Puisi Demokrasi dari Batu - Teater Payung Hitam
“Takh…takh…takh”, bunyi suara batu beradu yang konstan, mengantar penonton pada kesunyian pentas menjadi simbol waktu/jaman berdentang mengawali pertunjukan meta teater Merah Bolong garapan Teater Payung Hitam (TPH) pada tanggal 18-19 Juli 2007. Panggung remang-remang, samar warna merah menggerayami panggung GK. Dewi Asri STSI Bandung, malam itu yang dikerubuti penonton dari kalangan seniman, mahasiswa, masyarakat umum asal Bandung dan Jakarta, serta mahasiswa dan mahasiswi IPDN, Jatinangor, Sumedang, juga turut jadi penonton.
Sesosok manusia mengusung ember seng berisi batu dengan celana pendek putih berjalan di atas batu-batu putih yang membentuk garis X. Suasana pun jadi mencekam tatkala Yayat HK menyapu kegelapan manusia batu di panggung dengan sedikit warna merah, sehingga nampak batu-batu besar bergantungan di atas panggung. Ia tumpahkan batu-batu berwarna putih dalam ember yang diusungnya hingga tumpukan batu di sudut panggung itu makin menjadi gunung. Tubuhnya gemetar kemudian, dan tergesa kesana-kemari menghampiri batu-batu besar yang tergantung di atas panggung.
Batu-batu itu disentuhnya, dipandangnya, seolah berdialog dalam kebisuannya. Penonton tegang dan digerayami rasa was-was ketika aktor itu berjalan di antara batu-batu yang bergelayutan, saling silang, dan berpapasan dengan kepala sang aktor yang ukurannya jelas lebih kecil ketimbang batu-batu itu. Seketika ia terjatuh ketika disapu batu yang berayun di tengah panggung. Bunyi detak batu beradu pun makin kencang dan mencekam.
Empat aktor, diperankan Asep Budiman, Gaus FM, Felly Daryanto, Ade Ii, masuk dari samping kiri belakang panggung membawa ember seng berisi batu yang digetarkan hingga bunyi gesekan dan benturan di dalamnya terdengar oleh penonton, menjadi teror suara kepada pemain, juga penonton. Ember-ember itu ditumpahkannya pada batu yang bergantungan. Ancaman-ancaman makin dirasakan penonton saat itu. Tatapan mata manusia batu bertopeng itu terasa ngeri, meneror tokoh yang diperankan Hendra Mboth.
Bunyi yang mengancam muncul bertubi-tubi. Tidak hanya oleh batu-batu besar yang bergantungan, suara batu dalam ember tentu saja menambah situasi makin mengancam. Efek ancaman lewat bunyi bukan sekedar realitas panggung saja. Realitas panggung hanya sebuah gambaran estetik menyoroti situasi sosial masyarakat selama ini. Mau tidak mau imajinasi penonton diarak pada sebuah upacara pengorbanan manusia yang diparodikan pada tayangan pemberitaan di televisi dan surat kabar.
Seorang aktor lagi, Sistriadji, masuk engan celana pendek putih dan telanjang dada masuk dari samping belakang kanan panggung dengan ember di atas kepalanya. Ia punguti batu-batu putih satu per satu dan ketika itu pula batu putih di dalam ember pun jatuh. Sebuah kesia-siaan Sisyphus menjadi syair gerak aktor ketika itu. Absurditas hidup manusia terus bergulir secara deformatif dalam adegan itu. Tak lama setelah itu tiga orang aktor, diperankan Yanuar Ibrahim, Nanda Darius, Deden Bulqini, dengan sepasang batu digenggamannya dibunyikan silih berganti saat masuk ke panggung. Sebentuk ancaman lain yang membawa kebingungan dan kemarahan atas situasi pengulangan yang sia-sia. Sistriadji menengoknya lalu out.
Tiga aktor itu mendekati batu yang tergantung di tiga sudut panggung. Mereka berdialog dengan bunyi batu yang dibenturkannya. Bahasa bunyi yang melambangkan kebisuan manusia bertopeng. Batu-batu itu perlambang kebekuan system atau siklus hidup yang bermasalah dan tak terpecahkan. Saking akutnya maslah itu hingga menjadi batu.
Rusli Keleeng masuk tergopoh-gopoh menanggung dua ember berisi batu. Ia berjalan hingga ke sudut panggung. Ia menatap ke atasnya sejenak, seolah mencari harapan akan datangnya rasa kemerdekaan. Tapi yang diperolehnya malah batu-batu koral warna merah yang menghujani tubuhnya. Hujan batu-batu merah itu membuat ia jatuh tak berdaya, terkaparlah ia di sana. Demikian juga tubuh tiga aktor dengan batu digenggamnya pun jatuh. Sebuah simbol tumbangnya manusia jelata yang tergopoh memikul beban masalah.
