Monday, August 20, 2007

Anak Indonesia Masih Dijajah?

Masa Depan Anak Indonesia Masa depan Indonesia ada di pundak generasi penerus bangsa. Merekalah yang akan membangun bangsa ini kelak dengan pengetahuan dan kemampuannya bersaing di dunia global. Membawa bangsa Indonesia dalam percaturan politik, ekonomi, dan kebudayaan bersama bangsa-bangsa lain di panggung dunia. Tanggungjawab generasi penerus bangsa ini bukan main, perlu pembekalan melalui pembelajaran yang matang dan mantap, sehingga tidak tergoyahkan oleh tradisi politik dan kebudayaan yang malas dan korup.
Harapan bangsa ini kepada generasi penerus, yaitu anak-anak Indonesia sungguh besar, akan tetapi harapan itu sekaligus menjadi keraguan tatkala melihat kenyataan saat ini. Yaitu banyak generasi penerus yang tidak mampu mengenyam pendidikan yang layak dan tuntas. Masih banyak generasi penerus yang terlantar di jalanan, di tempat yang tidak semestinya mereka berada. Namun demikian, itulah kenyataan hidup generasi penerus bangsa saat ini. Hidup di bawah terik matahari dan menghirup asap kendaraan setiap harinya. Tidur pun mereka di selasar pertokoan bersama orang tua mereka yang memilih hidup di jalanan.
Pengamen jalanan kini sudah menjadi pilihan mereka yang hidup dalam kemiskinan ekonomi dan kemiskinan pengetahuan. Anak-anak umur belasan tahun secara terpaksa menengadah tangannya di pintu-pintu angkutan kota, di dalam bis kota, bahkan juga di perempatan jalan kota-kota besar di Indonesia. Ada apa dengan kita yang selalu melihat ke atas, melihat kekuasaan hingga terjebak dalam lingkaran politik yang menyesatkan moral? Sering kali kita lupa melihat saudara kita yang hingga saat ini masih mencari nafkah dengan meminta-minta. Dan memang bukan rahasia umum bahwa lembaga-lembaga peneliti swasta sudah pernah mengungkap jaringan pengemis dan pengamen di seluruh kota besar. Sebuah fakta bahwa mereka memang menjadikan pengemis dan pengamen sebagai profesi untuk menopang kebutuhan hidup keluarganya. Tak heran bila banyak anak-anak di bawah umur 10 tahun banyak yang jadi pengamen di perempatan jalan, karena dorongan orang tua mereka sendiri.
Cermin sosial masyarakat miskin ini juga banyak yang dimanfaatkan oleh sekelompok individu untuk meraih keuntungan dengan mengeksploitasi anak-anak. Tapi, siapa yang mampu bertindak dan menyelesaikan masalah sosial ini? Seolah-olah tidak ada instrumen hukum yang mengatur hak hidup anak dan melindungi mereka dari tindak kekerasan, eksploitasi, dan kriminalitas. Alasan keluarga miskin kota yang berasal dari daerah kabupaten umumnya mengatakan keterbatasan ekonomi, sehingga mereka mendorong anak-anak mereka sendiri untuk belajar mencari nafkah sejak dini. Pendidikan yang layak, untuk beberapa keluarga miskin kota, masih jauh dari jangkauan ekonomi mereka. Apalagi setelah meneliti budaya lokal suatu masyarakat di Jawa Barat, seperti di pedalaman Cirebon, Majalengka, Indramayu, Garut, dan daerah kabupaten lainnya. Sebuah keluarga yang memiliki anak perempuan dianggap sebagai aset/modal keluarga. Modal untuk usaha meningkatkan perekonomian.
Caranya ada bermacam-macam, misalnya trafficking dan prostitusi remaja. Tidak sedikit anak-anak perempuan berumur belasan tahun sudah menjadi janda berkali-kali di pedalaman Kabupaten Indramayu, karena sebuah mitos lokal, yaitu pantangan menolak lamaran pertama. Berawal jadi janda muda, mereka dituntut memenuhi kebutuhan anak-anak mereka. Maka menjadi penari sensual, bahkan prostitusi pun menjadi pilihan mudah untuk dilakukan. Hal inilah yang menyebabkan angka pelacuran remaja di kota-kota besar terus meningkat. Banyak anak-anak yang saya temui di jalan-jalan, khususnya di kota-kota besar dan daerah kabupaten di tanah air ini. Mereka yang hidup di jalan itu diciptakan oleh orang tua mereka sendiri. Karena tidak ada pilihan lain untuk dilakukan, maka prostitusi atau mengamen di jalan dianggap satu-satunya jalan untuk bertahan hidup.
Anak-anak sudah menjadi komoditi terselubung bagi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Perdagangan anak dengan modus penculikan, kriminalitas, kian ramai di media massa. Saya kira peran orang tua dalm mendidik anak-anaknya mesti diperhatikan benar. Juga peran serta masyarakat di lingkungan sekitarnya juga mesti ditingkatkan. Mengapa? Karena pilar pendidikan keluarga adalah pendekatan yang paling tepat dalam menjaga masa depan anak bangsa. Termasuk juga membimbing anak-anak terhadap tontonan di televisi, baik hiburan (sinema elektronik maupun film), juga pemberitaan kriminalitas khususnya. Saya masih menyayangkan manajemen televisi dalam menayangkan sejumlah programnya yang mementingkan nilai ekonomi perusahaan ketimbang nilai edukasi pada program-programnya. Media massa, pers, dapat juga berperan untuk mendorong masa depan anak melalui sejumlah tayangan yang berbasis edutainment.
