Kampanye Perubahan Lewat Musik
A Mild Live Soundrenaline 2007 mengusung tema "Sounds of Change", maksudnya adalah keinginan bersama untuk mengakomodir semangat dan energi positif dari musisi yang tampil dalam event tahun ini. Musik diyakini sebagai bahasa universal. Segala bentuk perbedaan dapat disatukan melalui musik. Melalui musim juga pesan-pesan sosial bernafaskan perubahan lebih mudah disampaikan kepada semua orang. Dan musik juga dapat menumbuhkan semangat semua orang.
Amelia Nasution, Penasehat Teknis dari TIM HM Sampoerna, menyatakan, "Kami meminta musisi dan band yang tampil untuk menyuarakan dan memperlihatkan perubahan ke penampilan (performance) yang lebih baik agar memuaskan music maniacs di Tanah Air." A Mild Live Soundrenaline mengharapkan tantangan ini dapat ditunjukkan dalam aksi panggung mereka di hadapan ribuan penonton yang datang ke event ini. Sosialisasitema event tahun ini tidak hanya ditujukan kepada musisi yang terlibat dalam tur 5 kota tahun ini, tetapi penonton juga diharapkan dapat memberi energi positif dalam suatu perhelatan musisi besar baik dari Indonesia dan luar negeri. A Mild Live Soundrenaline juga membentuk sebuah "board of change", yaitu dewan juri yang akan menilai penampilan musisi dengan misi menebarkan semangat perubahan positif kepada penonton dan musisi lainnya.
Event musik terbesar ini merupakan produk A Mild Live Soundrenaline yang ketujuh, sejak produksi perdananya pada 2-3 November 2002 di Parkir Timur, Senayan, Jakarta, dengan tema event "EXPERIENCE 'EM ALL". Aura "Sounds of Change" juga dihembuskan di Lapangan Brigif II, Cimahi, Jawa Barat, 29 Juli kemarin. Cimahi (Bandung) adalah kota ketiga setelah merampungkan kampanye perubahan lewat musik di Pangkalan TNI AU, Padang (15/7), dan Lap. Parkir Std. Bumi Sriwijaya, Palembang (22/7) kemaren.
A Mild Live Soundrenaline 2007 menampilkan musisi-musisi besar yang tak kalah serunya di A Mild Stage, yaitu, D'Masiv, The Rain, Rebecca, Java Jive, The Titans, Ello, Naff, Cokelat, Samsons, Nidji, Dewa. Di panggung ini juga tampil band dari negeri Canada, USA, yaitu Dearest.
Di Simpati Stage anak-anak muda Cimahi, Bandung, Cianjur, Indramayu, Cirebon, Sukabumi, dan Brebes disuguhi komposisi musik dan lagu dari kelompok musik dan musisi: BOS, The Upstairs, KSP, Steven & The Coconuts Treez, Melly Goeslow, Tompi, Shanty, PAs Bnad, Naif, dan Ari Lasso.
A Mild Live Soundrenaline 2007, Sounds of Change, juga memberi kesempatan kepada musisi dan band-band indie label di Talent Stage. Yang tampil di sana yaitu Female (Bandung), Not Negative, Nyiur Melambai, Time Bomb (Bandung), Putih, Jawara, Talua, Beethoven from Stereo, Serend, Raygava, Riviera, The Nox Second Civil, Marvell (Bandung), Jaddah, Lady van Johan, Wasabi, Five Minute (Bandung), Dunia, NEo, Zorro, Burger Kill (Bandung), Seringai (Jakarta), Getah, Caffeine (Bandung), Republik (Bandung), Mickel Says, Funky Kopral, Sultan, Cangcuter (Bandung), Juliet, Kojo, Sequinn, Frezia, ST 12 (Bandung), dan Dygta (Bandung).
Para penonton yang datang dari berbagai kota dan kabupaten di Jawa Barat ini dihadapkan pada banyak pilihan musisi atau band yang ingin mereka saksikan aksi panggungnya. Banyak penonton kecapean sendiri setelah berburu panggung untuk menyaksikan musisi dan band favorit mereka yang tampil di tiga panggung besar tadi.
Udara panas serta debu tak menyurutkan semangat mereka untuk menyaksikan musisi dan band besar itu. ada yang berteduh di bawah tenada Food Court dengan menu cepat saji dan minuman ringannya. Ada juga yang tetap semangat mengikuti games dan kuis yang diselenggarakan A Mild Live Soundrenaline 2007 dan sponsor event ini. Tidak hanya panggung musik yang disuguhkan kepada penonton A Mild Live Soundrenaline 2007 kali ini.
Itu memang sudah direncanakan oleh tim A Mild Live Soundrenaline 2007 bersama Deteksi Production yang merujuk pada format kegiatan layaknya sebuah festival. Selain game dan kuis. A Mild Live Soundrenaline 2007 juga menyediakan Billiard Zone bagi anak-anak muda yang ingin rehat dengan bermain bola billiard. Giant Obstacles, sebuha permaina ekstrim yang menantang keseimbangan tubuh dan kekuatan, tapi menyenangkan. Ada juga tenda Musiclinic, dimana para pengunjung dapat belajar langsung tentang bermusik dengan bertatap muka dengan musisi atau artis kelompok band. Tidak ketinggalan juga untuk para wartawan yang meliput acara A Mild Live Soundrenaline 2007, Panitia penyelenggaran membuat Red Carpet dalam format Press Room. Foto musisi/band yang tampil sambil wawancara langsung. Sedangkan para penonton diberi kesemptan dengan idola mereka di tenda Meet & Greet. Pengunjung diperbolehkan berfoto bareng atau minta tandatangan.
Waaaaah....semua kebutuhan publik untuk berinteraksi dengan musisi dan band kondang tersediadi arena A Mild Live Soundrenaline 2007 di Lapangan Brigif II, Cimahi, kemarin. Tentu saja kesempatan ini tidak disia-siakan oleh penonton yang datang ke arena A Mild Live Soundrenaline 2007. Malahan festival ini menjadi ajang berburu foto, tandatangan dari sang idola, bahkan bersalaman secara langsung.
Suasana pun rehat sejenak sore harinya. Para penonton duduk di atas rumput Lapangan Brigif II bersama teman, sahabat, kekasih, atau keluarga mereka. Di Press Room, Steven & Coconuts Treez hadir dalam konferensi pers. Wartawan foto yang belum merasa puas memotret aksi mereka di atas Simpati Stage pun hadir untuk mengapresiasi pernyataan atau jawaban band Steven & Coconuts Treez yang secara konsisten membawakan komposisi lagu dengan bit reggae. Meski reggae identik dengan mariyuana, Steven & Coconuts Trees memang tidak bisa mengelak dari image Rastavaria dengan mariyuananya. Namun band ini menyatakan, bahwa mereka hanya mengadaptasi musik reggaenya saja. Karena dengan musik itulah mereka dapat memberi pesan moral kepada pendengar musiknya. Bagaimana hidup sehari-hari tanpa berbuat kriminil, bertahan hidup, menerima apa adanya. Musik Reggae, katanya, bisa dinikmati kapan saja, siapa saja, bagaimanapun juga.
Malam pun menjelang, satu per satu musisi kondang dan band idola masyarakat mulai mengisi waktu yang terasa cepat berlalu. Para penonton pun segera merapat ke barikade, agar sedekat mungkin menyaksikan penampilan para musisi dan band terkemuka itu. Dan ratusan penonton terus berdatangan setiap jamnya, sehingga arena seluas 600 m2 pun padat. Di sela performa musisi dan band di panggung beberapa musisi/band yang sudah terjadwal untuk hadir selama lima menit di Red Carpet diserbu wartawan. Sedangkan wartawan foto sibuk mencari sudut yang paling bagus untuk memotret momen-momen menarik untuk dikirim ke media masing-masing.
Band Scraping fo Change (USA) mengungkapkan rasa gembiranya dalam event A Mild Live Soundrenaline 2007, selain karena tema acara sesuai dengan nama band mereka. Sambutan penonton Bandung yang antusias menumbuhkan semangat baru bagi mereka untuk terus berkarya.
Band Naff, di Press Room (Red Carpet), mengatakan kepada para wartawan bahwa aliran musik Naff adalah Pop-Tulus, "kita bikin yang kita bisa, kita hanya bikin satu rasa musik saja daripada bikin macam-macam rasa," ujar Naff. Mereka juga mengatakan bahwa lagu-lagu cinta yang mereka ciptakan adalah kisah nyata.
Di hadapan kerumunan penonton, tepat di atas Simpati Stage, penyanyi seksi dan mungil bernama Shanty membawakan lagu-lagu hitnya dengan iringan penari latar dengan pakaian yang seksi sekali. setelah membawakan dua tembang hitnya, Shanty menyanyikan salah satu lagu ciptaan Iwan Fals, yaitu "Bento".Antusias penonton juga, apalagi mereka yang membawa spanduk OI (Orang Indonesia), nampak dalam sorotan spotlight. Keringat dan debu tak mereka pedulikan menempel di wajah dan baju-baju mereka. sahut "Sekali lagi....Asyik!" dan "Bento!" oleh penonton dan Shanty silih berganti bersahutan dalam alunan lagu tersebut. Kemudian Shanty membawakan tembang lawas yang berjudul "Tua-Tua Keladi". 'Dia bilang Shanty cantik....Mulut lelaki katanya selalu begitu.....Mengaku bujangan kepada setiap wanita ternyata cucunya segudang'.
Dearest (Canada) di Red Carpet mengungkapkan musik dan audiens di Bandung bagus sekali. Lagu mereka yang berjudul "Changes The World" senada dengan konsep Mild Live Soundrenaline 2007. Yakni perihal perubahan yang menginspirasi. Opini mereka terhadap Indonesia yang diisukan sebagai negara yang ada teroris dan ketidaknyamanan lainnya bagi wisatawan asing untuk datang ke Indonesia, disanggah oleh mereka. Mereka bilang, orang yang mengatakan Indonesia macam-macam itu tidak tahu keadaan Indonesia di dalamnya. Jujur mereka bilang baru pertama kali ke Indonesia, dan semua anggapan buruk tentang Indonesia tidak mereka temukan. Justru melalui event ini kita harus sama-sama berpikir dan bertindak secara positif untuk kenyamanan hidup bersama. Pokoknya, mereka bilang "We Love this country", cinta negeri Indonesia maksudnya.
Kembali ke Simpati Stage, Pass Band membawakan lagu pertama berjudul "Pantai Abis". Di atas panggung Yuki, vocalis Pass Band, menuai harapan dengan mengatakan, "Pengen Bandung lebih hijau. Macet juga hilang. Korupsi juga hilang." Yuki juga menyambut fans mereka yang datang dari Sukabumi, Cianjur, Cirebon, Brebes, dan Indramayu. Penonton dan Pass Band nyanyi sama-sama dalam lagu "Bosan". "Kita pun dengar semua alasan...kita bosan dengar banyak cerita." Pada lagu ketiga, Pass Band membawakan lagu untuk 'Bobotoh PERSIB', setelah menyambut VIKING PERSIB di tengah ratusan penonton. Yuki memanggil pemain PERSIB, yaitu Edi AP dan Dedi Kurnia. Penonton, Viking PERSIB, pun bersorak gembira ketika dua pemain PERSIB naik ke panggung dengan sebuah bola sepak. Lagu yang berjudul "Aing Pendukung PERSIB" dirilis Pass Band sebagai persembahan bagi PERSIB dan pendukung grup sepak bola Bandung itu. Selama lagu itu dibawakan, dua pemain PERSIB memainkan bola dengan kecakapan mereka. Dan pada lagu berikutnya, Pass Band menyertakan tiga orang musisis tradisional yang memainkan seruling bambu dan gitar akustik yang dipetik yang terdengar seperti petikan kecapi.
Selanjutnya, para penonton bergumul di depan dua panggung besar, yaitu A Mild Stage dan Simpati Stage dimana band/musisi besar Indonesia beraksi membasuh kerinduan penggemar mereka. Mereka adalah band Cokelat, solois Ari Lasso, Samsons dengan iringan A Mild Live String Ensamble, Nidji, Naif dan Dewa sebagai penutup Mild Live Soundrenaline 2007 di Lapangan Brigif II, Cimahi Jawa Barat.
Band Nidji tampil membawakan lagu-lagu hitnya disertai performance aktor-aktor dengan baju luar angkasa, memakai helm, dan tongkat lampu merah sembari membawa slogan-slogan cinta, kedamaian, kebebasan, harapan pada sebuah papan.
Ari Lasso masih membawakan lagu-lagu bertema cintanya, yang berjudul "Mengejar Matahari", "Seandainya", "Cinta Buta", "Penjaga Hati", "Cinta Terakhir", "Rahasia Cinta", "Misteri Ilahi", dan ditutup dengan lagu "Art Cinta".
Penonton sudah nampak lelah dan dahaga. Namun satu band penutup belum tampil, yaitu band Dewa. Penonton sudah terlihat lelah. wajah-wajah melongok ke panggung ketika Dewa naik panggung membawakan lagu pertama yang berjudul "Pangeran Cinta". Percikan api yang diletuskan dari tabung-tabung kecil di bibir panggung membangkitkan sisa tenaga para penonton. Suasana itu pun dimanfaatkan Dewa dengan lagu "I Want to Back Free", "Laskar Cinta".
Suasana kembali menanjak saat Mulan Kwok naik ke panggung menyanyikan "Cinta Kau dan Dia" dan lagu "Sedang Ingin Bercinta". Semangat penonton tumbuh kembali ketika aksi Mulan Kwok dengan pakaian seksinya, goyangannya, bersama Ahmad Dhani (Dewa) di mulut panggung. Usai lagu kedua, penonton berseru, 'Cium...cium...cium...!' kepada dua artis kondang di hadapan mereka.
Sadari seruan penonton yang menjurus, Mulan langsung mundur ke tengah panggung, 'Emang Tukul....salah acara!', sahut Mulan mesem-mesem. Lalu Dhani bilang, 'Penyanyi yang satu ini agak malu-malu.' Maka penonton pun menyerukan, 'Uuuuu...Uuuuuu...'.Tanpa jeda, Dewa membawakan lagu selanjutnya yang berjudul "Mati Aku Mati", dan ditutup dengan lagu "Arjuna Mencari Cinta".Penonton pun membubarkan diri sebelum lagu terakhir Dewa selesai dibawakan. (Argus Firmansah/Kontributor Bandung - Mingguan Jurnal Nasional)
Sebuah pertunjukan berdurasi 150 menit ini cukup melelahkan untuk diapresiasi. Apalagi dengan banyaknya jeda dengan perubahan setting peristiwa pentas. Tatang R. Macan menjadi sutradara pertunjukan Kidung Jakabandung yang digelar di GK Sunan Ambu, STSI Bandung, pada tanggal 24-25 Juli kemarin. Pertunjukan yang diambil dari legenda Danau Bandung ini memang syarat dengan kearifan lokal. Mitologi menjadi inspirasi kreatif dalam mencipta sebuah pertunjukan drama dengan nuansa tradisi yang cukup menggugah masyarakat Bandung menyoal legenda dan mitologi Danau Bandung.
Alkisah, Lahar Burangrang telah menyumbat Citarum di Sanghyang Tikoro (tempat mengalirnya sungai Citarum ke bawah gunung di bagian barat Danau Bandung - Batujajar). Akibat pertempuran Gangga (penguasa air) dan Argapati (penguasa gunung), daratan Parahyangan berubah menjadi telaga yang disebut Danau Bandung. Danau yang besar bagi keturunan Sang Gangga telah menjadi bencana. Turunan Sang Gangga memilih jalan bertapa, agar pertempuran Gangga dengan Argapati, sekaligus bencana, dapat diakhiri. Pertapaan mereka disetujui Sunan Ambu, sebab perkawinan Nyi Badra (turunan Gangga) dengan Raja Darmika (turunan Argapati) telah memberi jalan berakhirnya permusuhan. Restu Sunan Ambu ditandai dengan turunnya syarat, yaitu harus memiliki keturunan laki-laki dan diberi nama Jakabandung. Jakabandung-lah yang sanggup membuka sumbatan Sanghyang Tikoro.
Pertunjukan ini dikemas seperti repertoar drama kolosal dengan pola pengadegan wayang orang. Pertunjukan drama Kidung Jakabandung ini merupakan upaya kreatif Tatang R Macan sebagai sutradara dalam membuka peta ingatan masyarakat Bandung dalam hal sejarah nenek moyangnya. Di mana cukilan teks-teks sejarah - legenda ”Danau Bandung” - ditransformasikan ke dalam bentuk yang artistik di pentas, baik dari kostum pemain, gaya pembawaan perannya (akting), musik, penataan pentas, penataan lampu, serta multimedia. Bahasa visual cukup menarik diapresiasi, seolah membawa kesadaran penonton ke jaman dahulu kala. Akan tetapi bahasa masih menjadi kendala komunikasi, yaitu ujaran bahasa Sunda dari pemain yang tidak ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia.
Pertunjukan ini memang digarap secara agak kurang serius oleh sang sutradara, namun pertunjukan malam kedua gangguan komunikasi masih terjadi. Yaitu, penyajian gambar-gambar yang ditembak ke layar belakang panggung terlihat tidak relevan. Lanskap pabrik dan pekerja industri pada jaman modern dengan subjek orang asing jelas mengganggu imajinasi penonton pada adegan-adegan dengan konteks waktu jaman purba. Hal lain adalah kekakuan para pemain dalam membawakan perannya masing-masing. Maka pertunjukan pun jadi terkesan main-main, mirip pergelaran Srimulat, namun tetap saja tidak menimbulkan kelucuan yang mengundang tawa. Salah seorang penata yang terlibat dalam garapan tersebut mengatakan kepada saya pada malam kedua (25/7) usai pertunjukan, bahwa pertunjukan malam kedua, para pemainnya diberi kebebasan karena pertunjukan tersebut sudah diujikan (dalam Program Ujian Pascasarjana, ISI Yogyakarta - penulis).
Hal ini sangat disayangkan karena penonton tidak mau tahu tujuan dari pertunjukan tersebut, sementara mereka sudah membeli tiket dan beberapa diundang untuk mengapresiasi. Dengan demikian, penggarap pertunjukan terlihat tidak profesional dalam menyajikan tontonan kepada publik – penonton. Pertunjukan Kidung Jakabandung memang merupakan tafsir sutradara ke dalam bahasa pertunjukan. Hal inilah yang memberi ruang kreatif bebas bagi sutardara sebagai seniman setelah melakukan penghayatan terhadap naskah Sangkuriang karya Utuy Tatang Sontani dan naskah Jakabandung yang ditulis oleh M.A. Salmun. Tatang R Macan dalam pengantar pertunjukan menyatakan bahwa, keinginan untuk melakukan pembacaan ulang terhadap kosmologi, daya religi, mitologi dan entitas manusia merupakan sebuah bentuk pencarian secara ilmiah dalam menciptakan lakon. Hal ini menjadikannya sebuah eksperimen yang perlu diperhitungkan, bagaimana pemahaman terhadap legenda masyarakat diperoleh pelurusan tafsir dengan falsafah Sunda tentang pencarian jati diri Jakabandung.
Pengembaraan tokoh dalam mengkaji diri, dari ketidaktahuan menuju tahu, dari antagonistik menuju harmonisasi sosial-spiritual, dan dari amarah menuju pencerahan. Latar belakang inilah yang menjadi konsep pengembaraan Jakabandung (Harya Prabu) direpresentasikan ke dalam bentuk pertunjukan. Pengembaraan Jakabandung di pentas dibuat sangat manusiawi oleh sutradara. Dalam pertapaannya, Jakabandung mendapat godaan erotika, dimana wujud godaan itu dikemas dengan penghadiran perempuan-perempuan seksi yang syarat dengan gerak erotis (diperankan oleh Rina Bello, Linda Tasriani, Nendah Herawati, Mala T, Nurfitriani Fadzriah, Dewi Lestari). “Ini bukanlah erotis…ini adalah ritual,” ujar salah seorang penari yang berperan sebagai penggoda dalam adegan pertapaan Jakabandung. Adegan itu menjelaskan bahwa tradisi budaya Jawa Barat selalu terkait dengan gerakan erotis perempuan. Perempuan diposisikan sebagai seduction (rayuan) oleh sutradara.
Adegan ini juga menjadi semacam otokritik kepada masyarakat Bandung sekarang, bahwa perempuan sang pemilik erotisme selalu menjadi penggoda bagi laki-laki. Wacana gender dalam pertunjukan ini memposisikan perempuan sebagai seduction. Sisi manusiawinya, Jakabandung memang tergoda oleh seorang perempuan yang bernama Arcamanik (Lala M Dara). Perempuan dengan penyakit kulit yang menjijikan. Dan kecantikan dari Arcamanik dipulihkan oleh Jakabandung di atas perahu dengan memandikannya dengan air ramuan, sehingga bau busuk dari penyakit Arcamanik jadi lenyap. Pertentangan Rakyat Guriang (Latif Prayitna, Abdhiana, Asep Holidin, Wanggi, Afrizal, Rasyadin, Wail, Dian Remeh) terhadap tindakan Jakabandung yang tergoda oleh Arcamanik jelas muncul, akan tetapi tindakan itu direstui oleh Aki Rahiang Anjun (Rusman Nurdin).
Penampilan kota yang lazimnya menjadi pemandangan berupa gedung megah dan keras itu diolah secara alami dengan penggunaan ikon tumbuhan seperti, batang pohon atau daun. Sehingga kesan visual sebuah pemandangan kota dengan bangunan kuatnya dibuat gemulai dan eksotis. Dan kesan ini membuat karya-karya Antok terasa akrab sekaligus miris, karena mengingatkan kita pada sebuah kerinduan hijau daun dan pepohonan rindang yang jadi tempat berteduh masyarakat dari sengatan matahari atau air hujan.Judul karya “Bercocok Tanam” misalnya, sebuah goresan drawing dengan karakter kuat pada kertas oleh pensil dan ballpoint dari tangan Antok. Drawing tersebut memposisikan sosok manusia yang sedang menanam tanaman. Akan tetapi tunas-tunas pohon yang tampil pada drawing tersebut bukan pohon sebenarnya, karena terlihat ada jendela kaca pada tubuh pohon tunas itu. Ini jelas merupakan simbol pembangunan kota dengan bangunan-bangunan tinggi, tapi nampak gemulai dan fleksibel seolah dahan-dahan yang tengah ditiup angin.
Demikian halnya dengan karya Antok dengan teknik cukil kayunya. Karya “Pencakar Langit” misalnya, warna ungu yang dominan menawarkan sebuah kesendirian dan keluguan sebuah bangunan pencakar langit yang berbentuk batang pohon besar dengan dahan-dahannya yang merambah ke langit. Gambar “Pencakar Langit” pun nampak anggun jadinya. Tidak garang seperti wujud asli pencakar langit yang banyak ditemukan di kota besar seperti Jakarta.Satu lukisan yang sangat eksotis dan cantik dipandang. Yaitu lukisan Antok yang berujudul “Tetap Tumbuh”. Lukisan ini menyajikan gambar batang pohon dengan nuansa gradasi warna hijau lumut yang berbentuk geliat tubuh perempuan.
Heru Hikayat dalam pengantar pameran Antok (20/7) mengatakan, karya-karya Antok ini menunjukan sebuah kepedulian pada sebuah penampilan kota. Bentuk organik pada gambar-gambarnya memperlihatkan gemulainya alam. Teknik garapan karyanya dengan cukil kayu, drawing dan lukisan dilakukan secara konsisten, sehingga muncul karakter kuat Antok pada karya-karyanya. Dan karya-karya Antok itu memang sangat akrab, terutama bagi masyarakat kota Bandung. Sedangkan Tisna Sanjaya dalam orasi pembukaan pameran “Organisma Kota”, memaparkan teknik eksplorasi visual dari karya-karya Antok ini sebagai pengayaan kreativitas seorang kreator grafis. Dalam kurasinya, Heru mencatat, bentuk-bentuk organik yang diapresiasi dari karya-karya Antok awalnya mengingatkan tentang penampang kota organik seperti terlihat dari peta udara. Dan Antok tidak lagi sibuk dengan rinci naratif yang menghubungkannya dengan kenyataan actual. Hubungan yang dimaksud adalah dalam pola satire.
Kali ini Antok membangun suatu asosiasi: tindak pengkolonian manudia di alam dianggap serupa dengan pertumbuhan organik. Dengan kata lain, soal natur dan kultur yang biasa dibedakan secara diametral, pada karya-karya Antok didudukan simetris.Kedua hal ini diasosiasi dalam suatu asosiasi antara bangunan tempat manusia berkegiatan dengan tetumbuhan. Lalu di luar keduanya adalah alam: dataran, laut, langit, awan. Begitu asosiasi ditetapkan, ia bisa lincah menggarap keberbedaan masing-masing teknik. Heru melihat karya drawing sebagai induk eksplorasi teknik penggarapan visual di karyanya. Citraan yang dihasilkan pada karya-karya Antok menyerupai pisau bermata dua: di satu sisi ia membuat jarak dengan kenyataan, di sisi lain ia menandai kenyataan tertentu. Dan kekhasan masing-masing medium menjadikannya puitis. Inilah karya grafis dari tangan kreatif pemuda asal Klaten, Jawa Tengah. Antok seakan merindukan dunia organik yang terus tumbuh di dalam dunia metropolis. Sebuah kerinduan yang juga mengetuk apresiator soal alam yang terganggu di kota-kota besar karena pertumbuhan kebudayaan manusia dalam wujudnya yang megah, kasar, dan tidak gemulai.
Boleh jadi karya “Organisma Kota” merupakan peringatan atas kekayaan alam yang semestinya ada seiring pembangunan kebudayaan manusia di salah satu dataran yang disebut ‘kota’. Maka kesadaran terhadap lingkungan alam pun mengetuk imajinasi manusia kota yang mengapresiasi karya Antok itu. (Argus Firmansah/Kontributor Bandung Mingguan Jurnal Nasional/Komunitas Pantau)


Pertunjukan Merah Bolong digelar oleh Teater Payung Hitam pada tanggal 18-19 Juli 2007 di GK. Dewi Asri - STSI Bandung. Pertunjukan ini disutradarai oleh Rachman Sabur, dan akan dipentaskan juga di Australia pada tanggl 10 Agustus 2007 (Foto/Teks: Argus Firmansah)

Dan akhirnya dua pemuda itu mengaku perbuatannya, mengintip janda kaya. Aksi warga yang sedang siskamling ingin menghakimi dua pemuda itu terhalang oleh kedatangan seorang hansip. Dua pemuda itu diamankan hansip. Warga kecewa karena tidak bisa berbuat apa-apa terhadap dua pemuda seberang itu. Kemudian ditanya maksud dan tujuan mereka di rumah janda oleh hansip.“Kami mau mengintip janda, kang hansip,” sahut pemuda itu.“Lain ngajak urang ngintip janda mah,” kata hansip. Penonton dan warga siskamling tertawa sambil ngedumel, “ngeduluin ronda ngintip jandanya.”Tidak lama kemudian terdengar suara adzan shubuh. Warga siskamling pulang ke rumah masing-masing. Pemuda Palembang dan hansip pun lenyap. Lalu terdengar suara ayam berkokok dari salah satu pemain yang berperan sebagai warga yang sedang siskamling.
Alkisah, waktu di kampung itu sudah pagi hari. Sebuah keluarga petani diperankan oelh sepasang pemain dengan menggunakan bahasa Jawa. Adegan ini pun tak kalah lucunya bagi penonton, karena memang cara berujar pemainnya yang lucu.
Kreativitas imajinasi mereka menjelaskan keterangan waktu, pagi hari, divisualkan dengan adegan siaran radio dari berbagai jenis berita dan program radionya. Kantor berita Radio Palagan misalnya, menyiarkan berita ekonomi seputar harga kebutuhan sayur-sayuran dan kebutuhan pokok lainnya. Radio Palagan yang lain, masing-masing memberitakan informasi politik, informasi olahraga, juga radio anak muda dengan sajian program request lagu dengan sms (sort messege servise). Masuk lagi kemudian tukang perabotan dapur. Tukang perabot rumah tangga ini menawarkan sebuah coet dengan harga 45 ribu rupiah. Pemain yang berperan sebagai warga terkejut dengan harga itu, karena biasanya tidak lebih dari 5 ribu rupiah. Lalu dengan santai pedagang itu menjelaskan harga coet semahal itu, ”Ini bukan coet biasa, Bu. Coet ini harganya 45 ribu rupiah karena ada emasnya.” Penonton pun tertawa lagi.
Tukang sayur juga sama, menawarkan harga sayur dengan harga tinggi. Kondisi harga kebutuhan pokok yang mahal ini menjadi bahan gunjingan para ibu-ibu di kapung Palagan. Adegan dilanjutkan dengan munculnya seorang pemuda yang muncul di pentas dengan membaca sebuah puisi. Kemudian bertemu kawannya di jalan dan berkumpul di warung kopi.“Pesan kopi, kopinya jangan terlalu manis, karena yang bikinnya udah manis,” ujar pemuda kepada kawannya. Di warung itu mereka berbincang-bincang tentang banyak hal. Topik pembicaraan utamanya adalah Hari Ulang Tahun kampong Palagan yang ke-20. Lalu, soal pendidikan sekolah yang mahal. Warga kampung Palagan mengeluhkan biaya sekolah anak-anaknya yang mahal. Karena mahalnya ada anak yang sudah berumur dua puluh tahun belum sekolah. Kemudian dijelaskan perihal dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kepada warga yanga ada di warung itu. Namun tiap kali juru penerang menjelaskan soal pendidikan, warag yang ada di warung mengeluarkan suara rebut sehingga tidak terdengar penjelasan perihal pentingnya pendidikan bagi masyarakat.
Pertunjukan teater yang diperankan oleh anak-anak penyandang cacat dari Yayasan Wyataguna, Bandung, membuat penonton yang hadir di auditorium Center Culturel France (CCF) Bandung tertawa dan haru sekaligus malam itu. Menyaksikan permainan drama tanpa alur cerita yang dibawakan oleh mereka. Pertunjukan itu merupakan representasi kreativitas masyarakat tuna netra dalam sebuah kelompok yang diberi nama Teater Palagan.
Pertunjukan perdana itu disutradarai oleh Bobteguh. Pertunjukan ini menitikberatkan pada unsur bunyi sebagai media transformasi visual. Mereka menamakan pertunjukan itu sebagai “peristiwa suara…” yang dihasilkan dari proses latihan teater dan improvisasi masing-masing pemain. Bunyi adalah media komunikasi pemain-pemain Teater Palagan yang tergolong berkemampuan khusus itu. Bloking pemain pun statis, bermain di masing-masing area berakting sesuai dengan kelompok perannya. Meski demikian, permainan teater mereka dapat ditangkap dan diapresiasi dengan baik oleh penonton. Walaupun bahasa yang mereka gunakan dominan berbahasa Sunda.
Pertunjukan teater yang berlangsung selama 40 menit ini mementaskan kehidupan masyarakat desa yang khas dengan persoalan hidupnya seputar harga beras, biaya pendidikan yang mahal, rumor tentang janda baru, dan kehidupan petani lainnya. Sehingga, kesan yang ditimbulkan dari permainan akting mereka adalah keakraban dan sederhana. Pertunjukan yang diberi judul “Dunia dari Suara Kami” ini secara ekplisit adalah sebuah gambaran kehidupan manusia dari pandangan masyarakat dengan kemampuan khusus. Bahwa sebuah kehidupan manusia yang reka untuk kebutuhan seni pentas dapat diwujudkan melalui kreativitas masyarakat berkemampuan khusus ini.
Pentas teater ditutup dengan adegan pembacaan sajak dari seorang gadis yang isinya adalah doa bagi masyarakat akan peningkatan harkat dan maratabat kemanusiaan manusia Indonesia. (Argus Firmansah/Kontributor Bandung Jurnas Minggu).