Adegan aktor-aktor yang terkapar itu melayangkan keheningan sejenak. Namun setting ketegangan adegan kian menanjak. Lalu empat aktor dengan ember batu di tangannya masuk bersama bunyi yang berisik. Mereka saling memandang satu sama lain setelah melihat aktor yang perankan Keleeng terkapar di sana. Mereka coba berkomunikasi dengan bunyi batu dalam ember itu, namun Keleeng tidak juga bangun. Tak lama kemudian Keleeng bangun dari ketidaksadarannya, lalu memikul dua ember miliknya dan berjalan terhuyung-huyung di garis X yang jadi samar ke sudut depan kiri panggung, empat aktor ember batu pun mengikutinya. Dan di atas tumpukan batu koral itu ia merancah bebatuan itu yang diikuti empat aktor ember batu itu. Keleeng pun akhirnya jatuh terkapar lagi. Dua orang aktor dengan sepasang batu digenggaman masuk ke panggung dan mengitari panggung. Sementara empat aktor ember batu coba sadarkan lagi dengan bunyi embernya itu. Keleeng terbangun dan terhuyung-huyung berjalan ke tengah panggung.
Adegan pun berubah jadi chaos. Aktor-aktor telanjang dada itu ada yang berlarian mengitari panggung lalu out. Batu-batu putih yang dihamburkan kemana-mana oleh empat aktor ember batu. Keleeng berada di tengah dan berputar-putar melihat kekacauan itu. Terus berputar, mengamati wajah-wajah tragis manusia batu dan ia pun keluar panggung. Tiga aktor dengan batu di atas kepalanya masuk dengan bunyi, “Aaeeee……. Aaeeee……. Aaeeee……. Aaeeee…….”, menambah efek dramatis sebuah kematian simbol manusia merdeka. Aktor-aktor itu satu persatu berdialog dengan batu-batu yang bergelantungan, dan diayunkan lagi. Mereka pun jatuh satu persatu (seolah-olah) terbentur batu. Sistriadji masuk lagi dengan adegan yang sama. Adegan ini pun jadi metafora pengulangan siklus hidup manusia yang sia-sia.
Sejenak kemudian seorang aktor dengan penggaru gabah masuk panggung dan menyapu batu-batu yang berserakan, mengumpulkannya di tengah panggung. Setelah terkumpul, aktor itu membentuk sebuah relief manusia dari batu putih dan batu merah dengan beragam ukuran. Kemudian Keleeng masuk lagi ke panggung, menghancurkan relief manusia dari batu itu. Aktor dengan penggaru gabah pun terusir dengan hadirnya aktor-aktor dengan ember di kepala mereka. Kemudian mereka menumpahkan batu di dalam ember yang diusung dikepalanya ke dalam ember yang dipikul Keleeng.
Keleeng berputar-putar di tengah panggung hingga jatuhlah di sana, ia menggelepar sampai mati. Keleeng terkapar di tengah panggung. Yayat HK, penata cahaya, menyorotkan lamput spot ke tubuh Keleeng yang mati terkapar. Perhatian penonton tertuju pada tubuh mati itu, kematian. Suasana hening setelah Hendra Mboth sadarkan diri dari suasana chaos, lalu mengambil tanggungan ember batu itu ke luar dengan dipikulnya. Muncul lagi lima aktor dengan penggarunya, mengumpulkan batu-batu itu ke tengah panggung, lalu menimbun tubuh Keleeng dengan batu putih, kemudian batu merah. Terbentuklah sebuah kuburan batu bercorak merah putih. Sistriadji masuk kembali dengan tangan kosong. Ia menyentuh tubuh pesakitan yang mati itu. Ia meratapi dan menangisinya, lalu menabur bunga (batu) pada tubuh pesakitan yang tumbang itu. Tubuh pesakitan yang menjadi monumen atau simbol matinya kemanusiaan.
***
Ketegangan seakan tiada henti menggedor kesadaran penonton. Meski pertunjukan sudah usai, rasa takut itu masih terngiang-ngiang seolah bunyi batu beradu terus meneror. Pertunjukan Merah Bolong diakhiri dengan tepuk tangan batu oleh kru pertunjukan yang berada di tengah penonton.
