Berikut garapan sebuah NGO dari Banten.....
Sebidang tanah dan instalasi bambu-bambu mengisi ruang auditorium Pusat Kebudayaan Perancis, CCF Bandung, pada malam 3 Agustus 2007 kemarin. Sebuah ruang imaji yang disuguhkan oleh Teater Studio Indonesia dengan judul “Bicaralah Tanah” malam itu diawali dengan musik tradisional masyarakat Banten. Angklung, gong, alat-alat perkusi dari logam dan bambu lainnya bunyikan irama dengan instrumen vokal seorang pemusik yang disebut beluk.
Penonton disuguhi sebidang tanah yang ditutup kain putih. Para pemain di balik instalasi bambu-bambu membunyikan suara bambu yang dipukul alat pertanian. Cangkul-cangkul bergelantungan pada instalasi bambu itu. Kain putih pun dibukanya, para pemain turun ke tanah. Adegan para petani sawah yang terkubur di dalam tanah hingga menyisakan kepala dan tangan menggenggam cerulit terlihat kemudian. Pemain lain tergeletak di atas tanah. Mereka bangkit dari kuburannya seolah bangkit dari kebungkaman rakyat yang tertindas. Tokoh petani itu adalah Farid Ibnu Wahid, Budi W. Iskandar, Dian Sucitra, Remaya, Arip FR, Ina Ayu Agustina, Ade Fitri, dan Iroh Munawaroh.
Pada tengah cerita lakon, kemiskinan kaum tani digambarkan melalui laku pemain yang menderita pesakitan. Mereka menyuarakan harga kebutuhan pokok yang makin tak terjangkau dengan hanya mengandalkan buruh tani. Maka ketika salah satu petani sakit, ia tak bias berbuat apa-apa selain menunggu kematian karena tak mampu membayar mantra dan membeli obat untuk pengobatannya.Kehidupan petani divisualkan oleh para pemain dengan gestikulasi petani sawah. Cangkul dan cerulit, telanjang dada pada pemain laki-lakinya, serta kebaya lusuh pada pemain perempuannya makin menguatkan karakter rakyat tani dari jaman ke jaman yang melulu bicara tanah, padi, pupuk, air, dan buruh tani. Maka pentas pun menjadi lading sawah yang seolah-olah menghilangkan sekat imajinasi penonton bahwa yang disaksikan adalah pertunjukan teater. Tanah pun tidak hanya menjadi keterangan tempat peristiwa saja.
Para pemain mengolah tanah itu juga sebagai benang merah kesengsaraan petani sawah yang tertindas haknya oleh seorang Controleur dengan perut buncit yang sewenang-wenang terhadap mereka. Tanah seakan bicara keras dengan suara protes melalui ekspresi dan gestikulasi tubuh-tubuh yang menggeliat di atas tanah. Dan tanah pun menjadi baju petani di atas pentas itu. Sementara kru pentas menambah ketegangan dengan kejutannya, yaitu menaburkan tanah kepada penonton yang duduk di barisan paling belakang. Pada suatu peristiwa petani berontak terhadap kesewenangan para Resident di kampungnya. Pasalnya, mereka, para petani, diperas keringatnya untuk mengolah tanah sedang hasilnya diambil Controleur. Pemberontakan petani memuncak saat seorang istri penggarap sawah diperkosa oleh Controleur. Di sanalah terjadi amuk massa, Controleur yang biadab dihajar para petani dengan cangkul dan cerulit dan dikubur hidup-hidup. Pertunjukan pun jadi kengerian bencana kemanusiaan. Petani yang haknya dirampas itu bangkit jadi pemberontak. Memberontak kesewenangan penguasa tanah. Usai pemberontakan mereka kembali turun ke sawah dan mengarap sawah lagi, seolah kejadian yang mengerikan itu telah dilupakan.
