Friday, August 10, 2007

Kertas Tradisional, Daluang, Bagi Perupa

Keunikan Broussonetia papyryfera Vent untuk Media Rupa
Kertas-kertas tradisional banyak dimiliki oleh alam Indonesia. Penggunaan kertas dari kekayaan alam ini banyak digunakan oleh orang-orang suci pada jaman Hindu di Nusantara. Masyarakat lebih mengenal kertas Lontar yang terbuat dari daun lontar yang kini menjadi arketif sejarah kebudayaan Indonesia, baik dalam sastera kuno maupun temuan sejarah yang menggambarkan kebudayaan pra-sejarah di Nusantara bahkan Asia Tenggara. Broussonetia papyryfera Vent adalah nama latin dari Daluang. Yaitu kertas tradisional yang kini mulai disosialisaikan sebagai medium berkarya rupa. Daluang adalah kertas yang terbuat dari kulit kayu Saeh (nama pohonnya, paper Mulberry), dan dibuat secara tradisional oleh masyarakat Nusantara.
Tanaman ini tergolong langka saat ini di Indonesia. Hingga saat ini belum ada perhatian khusus dari pemerintah dalam menjaga kelestarian tanaman langka ini. Galeri Rumah Teh, Bandung, menggelar pameran “Daluang dan Kaligrafi Aksara Sunda” dari tanggal 28 Juli sampai 5 Agustus 2007. Isa Perkasa, kurator kegiatan, mengatakan bahwa event ini merupakan upaya sosialisasi dan pengembangan fungsi kertas Daluang sebagai media rupa. Kertas tradisional ini rupanya dapat digunakan sebagai medium pengganti kertas yang umumnya digunakan oleh perupa. Selain nilai kearifan lokal dari kertas Daluang ini, persoalan tekstur dan estetika yang mucul pada karya juga memiliki keunikan dan nilai tersendiri.
Kertas ini terbilang tahan lama, bahkan bisa berumur ratusan tahun. Hal ini terbukti dari fakta kesejarahannya setelah ditemukan beberapa naskah kuno dan perkamen kebudayaan kuno Indonesia di museum-museum di tanah air. Konon, mereka yang menggunakan serat kayu ini menjadi kertas untuk menuliskan tradisi tulis atau mantera-mantera adalah orang-orang suci. Di Bali, kertas Daluang ini hanya boleh digunakan oleh kaum Brahmana, untuk kepentingan upacara ritual masyarakat Hindu sejak abad 3 SM hingga sekarang.
Tedi Permadi, pengajar di FPBS, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, mengatakan bahwa sejarah kertas ini sudah lama ditemukan oleh arkeologi dan ahli sejarah sastra kuno. Awal kertas Daluang ini dikenal berfungsi sebagai alat Bantu kehidupan sehari-hari, pakaian misalnya. Pada abad ke 3 SM ditemukan sebuah “paneupuk” dari batu (penumbuk kulit kayu) di Desa Cariu, Kabupaten Bogor. Masyarakat jaman itu menamakannya “tapa”, yaitu hasil olahan kulit kayu yang ditumbuk untuk kebutuhan sehari-hari masayarakat di sana. Kemudian, di dalam buku Literatur of Java muncul nama Daluang pada jaman kebudayaan Hindu di Nusantara. Kertas Daluang ini saat itu digunakan untuk menuliskan cerita wayang beber dalam bentuk gambar-gambar. Dan kertas Daluang ini juga digunakan sebagai pakaian pelengkap para Pandita Hindu.
Pada tahun 1970-an masyarakat Hindu di Bali menggunakan kertas Daluang ini untuk pelaksanaan upacara Ngaben. Daluang di sana menjadi salah satu syarat wajib pelaksanaan upacara Ngaben, yang disimpan di dalam “Kitir” berbentuk kupu-kupu yang berfungsi simbol magis. Konon, “Kitir” itu adalah medium pengantar arwah ke Nirwana.Selain itu juga terdapat “Kajang” dengan bahan dasarnya Daluang ini. “Kajang” di bagi masyarakat Hindu Bali dipakai sebagai penutup jenazah dalam sebuah upacara.
