Ujang menganggap Dewi adalah perempuan desa yang terpilih sebagai Putri Panen ketika Ujang temui dalam sebuah pesta panen padi. Ketika itu Ujang lah yang terpilih untuk mengangkat Dewi ke bahu Ujang. Namun untuk membuktikan persahabatannya, Ujang meminta Ariel mempersunting Dewi, dan harus menerima golok sucinya. Apabila Ariel menolak maka Ujang sendiri yang akan menyunting Dewi dengan sumpah serapahnya. Demi persabatannya dengan Ujang,Ariel menerima tawaran tersebut hingga berlangsunglah pernikahan Ariel dan Dewi walaupun sebenarnya Ariel tahu bahwa Dewi lebih menyukai Ujang ketimbang dirinya. Alkisah, usai pernikahan Ariel pergi bersemedi di sebuah goa. Ia jatuh tak sadarkan diri di goa itu. Dan karena rasa bersalahnya kepada Ujang, ia memenggal kepalanya dengan golok pemberian Ujang. Dewi menggoda Ujang, namun Ujang sadar Ariel tidak juga kembali. Ujang pun meninggalkan Dewi sendirian. Dalam usaha pencariannya Ujang menemukan tubuh Ariel terpisah dari tubuhnya.
Melihat keadaan demikian Ujang memutuskan untuk memenggal kepalanya sendiri karena tidak ingin dicurigai ingin memiliki istri Ariel. Maka Ujang dan Ariel saat itu bertubuh tanpa kepala. Dewi pun menangis melihat Ujang dan Ariel tanpa kepala di goa. Lalau Dewi juga berniat bunuh diri karena tidak ingin disalahkan atas bencana tersebut. Tapi sebelum niatnya lulus Dewi Sri Pohaci muncul mengurungkan niatnya. Niat Dewi itu disalahkan Dewi Sri Pohaci sebagai tindakan kebodohan karena tahu Dewi sedang mengandung. Bencana itu pun tak jadi akhirnya. Dewi memohon kepada Dewi Sri Pohaci untuk mengembalikan kepala Ujang dan Ariel ke tubuh mereka. Namun suasana pentas pun berubah dari kesedihan menjadi kocak. Pasalnya Dewi Sri Pohaci melakukan kesalahan, kepala Ariel menyatu dengan tubuh Ujang dan begitu sebaliknya. Ketiganya menjadi bingung karenanya.
Dewi bingung memilih yang mana suaminya. Dan ketiganya pergi ke Dukun tua yang tinggal di atas pegunungan untuk memecahkan teka-teki itu. Namun sang Dukun (Gusjur Mahesa) malah tergoda oleh kecantikan Dewi. Perang libido Dukun pun terjadi dalam dirinya. Menyelesaikan masalah siapa suami Dewi dan hasratnya melihat kecantikan tubuh Dewi. Akan tetapi masalah tidak terselesaikan, karena badan Ariel menyatu dengan tubuh Ujang. Alkisah, Ariel membawa Dewi ke kota karena ia berambisi dengan karirinya sebagai penulis, sedangkan Dewi melahirkan aank yang diberinya nama Samadi. Dewi tidak begitu kerasan di kota, hanya Samadi yang membuatnya bertahan. Lalu Dewi pun mulai bosan. Dewi terus memikirkan Ujang karena rasa rindunya sementara Ujang berada jauh di pegunungan Sunda. Hingga akhirnya Dewi melarikan diri untuk kembali bersama Ujang dan bahagia di pegunungan Sunda. Dewi dan Samadi tidak ada di rumah ketika Ariel pulang. Tanpa berpikir lama Ariel mengikuti jejaknya yang mengarah ke rumah Ujang. Keadaan semakin sulit dengan begitu. Ujang dan Ariel pun bertarung untuk mendapatkan Dewi. Akan tetapi Ujang dan Ariel jatuh bersamaan. Dewi pun hidup dengan Samadi saja.
Kisah itu ditulis oleh Don Mamouney (penulis Sidetrack - Australia) dengan melakukan studi literatur pada naskah sastera seperti The Transposed Head-nya Thomas Mann, The Hayavadana karya Girish Karnad, The Vetalapanchavimshika, Sundanese Mythological Stories, dan Stories Telling Stories-nya Fernando Pessoa. Kisah The Tangled Garden memang bukan kisah utuh dari sebuah cerita babad tentang sejarah Sunda. Kisah yang dilakonkan ini lebih merupakan serpihan cerita atau inti cerita sebuah mitos yang saling berkaitan secara tematik. Pertunjukan The Tangled Garden adalah hasil workshop seniman Sidetrack, Australia, dengan seniman CCL Bandung selama tiga bulan berproses dengan dana produksi puluhan ribu dolar AS. Kisah The Tangled Garden inilah yang menjadi panduan para aktor untuk mengolah perannya masing-masing dalam dua bahasa. Tokoh Ariel yang dipernakan oleh Alex Blias menggunakan bahasa Inggris bersama penari yang memerankan Dewi Sri Pohaci yaitu Monica Wulff, sementara aktor lainnya dari komunitas CCL Bandung menggunakan bahasa Indonesia campur bahasa Sunda. Pertunjukan yang disutradarai Carlos Gomes (Sidetrack - Australia) nampak memukau secara sekilas, karena sutradara menggunakan aktor dari komunitas CCL Bandung dan Sidetrack, Sydney – Australia.
Penataan gerak aktor dikemas dengan arahan Iman Soleh, mantan aktor Arifin C. Noor. Penataan gambar suasana cerita pun cukup apik ditata oleh Yadi Mulyani yang merangkap desain ilustrasi musik pada pertunjukan itu. Juga karena ada dua bahasa yang digunakan oleh aktor-aktrisnya. Akan tetapi pertunjukan secara keseluruhan kurang begitu mengigit karena improvisasi aktor-aktor dari CCL Bandung sangat dominan dan cenderung bermain-main dengan perannya untuk menimbulkan efek lucu. Meski efek kelucuan cukup berhasil membuat penonton tertawa, terlihat banyak jurang komunikasi antarpemain di hadapan penonton. Pertama, penggunaan bahasa secara ganda pada waktu bersamaan (bukan penerjemahan - penulis) menimbulkan efek tidak komunikatif, bahkan terkesan melecehkan kesungguhan permainan acting Alex Blias dengan bahasa Inggris-nya. Kedua, gestikulasi tokoh Ujang dan Dukun pada adegan pemandian Dewi di mata air suci dan pertemuan ketiganya dengan Dukun menimbulkan efek negatif bagi anak-anak di bawah umur, karena gestikulasi yang dibawakan Dukun dan Ujang layaknya disajikan untuk orang dewasa. Faktor kedua inilah yang sangat disayangkan dapat mempengaruhi negatif imajinasi dan pengetahuan anak-anak yang masih belasan tahun itu. Salah seorang ibu yang menonton di samping saya sempat mengeluh saat menonton adegan gerakan tubuh Dukun dan Ujang yang dapat dikatakn sebagai gerakan pornoaksi. “Aduh…harusnya ini tidak ditonton anak-anak…itukan untuk orang dewasa,” katanya sambil menutupi kedua mata anaknya. Sementara anak-anak yang lain nampak biasa saja menyaksikan aksi-aksi tokoh Dukun yang cenderung pornoaksi itu. Hal ini sangat disayangkan terjadi dalam sebuah peristiwa kesenian. Meski aksi-aksi itu sudah biasa ditonton dalam sinetron di televise swasta, agaknya peristiwa teater tidak berposisi sama dengan sinetron percintaan remaja yang kian bebas mempertontonkan pornoaksi di hadapan mata anak-anak. Yang terkesan oleh seniman-seniman Sidetrack, Australia, tawa penonton yang melihat pornoaksi para pemain dari Indonesia itu dianggap sebagai kelucuan. Padahal, gestikulasi itu belum layak ditontonkan kepada anak-anak di bawah usia remaja maupun remaja. Bagi penonton di Australia mungkin hal itu bukan persoalan, akan tetapi itu terjadi di Indonesia. Apakah sudah sedemikian itu posisi teater Indonesia dalam memberi pencerahan budaya dan intelektual dalam bahasa estetis?
Adegan-adegan dalam pertunjukan pun menjadi adegan layaknya sebuah sinetron percintaan, karena yang menjadi benang merah dalam laku teater tersebut adalah kisah percintaan Ujang dan Ariel dalam merebut hati Dewi sang bunga desa.Seterusnya, pertunjukan teater pun menjadi tidak fokus. Apakah bentuk tragedi, komedi, atau keduanya. Sementara celotehan aktor-aktor dari CCL yang berperan sebagai Ujang dan Dukun cenderung lebih comedian, atau melucukan adegan dengan bahasa Sunda orang dewasa. Kenyataan pentas ini kemudian merepresentasikan kelemahan aktor-aktor CCL Bandung yang belum layak disebut aktor yang mewakili Indonesia ke negeri kangguru pada pementasannya di Darwin Festival dan Sydney, Australia, pada pertengahan Agustus hingga September mendatang. Keindahan membawakan peran malah berada pada Maryam Supraba, peran Dewi, yang berfungsi vital sebagai penari. Padahal eksistensi Maryam lebih dikenal sebagai perempuan muda yang cukup lumayan di bidang tarik suara di kota Bandung.
Terlepas dari kekurangan pada aktor-aktornya. Pertunjukan The Tangled Garden itu mengupas filosofi kehidupan masyarakat Sunda dengan sistem paradoks, Pola Tiga-nya. Pola Tiga adalah karakteristik paradoks masyarakat Sunda yang banyak bertani sawah. Bahwa pencapaian harmoni dalam masyarakat sawah adalah dengan sistem pola perkawinan - Pola Tiga. Pola Dua adalah kalah menang, selalu berperang; kehidupan harmoni ada bila ada kematian, atau salah satu mati maka ada hidup. POla Tiga dalam masyarakat sawah adalah mengawinkan perbedaan untuk menjadi satu, yaitu harmoni. Oleh karena itu sebut Pola Tiga. (Argus Firmansah/Kontributor lepas Mingguan Jurnal Nasional/Bandung).
No comments:
Post a Comment