Selebritis mana yang tidak mengenal rancangan mode busana dari Prancis? Tentu saja hampir semua mengenal rancangan mode busana yang sering dipamerkan di atas catwalk oleh model-model cantik dan tampan. Dan sudah barang tentu mereka mengenal perancang busanannya ketimbang penjahit atau pekerja di belakang mesin jahitnya. Nah, perancang busana atau pengusaha tekstil dapat melihat “dapur” kreatif rancangan sebuah busana di Prancis dengan mengunjungi pameran “Métissages: A Crossbreeding of
contemporary Art and textiles Exhibition” yang dikurasi oleh Yves Sabourin, French National Fund of Contemporary Art and Private Collections di Galeri Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (21/9) kemarin........
“Métisse” artinya campuran, sedangkan kata “tissages” artinya rajutan. Dua kata itu disulam menjadi makna yang eklektik bagi pameran tersebut. Pertemuan keragaman teknik dalam seni kontemporer dunia tekstil dari 56 kreator dari berbagai negeri dan zaman itu dapat diapresiasi dengan sepuas-puasnya. Pameran ini berlangsung mulai tanggal 22 – 27 Oktober 2007 di Selasar Sunaryo Arts Space, Bandung, atas kerja sama CCF Bandung dengan Selasar Sunaryo Arts Space yang didukung oleh Departemen Kebudayaan dan Komunikasi Prancis, Duta Besar Prancis untuk Indonesia, CulturesFrance, dll......
Pameran Métissages sudah singgah di lebih dari dua puluh tempat di Prancis dan di berbagai penjuru dunia sebanyak 18 pameran. Pameran di Indonesia merupakan event yang ke-19 setelah singgah di Fondation Jim Thompson, Bangkok. Pameran ini menyatukan 52 karya, koleksi CNAP/Fonds National d’Art Contemporain (Pusat Nasional Seni Rupa) dan koleksi Pribadi. Karya-karya ini lahir dari dialog antara seniman kontemporer dari berbagai kebangsaan dan perajin dengan kepiawaian teknik dalam bidang tekstil. Tenun, Sulam, aplikasi dan lilitan, karya-karya dalam métissages menggabungkan warisan tradisi dan pembaharuan pada titik temu kepiawaian teknik dan kreasi kontemporer........
Untuk pameran di Asia, kurator Yves Sabourin mengusulkan untuk mengikutsertakan karya-karya yang dibuat dengan teknik warisan dari setiap negara yang dikunjungi. Demikianlah untuk pameran di Indonesia, 7 karya yang mewakili tekstil Indonesia akan di pamerkan, namun hanya 4 karya saja yang akan diikutsertakan di Bandung........
Mengapa Indonesia menjadi salah satu negeri yang dikunjungi dalam pameran keliling, Yves Sabourin mengatakan, bahwa sebaba pertamanya adalah wacana seni kontemporer yang juga aktual di Indonesia. Yves Sabourin melihat karya-karya seni dengan material tekstil karya perupa muda Indonesia yang dipamerkan di Bandung dan Jakarta membuatnya tertarik dan menyatakan kesukaannya bila karya yang dilihatnya disertakan dalam pameran Métissages ini. Métissages di Indonesia bukan hal yang sulit karena hubungan Pusat Kebudayaan (CCF) Prancis di dunia cukup baik. Semua itu, kata Yves, adalah perkembangan gagasan dari sebuah dialog bersama seniman dan kreasinya di Prancis........
Sejak 1996, secara resmi Yves mulai memikirkan masalah tekstil dan seni kontemporer untuk Delegasi Seni Rupa (Departemen Kebudayaan dan Komunikasi Prancis). Pada saat yang sama Yves memutuskan untuk merangkul teknik-teknik paling canggih yang dijabarkan oleh para pemakainya yang secara bebas dapat menggunakan kemahiran mereka dalam pengolahan serta ketajaman pikiran........
Yves juga berdialog dengan para seniman yang menggunakan kain sebagai media serta mereka yang ingin menggunakan serat dan benang. Berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari keseharian ini perlu dicatat bahwa semua gagasan tentang estetika, yang cenderung menyempit pada satu usulan dan satu definisi ruang-ruang kreasi, dapat diabaikan. Dari keberagamanlah muncul dan berkembang proyek seni. Gagasan
Yves untuk menyatukan semua kreativitas seni dan teknik itulah yang memberi dorongan seniman tekstil untuk berkraya khusus untuk pameran ini........
Di dalam pemaparannya, Yves mengatakan bahwa ia melihat banyak karya tekstil kontemporer, baik dengan teknik maupun seni yang tinggi dan unik. Amatan Yves hingga membuat pameran Métissages juga terinspirasi oleh keberagaman budaya di dunia yang menurutnya mungkin dipertemukan di dalam satu ruang diskursif seni kontemporer. Di mana gagasan, karya dan pribadi seniman dapat saling berbagi pengetahuan dan wawasan kultural tentang seni dalam pameran Métissages ini......
Dialog kultur yang memungkinkan, perbedaannya, serta khazanah seni merupakan latar belakang pemeran Métissages ini, dalam rangka melihat keberagaman dunia fashion, politik, jaman, dan seni di tiap daerah. “Pokoknya seni kontemporer adalah kata kunci dari pertemuan karya yang menarik ini,” kata Yves. Sedangkan opini ia tentang karya seni tekstil Indonesia mengatakan bahwa, “Saya suka pada motif, visualnya, detailnya…misalnya tardisi wayang golek di mana unsur tekstil berperan,” sambung Yves........
Karya-karya yang dipamerkan dalam event keliling dunia ini banyak mengambil koleksi FNAC. Dan FNAC adalah sebuah gudang karya seni bertaraf internasional di daerah Puteaux, Paris. Karya-karya itu milik pemerintah Perancis, karena karya tersebut dibeli dengan menggunakan dana pemerintah Perancis dan menjadi koleksi milik milik Prancis......
**
Karya Anne-Lise Broyer et Nicolas Comment yang berjudul “Fading” (2006), adalah teknik bordir gabungan dari Rochefort yang diproduksi melalui workshop Bégonia d’or, Rochefort-sur-mer, Prancis. Bahan yang digunakan antara lain kain katun, benang katun, pita satin dan cat akrilik. Titik awal “Fading” adalah usaha pembentukan kembali (sisi perasaan) dari pasangan fotografi/perupa sebagai persembahan kepada
penulis Roger Vaillant dengan mewujudkan “Fading” sebagai sisi perasaan penulis, sarat dengan sensasi Kota Praha. Untuk itu mereka bertopang pada tulisan-tulisan sang pengarang sebagaimana pada hubungan-hubungannya sebagai artis Joseph Sima sang putra. Gagasan menggabungkan tekstil menjadi jelas saat menemukan buku coretan-coretan dari Joseph Sima sang ayah, yang memperlihatkan motif-motif tradisional Ceko.........
Seluruh perhatian mereka tergugah dan dengan melihat Telsa sebuah radio kuno dimana di bagian depannya terpampang nama-nama ibu kota di Eropa. Me-transformasikannya ke dalam bentuk pahatan: menggantikan kain sederhana di bagian depan dengan bordiran bermotif tradisional, yang pola tulisannya sudah dilakukan oleh Sima sang ayah, di mana dipasang pita suara yang mencampurkan bunyi yang diambil dari kota, dan merupakan komposisi, mungkin sisi perasaan suara mereka. Jarum ditempatkan pada frekuensi Kota Praha dan cahaya yang dipancarkan berwarna merah........
Karya yang tak kalah menarik untuk diapresiasi adalah tutup kepala di Arab karya Mona Hatoum yang berjudul “Keffieh” (1999). Sebuah sulaman rambut alami perempuan di atas penutup kepala dari katun berukuran115 x 115 cm yang dikerjakan oleh para siswi sekolah profesional regional Gilles Jamain di Kota Rochefort sur-Mer dalam pelajaran menyulam C.A.P., Prancis. Karya ini koleksi milik Fonds national d'art contemporain (FNAC); adalah sebuah gudang karya seni bertaraf internasional di daerah Puteaux, Paris. Karya-karya itu milik pemerintah Perancis, karena karya tersebut dibeli dengan menggunakan dana pemerintah Perancis dan menjadi koleksi milik milik Prancis........
Karya ini merupakan aksi politik untuk kebebasan dan kelangsungan hidup suatu kebudayaan dan juga untuk kesetaraan laki-laki dan perempuan. Karya ini juga merupakan penyimpangan dari tutup kepala, yang khusus dipakai oleh kaum lelaki muslim, dan disulam atau dicetak dengan warna hitam. Mona Hatoum memutuskan untuk meletakkan motif tradisional keffieh di atas tutup kepala polos, tetapi dengan menggunakan rambut perempuan, bagian yang tidak diperlihatkan di kehidupan kaum beragama Islam yang taat, mungkin dianggap terlampau sensual. Panji pada dekor tersebut, yang secara janggal menyerupai terali, adalah sebuah pertanyaan untuk budaya muslim........
Deskripsi karya ini cukup menarik untuk diapresiasi melalui sebuah catatan wawancara Mark Francis dengan Mona Hatoum berikut ini. “Bagi saya, sebuah karya seni berdasarkan definisinya adalah artefak budaya, walaupun saya memutuskan untuk memamerkannya dengan cara mengenakannya pada diri saya sendiri. Begitu Anda menyadari bahwa motif Keffieh disulam dengan menggunakan rambut perempuan, objek ini menjadi simbolis dan menggantikan realita. Sebagai akibat, akan muncul sejumlah pertanyaan menarik dan kontradiksi. Penyulaman biasanya dilakukan oleh kaum wanita dan di sini anak-anak rambut perempuan yang panjang digunakan untuk menyulam, mereka menyelipkannya sendiri di dalam pengerjaannya. Keffieh biasanya dipakai oleh kaum lelaki dan karena objek ini menjadi simbol perlawanan, suatu perbawa machiste mengelilinginya. Keffieh ini merupakan suatu usaha untuk memberikan unsur feminin pada busana ini – dapatkah kita membayangkan, seorang laki-laki memakainya dengan rambut perempuan yang berada di atasnya?.......
Karya ini juga mengandung simbol protes kaum perempuan. Dalam istilah Freud, menjadi sebuah objek misterius dalam semua makna kata. Busana sehari-hari setelah mendapat perubahan ini menjadi sebuah objek asing dengan ikal-ikal rambut yang janggal? Ada saat yang meragukan ketika kita mendekati objek ini karena kita tidak yakin dengan apa yang kita lihat, yang memberikan rasa misterius pada objek ini. Dan akhirnya, dengan memasukkan rambut manusia ke dalam objek statis ini, hal tersebut memberikan semacam kehidupan pada benda ini. Rambut dipandang sebagai simbol vitalitas karena tumbuh, dan tumbuh, dan terus memanjang setelah kematian. Di dalam istilah yang lebih sederhana, tutup kepala, khususnya di dunia Arab, biasanya dipakai untuk menutupi rambut, karena rambut panjang merupakan simbol dari kebebasan seks. Rambut panjang perempuan yang tumbuh melewati tutup kepala ini menghancurkan penghalang dan kekerasan,” kata Mona Hatoum dalam sebuah wawancara dengan Mark Francis......
Karya unik lainnya terlihat pada karya Natacha Lesueur yang berjudul “Sot l’y laisse” (2005) adalah sebuah bordiran emas Rochefort, materi bahannya antara lain benang emas dan sutra menghias foto yang dicetak diatas kain sintetis berukuran 10 x 18 cm yang dikerjakan dalam workshop Bégonia d’Or, Rochefort-sur-Mer, Prancis, koleksi FNAC. Makanan dan tubuh manusia. Dua tema ini sering muncul dalam karya fotografi seniman ini. Wadag manusia, berpose dan disangga di beberapa tempat, terlihat seperti mengalami penganiayaan dan kesakitan yang diterimanya begitu saja. “Mungkinkah wadag manusia adalah masakan (hidangan)?” Katanya........
Ini adalah area eksperimen (kuliner – makanan) dengan pra-sangka sadisme yang memungkinkan orang melihat jejak yang menjadi motif sebenarnya. Memunculkan penampakan jejak ini berarti mengusung ide tentang kecohan yang keliru. Untuk proyek ini tubuh yang difoto adalah tubuh seorang perempuan. Dicetak di atas kain dan menjelmalah sajian menyeramkan: asbak sederhana, wadag menghancurkan rokok. Apakah ini merupakan gambaran barbar, masokis? Tanyanya pada karya itu. Karya sulaman ini merupakan ilusi yang bersemayam dalam ingatan sang seniman, yang kemudian dicetak dan dijadikan layaknya alas meja.......
Yves Sabourin mengatakan bahwa seniman yang masih asing terhadap dunia tekstil seperti Anne-Lise Broyer dan Nicolas Comment, keduanya fotografer, telah merealisasikan “Fading” sebuah karya yang didedikasikan untuk jiwa Kota Praha dan terinspirasi oleh sulaman tradisional Ceko, dalam rangka proyek culturesFrance/Institut Français. Dan Valérie Belin, fotografer, menyetujui penyulaman langsung di salah satu karya fotonya, dalam warna hitam putih, dengan payet dan benang pilin logam perak (benang ini menyerupai sebuah spiral tetapi tidak elastis) untuk merealisasikan kecemerlangan dari ”Chips # 1”........
Bahan-bahan yang tak lazim dipakai atau bahan-bahan baru. M. Salvador-Ros, perajin renda, menjalin benang logam murni, tanpa benang penuntun pada kain, untuk Nursery’s crime, suatu keangkuhan didalam menyusun kembali organik karya Françoise Quardon. S. Mona Hatoum, dengan bantuan kelas sulam SMA Gilles Jamain di Kota Rochefort-sur-Mer, merealisasikan Keffieh, penutup kepala laki-laki yang disulam dengan menggunakan rambut perempuan........
