Hiruk-pikuk pengusaha, pedagang, dan masyarakat di lahan yang dahulunya rawa itu kini berganti pemandangan metropolis di kawasan yang telah menjadi tanah emas dan harapan. Tanah emas untuk art dealer dan kolektor karya seni rupa made in Indonesia dan tanah harapan bagi seniman.
Kesibukan masyarakat urban dan kemacetan lalu lintas sejenak dibungkam oleh ayunan pintu glasses Galeri Canna yang terletak di Jalan Boulevard Barat Raya Blok LC 6 No. 33-34, Kelapa Gading Permai, Jakarta. Hawa yang sedikit sejuk menerpa wajah para kolektor, art dealer, seniman, dan jurnalis yang hadir dalam acara pembukaan pameran tunggal Diyanto yang bertajuk "Minima Moralia" pada Senin (25/8) malam.
Diyanto, seniman dari Bandung dengan portofolio yang cukup mengesankan dengan karakteristik karyanya yang sejuk secara visual dan memikat karena aura dan roh lukisannya. Pesan humanisme yang mendalam di setiap karyanya selalu tergarap dengan apik. Lukisan berjudul "malin, diriku juga malin" berdimensi 140 x 200 cm dengan medium akrilik pada kanvas seakan langsung menginterupsi persepsi optis pengunjung Galeri Canna. Siapa Malin, apa konteks legenda masyarakat Sunda dengan Diyanto sang seniman, dan pertanyaan lain langsung tergusur ke otak penikmat lukisan tersebut.
Pada dinding seberang sebuah lukisan berjudul "sejengkal lebih sedepa" juga mengundang mata untuk melihat seorang anak kecil yang tergantung di dalam kain ayunan. Wajah yang hampir sama seperti mengendus persepsi penikmat lukisan. Wajah-wajah yang menjadi objek lukisan itu terhubung pula pada lukisan yang berjudul "untuk dan atas nama orang ramai #4" di lantai dua Galeri Canna yang dipajang bersama tiga lukisan dengan ikon bantal di seberangnya.
Menikmati lukisan Diyanto yang diramu dengan wacana moralitas yang minim dalam tajuk "Minima Moralia" memang tidak bisa dilakukan dengan sekilas. Sekejap saja tak akan mendapatkan apa-apa. Terutama pesan dan konteks yang hendak dibicarakan dari bidang-bidang kanvas yang dilukis oleh Diyanto dengan proses yang cukup lama dan intens. Lukisan "untuk dan atas nama orang ramai #4" berdimensi 280 x 390 cm yang terdiri atas tiga bidang kanvas hendak mengatakan representasi sebuah peristiwa selebritas seniman panggung. Hal itu mengingatkan kita pada sosok Diyanto yang juga penata artistik panggung dalam pentas-pentas teater.
Belum puas rasanya bila hanya mengamati keindahan lukisan Diyanto yang terpajang di lantai dua, keindahan yang sangat pribadi dalam amanat penikmat karya seni rupa berlanjut ketika enam lukisan terpajang dengan cukup apik mengolah suasananya. Suasana yang lain terasa sudah di atas sana. Enam lukisan terpajang rapi dengan setting penataan cahaya yang maksimal dan artistik pada dua dinding Galeri Canna lantai tiga.
Lukisan "suami isteri jam 3 pagi", "sang penanda", "dosa awal, "batang terakhir, "janji yang diingat", serta "awal pencarian" kian menguatkan pola intertekstualitas Diyanto dalam mengolah gagasan visual pada kanvasnya. Di mana teks saling terkait dan berdialog dengan konteks masing-masing yang berbeda namun satu pertanda, yaitu dirinya sendiri.
"Itulah puncak kesunyian manusia," kata Diyanto.
Aksen warna biru tua, kesan kedalaman, dan titik fokus pada sosok manusia dalam lukisan-lukisan "Minima Moralia" yang dikuatkan dengan lampu spot secara efektif menegaskan proses kreatif Diyanto yang dibubuhi memorabilia ruang privasinya pada jati diri seorang seniman. Teks "dosa" menjadi refleksi Diyanto pada peristiwa lampau yang menimpa adik kandungnya. Kematian dan kesunyian di dunia fana serupa uang logam, dua mata.
Sapuan akrilik warna biru tua pada kanvas yang melambangkan kesendirian di dalam keramaian itu sesungguhnya adalah gambaran seorang Diyanto dalam dunia seni sebagai seniman. Dia membuat metafora Sisipus sebagai simbol dirinya yang digambarkan secara eksplisit di atas kanvas yang berjudul "janji yang diingat" berdimensi 130 x 250 cm dengan medium akrilik di atas kanvas. Satu pertanyaan interupsi muncul di tengah keramaian pembicaraan pasar seni rupa kontemporer dan harga lukisan-lukisan sejenis adalah moralitas. Apakah moralitas yang diwacanakan oleh Aminuddin T.H. Siregar mengena pada persoalan-persoalan yang sering kali menjadi intrik perilaku para kolektor dan kurator atau bahkan senimannya.
Diyanto tidak secara eksplisit berbicara moralitas dalam dunia seni rupa Indonesia sekarang, tetapi justru menukik ke dalam dirinya sendiri sebagai seniman karena terlalu luas untuk diperbincangkan secara instan.
"Minima Moralia" seakan menjadi representasi dari masa lalu Diyanto melalui sepenggal masa lalu yang terus menghantui hidupnya. Masa lalu yang kelam dan tak terlupakan dalam batin Diyanto. Tema "Minima Moralia" pada lukisan-lukisan Diyanto dalam pameran tunggalnya kontekstual dengan situasi diri Diyanto dan seni rupa Indonesia dewasa ini. Aminuddin T.H. Siregar, dalam catatan kuratorialnya, mengupas sekilas sejarah sikap seniman dalam berkarya dengan memetik pernyataan sikap S. Sudjojono yang menolak moralitas dalam praksis berkesenian. Apakah seniman lukis zaman sekarang juga demikian? Itu hanyalah premis awal yang harus dikaji dan diperbincangkan di luar forum kesenian karena berada di ranah politik kebudayaan.
"Minima Moralia" adalah sebuah ruang renungan pribadi seorang Diyanto pada kanvas-kanvas berdimensi lebih dari satu meter dengan aksen warna biru pada hampir seluruh karyanya. "Setiap karya adalah pencarian kejujuran," ujar Diyanto seusai pembukaan pameran tunggalnya di Galeri Canna, Senin (25/8) malam.
Akhirnya, pameran tunggal Diyanto yang digelar pada 25 Agustus-3 September 2008 itu mungkin suatu jarak waktu yang pendek untuk para kolektor memburu karya Diyanto yang "schizofrenia" dalam perbincangan moralitas manusia-seni kontemporer. (H.U. Pikiran Rakyat, 6 September 2008 - Lembar Khazanah)