Pemberdayaan anak yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat pun masih belum dapat menurunkan angka prostitusi dan pekerja di bawah umur. Sebab tuntutan ekonomi keluarga mereka lebih besar ketimbang mengikuti proses pembelajaran yang layak. Dan saya kira peran serta pemerintah pusat dan daerah masih belum signifikan dalam menangani masalah anak di tanah air. Dibutuhkan komitmen yang nyata dalam menyelesaikan masalah anak, sehingga angka kekerasan di masyarakat dan kriminalitas di mana anak yang menjadi korban dapat direduksi.
Program homeschooling sudah banyak tumbuh dan berkembang sebagai institusi alternatif bagi pendidikan anak. Namun demikian sistem belajar di rumah secara mandiri belum tersentuh keluarga miskin di kota. Karena biaya pendidikan homeschooling masih tergolong mahal dengan kualitas yang bagus. Apa yang dilakukan keluarga miskin dengan mendorong anaknya bekerja juga dapat dikatakan sebagai program pendidikan mandiri di keluarganya, akan tetapi bekal pengetahuan yang mumpuni tidak dimiliki keluarga miskin itu. Sehingga dampak sosialnya lebih cenderung negatif, karena mendidik anak belajar kekerasan di jalan. Padahal perkembangan psikologi anak belum cukup untuk menyerap realitas hidup. Imajinasi anak pun lenyap di jalan. Dan hal ini juga mereduksi potensi kreatif anak dalam perkembangan mentalnya. Lebih banyak kekerasan yang dipelajari anak selama berada di jalan.
Dapat diamati kehidupan sebuah keluarga miskin yang hidup di jalan. Tidur di selasar pertokoan. Setiap hari menghirup asap kendaraan bermotor. Makan dan minum di sana. Dan setiap hari pula dihadapkan pada kondisi serba kekurangan. Hanya jalanan yang mendidik mereka tumbuh dewasa. Seorang anak kecil dipaksa menghadapi kenyataan keras, bahwa untuk memperoleh makanan atau jajanan mereka harus meminta-minta di trotoar jalan, atau menyanyikan lagu-lagu dewasa yang belum tentu mereka mengerti.
Bagaimana kesehatan sang bayi dapat diperoleh ketika sang ibunda makan dengan menu seadanya, bahkan kadang makan sehari dalam sehari. Tentunya kualitas air susu ibu yang diminumnya tidak mengandung gizi seimbang yang dibutuhkan oleh tubuh bayi. Siklus hidup ini terus berlangsung hingga ia menginjak usia remaja dan dewasa. Maka tidak mengherankan apabila karakter anak menjadi keras atau agak liar. Sebab mereka tidak mengenyam pendidikan soal etika, pemahaman benar dan salah, mana yang baik dan mana yang kurang baik. Kecenderungan besar untuk melakukan kriminalitas atau kekerasan sangat potensial untuk mempertahankan hidup mereka.
Betapa menyedihkan kondisi masyarakat Indonesia yang demikian itu. Sementara kita semua tahu tanah air ini memiliki kekayaan yang melimpah, sampai-sampai kekayaan itu menjadi milik orang asing. Dan generasi penerus sendiri tidak menikmati kekayaan itu. Justru mereka harus selalu berhadapan dengan lapangan pekerjaan yang sempit ketika mereka dewasa. Atau pilihan jalan pintas dengan mencopet, mengutil, premanisme.
Solusi yang paling efektif adalah peningkatan ekonomi mikro yang melibatkan keluarga miskin sebagai subjeknya. Karena dengan kesejahteraan ekonomi keluarga miskin pendidikan yang layak bagi anak-anak miskin dapat terwujud. Solusi kedua adalah fasilitas kesehatan gratis untuk keluarga miskin. Misalnya rumah sakit gratis khusus keluarga miskin, serta rumah konsultasi anak yang digratiskan untuk keluarga miskin di kabupaten dan kota. Dan yang ketiga adalah sarana pendidikan gratis yang sama kualitasnya dengan sekolah atau lembaga pendidikan yang terakreditasi sangat baik kulaitasnya. Kesehatan jasmani anak sangat mempengaruhi perkembangan tubuhnya, sedangkan kesehatan ruhani mempengaruhi perkembangan psikologi mereka untuk tumbuh menjadi remaja yang kreatif dan memiliki mental yang kuat.
Saya kira pemerintah dapat menyusun anggaran untuk keluarga miskin yang berbasis pemberdayaan anak. Dan tidak hanya mementingkan kepentingan politik golonga, partai, atau kerabat dekat penguasa di bidang ekonomi. Program ini saya yakin dapat mengurangi kemiskinan pengetahuan bagi anak-anak, walaupun tingkat pendidikan orang tuanya sebatas pendidikan dasar. Di sinilah kesadaran masyarakat dan pemerintah terhadap hak anak dapat diwujudkan dalam rangka membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang lebih baik. Masyarakat dengan kemampuan ekonomi tinggi dapat berperan aktif sebagai pengawas pelaksanaan program pemberdayaan keluarga miskin ini, selain bertindak sebagai funding father. Marilah kita sama-sama memperhatikan hak hidup layak bagi anak-anak Indonesia untuk masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik. (Argus Firmansah, wartawan lepas tinggal di Bandung)

No comments: