Diskusi: Mengkaji Pendidikan Indonesia
Menyoroti persoalan pendidikan di Indonesia memang tak ada habisnya. Beragam persoalan yang berupa pelanggaran pun kerap muncul di beberapa daerah. Kenyataan ini menjadi perhatian public dan pemerhati pendidikan di tanah air.
Sebuah diskusi publik digelar di Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Bandung kemarin (22/8) dengan menghadirkan aktivis pendidikan asal Jogjakarta, Eko Prasetyo. Anggota Komis E DPRD Kota Bandung, Drs. Kusmaeni, juga hadir di sana sebagai wakil pemerintah dalam mengkaji persoalan pendidikan Indonesia dalam diskusi yang bertajuk “Budaya Pendidikan Kita”. Wakil dari lembaga survei anggaran kota Bandung, BIGS, Dan Satriana hadir selaku moderator diskusi pendidikan tersebut. Rahmat Jabaril dalm pembukaan diskusi mengatakan, bahwa diskusi tersebut merupakan refleksi atas kondisi bangsa saat ini. “Keadaan bangsa yang schizophrenic saat ini dan pendidikan adalah akar permasalahannya,” katanya. Diskusi “Budaya Pendidikan Kita” dibuka dengan sebuah presentasi hasil survei data Bandung Institute of Governance Studies (BIGS) menyoal anggaran pendidikan kota Bandung. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 20, 2003 tentang Sisdiknas, dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan mendapat alokasi minimal 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan daerah (APBN dan APBD).
Dari hasil traking anggaran selama tiga tahun, 2004, 2005 dan 2006 ditemukan bahwa dalam APBD Kota Bandung, alokasi anggaran pendidikan (khususnya di Dinas Pendidikan Kota Bandung hanya berkisar 5 hingga 8 persen. Yang berkisar pada angka 63.616.925.084 miliar rupiah. Bigs menawarkan solusi anggaran dengan (1) memaksimalkan anggaran yang tersisa; (2) jika rata-rata penurunan 1 persen dari 1 triliun jumlahnya adalah Rp 10 miliar; (3) angka itu cukup besar untuk membantu orang tua yang miskin menyekolahkan anak-anaknya. Alokasi anggaran pendidikan Kota Bandung yang termuat dalam APBD 2007 mencapai Rp 544 miliar atau 34,09 % dari total APBD Kota Bandung sebesar Rp 1,6 triliun, dengan rincian alokasinya terdiri dari belanja tidak langsung Rp 466,7 miliar, belanja langsung Rp 49,5 miliar, dan bantuan untuk masyarakat Rp 27,8 miliar. Dari traking yang dilakukan ternyata program-program yang dilaksanakan lebih banyak tidak berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pendidikan. Hasil kajian FITRA menguraikan bahwa, seperti di tingkat nasional, di daerah pun, khususnya di Dinas Pendidikan Kota Bandung, anggaran tersebut habis digunakan untuk pelayanan dan kebutuhan birokrasi seperti diklat teknis pegawai, peningkatan kapasitas kelembagaan, administrasi kepegawaian, dll.
Kondisi Pendidikan Indonesia
Drs. Kusmaeni, anggota Komisi E DPRD Kota Bandung, mengatakan hingga saat ini komitmen DPRD Kota Bandung berupaya untuk terus mendorong adanya peningkatan berbagai sector, terutama sektor pendidikan. Hasil riset BIGS yang disajikan kepada peserta diskusi memang diamini kebenarannya oleh Drs.Kusmaeni. “Sebesar 20% dari PAD memang untuk pendidikan, sisanya 80% digunakan untuk belanja aparatur,” ujar Drs. Kusmaeni dalam pemaparannya. Persoalan anggaran untuk pendidikan memang membutuhkan proses yang tidak semudah membalikan telapak tangan. Namun hal itu terus diupayakan oleh DPRD Kota Bandung. “Pendidikan Indonesia memang belum tertata rapi,” tambahnya.
Hal lain justru diungkapkan oleh Eko Prasetyo, penulis di penerbit Resist Book dan Ketua Dewan Pembina Rumah Pengetahuan Amartya, Bantul, Jogjakarta. Eko lebih banyak bicara soal fakta di lapangan menyoal pendidikan nasional dengan memaparkan beberapa data hasil penelusurannya terkait dengan sulitnya aksesibilitas masyarakat miskin terhadap pendidikan dasar yang dicanangkan pemerintah. Ia memberi contoh apa yang sedang dilakukan Rumah Pengetahuan Amartya di Bantul, Jogjakarta. Sebagai contoh sekolah gratis yang sudah berjalan untuk mengakomodasi anak-anak dari keluarga miskin di sekitar sekolah gratis tersebut.
Apa yang ditanamkan pada anak-anak didiknya di sekolah gratis itu antara lain demokrasi, literasi, dan aksi. “Mengajarkan anak-anak masuk sekolah senang dan keluar dari sekolah juga senang,” papar Eko. Motivasi Eko dan kawan-kawannya dengan dibuat sekolah gratis tersebut adalah, bahwa pendidikan Indonesia kehilangan akar sehatnya, dan penuh interpensi politis. Mengapa? Karena pendidikan Indonesia melatih anak menjawab, bukan menumbuhkan budaya bertanya. “Pendidikan kita merayakan pertanyaan yang tidak mutu. Pendidikan kita tidak melatih inisiatif, atau berdiskusi, atau berorganisasi,” ujarnya. Yang terjadi malah jam pelajaran yang panjang disertai mata pelajaran yang luar biasa banyaknya. Sekolah menjadi tempat kehilangan peradaban, kreatifitas, budaya menulis dan membaca.