Daluang bagi masyarakat Pacitan, Jawa Tengah, kertas Daluang dibunakan sebagai kertas penulisan cerita Ramayana. Kata “Dalu” berarti malam dan “Wang” berarti orang. “Dalu” + ”Wang” = orang yang bekerja pada malam hari. Mengapa demikian, karena proses pengerjaan kertas Daluang ini dikerjakan oleh kaum Brahmana pada malam hari untuk menuliskan cerita atau teks penting di jamannya. Pada masa kebudayaan Hindu di daerah Kediri, Daluang digunakan untuk menuliskan cerita Panji untuk pergelaran wayang beber. Kemudian pada jaman Keislaman di Nusantara, fungsi Daluang diganti menjadi medium untuk menuliskan ayat-ayat al-Quran atau karya seni kaligrafi. Hal ini juga terjadi di pondok pesantren Jetis, Jawa Timur, bahwa kertas Daluang digunakan oleh para ulama dan santri untuk menuliskan kitab-kitab.
Kertas tradisional ini milik masyarakat Indonesia dan sekaligus menjadi kekayaan yang unik dalam pembuatan naskah-naskah sejarah penting pada jaman dahulu. Di negeri China, Thailand, dan Mesir juga memiliki tradisi tulis yang sama, yaitu penggunaan kertas tradisional yang diolah secara tradisional sebagai simbol masa kejayaan kebudayaannya. Kini, pohon paper Mulberry ditanam dalam jumlah 6000 pohon oleh keluarga Abidin dan Deden di Kampung Trenggilis, Desa Cinunuk, Wanaraja, Kabupaten Garut. Keluarga Abidin memang sudah turun-temurun menanam pohon itu dan menggunakan kulit Saeh itu untuk membuat kertas Daluang.
Kertas tradisional ini mulai dikenalkan kembali dari sejarah kebudayaan Indonesia kuno pada tahun 1990. Tedi Permadi merupakan salah satu pemerhati bahasa Sunda kuno yang tentunya bersinggungan dengan kertas Daluang yang pada jaman kejayaan Islam di Indonesia, kerta inilah yang digunakan untuk menuliskan kitab dan ayat-ayat. Tedi Permadi bersama komunitasnya kini sedang melalukan upaya revitalisasi dan sosialisasi kepada kalangan seniman rupa untuk menggunakannya sebagai medium berkaray rupa. Sangat disayangkan memang, pemerintah baru sebatas pengguna atau konsumen kertas ini, yaitu sering memesan kertas Daluang untuk pembuatan sertifikat atau piagam penghargaan. Padahal kertas tradisional ini berpotensi sebagai salah satu kekayaan budaya tradisional milik kita.
Dalam pameran “Daluang dan Kaligarfi Aksara Sunda” ini, seniman dan pemerhati sastera Sunda menggelar workshop pembuatan kertas Daluang sekaligus membincangkan huruf Sunda kuno pada kertas Daluang. Isa Perkasa dalam pameran tersebut menyatakan bahwa huruf/Aksara Sunda dan kertas Daluang ini memiliki nilai artistik tersendiri ketika menjadi karya seni rupa, sehingga menimbulkan kesan antik dan kuno.
Karya yang tampil dalam pameran tersebut bertema kesundaan, di antaranya yaitu terjemahan dari puisi Sunda, pantun, pupuh, mantera. Menulis kaligrafi dengan huruf Sunda kuno ini memang tidak mudah bagi penulis yang kurang memahami huruf Sunda atau Aksara Sunda ini. Oleh karena itu, seniman yang terlibat mau tidak mau harus melawati proses pengenalan dan pemahaman tata bahasa menulis huruf Sunda. Namun demikian, karya yang ditampilkan pun menjadi unik, karena huruf-huruf dan penggalan kata dari bahasa latin ke dalam bahasa huruf Sunda itu menjadi sebuah konstelasi arketif kuno di ruang makna visual. Selain menulis kaligrafi, seniman lain juga diberi kebebasan untuk membuat karya apapun yang masih berhubungan dengan nilai-nilai kesundaan. Bahkan ada seniman yang membuat pakaian boneka dengan kertas Daluang yang dibubuhi ornamen huruf Sunda kuno dengan cat air dan tinta.
Karya rupa seperti gambar (drawing) atau lukisan pun menjadi unik dan terkesan kuno ketika gagasan estetik itu menggunakan kertas Daluang sebagai mediumnya. Teksturnya khas, sementara kertas produk industri belum tentu bisa memunculkan karakteristik tersebut. Dan yang menariknya lagi adalah proses pembuatan kertas Daluangnya sendiri. Seniman memotong kulit Saeh sesuai ukuran yang diinginkan. Kemudian kulit pohon itu dibasahi lalu ditumbuk dengan cara diayunkan hingga jatuh menggunakan alat yang disebut Paneupuk (penumpuk dari logam tembaga dengan permukaan bergaris dan pegangannya dari rotan). Proses inilah yang akan membuat tebal tipisnya kertas Daluang yang akan dipakai. Setelah ditemukan ketebalan dan lebar yang diinginkan, bahan kertas itu dikeringkan pada medium lain sesuai dengan tekstur kertas Daluang yang diinginkan seniman. Setelah kering, kertas Daluang pun siap dipakai untuk menggambar, menulis, atau melukis.
Uniknya, kertas Daluang ini dapat digunakan beberapa kali. Dan bila ingin difungsikan sebagai kain, maka kertas itu harus dibasahi secukupnya hingga menemukan elastisitas kain pada umumnya. Hal lainnya, serat pada kertas Daluang ini sangat kuat. Tak mengherankan bila naskah-naskah kuno yang berumur ratusan tahun masih nampak utuh. Daluang ini juga dapat dibentuk menjadi boneka tau topi dengan mengeringkannya di atas cetakan atau model. Kertas Daluang ini juga dapat difungsikan seperti halnya kertas biasa, beberapa penulis juga pernah menggunakan kertas Daluang untuk mencetak buku, mencetak foto dan lain-lain. Tentunya, Daluang berpotensi sebagai kertas untuk kebutuhan tertentu masyarakat sekarang. Menurut Rumphius, etnolog, proses pembuatan daluang tidak jauh beda dengan proses pembuatan kain (pakaian) dari kulit kayu yang dibuat di pedalaman Kalimantan (suku Dayak) dan Sulawesi (Banggai). Akan tetapi proses pewarisan sistem teknologi dan pengetahuan tradisional pembuatan daluang ini telah terputus, maka dibutuhkan sebuah upaya untuk merekaulang proses pembuatan tersebut. Saat ini pohon tersebut ditumbuhkan lagi di daerah Garut (Jawa Barat), Ponorogo (Jawa Timur), Madura dan Sulawesi Tengah.
Revitalisasi kertas Daluang dibutuhkan sebuah upaya penanaman pohon tersebut di daerah dengan kemiringan tanah tertentu. Pasalnya, akar pohon ini membutuhkan ruang penjalaran tersendiri untuk menumbuhkan tunas-tunas baru. Akar pohon ini yang muncul ke permukaan dan mendapat sinar matahari berpotensi tumbuhnya tunas baru. Dan umur pohon ini dapat tumbuh setinggi 6 meter dalam usia satu tahun. Satu tahun, menurut Tedi Permadi, adalah umur yang ideal untuk panen. Lebih dari satu tahun, kulit pohon ini akan keras sekali dan dibutuhkan proses yang lebih alam untuk membuat kertas Daluang. Namun demikian, penanaman pohon ini tidak membutuhkan kondisi tanah khusus, karena bisa ditanam dimana saja dengan karaketeristik tanah yang miring.
Harga kertas Daluang yang sudah jadi dengan ukuran A3 dijual seharga 10.000 rupiah. Sementara komunitas kertas tradisional di Bandung, seringkali membeli bahan mentah dari petaninya. Harga satu pohon dijual 15.000 dengan ukuran kurang lebih 5 meter. Tedi juga mengatakan upaya sosialisasi yang dilakukan Komunitas Kertas Seni Indonesia sudah menarik minat beberapa petani di daerah Jawa. Hal inilah yang kemudian menjadi positif untuk pengembangan fungsi dan manfaat kertas Daluang ini bagi masayarakat Indoensia. (Argus Firmansah/Kontributor Mingguan Jurnal Nasional/Wartawan lepas tinggal di Bandung)

1 comment:

Anonymous said...

ada fotonya pohn saehnya gk??sya penegn lihat kayak apa kali aj nemukan di daerah saya