Kesaksian Seniman Pada Kosmologi Hitam Putih
Sapuan kuas dengan cat akrilik pada kanvas-kanvas besar dengan komposisi hitam dan putih menggerayami ruang auditorium dan galeri CCF Bandung pada malam 20 Agustus 2007 kemarin. Pameran berlangsung mulai 20 – 25 Agustus 2007. Rahmat Jabaril yang dikenal dari komunitas seni rupa Gerbong Bawah Tanah Bandung mencoba bicara soal kesemrawutan kosmologi manusia jaman sekarang. Pameran tunggal itu diberi judul Kesaksian. Sebuah teks pengalaman batin Rahmat Jabaril terhadap kosmologi manusia Indonesia yang prihatin terhadap keadaan sosial, politik, dan tatanan kosmologi alam yang rusak.
Pada teks pengantar pameran Rahmat Jabaril banyak mengutip teks Shakespeare, Jeremy Holmes, Nietzche, juga Derrida, yang membahasakan kesia-siaan hidup manusia di dalam relasi petanda-petanda. Rahmat dengan teks pinjaman itu mencoba mendramatisir kecemasan dan kegelisahannya yang tertuang di atas sapuan kuas pada kanvas-kanvas dengan nuansa hitam putih. Kemudian teks itu menjadi sebuah rajutan semiotika yang berulang atau bahkan bertumpukan dalam merepresentasikan protes sosialnya sebagai manusia yang terhimpit dalam peradaban metropolis.
Tidak hanya itu. Ia memilih sistem tanda lokal yang disebutnya akar budaya, yaitu kesundaan. Ia juga menyertakan sebuah instalasi yang merepresentasikan sistem religi masyarakat Indonesia pada jaman nenek moyang yang dianggapnya telah ditinggalkan banyak manusia metropolis sekarang ini. Instalasi sistem religi itu ditata sedemikian rupa sehingga membentuk altar dengan meletakkan sebuah lukisan yang bergambar seorang lelaki perut buncit dengan kapak yang telah memporak-porandakan lingkungan alam. Manusia itu disimbolkan sebagai kosmos destroyer pada konstelasi kehidupan alam raya Indonesia.
Teks “Kesaksian” yang disuarakan Rahmat Jabaril menukik pada kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam gejolak sosiopolitik bangsa Indonesia. Teks keterangan “malam” banyak direpetisi olehnya seolah membuat penegasan atas apa yang ia protes, Revolusi Sosial. Namun muncul sebuah inkonsistensi dari teks-teks visual yang disajikannya, yaitu garis merah darah dan api pada beberapa kanvas dan kertas yang menjadi medium ekspresinya.
Nada yang disuarakan memang terkesan miris dan naif dalam menyoal peristiwa reformasi tahun 1998, serta peristiwa politik lainnya di tanah air. Yang dianggap menimbulkan beragam masalah sosial dan politik di tanah air. Anggapan Rahmat itu buan semata tuduhan baginya. Peristiwa-peristiwa kehancuran dan kematian yang terjadi negeri ini menjadi inspirasi puitis untuk direnungkan dan dituangkan ke atas kanvas.
Pendapat Wawan Christiawan, yang diwawancara penulis setelah mengapresiasi karya-karya Rahmat Jabaril yang dipamerkan, mengatakan bahwa teks-teks batin Rahmat Jabaril terlihat mengalir dalam karya-karya yang dipamerkan. Memahami sebuah teks realisme sosial, menurut Christiawan, adalah bagaimana kenyataan sosial itu dibahasakan secara visual dan apresiator dapat merasakan cukilan-cukilan peristiwa yang dikesankan melalui garis-garis dengan sapuan kuasnya. Christiawan juga mengomentasi komposisi warna hitam dan putih pada kebanyakan karya sebagai upaya dramatisasi Rahmat Jabaril dalam merepresentasikan pengalaman batinnya ketika melihat kenyataan sosial yang pahit di sekitarnya. Pada karya rupa yang dipamerkan, Christiawan melihat sebuah obsesi dari seorang Rahmat Jabaril, yaitu kecenderungan menjadi aktivis sosial ataukah seniman.
“Saya melihat Rahmat Jabaril lebih cenderung sebagai aktivis sosial, ketimbang seniman rupa,” ujar Christiawan. Selain itu ia juga melihat adanya kode ganda atau eufimisme bahwa kenyataan sosial itu adalah ini dengan menyajikan sebuah instalasi sistem religi asli masyarakat Indonesia. Ia juga menyayangkan bau kemenyan yang sangat mengganggu apresiator. “Seniman itu tidak dapat mengubah kenyataan sosial. Seniman hanya merefleksikan kenyataan sosial itu ke dalam gambar-gambar visual, sehingga memberikan inspirasi,” tambah Christiawan.
Sementara itu Rahmat Jabaril nemaparkan bahwa instalasi sistem religi masyarakat Indonesia itu disajikan sebagai simbol. Bahwa manusia jaman sekarang sudah meninggalkan akr budayanya, sehingga mereka kehilangan identitas. Dan paradigma itulah yang dianggap Rahmat sebagai katalisator rusaknya tatanan sosial, politik, dan lingkungan alam. Unsur tanah, api dan air, dalam instalasi sistem religi masyarakat Indonesia merupakan teks peringatan kepada semua manusia untuk kembali menemukan akar budayanya. Bicara adat lokal sama dengan membangun relasi dengan paradigma Timur. Namun Rahmat Jabaril justru melakukan peminjaman teks Barat pada wacana pamerannya. Hal ini menjadi janggal kemudian dalam konstelasi wacana Timur. Di satu sisi jabaril mengkritisi impor budaya Barat, sementara ia sendiri menggunakan ide dan gagasan tekstual untuk melengkapi wacana pamerannya. Maka dapat dikatakan, bahwa Jabaril sendiri tergolong ke dalam masyarakat pesakitan yang mengonsumsi budaya Barat dalam proses kreatifnya.
Sah saja menggunakan metode adopsi. Akan tetapi pandangan itu menjadi kabur dengan hadirnya teks-teks Barat yang sinyalir diprotes keras oleh Jabaril sebagai momok kapitalisme budaya ke dalam kebudayaan masyarakat Indonesia saat ini. Sehingga hitam putih pun kian jelas; Putih adalah tradisi kearifan lokal (Indonesia) dan Hitam adalah konstelasi kebudayaan Barat. Memang sudah tidak kontekstual membahas Barat dan Timur dalam wacana revolusi kebudayaan atau revolusi apalah yang hendak disuarakan di balik garis dan warna pada kanvas-kanvas yang dipamerkan. Akan tetapi hal ini epnting utnuk disimak dalam melihat konsistensi seorang seniman dalam menyajikan karyanya ke hadapan publik.
Warna yang disajikan oleh rahmat Jabaril tidak hanya nuansa hitam putih saja. Warna lain yang dominant adalah merah; simbol api, nuasa biru, hijau, dan oranye pun muncul pada beberapa karya lainnya. Namun semua itu hanya menjadi pengulangan atau penumpukan pesan protes yang mengalir dalam darah Rahmat Jabaril ketika mengekspresikan pengalaman politisnya di jalanan ke atas kanvasnya hingga dapat diapresiais publik dalam pameran tunggalnya kali ini.
Terlepas dari semua itu, pameran tunggal yang bertajuk “Kesaksian” itu sangat lugas dan tegas menyuarakan kepedihan dan kondisi schizophrenia sang Rahmat Jabaril. Penanda schizophrenia itu nampak jelas pada kesan-kesan yang dimunculkan dari lukisan dan drawing yang dipamerkan Jabaril kali ini. Penulis ingin meninggalkan satu pertanyaan saja kepada sang kreator, yang menggelar diskusi bernuansa politis di dalam jadwal pameran tunggalnya. Apakah seorang Rahmat Jabaril seorang seniman ataukah seornag aktivis social-politik? Dengan meminjam pernyataan Wawan Christiawan pada pembukaan pameran ketika diwawancara, bahwa seniman itu hanya merefleksikan realitas yang dicerapnya melalui pengalaman yang intens ke dalam karya dalam bentuk visual. Seniman bukan “Bapak Pembangunan” yang dapat merobah keadaan dengan karya seninya. Cukuplah bicara dengan karya visual. Merdeka! (Argus Firmansah/wartawan lepas tinggal di Bandung)
No comments:
Post a Comment