Dan garis pun hanya akan membentuk sesuatu, entah itu bidang, bila tidak mengandung rasa.
Rasa dari garis yang tergores di atas kanvas memang menjadi garis estetis itu sendiri. Karena lukisan yang berkualitas tidak hanya secara wacana justru kekuatannya bertumpu pada rasa yang muncul dari garis-garis samar maupun tegas dalam persepsi visual penikmatnya.
Lagi-lagi masalah komunikasi agaknya harus dipertajam untuk membuat sebuah gambar atau drawaing, apalagi sebuah lukisan. Garis dalam pameran ini ditegaskan sebagai akar dari estetika sebuah lukisan.
Beberapa karya seniman muda dalam pameran Linescape ini memang masih saja ada yang kurang kuat mengolah garis secara intens - di luar hal ikhwal teknis. Karena garis seakan pedangnya estetika sebuah karya rupa.
Apakah melalui pameran Linescape ini wacana seni rupa modern, khususnya lukisan dapat beroleh pemahaman baru atas suatu pakem estetika seni rupa masa kini. Estetika dalam dunia percepatan yang saling bertabrakan dan tumpang tindih.
Kegilaan kreatifitas yang muncul dari olahan media dan objek dari masing-masing seniman menunjukan semangat baru dari seniman muda untuk terus berolah kreatif dan beroleh inspirasi. (Argus Firmansah/KOKTAIL/Bandung)
No comments:
Post a Comment