Suasana kehidupan petani yang tidak macam-macam diteaterkan seperti nyata, hingga keakraban dan persatuan sesama petani sawah dirasakan penonton. Terlebih dengan banyolan dialog pemain yang kocak membuat penonton tertawa, ditambah interaksi penonton dan pemain yang menghilangkan batas apresiator dan pemain. Pertunjukan teater Bicaralah Tanah menjadi replika tafsir sutradara terhadap pemberontakan petani Banten juga terkait dengan isu-isu tanah rakyat dewasa ini. Sutradara juga mengambil inspirasi perjuangan Kiyai Haji Wasid dan petani Banten ketika melawan rezim politik dan ekonomi Belanda. Hal ini diakui Sutradara yang bersama Konsorsium Pembaharu Banten ketika mengkritisi persoalan tanah rakyat petani Banten melalui sebuah kegiatan riset dalam platform membela kepentingan rakyat. Nandang Aradea, sutradara lakon, mengolah bentuk teater dengan tema sosial itu pada konsep teater Vsevold Emilevich Meyerhold (1874-1940) dari Rusia. Ia mengedepankan empat elemen estetika, yaitu eksplorasi tubuh aktor, panggung mendatar, interaksi penonton dan teks lakon tanpa kepatuhan dramaturgi sastrawi atau sering diistilahkan sebagai improvisasi. Dan konsep teater ala Rusia itu cukup mewadahi pesan yang akan disampaikan kepada penonton.
Muatan kritik sosial cukup kencang disuarakan dalam pertunjukan itu. Wajah beringas rakyat jelata dengan cangkul dan cerulit pun sempat mencekamkan penonton. Ketika adegan cangkul dihantam cerulit dalam fragmen pemberontakan petani dalam merebut tanah garapannya. Pertunjukan pun terkesan politis ketika mempersolakan tanah rakyat. Ingatan kolektif penonton terbawa ke dalam memorabilia dalam berita, tentang kasus-kasus tanah sengketa, tanah adat.
Ada apa dengan tanah? Pertanyaan itu menohok kesadaran penonton kala itu. Rupanya tanah adalah bagian dari hidup petani. Tanah melahirkan semangat persatuan para petani. Tanah adalah kehidupan bagi petani. Maka ketika hidup itu terampas, petani pun terasam emosinya untuk berontak dan berjuang membela hidupnya, tanahnya. Pentas itu lebih merupakan peringatan bagi para penguasa, bahwa tanah yang menjadi hidupnya tidak boleh dirampas. Ikon pembangunan yang sempat menjadi jargon pemerintah di jaman Orde Baru pun mereka tafsirkan secara buta. Mereka hanya paham pada pemenuhan kebutuhan dasar. Pembangunan yang senyatanya menyejahterakan para petani hanya slogan pemerintah saja. Toh, mereka tetap saja harus mencangkul tanah dan bercocok tanam untuk bertahan hidup. Meski demikian besar muatan protes sosial kaum tani dalam pentas Bicaralah Tanah, garapan lakon tersebut terasa vulgar mengkritik pemerintah yang dianggapnya sebagai upaya politis untuk memenuhi kebutuhan pribadi para penguasa.
Pikiran-pikiran sederhana itulah yang juga muncul ke permukaan makna dari pentas teater tersebut. Anggapan rakyat, kaum tani, yang tidak selalu paham dengan bahasa penguasa bias jadi bom waktu yang akan menceraiberaikan masyarakat ketika hak-hak mereka sebagai rakyat dirasa terusik. Pesan moral yang juga umum didengungkan oleh para demonstrans terhadap pemerintah turut hadir dalam teks-teks ujaran para pemain. Yaitu hentikan korupsi, kolusi politik untuk kepentingan pribadi penguasa. Para petani hanya ingin ketentraman hati saja dalam menggarap tanahnya. Persoalan politik bagi mereka hanya sebuah bahasa penjajahan terhadap hak-hak mereka sebagai rakyat. Kritik dalam pentas Bicaralah Tanah justru disampaikan kepada pejabat daerah yang selalu lupa memperhatikan kehidupan kaum petani. (Argus Firmansah/Kontributor lepas Mingguan Jurnal Nasional/Bandung)
No comments:
Post a Comment