Perupa muda asal Bandung, Wiyoga Muhardanto dengan judul karyanya “Disposable Gucci” (2007) menggunakan teknik jahit dan temple dengan material 3 jarum suntik insulin, dan kanvas motif Gucci berukuran 17 x 2,5 cm per karya koleksi L'artiste. Wiyoga mengatakan, “Saya melihat lebih jauh bahwa objek keseharian sebagai prestise dan penanda kelas sosial dengan merk tertentu yang bersifat seperti kebutuhan yang wajib dipenuhi. Seperti yang saya hadirkan melalui karya ini berupa bentuk alat suntik yang menggunakan pattern dari merk GUCCI yang dipandang sebagai merk dalam lingkup produk fashion yang cukup ternama.” Manusia seolah tidak dapat bertahan hidup dan merasa dirinya telah menjadi ketergantungan terhadap suatu prestise dari penggunaan produk........
Dalam kurasinya, Yves Sabourin mengatakan, pameran yang disuguhkan berupa karya-karya tradisional Indonesia, dan saya memilih untuk menyuguhkan objek-objek yang berasal dari keragaman budaya seperti Boneka Sigale-Gale (Koleksi Museum Nasional) boneka yang diciptakan oleh Raja Gayus Ruma-horbo, dari kayu yang dipahatnya dan diberi busana tradisional. Boneka yang berselubung misteri ini, dikeluarkan pada saat pemakaman, berasal dari adat Batak (Sumatera Utara), pada umumnya dihancurkan setelah upacara. Dalam dimensi kepercayaan ini ada juga Kain Sarita (koleksi Museum Tekstil) karya dengan kain tulis yang berfungsi sebagai jimat untuk mengusir roh jahat pada saat pemakaman untuk masyarakat Tana Toraja (Sulawesi Utara)........
Begitu juga dalam kaitannya dengan perlindungan, Baju/Blus yang dikenakan, busana yang terbuat dari kain katun dan disarati dengan motif kaligrafi islamis yang membuatnya menjadi pelindung. Di masyarakat Papua kulit kayu diolah untuk dijadikan busana semacam tekstil serat tumbuhan, Kain Penutup Mayat dari Senatani (Utara Papua) berhiaskan motif abstrak merupakan contoh dari perlindungan terhadap tanaman (koleksi Museum Nasional). Untuk karya-karya modern Indonesia, saya memilihnya dalam bentuk ekspresi kreatif yang lebih beragam. Wayang: Wayang Golek Cepak, Wayang Gambyongan dan Wayang Golek Merak (koleksi Ibu Asmoro Damais) melestarikan antara lain sejarah Islam atau juga pertunjukan tari, di dalam tradisi murni wayang-wayang ini didandani dengan busana dan kain tradisional........
Karya-karya kontemporer Indonesia dengan perancang Harry Darsono yang menciptakan antara lain pakaian Wednesday, September 26, 2007
Métissages di Selasar Sunaryo Arts Space Bandung
Selebritis mana yang tidak mengenal rancangan mode busana dari Prancis? Tentu saja hampir semua mengenal rancangan mode busana yang sering dipamerkan di atas catwalk oleh model-model cantik dan tampan. Dan sudah barang tentu mereka mengenal perancang busanannya ketimbang penjahit atau pekerja di belakang mesin jahitnya. Nah, perancang busana atau pengusaha tekstil dapat melihat “dapur” kreatif rancangan sebuah busana di Prancis dengan mengunjungi pameran “Métissages: A Crossbreeding of
contemporary Art and textiles Exhibition” yang dikurasi oleh Yves Sabourin, French National Fund of Contemporary Art and Private Collections di Galeri Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (21/9) kemarin........
“Métisse” artinya campuran, sedangkan kata “tissages” artinya rajutan. Dua kata itu disulam menjadi makna yang eklektik bagi pameran tersebut. Pertemuan keragaman teknik dalam seni kontemporer dunia tekstil dari 56 kreator dari berbagai negeri dan zaman itu dapat diapresiasi dengan sepuas-puasnya. Pameran ini berlangsung mulai tanggal 22 – 27 Oktober 2007 di Selasar Sunaryo Arts Space, Bandung, atas kerja sama CCF Bandung dengan Selasar Sunaryo Arts Space yang didukung oleh Departemen Kebudayaan dan Komunikasi Prancis, Duta Besar Prancis untuk Indonesia, CulturesFrance, dll......
Pameran Métissages sudah singgah di lebih dari dua puluh tempat di Prancis dan di berbagai penjuru dunia sebanyak 18 pameran. Pameran di Indonesia merupakan event yang ke-19 setelah singgah di Fondation Jim Thompson, Bangkok. Pameran ini menyatukan 52 karya, koleksi CNAP/Fonds National d’Art Contemporain (Pusat Nasional Seni Rupa) dan koleksi Pribadi. Karya-karya ini lahir dari dialog antara seniman kontemporer dari berbagai kebangsaan dan perajin dengan kepiawaian teknik dalam bidang tekstil. Tenun, Sulam, aplikasi dan lilitan, karya-karya dalam métissages menggabungkan warisan tradisi dan pembaharuan pada titik temu kepiawaian teknik dan kreasi kontemporer........
Untuk pameran di Asia, kurator Yves Sabourin mengusulkan untuk mengikutsertakan karya-karya yang dibuat dengan teknik warisan dari setiap negara yang dikunjungi. Demikianlah untuk pameran di Indonesia, 7 karya yang mewakili tekstil Indonesia akan di pamerkan, namun hanya 4 karya saja yang akan diikutsertakan di Bandung........
Mengapa Indonesia menjadi salah satu negeri yang dikunjungi dalam pameran keliling, Yves Sabourin mengatakan, bahwa sebaba pertamanya adalah wacana seni kontemporer yang juga aktual di Indonesia. Yves Sabourin melihat karya-karya seni dengan material tekstil karya perupa muda Indonesia yang dipamerkan di Bandung dan Jakarta membuatnya tertarik dan menyatakan kesukaannya bila karya yang dilihatnya disertakan dalam pameran Métissages ini. Métissages di Indonesia bukan hal yang sulit karena hubungan Pusat Kebudayaan (CCF) Prancis di dunia cukup baik. Semua itu, kata Yves, adalah perkembangan gagasan dari sebuah dialog bersama seniman dan kreasinya di Prancis........
Sejak 1996, secara resmi Yves mulai memikirkan masalah tekstil dan seni kontemporer untuk Delegasi Seni Rupa (Departemen Kebudayaan dan Komunikasi Prancis). Pada saat yang sama Yves memutuskan untuk merangkul teknik-teknik paling canggih yang dijabarkan oleh para pemakainya yang secara bebas dapat menggunakan kemahiran mereka dalam pengolahan serta ketajaman pikiran........
Yves juga berdialog dengan para seniman yang menggunakan kain sebagai media serta mereka yang ingin menggunakan serat dan benang. Berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari keseharian ini perlu dicatat bahwa semua gagasan tentang estetika, yang cenderung menyempit pada satu usulan dan satu definisi ruang-ruang kreasi, dapat diabaikan. Dari keberagamanlah muncul dan berkembang proyek seni. Gagasan
Yves untuk menyatukan semua kreativitas seni dan teknik itulah yang memberi dorongan seniman tekstil untuk berkraya khusus untuk pameran ini........
Di dalam pemaparannya, Yves mengatakan bahwa ia melihat banyak karya tekstil kontemporer, baik dengan teknik maupun seni yang tinggi dan unik. Amatan Yves hingga membuat pameran Métissages juga terinspirasi oleh keberagaman budaya di dunia yang menurutnya mungkin dipertemukan di dalam satu ruang diskursif seni kontemporer. Di mana gagasan, karya dan pribadi seniman dapat saling berbagi pengetahuan dan wawasan kultural tentang seni dalam pameran Métissages ini......
Dialog kultur yang memungkinkan, perbedaannya, serta khazanah seni merupakan latar belakang pemeran Métissages ini, dalam rangka melihat keberagaman dunia fashion, politik, jaman, dan seni di tiap daerah. “Pokoknya seni kontemporer adalah kata kunci dari pertemuan karya yang menarik ini,” kata Yves. Sedangkan opini ia tentang karya seni tekstil Indonesia mengatakan bahwa, “Saya suka pada motif, visualnya, detailnya…misalnya tardisi wayang golek di mana unsur tekstil berperan,” sambung Yves........
Karya-karya yang dipamerkan dalam event keliling dunia ini banyak mengambil koleksi FNAC. Dan FNAC adalah sebuah gudang karya seni bertaraf internasional di daerah Puteaux, Paris. Karya-karya itu milik pemerintah Perancis, karena karya tersebut dibeli dengan menggunakan dana pemerintah Perancis dan menjadi koleksi milik milik Prancis......
**
Karya Anne-Lise Broyer et Nicolas Comment yang berjudul “Fading” (2006), adalah teknik bordir gabungan dari Rochefort yang diproduksi melalui workshop Bégonia d’or, Rochefort-sur-mer, Prancis. Bahan yang digunakan antara lain kain katun, benang katun, pita satin dan cat akrilik. Titik awal “Fading” adalah usaha pembentukan kembali (sisi perasaan) dari pasangan fotografi/perupa sebagai persembahan kepada
penulis Roger Vaillant dengan mewujudkan “Fading” sebagai sisi perasaan penulis, sarat dengan sensasi Kota Praha. Untuk itu mereka bertopang pada tulisan-tulisan sang pengarang sebagaimana pada hubungan-hubungannya sebagai artis Joseph Sima sang putra. Gagasan menggabungkan tekstil menjadi jelas saat menemukan buku coretan-coretan dari Joseph Sima sang ayah, yang memperlihatkan motif-motif tradisional Ceko.........
Seluruh perhatian mereka tergugah dan dengan melihat Telsa sebuah radio kuno dimana di bagian depannya terpampang nama-nama ibu kota di Eropa. Me-transformasikannya ke dalam bentuk pahatan: menggantikan kain sederhana di bagian depan dengan bordiran bermotif tradisional, yang pola tulisannya sudah dilakukan oleh Sima sang ayah, di mana dipasang pita suara yang mencampurkan bunyi yang diambil dari kota, dan merupakan komposisi, mungkin sisi perasaan suara mereka. Jarum ditempatkan pada frekuensi Kota Praha dan cahaya yang dipancarkan berwarna merah........
Karya yang tak kalah menarik untuk diapresiasi adalah tutup kepala di Arab karya Mona Hatoum yang berjudul “Keffieh” (1999). Sebuah sulaman rambut alami perempuan di atas penutup kepala dari katun berukuran115 x 115 cm yang dikerjakan oleh para siswi sekolah profesional regional Gilles Jamain di Kota Rochefort sur-Mer dalam pelajaran menyulam C.A.P., Prancis. Karya ini koleksi milik Fonds national d'art contemporain (FNAC); adalah sebuah gudang karya seni bertaraf internasional di daerah Puteaux, Paris. Karya-karya itu milik pemerintah Perancis, karena karya tersebut dibeli dengan menggunakan dana pemerintah Perancis dan menjadi koleksi milik milik Prancis........
Karya ini merupakan aksi politik untuk kebebasan dan kelangsungan hidup suatu kebudayaan dan juga untuk kesetaraan laki-laki dan perempuan. Karya ini juga merupakan penyimpangan dari tutup kepala, yang khusus dipakai oleh kaum lelaki muslim, dan disulam atau dicetak dengan warna hitam. Mona Hatoum memutuskan untuk meletakkan motif tradisional keffieh di atas tutup kepala polos, tetapi dengan menggunakan rambut perempuan, bagian yang tidak diperlihatkan di kehidupan kaum beragama Islam yang taat, mungkin dianggap terlampau sensual. Panji pada dekor tersebut, yang secara janggal menyerupai terali, adalah sebuah pertanyaan untuk budaya muslim........
Deskripsi karya ini cukup menarik untuk diapresiasi melalui sebuah catatan wawancara Mark Francis dengan Mona Hatoum berikut ini. “Bagi saya, sebuah karya seni berdasarkan definisinya adalah artefak budaya, walaupun saya memutuskan untuk memamerkannya dengan cara mengenakannya pada diri saya sendiri. Begitu Anda menyadari bahwa motif Keffieh disulam dengan menggunakan rambut perempuan, objek ini menjadi simbolis dan menggantikan realita. Sebagai akibat, akan muncul sejumlah pertanyaan menarik dan kontradiksi. Penyulaman biasanya dilakukan oleh kaum wanita dan di sini anak-anak rambut perempuan yang panjang digunakan untuk menyulam, mereka menyelipkannya sendiri di dalam pengerjaannya. Keffieh biasanya dipakai oleh kaum lelaki dan karena objek ini menjadi simbol perlawanan, suatu perbawa machiste mengelilinginya. Keffieh ini merupakan suatu usaha untuk memberikan unsur feminin pada busana ini – dapatkah kita membayangkan, seorang laki-laki memakainya dengan rambut perempuan yang berada di atasnya?.......
Karya ini juga mengandung simbol protes kaum perempuan. Dalam istilah Freud, menjadi sebuah objek misterius dalam semua makna kata. Busana sehari-hari setelah mendapat perubahan ini menjadi sebuah objek asing dengan ikal-ikal rambut yang janggal? Ada saat yang meragukan ketika kita mendekati objek ini karena kita tidak yakin dengan apa yang kita lihat, yang memberikan rasa misterius pada objek ini. Dan akhirnya, dengan memasukkan rambut manusia ke dalam objek statis ini, hal tersebut memberikan semacam kehidupan pada benda ini. Rambut dipandang sebagai simbol vitalitas karena tumbuh, dan tumbuh, dan terus memanjang setelah kematian. Di dalam istilah yang lebih sederhana, tutup kepala, khususnya di dunia Arab, biasanya dipakai untuk menutupi rambut, karena rambut panjang merupakan simbol dari kebebasan seks. Rambut panjang perempuan yang tumbuh melewati tutup kepala ini menghancurkan penghalang dan kekerasan,” kata Mona Hatoum dalam sebuah wawancara dengan Mark Francis......
Karya unik lainnya terlihat pada karya Natacha Lesueur yang berjudul “Sot l’y laisse” (2005) adalah sebuah bordiran emas Rochefort, materi bahannya antara lain benang emas dan sutra menghias foto yang dicetak diatas kain sintetis berukuran 10 x 18 cm yang dikerjakan dalam workshop Bégonia d’Or, Rochefort-sur-Mer, Prancis, koleksi FNAC. Makanan dan tubuh manusia. Dua tema ini sering muncul dalam karya fotografi seniman ini. Wadag manusia, berpose dan disangga di beberapa tempat, terlihat seperti mengalami penganiayaan dan kesakitan yang diterimanya begitu saja. “Mungkinkah wadag manusia adalah masakan (hidangan)?” Katanya........
Ini adalah area eksperimen (kuliner – makanan) dengan pra-sangka sadisme yang memungkinkan orang melihat jejak yang menjadi motif sebenarnya. Memunculkan penampakan jejak ini berarti mengusung ide tentang kecohan yang keliru. Untuk proyek ini tubuh yang difoto adalah tubuh seorang perempuan. Dicetak di atas kain dan menjelmalah sajian menyeramkan: asbak sederhana, wadag menghancurkan rokok. Apakah ini merupakan gambaran barbar, masokis? Tanyanya pada karya itu. Karya sulaman ini merupakan ilusi yang bersemayam dalam ingatan sang seniman, yang kemudian dicetak dan dijadikan layaknya alas meja.......
Yves Sabourin mengatakan bahwa seniman yang masih asing terhadap dunia tekstil seperti Anne-Lise Broyer dan Nicolas Comment, keduanya fotografer, telah merealisasikan “Fading” sebuah karya yang didedikasikan untuk jiwa Kota Praha dan terinspirasi oleh sulaman tradisional Ceko, dalam rangka proyek culturesFrance/Institut Français. Dan Valérie Belin, fotografer, menyetujui penyulaman langsung di salah satu karya fotonya, dalam warna hitam putih, dengan payet dan benang pilin logam perak (benang ini menyerupai sebuah spiral tetapi tidak elastis) untuk merealisasikan kecemerlangan dari ”Chips # 1”........
Bahan-bahan yang tak lazim dipakai atau bahan-bahan baru. M. Salvador-Ros, perajin renda, menjalin benang logam murni, tanpa benang penuntun pada kain, untuk Nursery’s crime, suatu keangkuhan didalam menyusun kembali organik karya Françoise Quardon. S. Mona Hatoum, dengan bantuan kelas sulam SMA Gilles Jamain di Kota Rochefort-sur-Mer, merealisasikan Keffieh, penutup kepala laki-laki yang disulam dengan menggunakan rambut perempuan........
Perupa muda asal Bandung, Wiyoga Muhardanto dengan judul karyanya “Disposable Gucci” (2007) menggunakan teknik jahit dan temple dengan material 3 jarum suntik insulin, dan kanvas motif Gucci berukuran 17 x 2,5 cm per karya koleksi L'artiste. Wiyoga mengatakan, “Saya melihat lebih jauh bahwa objek keseharian sebagai prestise dan penanda kelas sosial dengan merk tertentu yang bersifat seperti kebutuhan yang wajib dipenuhi. Seperti yang saya hadirkan melalui karya ini berupa bentuk alat suntik yang menggunakan pattern dari merk GUCCI yang dipandang sebagai merk dalam lingkup produk fashion yang cukup ternama.” Manusia seolah tidak dapat bertahan hidup dan merasa dirinya telah menjadi ketergantungan terhadap suatu prestise dari penggunaan produk........
Dalam kurasinya, Yves Sabourin mengatakan, pameran yang disuguhkan berupa karya-karya tradisional Indonesia, dan saya memilih untuk menyuguhkan objek-objek yang berasal dari keragaman budaya seperti Boneka Sigale-Gale (Koleksi Museum Nasional) boneka yang diciptakan oleh Raja Gayus Ruma-horbo, dari kayu yang dipahatnya dan diberi busana tradisional. Boneka yang berselubung misteri ini, dikeluarkan pada saat pemakaman, berasal dari adat Batak (Sumatera Utara), pada umumnya dihancurkan setelah upacara. Dalam dimensi kepercayaan ini ada juga Kain Sarita (koleksi Museum Tekstil) karya dengan kain tulis yang berfungsi sebagai jimat untuk mengusir roh jahat pada saat pemakaman untuk masyarakat Tana Toraja (Sulawesi Utara)........
Begitu juga dalam kaitannya dengan perlindungan, Baju/Blus yang dikenakan, busana yang terbuat dari kain katun dan disarati dengan motif kaligrafi islamis yang membuatnya menjadi pelindung. Di masyarakat Papua kulit kayu diolah untuk dijadikan busana semacam tekstil serat tumbuhan, Kain Penutup Mayat dari Senatani (Utara Papua) berhiaskan motif abstrak merupakan contoh dari perlindungan terhadap tanaman (koleksi Museum Nasional). Untuk karya-karya modern Indonesia, saya memilihnya dalam bentuk ekspresi kreatif yang lebih beragam. Wayang: Wayang Golek Cepak, Wayang Gambyongan dan Wayang Golek Merak (koleksi Ibu Asmoro Damais) melestarikan antara lain sejarah Islam atau juga pertunjukan tari, di dalam tradisi murni wayang-wayang ini didandani dengan busana dan kain tradisional........
Karya-karya kontemporer Indonesia dengan perancang Harry Darsono yang menciptakan antara lain pakaian Friday, September 21, 2007
SCALE: Mini Art Work Project
Puluhan seniman muda berkumpul di Galeri Soemardja, ITB Bandung, untuk menghadiri pembukaan pameran bertajuk SCALE pada Selasa malam kemarin (11/9), yang akan dibuka untuk publik pada tanggal 12 – 20 September 2007 mendatang. Mereka adalah seniman muda dan kawan-kawannya yang ingin melihat malam pertama pameran kawan-kawannya........
SCALE adalah pameran sungguhan, meski Aminuddin TH Siregar, kurator galeri Soemardja, mengatakan bahwa pameran oitu merupakan simulasi bagi seniman muda di keluarga FSRD ITB, Bandung. Dalam pembukaan pameran Aminuddin TH Siregar mengungkapkan persoalan-persoalan yang sering dihadapi seniman dan galeri seni di Indonesia kepada mahasiswa FSRD ITB dan pers. Jaman sekarang yang disoroti adalah etika seniman. Bagaimana seniman menyadari bahwa hubungan atau relasi seniman dengan galeri seni, kurator, juga wartawan dipikirkan. Termasuk etika menyimpan karya yang sudah dipamerkan selama 3 bulan di galeri tempat karyanya dipamerkan. Selama 3 bulan itu seniman wajib berkoordinasi dengan pihak galeri untuk setiap transaksi penjualan karyanya. Nyatanya, banyak seniman yang mungkir dari kontrak yang sudah disepakati antara seniman dan galeri seni. Hal lain adalah perkara penentuan harga sebuah karya seni.......
Menurut Aminuddin TH Siregar, tidak ada perhitungan matematis harga sebuah karya di Indonesia. Sedangkan di negeri China, setiap seniman sudah mulai berhitung secara matematis berapa harga sebuah karyanya. Mereka menghitung berapa lama proses karya yang dibuat, termasuk berapa biaya akomodasi selama proses penciptaan, biaya hidup dan lain sebagainya. Sehingga harga sebuah karya yang ditawarkan oleh seniman di Indonesia masih dianggap tidak masuk akal oleh pasar........
Pemaparan itu ditekankan kepada mahasiswa FSRD ITB untuk diperhatikan dan mulai disadari bahwa menjadi seniman itu memang tidak semudah menjual gorengan. Ada tahapan, proses, dan yang paling penting adalah etika seniman. Etika seniman itulah yang masih menjadi persoalan di tanah air yang ditemukan oleh beberapa galeri seni di Indonesia.......
Albert Yonathan Setyawan, kurator pameran, mengatakan bahwa event ini merupakan ruang pembebasan dari seorang seniman juga mahasiswa yang menggeluti dunia karya seni. Pameran itu menjadi ruang kreativitas yang bebas dan bertanggungjawab. Bagi mahasiswa FSRD ITB, karya-karya yang disajikan di ruang galeri Soemardja diapresiasi langsung oleh publik/masyarakat, sehingga perlu proses di luar studi yang harus ditempuh karena ketika karyanya hadir di ruang galeri ia adalah seorang seniman........
SCALE, menurut Albert adalah sebuah project mini art work yang dilakukan melalui proses seleksi selama 4 -5 bulan yang lalu. Albert yang kali pertama menjadi kurator dalam event ini merasa tertantang untuk membuat sebuah kerja seni yang cukup penting dalam dunia rupa. Yakni bagaimana mengomunikasikan sesebuah karya kepada publik agar dapat diapresiasi dengan baik.......
Gagasan awal pameran ini adalah mencari alternative karya baru, ajang refreshing bagi seniman muda, dan bagaimana mengolah medium kecil yang berukuran maksimal 15x15 cm. menurutnya, 60% seniman yang terlibat baru kali pertama terlibat dalam sebuah event pameran, 40% lainnya memang sudah pernah berpameran sebelumnya. Albert Yonathan Setyawan (24 tahun), sebagai seniman pernah terlibat dalam Pameran senirupa Nusantara dengan judul “demi ma[s]sa” 81 karya, 81 perupa, 21 provinsi di Galeri Nasional, 11 - 27 Juli 2007 yang lalu........
Kehadirannya kali ini sebagai kurator merupakan dunia baru untuk memajukan perupa muda dari Bandung. Di dalam pameran SCALE ini ia mengkurasi 70 karya mini berukuran 10x10 sampai 15x15 cm dari 28 seniman muda dengan latar belakang yang beragam, antara lain mahasiswa/i FSRD ITB dari tingkat I – III, termasuk alumni yang sudah menjadi seniman di luar. 47 frame berupa lukisan dan drawing mini berukuran 15x15 cm, 8 buah gambar dengan media fiberglass, dan 15 objek berbentuk patung dan eksplorasi bentuk dari keramik juga dalam ukuran mini........
Mini art work project itu sendiri menjadi keunikan tersendiri dalam pameran tersebut. Selain unik pameran ini menjadi sebuah unjuk kreativitas. Bagaimana mengolah medium yang terbatas pada ukuran maksimal 15 cm menjadi sebuah karya yang maksimal dengan garapan detail yang harus juga diperhatikan........
Gagasan dan ide-ide yang segar muncul pada karya-karya yang dipamerkan dalam event tersebut. Pengunjung dapat mengapresiasi tidak hanya satu genre rupa saja, karena di sana para seniman bergabung dan berpameran bersama dengan kemampuan seni masing-masing. Lukisan mini yang berjudul “Langit” misalnya, Satrio Hari Wicaksono membuat lukisan pemandangan langit dengan ukuran frame 15x15 cm saja. Tiga seri dari judul “Langit” tersebut digarap cukup detail oleh Satrio. Melalui karya ini orang bisa bilang bahwa lukisan indah tidak harus selalu berukuran besar........
Yang unik lainnya adalah sebuah diorama karya Oktianita Kusmugiarti yang diberi judul “kotakkotaku”. Diorama kota antah-berantah berukuran 15x15x15 cm ini terlihat seperti mainan 3 dimensi namun digarap cukup maksimal kertas yang diwarnai. Awan-awan berdiameter millimeter bergantungan, sedangkan sosok bangunan pencakar langit dibuat tersusun dari depan ke belakang dengan sudut pandang yang dapat dilihat dari mana saja........
Maya Annisa Surya, 21 tahun, mahasiswi semester 7, Jurusan Patung, FSRD ITB, mengolah bahan tekstil untuk membuat patung-patung mininya. Karyanya diberi judul “kalau putih pasti aku cantik”. Karya Maya ini membuat daya tarik tersendiri ketimbang seniman patung lainnya yang diberi judul “Aku Indonesia” karya Gabriel Aries yang menggunakan bahan recin untuk membuat leher hingga kepala lengkap dengan ekspresinya sebnayak dua buah dengan warna merah dan warna putih saling berhadapan........
Keunikan dan keberanian Maya Annisa Surya dalam mengeksplorasi bahan tekstil, benang rajut warna merah dan putih, untuk membuat patung dengan setting di sebuah kamar. Karya Maya ini menjadi sorotan kedua setelah diorama kota karya Oktianita Kusmugiarti. Pasalnya kedua karya ini menampilkan gagasan yang segar, baru dan sederhana, sehingga mudah dicerna dan diapresiasi oleh pengunjung pameran yang rata-rata adalah anak-anak muda........
Maya mengatakan bahwa dia sedang tertarik dengan material tekstil, yaitu benang. Karyanya diawali dengan produksi patung dari benang rajut selama sebulan, inspirasi untuk membuat konsep karya terinspirasi oleh perilaku perempuan metropolis. Trend gaya hidup remaja hingga perempuan muda di kota-kota besar saat ini. Tempat-tempat pemujaan tubuh yang tersebar di sudut-sudut kota dengan varian perawatan tubuhnya membentuk perilaku kosmopolit di kalangan remaja dan wanita........
Pemutihan tubuh (kulit) salah satunya. Perilaku itu menginspirasi Maya untuk membuat patung dari benang rajut dengan dua warna saja, yaitu putih dan hitam. Karya Maya yang berjudul “kalau putih pasti aku cantik” adalah sebuah kritik terhadap perilaku remaja dan wanita muda dari Maya. “Saya angkat fenomena kulit putih adalah segalanya di kalangan remaja saat ini. Mereka tidak sadar kalau produk pemutih yang mereka gunakan merugikan makhluk lain,” ujar Maya, bahwa produksi kosmetik merugikan tumbuhan, dan makhluk alam lainnya. Pemutih itu sendiri tidak sedikit merugikan pemakainnya sendiri, ada yang terbakar jadi gelap kulitnya, ada juga yang menjadi allergy dan sangat peka kulitnya. Maya hendak mengatakan melalui patung benangnya itu, bahwa tidak semua trend gaya hidup yang berkembang pesat di kota-kota belum tentu bermanfaat untuk kehidupan manusia........
Sebelum event ini Maya pernah berpameran bersama kawan-kawannya di Gelaeri Rumah The, Bandung, dalam judul pameran “Us/Industry” awal tahun 2007 yang lalu. Saiful Aulia Garibaldi berseru dengan semangat, “Marilah kita berkesenian semua, kawan-kawan!” di hadapan kawan-kawan dan pengajarnya. (Argus Firmansah/Penulis/Wartawan lepas di Bandung)
Thursday, September 13, 2007
Poetry Performance Amien Kamil in Bandung
Bukan pentas musik reggae. Rambut gimbal dengan gaya khas rasta, itulah sosok Amien Kamil dalam serangkaian acara Crafty Days pada Minggu sore di Tobucil & Klabs (9/9). Amien Kamil adalah seorang seniman Jakarta, pendidikan terakhir Drop Out sinematografi IKJ. Ia merasa lebih bebas berekspresi dengan cara berkarya nyata secara independen. Malang melintang di dunia teater membuat dia bisa bersua dengan seniman lainnya baik tingkat nasional maupun internasional. Tak heran, program-program seni budaya di luar negeri lebih memberinya semangat ketimbang di tanah air. Namun demikian, rasa nasionalisnya tidak luntur, karena ia tetap membangun jaringan komunikasi dengan seniman-seniman Indonesia di luar sana. Ia adalah seorang actor, sutradara, skenografer, pelukis, bahkan penyair. Semua bidang itu ia geluti dengan ketekunan dan kedalaman pada makna pencarian sebuah esensi kehidupan. Sisi humanisnya memang nampak pada penampilannya yang nyeleneh, atau senewen. Ya, barangkali memang seperti itulah penampilan seniman. Santai, cuek, namun penuh dedikasi pada wacana humaniora.
Drama Kehidupan Aktor Panggung (A Life in the Theatre)
Tuesday, September 11, 2007
Theatre In New York Schedules
Wednesday, September 5, 2007
Adiyaksa Dault, MENPORA RI, di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung
Monday, September 3, 2007
Lear Asia Versi Tafsir Teater Bandung
Lear Asia yang digarap oleh Ismet Majalaya masih mengusung tema-tema kontemporer dan adaptasi kultur Asia pada pementasannya. Itu dapat dilihat dari dominasi pemain perempuan ketimbang laki-laki. Masalah jender menjadi isu hangat dalam perdebatan subteks pertunjukannya. Meski pementasan menjadi pendek, terjadi pemadatan struktur lakon, namun garapan Ismet masih berada di koridor tema yang sama, kekuasaan dan hirarki kekuasaannya.
Konteks kultur dalam pementasan Lear Asia memang menjadi asing dari teks asli King Lear-nya William Shakespeare. Karena Lear yang digarap oleh Rio Kishida maupun Ismet mengambil akar kultur Asia kontemporer. Terlepas dari sistem monarki kerajaan Jepang maupun Inggris yang menjadi inspirasi politik kebudayaan dalam naskah pertunjukan Lear. Pementasan Lear Asia lebih menukik pada persoalan bagaimana membaca kondisi jaman yang sudah berubah. Namun demikian, karya seni bukan ruang untuk menemukan konklusi jalan keluar dari persoalan yang sedang terjadi, pementasan Lear Asia hanya menjadi representasi dari kondisi sosial.Kelurahan Cinta versi Laskar Panggung Bandung di STSI Bandung
Seorang suami dengan dua istrinya masuk ke pentas dan menari-nari, sesekali bergerak kaku dengan pakaian ala seniman. Nampaknya memang sutradara teater, Yusef Muldiyana bermaksud menyimbolkan kehidupan seniman yang selalu bergerak dengan tampilan compang-samping, disertai bahasa yang tidak dimenegrti oleh orang lain. Dan mereka tampak bahagia dengan begitu. Lampu meredup, hingga sedikit cahaya saja yang masuk ke pentas, sebuah fragmen film independepn mengisi ruang pentas di mana seorang istri menggantung diri setelah mondar-mandir dalam keputus-asaannya. Mereka yang bermain peran dalam garapan Laskar Panggung Bandung adalah: Kemal, Ria, Ucan, Feby, Ani, Arya, Tuti, Vira, Nineu, Gigi, Dona, Niki, Yopie, Niki Nugraha, Surya, Tomi, Arfan, Ndang, Usman, Babas, Yoyo, Alvin (lighting), Katho, Lukman, Azrin, Andrevo.
Terkesan mengerikan memang. Adegan pertama diawali dengan pemutaran frgamen film layaknya berita kriminal di televisi. Suasana dramatis itu dicairkan dengan suara nyanyian para ibu-ibu muda dan pelajar sekolah yang liriknya berbunyi, “Rame…rame…tidak sekolah….marilah kita bodoh bersama….Rame…rame…malas bekerja…..masrilah kita miskin bersama….” Penonton pun tertawa sembunyi-sembunyi mendengar seruan koor di samping panggung dengan setting vocal group itu.
Babak kedua narator dalam rupa master of ceremony memperkenalkan pasangan-pasangan yang hidup bermasyarakat di Kelurahan Cinta. Penonton tertawa terbahak ketika satu per satu memperkenalkan diri. Semua keluarga beristri lebih dari satu, kecuali Ikin yang beristri satu sebagai tukang cukur dan Euis pulen yang dipanggil Islen yang bersuami dua. Alkisah, Euis adalah wanita banal yang sering digerayami oleh pemuda dan suami-suami di Kelurahan Cinta. Tubuhnya yang seksi kontan membuat lelaki sekelurahan bernafsu padanya.
Pagi hari, setelah ayam berkokok, istri-istri rumahan membangunkan suami mereka untuk pergi mencari uang. Namun jawaban mereka saat dibangunkan selalu minta tenggang waktu sepuluh menit, setelah itu mereka baru mau bekerja mencari nafkah. Hari itu akan dilaksanakan Pilkada, pemilihan Lurah baru. Karena Lurah yang lama sakit menahun dengan jenis penyakit yang sangat parah dan susah untuk meu sembuh. Satu per satu para calon berorasi dengan rekaman video yang ditayangkan pada layar di belakang panggung. Uniknya di sana, semua calon menawarkan konsep-konsep yang menjerat masyarakat. Ada yang memang berniat menyengsarakan rakyat dengan korupsi, memeras, dan lain-lain. Kata kunci pidato mereka hampir semua sama. “Awas…Jangan pilih saya…Jangan Pilih Saya!!”
Tenang saja. Kampanye politik yang tidak lazim itu hanya ada di pentas teater musikal saja. Nama-nama partai pun terdengar unik dan plesetan, sebuat saja Partai Awal Nasional, Partai Asmara; singkatan dari Partai Aspirasi Masyarakat Ramai, Partai Kebra; Partai Kesejahteraan Para Koruptor. “Jangan Pilih Saya!! Ingat Itu!!” itulah moto mereka. Malam pun datang menjelang. Penonton disajikan adegan tempat perjudian. Pak Daramang kalah judi, sehingga pakaiannya harus ditanggalkan untuk membayar kekalahannya. Pulang ke rumah pun berbohong pada istri dengan mengaku bahwa pakaiannya disumbangkan kepada orang yang tidak mampu. Padahal sudah jelas dia kalah judi. Karena terdesak kebutuhan finansial keluarganya, istri Daramang meminjam uang kepada tetangga untuk membayar uang sekolah anak-anaknya. Daramang pun protes. “Kenapa pinjam uang ke tetangga? Dari mana kita membayar uang pinjaman itu,” ujar Daramang kesal pada istri.
Lain halnya dengan Ikin, si tukang cukur yang selalu bersuara kuda setelah namanya dipanggil istri kesayangannya. Ia bermimpi menjadi bintang film. Lampu di pentas kembali diredupkan. Sebuah fragmen film pendek karya Laskar Panggung Bandung ditayangkan. Dalam film itu Ikin berperan sebagai anak sedang memetik gitar membawakan lagu Iwan Fals yang berjudul “Ibu”. Namun yang menjadi bahan tertawaan penonton adalah peran Ikin dalam film itu sebagai pencuri. Peran itu disebabkan oleh tuduhan ibunya (dalam film) ketika memetik gitar handphone-nya berdering. Setelah ia menutup panggilan telepon dari kawannya, Sang Ibu merasa heran dari mana anaknya punya barang itu padahal belum pernah ibu dan bapaknya memberi uang lebih untuk membeli barang seperti itu.
Adegan kembali menyajikan Daramang. Setelah kalah judi dan pusing memikirkan bagaimana membayar uang yang dipinjam istrinya dari tetangga, Daramang berselingkuh dengan Euis. Hingga dikisahkan Euis hamil. Kedua sumi Euis pun bingung, itu anak siapa. ”Itu anak saya atau dia?” ujar suami Euis saling tunjuk satu sama lain.
Teman-teman Daramang yang suka main judi bersama Daramang melihat Melati, istri Daramang pergi dengan lelaki lain. Tentu saja informasi itu disampaikan kepada Daramang ketika main judi. Perselisihan pun terjadi. Kekerasan dalam rumah tangga divisualkan dengan adegan pembunuhan Daramang oleh istrinya. “Sudah berapa wanita kau tiduri, Daramang?” Tanya Melati kepada suaminya sambil teriak kesal. “Seribu!” jawab Daramang, lalu balik bertanya, “Sudah berapa laki-laki yang menidurimu, Melati?” Dan Melati menjawab, “Seratus!” “Gila.” Sahut Daramang. Perselisihan pun berlanjut dengan perkelahian. Akhirnya, Daramang ditusuk dengan pisau dapur oleh istrinya. Karena takut juga istri Daramang menusukan pisau itu ke tubuhnya hingga ia pun mati.
Kabar terpilihnya Lurah baru diumumkan. Pemenangnya adalah Cep Durasim. Kontan Durasim marah-marah dan kecewa dengan hasil pemilihan Lurah itu. Padahal, “Saya kan sudah katakana…Jangan Pilih Saya!! Jangan Pilih Saya!!” katanya. Durasim menolak terpilih jadi Lurah, namun warga Kelurahan Cinta menyetujui hasil pemilihan tersebut. Karena tidak menolak jabatan maka Durasim melakukan hara-kiri alias bunuh diri. Kemudian bayi-bayi lahir tanpa ibu kandung mereka. Suasana tragedi kembali terasa. Suasana pentas menjadi chaos, kacau balau. Orang-orang berlarian ke sana kemari seperti diguncang gempa bumi yang dahsyat. Pementasan pun berakhir demikian.
***
Sebuah pementasan cantik dan menarik digelar oleh kelompok Laskar Panggung Bandung. Pementasan yang melibatkan aktor dan aktris pemula dari pelajar SLTP hingga mahasiswa itu mampu disajikan dengan cukup apik pada Sabtu malam (25) kemarin di Gedung Patandjala, STSI Bandung. Pentas teater yang disisipi dengan adegan film independen produksi Laskar Panggung Bandung berjudul “Rumah Dalam Kepala Kuda Atau Kelurahan Cinta”.
Pentas teater garapan Laskar Panggung Bandung malam itu berkisah tentang kehidupan pasangan-pasangan cinta orang-orang pinggiran di sebuah kelurahan yang namanya Kelurahan Cinta. Perselingkuhan, perjudian, hingga seks bebas menjadi peristiwa kehidupan manusia di sana sehari-harinya. Sebuah potret masyarakat yang malas, dan penuh libido biologis itu diperankan oleh pemain baru di panggung teater di Bandung. Namun demikian, permainan mereka sangat intens dan serius membawakan peran mereka masing-masing.
Imajinasi yang sederhana tentang kehidupan sehari-hari masyarakat pinggiran itu merepresentasikan masalah lapangan pekerjaan yang sulit, suami-suami berpoligami, ada juga seorang istri berpoliandri. Dengan alasan yang beragam padahal masyarakat di Kelurahan Cinta itu sudah lama meninggalkan shalat. Para suami bangun siang, dan malas mencari uang dengan pergi pagi-pagi. Keseragaman budaya nampak pada pagi hari ketika suami-suami atau istri yang mencari nafkah selalu bangun terlambat. Tiap kali mereka dibangunkan untuk pergi bekerja selalu beralasan, “Sepuluh menit lagi…saya masih ngantuk,” ujar para suami. Tentu saja gerutu istri-istri mereka terdengar dari bilik-bilik rumah kontrakan mereka.
Pentas teater musikal plus pemutaran fragmen film itu seolah menjadi bentuk trend baru dalam kancah teater di Bandung. Sebuah bentuk teater yang berangkat dari selera pasar. Karena memang harus diakui bahwa penonton sinema elektronik lebih menjanjikan ketimbang penonton teater. Apalagi memenej penonton baru dari segmen anak-anak muda. Tidak sedikit kelompok teater banting tulang, bahkan banting setir untuk menanamkan ingatan kolektif pada kelompok teaternya di kalangan generasi muda.
Monolog Hermana Untuk Suyatna Anirun
tu. Penonton pun disadarkan akan hal itu hingga membuat tertawa. Hermana keluar dari perannya sebagai guru yang terjebak masalah ekonomi dalam monolog itu. Kemudian berinteraksi dengan para penonton dan membuat sebuah dialog tentang guru. “Guru adalah pahlawan tanpa jasa, bagaimana menurut anda guru itu?” Tanya Hermana kepada penonton. Beberapa penonton angkat bicara menjawab pertanyaan dari Hermana. Ada yang menjawabnya dengan pernyataan keprihatinannya terhadap figur guru. Ada juga yang menjawab bahwa menjadi guru itu baik. “Saya merasa tidak terjebak menjadi guru. Saya senang menjadi guru, karena guru adalah jalan dakwah bagi saya, bukan profesi,” tutur Rahmat, 35 tahun, salah seorang penonton monolog itu.
Pada momen ini suasana pertunjukan agak cair, hingga kemudian Hermana memberi kesempatan kepada penonton untuk berkomentar tentang sosok dan peranan guru bagi masyarakat. Aktor turun ke area penonton memang tidak lazim ditemukan dalam pementasan teater realisme. Hermana melakukan hal ini karena konsep Sabrehna yang dipakainya.