Komedi Situasi Untuk Pejuang Kemerdekaan
Sebuah komunitas yang terdiri dari mahasiswa se-Bandung menggelar pertunjukan drama komedi situasi di pentas auditorium CCF Bandung pada Selasa malam kemarin (14/8). Pentas drama itu berjudul “Cepat Pulang Bujang!” yang dimainkan oleh Ricky Arnold Yuniarto (Bujang), Eva Ayu Khuntari (Perawat), Elke Marcheline Sandjaja (Naomi), dan Desi Viciana(Asih, istri pejuang). Mochamad Rizal Setia Hendra Achmad sebagai sutradara pentasnya.
Cepat Pulang Bujang! ditulis oleh Ophan Ajie dengan mengandaptasi naskah drama dan film “Naga Bonar” versi Asrul Sani. Kisah yang disajikan pun tak jauh beda dengan tema perjuangan seperti dalam film Naga Bonar yang diperankan oleh Dedy Mizwar. Cepat Pulang Bujang! karya Ophan lebih tepat dikatakan sebagai naskah lakon tafsir teks Naga Bonar. Karena inti pesan masih tetap orisinal, yaitu kisah perjuangan tentara rakyat melawan penjajah.
Drama heroik Cepat Pulang Bujang! tidak seperti film Naga Bonar yang memuat pesan perjuangan rakyat Indonesia dengan sudut pandang kemanusiaan. Cepat Pulang Bujang! justru lebih ringan lagi bentuk pertunjukannya, karena sasarannya untuk hiburan. Pentas drama yang diproduksi oleh komunitas Green Symphony itu dikemas dalam tontonan ringan, komedian. Unsur hiburan lebih dominan daripada ketegangan suasana perang dalam kisahnya. Malahan, boleh dikatakan bahwa aktor Bujang berusaha membuat dekonstruksi historis terhadap tokoh yang diperankannya. Ia menjelaskan dalam ujaran dialognya, bahwa dia adalah tentara yang terlatih untuk mencopet ketimbang berperang. Tentara rakyat dari kota Medan itu membuat penegasan laku di atas pentas, karakteristiknya tidak mengesankan seorang pejuang, yang heroik atau berjiwa besar. Ia menampilkan kekuatan laku dengan kekonyolan dan permainan bahasa ujaran dengan lawan mainnya. Tapi kekuatan akting Bujang tidak lebih kuat dari peran Perawat yang dimainkan oleh Eva Ayu Khuntari. Bujang justru terkesan seperti pemain figuran saja.
Adegan awal penonton nampak menyiapkan diri untuk mengapresiasi pertunjukan serius, namun kenyataan pentas tidaklah demikian. Terang saja dahi sebagian penonton pun berkerut karena suasana dramatik tidak dirasakan. Kesan apa yang hendak dimunculkan dari pertunjukan? Pertanyaan itu muncul kemudian.
Tak ada suspense atau ketegangan di pentas drama itu. Situasi laku pentas berlangsung cair dan dingin. Pertunjukan komedian itu sendiri tidak mencapai sasaran produksi, hanya mempertahankan benang merah pertunjukan drama saja, hiburan dengan tema kemerdekaan dalam rangka menyambut Kemerdekaan RI ke-62 tahun. Selain masalah keaktoran, yang menyebabkan miskomunikasi antara penonton dan tontonannya. Sehingga pertunjukan komedian terkesan memaksa diri untuk jadi lucu.
Menurut kesan salah seorang penonton usai menonton pertunjukan. Chrisentia, 23 tahun, mengatakan bahwa pertunjukan itu cenderung menyerupai pertunjukan komedi situasi. Sasarannya adalah bukan penonton teater serius. Mereka memang bukan aktor/aktris sungguhan dengan intensitas latihan peran secara profesional.
Nyatanya, sebagian penonton lelah mengapresiasi aksi-aksi para pemain yang tidak mengena sasaran dramatiknya. Para pemain drama itu terlihat asyik dengan perannya sendiri, dan tidak nampak kesadaran bahwa mereka ditonton orang lain. Padahal seorang pemain drama harus memiliki kesadaran ditonton agar ia dapat mengolah bentuk aktingnya yang efektif dan komunikatif. Dan secara keseluruhan pentas dapat disimpulkan bahwa drama Cepat Pulang Bujang! adalah sebuah eksperimen bentuk drama “Opera Sabun”.
***
Usai pertunjukan Green Symphony menggelar diskusi “Prospek Bisnis Seni Pertunjukan Drama Kontemporer di Masa Datang” dengan pembicara Ophan Ajie, Paskalis Trikaritasanto (Green Symphony), dan Riana Afriadi. Dalam diskusi singkat itu mengemuka sebuah wacana klasik menyoal industrialisasi teater kontemporer. Sebuah persoalan yang sudah pernah dijawab dengan popularitas Teater Koma, Jakarta. Mereka menggagas sebuah garakan pengemasan teater yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat luas yang ingin menonton acara hiburan.
Istilah Mass Culture pun sempat disebutkan dalam pembicaraan diskusi tersebut sebagai piranti untuk mendongkrak pemasaran teater kontemporer saat ini dan yang akan datang. Namun pertanyaan para pelaku teater seperti Kornel, Jogjakarta, mengemuka, yaitu sampai sejauhmana teater melacurkan diri untuk kebutuhan pasar? Dia memaparkan bahwa teater baginya adalah pengabdian kepada nilai-nilai kemanusiaan. Perkara kuantitas penonton bukan ukuran keberhasilan sebuah pertunjukan yang digelar.
Ophan melihat teater sebagai produk. Maka ketika ia melontarkan gagasan sebuah produksi teater muncullah semangat untuk menulis naskah yang mudah dicerna, baik di ranah karya sastra maupun karya pentasnya. Sementara itu Riana Afandi juga menyampaikan bahwa naskah bagi sebuah pertunjukan drama itu sangat penting. Mengomentari pertunjukan Cepat Pulang Bujang!, Riana malah melihat suatu keberhasilan di satu sisi, yaitu unsur komedi melalui permainan bahasa ujaran antarpemain.
Paskalis Trikaritasanto, pimpinan produksi pentas, mengatakan bahwa memasarkan produk kesenian seperti teater harus diperlakukan sebagai budaya popular. Bila teater sudah menjadi kebutuhan, maka tentu saja ada peluang pasarnya. Produk itulah yang menjadi modal usaha.
Akan tetapi sangat disayangkan, dari ketiga pembicara itu tidak seorang pun memaparkan analisa yang kuat menyoal pasar/penonton teater masa kini di beberapa kota di Indonesia, serta produk seperti apa yang sedang diminati oleh pasar. Sehingga diskusi tersebut hanya menjadi wacana pentas saja. (Argus Firmansah/Wartawan lepas tinggal di Bandung).
No comments:
Post a Comment