Komersialisasi pendidikan rupanya menyulitkan masyarakat miskin. Pendidikan adalah urusan publik. Maka seharusnya sebuah pemerintah memberikan perhatian khusus peningkatan kualitas pendidikan Indonesia dengan anggaran yang sangat memadai. Pada kesempatan itu Eko juga mengatakan, “Komitmen pemerintah bukan untuk ditunggu, tapi harus dipaksa karena urusan pemerintah sangat banyak.”
Program BHP pada institusi pendidikan masih dirasa memberatkan mahasiswa di Jogjakarta dan Jawa Tengah. Melalui program komersialisasi institusi pendidikan tersebut maka terbentuk suatu hubungan konsumen dan produsen. Siapa yang banyak uang, ia yang dilayani. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki biaya? Hal inilah yang perlu ditinjau kembali oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah masing-masing, bahwa kesejahteraan masyarakat Indonesia belum merata. Apalagi setelah melihat kondisi aktifitas pendidikan di beberapa daerah, khususnya di Jogjakarta. Yakni tradisi kultur intelektual yang kurang kondusif, dengan kurangnya minat mahasiswa menghidupkan perpustakaan. Dan dengan banyaknya beban ilmu yang ditempuh mendorong mahasiswa lebih aktif di kantin kampusnya ketimbang di perpustakaan.
Eko juga mengkritisi pendidikan sejarah di sekolah-sekolah di tanah air. Pendidikan sejarah tidak mengajarkan siswanya untuk mengkaji peristiwa apa yang terjadi di dalam peristiwa sejarah itu, seperti perlawanan terhadap kolonial. Mereka hanya menghafal nama pahlawan dan tanggal kelahirannya. Pendidikan Indonesia hendaknya berbasis pada realitas. “Anak-anak tidak diajari realitas dan kejujuran, justru diberi propaganda. Maka hasilnya, anak-anak jadi liar. Ingatan dan pengalaman selama sekolah bukan pelajaran, tapi hal-hal lain di luar yang diajarkan di kelas mereka.” Oleh karena itu Eko menyarankan agar jam pelajaran anak-anak sekoilah dikurangi, serta jam sekolahnya dikurangi. “Karena tugas pendidikan yang seutuhnya adalah tanggungjawab orang tua mereka sepenuhnya,” tambah Eko menanggapi pertanyaan peserta diskusi.
Sekolah Gratis di Bantul, Jogjakarta
Eko Prasetyo, sebagai Ketua Dewan Pembina Rumah Pengetahuan Amartya, bersama kawan-kawan aktivis membuat sekolah gratis yang diberi nama Rumah Pengetahuan Amartya di Perumahan Griya Mutiara, Bantul, Jogjakarta. Siswa-siswi di sekolah itu banyak dari keluarga miskin di pemukiman penduduk sekitar kompleks itu. Meski izin dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bantul menolak pendirian sekolah gratis itu. Mereka sudah memiliki 47 siswa selama enam bulan berjalannya program sekolah gratis itu.
Sekolah gratis itu melibatkan peran orang tua siswa-siswinya yang rata-rata dari keluarga miskin. Anak-anak yang berusia 6 – 13 tahun itu tidak dikelompokkan ke dalam kelas-kelas. Semua anak-anak disatukan di dalam satu ruangan kecil yang dilengkapi buku-buku sejumlah 5000 judul. Persoalan dana operasional dan lain-lain diperoleh dari sumbangan kawan-kawan aktivis dan uang pribadi keluarga Eko Prasetyo.
Namun demikian, sekolah gratis itu tidak menerapkan system kurikulum dalam proses belajar dan mengajarnya. Jadwal sekolah pun tidak seperti sekolah formal tentunya. Rumah Pengetahuan Amartya menggunakan sistem bahan ajar berdasarkan tema ajar yang disusun per bulan. Ketika ditanya mengapa tidak ada kelas di sekolah itu. Eko menjawab bahwa, “Kami menganggap semua anak berpotensi sama. Oleh karena itu tidak ada klasifikasi,” katanya.
Dengan jumlah guru yang hanya 27 orang, mereka membentuk kelompok-kelompok belajar yang dimaksudkan untuk melatih kebersamaan dan wawasan organisasi kepada anak-anak didiknya. Anak-anak itu memiliki jadwal sekolah mulai pukul 15.00 – 18.00 wib, dari hari Selasa sampai Minggu. Tiap hari memiliki bahan ajar yang berbeda, antara lain bidang: seni lukis dan drama, sastra, tari, penelitian sosial tingkat dasar, olah raga, dan hari Minggu diisi dengan layanan dokter gratis, serta nonton film berbasis edutainmen.
Sekolah itu direncanakan akan menjadi sekolah dasar gratis di daerah itu pada tahun 2008. Pemerintah daerah setempat menamakan sekolah gratis itu setara dengan kejar paket A. tenaga pengajar sekolah itu berlatar belakang seniman, budayawan, aktivis, dan guru relawan. (Argus Firmansah/wartawan lepas tinggal di Bandung)
1 comment:
Sekolah gratis adalah utopia, tapi mereka yg mewujudkan impian itu.. Bukti bahwa terdidik berarti berani bermimpi dan bercita-cita. Apakah kita sudah cukup terdidik? Terdidik oleh hasil sistem pendidikan saat ini?
Post a Comment