Umar, mahasiswa IPDN tingkat 4, dalam wawancara usai pertunjukan (19/7) mengatakan cukup terkesan dengan pertunjukan Merah Bolong. Umar menafsirkan Merah Bolong sebagai representasi dari keadaan derita masyarakat, yang tertindas hak-haknya sebagai manusia Indonesia. Umar juga melihat pertunjukan Merah Bolong sebagai sebuah otokritik terhadap penguasa. Sebagai calon orang pemerintahan, Umar mengatakan, kita harus bisa memahami keadaan bangsa, keadaan psikologi masyarakatnya. Ia juga mengamati keadaan ekonomi rakyat belum merdeka. Hak-hak individu masyarakat belum terpenuhi. Umar juga mengatakan, bila kita melihat tayangan di televisi……guru demonstrasi, anggaran pendidikan 20% belum terlaksana……padahal guru menjadi tulang punggung masa depan anak-anak yang menjadi generasi penerus. Umar melihat pertunjukan Merah Bolong sebagai simbol realitas masyarakat saat ini.
Begitu pelik masalah manusia di Indonesia dalam gambaran Merah Bolong itu. Bahkan mungkin pertunjukan selama 50 menit itu tak sanggup menyuarakan teriakan dan tangis manusia Indonesia yang tertindas dan belum merdeka. Sutradara TPH, Rachman Sabur, yang menggarap lakon Merah Bolong malam itu (18/7) mengatakan bahwa teks kemerdekaan yang diusung dalam puisi batu malam itu merupakan simbol representatif atas kemerdekaan masyarakat Indonesia saat ini. Bahwa persoalan-persoalan hak asasi manusia dan kemerdekaan sebagai bangsa semakin kompleks dan membeku jadi batu. Masalah-masalah itu tidak terselesaikan. Beragam persoalan bangsa pun semakin mengeras jadi sebuah chaos ketika batu-batu itu dibungkam.
Batu merah dan putih di panggung adalah medium simbolitikum di mana merah itu bukan darah, tapi gambaran pesakitan, atau kemarahan. “Saya melihat masyarakat Indonesia hidup dalam ancaman-ancaman,” ujar Rachman Sabur. Teks Merah Bolong memang sudah berumur 17 tahun setelah pementasan pertamanya pada tahun 1997. Akan tetapi teks Merah Bolong itu mengalami proses. Setiap pementasan digarap dengan perubahan teknis pemanggungannya, juga tema. Dan tema Merah Bolong kali ini mengusung teks besar kemerdekaan Republik Indonesia. Teks itu kini menelorkan pertanyaan, “Apakah rakyat sudah benar-benar merdeka sekarang?”
Rachman Sabur juga mamaparkan bahwa ancaman pada suspense (ketegangan) batu dipentas tidaklah seberapa dibandingkan dengan realitas masyarakat Indonesia dewasa ini. “Rasanya kita semakin tidak merdeka. Saya yakin seyakinnya, tayangan di televisi adalah parodi dan itu menyakitkan. Dengan batu merah dan batu putih itu, saya ingin orang mengkorelasikan dua warna itu dengan kemerdekaan yang kini diancam oleh masalah yang tidak selesai-selesai dalam realitas kehidupan saat ini. Dan yang ada kini hanya kemarahan,” sambung Rachman Sabur.
Pertunjukan Merah Bolong berada dalam koridor diskursus nasionalisme melalui bahasa petanda di panggung teater modern Indonesia. Warna merah dan putih pada batu jadi simbol yang disajikan kepada penonton juga pemain, untuk direnungi bersama. Bagaimana nasionalisme menjadi harapan untuk menyejahterakan masyarakat ke depan. Toh, kesejahteraan rakyat belum juga menjadi hak setiap individu dari bangsa ini.
***
Merah Bolong kali ini bukan pengulangan tematik atau pengulangan ketegangan yang mewakili realitas hidup manusia Indonesia saja. Akan tetapi jadi sebuah penegasan atas kondisi kemanusiaan yang semakin ringkih dengan ancaman-ancaman lenyapnya kemerdekaan itu. Penegasan nonverbal terhadap keadaan yang semakin buruk. Melalui teks nonverbal yang bertajuk Merah Bolong itu, Teater Payung Hitam coba mengetuk rasio dan rasa penontonnya terhadap hakikat nilai kemanusiaan dan kemerdekaan tanpa sebuah pretensi politis apa pun. Wacana Kemerdekaan saat ini memang hampir dilupakan karena nasionalisme yang telah terkikis oleh cara pandang liberalisme absolut dari cara berpikir ekonomi kapitalisme. Tanpa terasa umur kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia sudah menginjak 62 tahun.
Merdeka-kah bangsa Indonesia saat ini? Apakah sudah merdeka manusia Indonesia seluruhnya sebagai rakyat suatu Negara dan sebagai manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa? Mari kita renungkan kembali semua ini. (Argus Firmansah/Kontributor Bandung - Mingguan Jurnal Nasional)
Thursday, August 16, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment