Wednesday, May 9, 2007

Bandung Kota Wisata Tubuh; Sebuah Pengantar

Kota Bandung hampir menjadi kota metropilitan layaknya Jakarta. Gaya hidup masyarakat pendatang, urban Bandung, turut membentuk budaya kosmopolitan. Berbagai komunitas bergaya metroseksual, seperti gay, lesbian, homo, bahkan mereka yang sengaja datang ke bandung dengan profesi pekerja seks komersil (PSK) kian bertambah. Kasus lokalisasi Saritem sebenarnya merupakan program Walikota Bandung, Dada Rosada, yang ingin membuat kota Bandung menjadi kota agamis. Dan Saritem hanya salah satu lokalisasi yang paling senior di antara tempat-tempat mangkal para PSK di kota Bandung. Lokalisasi yang terselubung atau tempat mangkal PSK secara liar melebihi jumlah PSK yang terorganisir di Saritem. Ini dapat dilihat pada pemandangan kota Bandung di malam hari. Meski Perda Kota Bandung tentang pelarangan lokalisasi pelacuran dikeluarkan, hanya tempat mangkal PSK liar saja yang ditertibkan. Sebelum Perda itu muncul, kawasan Jalan Braga merupakan salah satu dari sekian banyak tempat mangkal PSK di kota Bandung. Mereka adalah para penjaja tubuh komersil yang berasal dari pinggiran kota Bandung atau dari luar kota Bandung - daerah Pantura. Kini memang kawasan Braga sedang dibersihkan dari praktik pelacuran. Namun daerah lain masih tetap melakukan bisnis "daging hidup" itu. Hanya saja mereka lebih rapi dan tertib sehingga tidak terlalu mencolok. Bandung sebagai kota wisata tubuh hanya sisi lain dari aset pariwisata kota. Selain wisata belanja pakaian jadi dan kuliner. Wisata tubuh ini bukan fenomena baru di kota Bandung, karena kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Riau dan kota lain juga terdapat praktik sejenis. Wisata tubuh di Bandung tidak hanya ada di pemukinan penduduk seperti Saritem, kawasan tempat kost, kampus hingga di luar pagar sekolah juga cukup banyak. Akan tetapi, PSK di lingkungan ini tidak melakukannya secara masal dan diorganisir oleh satu broker, tetapi dilakukan oleh beragama komunitas. Artinya, ada yang melakukan praktik itu secara individu atau kelompok kecil yang dikelola oleh satu jaringan pemasaran. Ayam abu-abu (PSK berseragam Sekolah Lanjtan Tingkat Atas), misalnya, menjadi lahan yang berpotensi besar untuk mengakomodasi pasar para eksekutif atau mahasiswa di Bandung atau kota lain yang pelesiran ke Bandung. Sama halnya dengan PSK yang berumur di atas remaja, ayam abu-abu juga banyak yang melakukannya per individu, sendiri-sendiri. Menurut beberapa user, mereka yang tidak menginduk pada satu jaringan pemasaran ayam abu-abu mengambil tempat mangkal di Mall-Mall atau Caffe. Selain ayam abu-abu di pinggiran kota Bandung juga bermunculan ayam biru (PSK berseragam sekolah lanjutan tingkat pertama). Pada praktiknya, mereka memang tidak mengenakan seragam sekolah dalam menjalankan profesinya, terkecuali mereka yang berusaha dan memasarkan diri secara sendiri-sendiri. Oleh karenanya, ayam abu-abu atau ayam biru ini tidak nampak sebagai PSK karena dilihat dari postur tubuh mereka tidak nampak sebagai anak remaja atau "abg". Menurut survei penulis, dari semua yang berprofesi sebagai PSK terselubung ini memiliki alasan yang beragam mengapa mereka melakukan praktik seks komersil. Secara umum dikategorikan menjadi dua alasan ekonomi. Pertama, kebutuhan hidup dasar; untuk makan dan kebutuhan hidup dasar lainnya. Kedua, kebutuhan gaya hidup metropolis; misalnya untuk clubing atau belanja. Praktik terselubung lainnya, adalah mahasiswa dan mahasiswi. Beberapa kampus teridikasi melakukan praktik seks komersil atau seks untuk hiburan pribadi. Dan lagi-lagi, mereka yang secara umum tidak memiliki rumah tinggal sendiri atau kost. Latar belakang mereka yang satu ini adalah cenderung untuk ememnuhi kebutuhan gaya hidup ketimbang pemenuhan kebutuhan hidup dasar. Lalu, siapa yang mengakomodasi praktik semacam ini? Yang jelas adalah mereka sendiri yang disebabkan oleh rasa kekurangan atas biaya hidup di kota Bandung atau untuk membiayai sekolah saudaranya di kampung halaman. Kedua, praktik ini menjadi budaya dikarenakan ada user atau konsumen mereka. Oleh sebab itulah, siapa pun tidak bisa menyalahkan mereka yang berprofesi di sana atau pun mereka yang menggunakan mereka untuk kepuasan seks pribadinya. Yang harus dibenahi adalah kesadaran semua pihak untuk sama-sama memperbaiki keadaan ekonomi masyarakat. (Argus: Jakarta, 9 Mei 2007)

No comments: