Monday, May 28, 2007
Hiphop - Pockemon Crew dan Komunitas Breaker di Bandung
Sabtu malam (26/5) kota Bandung diserbu acara hiburan, kesenian, dan kebudayaan. Di titik-titik tongkrongan anak muda Bandung diisi oleh pentas hiburan; ada musik alternatif, klasik rock, pertunjukan tradisional, hingga pertunjukan paling mutakhir.
Publik di Bandung mendapatkan konsumsinya masing-masing. Jalan IR.H. Djuanda yang langganan macet tiap Sabtu malam sempat lengang sejenak saat pentas-pentas hiburan itu mulai berbunyi.
Tepat di posisi paling atas kota Bandung, digelar pertunjukan Hiphop dari negeri Perancis, Pockemon Crew, terselenggara atas kerjasama Pusat Kebudayaan Francis (CCF) Bandung dan Komunitas Hiphop Bandung.
Telak, breaker's Bandung berkumpul di Teater Tertutup - Taman Budaya Jawa Barat untuk menyaksikan salah satu idola brekaer's Bandung dari Perancis itu.
Ketepatan, kekuatan, dan estetika disajikan dengan apik oleh Pockemon Crew di atas pentas Teater Tertutup dan dihadapan breaker's Bandung.
Sajiannya...seru, akrab, semangat muda yang bebas dan indah karena Sabtu malam itu ada spirit cinta dan kebersamaan pada satu hobi yang sama...breakdanse! (Argus F.; Bandung, 26 Mei 2007)
"C Koi Ce Cirk?" Marionnettes dari Perancis
"C Koi Ce Cirk?"...Apakah Bintang Itu? demikian terjemahan judul pementasan teater boneka Marionnettes dari Perancis yang digelar pada malam 22 Mei 2007 di Auditorium Pusat Kebudayaan Francis (CCF) Bandung.
Pertunjukan yang dikemudikan oleh 4 seniman muda ini berhasil membawa kesadaran penonton pada hal-hal yang sederhana. Mereka adalah Harel Ludovic, Guillot Jereme, Le coz Eglantine, Beraudy Maud. "Tinggalkan kehidupan sehari-harimu...mari kita bermimpi dan berimajinasi walau hanya 50 menis saja," demikian konsep kelompok C Koi Ce Cirk dari Perancis ini.
Tak ada cerita utuh layaknya film atau sinetron Indonesia pada umumnya. Cerita atau laku karakter boneka yang dimainkan hanya berupa fragmen pendek, namun komunikatif dan membuat penonton sadar kembali atas hakekat kemanusiaannya.
Menonton teater boneka ini seolah menanggalkan kebakuan cara hidup manusia yang semakin jauh dari nilai kehidupan makhluk Tuhan yang sesungguhnya. Penonton, termasuk saya juga, hanyut dalam naturalisme di dalam imaji pertunjukan ini.
Teater boneka ini, menurut Harel Ludovic, merupakan karya yang terinspirasi oleh "teater hitam" dari Rusia. Atau kita bisa melihatnya seperti teater boneka Bunraku, Jepang. Boneka dihidupkan oleh seniman yang di atas pentas mengenakan pakaian gelap dan menyerap cahaya, sedangkan boneka karakter dikemas dengan bahan yang memantulkan cahaya sesuai warna dasarnya ketika disorot oleh lampu ultraviolet. Sangat sederhana.
Harel mengatakan bahwa kelompok mereka ini mulai merintis proses kreatifnya sejak tahun 2001, dari sebuah perkumpulan seniman teater boneka yang berbeda latar belakang pekerjaannya; ada yang sudah bekerja, mahasiswi, dan seniman. Harel mengatakan bahwa bentuk teater boneka seperti ini diamini sebagai media yang paling komunikatif dan dapat mengakomodasi ide-ide kreatif, serta mudah diterima oleh publik/penonton di manapun.
Komedi merupakan sarana hiburan yang paling tepat bagi masyarakat dunia masa kini, setelah kepenatan menghinggapi orang-orang di seluruh dunia. Ide cerita dikerjakan oleh semua personil dalam tim ini. Tak ada sutradara atau penulis cerita khusus, karena cerita diambil berdasarkan kesepakatan tim dan pengembangan ide dikerjakan bersama-sama. (Argus, CCF Bandung, 22 Mei 2007)
Photographies de Mode - Wilfrid Rouff
Pusat Kebudayaan Francis (CCF) Bandung bekerjasama dengan Galeri Soemardja Bandung membuka pameran Photographies de Mode karya Wilfrid Rouff pada malam 21 Mei 2007.
Yang menonjol pada pameran ini jelas karya fotografi desain pakaiannya ketimbang model yang mengenakannya. Rouff mengekspos moment di belakang layar, seolah-olah, lebih penting ketimbang memotret desain di atas lantai cat walk. Dimas, sang kurator, memandang karya Rouf penting disajikan ke publik untuk menginterpretasi kembali suatu art photography atau yang komersil.
Menariknya, Rouff membongkar aturan nilai komersialisme dari suatu fotografi fashion yang cenderung menyajikan secara utuh baik desain mode dan modelnya. Rouff berpendapat lain justru. Menurutnya, ada moment-moment penting dan lebih berdaya komunikatif di balik sajian foto mode pada umumnya. Unexpossed moment. Pengunjung pameran yang rata-rata kalangan terpelajar dan fotografer menemukan pencerahan berupa pertanyaan, "Manakah fotografi mode yang sesungguhnya?"
(Argus, Galeri Soemardja, Bandung 21 Mei 2007)
Monolog Hermana: 99 Tahun Kebangkitan Nasional di GIM
Hermana HMT, seniman Bandung, membacakan monolog di Peringatan 99 Tahun Kebangkitan Nasional di Gedung Indonesia Menggugat, 19 Mei 2007.
Teks yang dibaca merupakan perkawinan 5 teks pidato Soekarno. Spiritnya, marilah kita bangkitkan kesadaran rakyat Indonesia untuk merdeka sesungguhnya, untuk memajukan bangsa Indonesia.
(Gedung Indonesia Menggugat: Bandung, 19 Mei 2007)
Wednesday, May 16, 2007
Peluncuran Buku 95 Tahun Perjuangan SK Trimurti
Yayasan Bung Karno, Jurnal Perempuan dan Perpustakaan Nasional menggelar acara “Peluncuran Buku 95 Tahun SK Trimurti Pejuang Indonesia” di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta, siang kemarin (16/5).
Perhelatan buku sejarah yang memuat sosok Sulastri Karma Trimurti itu dihadiri oleh tokoh-tokoh penting Indonesia, antara lain Ketua Yayasan Bung Karno, Guruh Sukarno Putra, Herawati Diyah, Mariana Amiruddin, serta tokoh pejuang '45 serta wakil-wakil Menteri Kabinet Indonesia Bersatu.
Mariana, Jurnal Perempuan, mengatakan bahwa buku ini merupakan sarana masyarakat mengenal sosok pejuang bangsa Indonesia yang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah di sekolah-sekolah. Demikain halnya pernyataan Herawati Diyah, sahabat SK Trimurti, bahwa SK Trimurti adalah sosok pers perempuan pertama dan pejuang tiga jaman yang patut diketahui oleh seluruh masyarakat Indonesia. Menimbang perannya dalam masa hidupnya untuk bangsa dan negara ini. Sementara Asvi M. Adam, pakar sejarah, yang hadir dalam sesi bedah buku itu, mengungkapkan sosok idealisme dan nasionalisme SK Trimurti semasa hidupnya. Antara lain, menolak jabatan Menteri Sosial yang ditawarkan Presiden Soekarno kala itu.
Peluncuran buku 95 Tahun SK Trimurti Pejuang Indonesia ini memang tidak dapat dihadiri oleh SK Trimurti karena kondisi kesehatan ibu yang tidak memungkinkan. Demikian keterangan Heru Baskoro, putra SK Trimurti, yang hadir mewakili ibunya yang berhalangan hadir.
Buku ini menjadi penting untuk dibaca masyarakat Indonesia agar menjadi inspirasi perempuan-perempuan Indonesia masa kini. Selain sebagai buku biografi sejarah yang baru sekarang dapat diwujudkan dengan segala keterbatasan data. Buku itu disusun sebatas ingatan Heru dari cerita-cerita Ibu SK Trimurti yang pernah disampaikan, ungkap Heru Baskoro. Buku ini merupakan salah satu amanat Bung Karno, dengan meneruskan perjuangan dan pikiran-pikirannya. "Jangan sampai pejuang-pejuang bangsa ini luput dari catatan sejarah," jelas Guruh dalam konferensi pers di Jakarta. (Argus Firmansah; Jakarta, 16 Mei 2007)
Tuesday, May 15, 2007
Wednesday, May 9, 2007
Bandung Kota Wisata Tubuh; Sebuah Pengantar
Kota Bandung hampir menjadi kota metropilitan layaknya Jakarta. Gaya hidup masyarakat pendatang, urban Bandung, turut membentuk budaya kosmopolitan. Berbagai komunitas bergaya metroseksual, seperti gay, lesbian, homo, bahkan mereka yang sengaja datang ke bandung dengan profesi pekerja seks komersil (PSK) kian bertambah.
Kasus lokalisasi Saritem sebenarnya merupakan program Walikota Bandung, Dada Rosada, yang ingin membuat kota Bandung menjadi kota agamis. Dan Saritem hanya salah satu lokalisasi yang paling senior di antara tempat-tempat mangkal para PSK di kota Bandung.
Lokalisasi yang terselubung atau tempat mangkal PSK secara liar melebihi jumlah PSK yang terorganisir di Saritem. Ini dapat dilihat pada pemandangan kota Bandung di malam hari. Meski Perda Kota Bandung tentang pelarangan lokalisasi pelacuran dikeluarkan, hanya tempat mangkal PSK liar saja yang ditertibkan.
Sebelum Perda itu muncul, kawasan Jalan Braga merupakan salah satu dari sekian banyak tempat mangkal PSK di kota Bandung. Mereka adalah para penjaja tubuh komersil yang berasal dari pinggiran kota Bandung atau dari luar kota Bandung - daerah Pantura. Kini memang kawasan Braga sedang dibersihkan dari praktik pelacuran. Namun daerah lain masih tetap melakukan bisnis "daging hidup" itu. Hanya saja mereka lebih rapi dan tertib sehingga tidak terlalu mencolok.
Bandung sebagai kota wisata tubuh hanya sisi lain dari aset pariwisata kota. Selain wisata belanja pakaian jadi dan kuliner. Wisata tubuh ini bukan fenomena baru di kota Bandung, karena kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Riau dan kota lain juga terdapat praktik sejenis.
Wisata tubuh di Bandung tidak hanya ada di pemukinan penduduk seperti Saritem, kawasan tempat kost, kampus hingga di luar pagar sekolah juga cukup banyak. Akan tetapi, PSK di lingkungan ini tidak melakukannya secara masal dan diorganisir oleh satu broker, tetapi dilakukan oleh beragama komunitas.
Artinya, ada yang melakukan praktik itu secara individu atau kelompok kecil yang dikelola oleh satu jaringan pemasaran.
Ayam abu-abu (PSK berseragam Sekolah Lanjtan Tingkat Atas), misalnya, menjadi lahan yang berpotensi besar untuk mengakomodasi pasar para eksekutif atau mahasiswa di Bandung atau kota lain yang pelesiran ke Bandung. Sama halnya dengan PSK yang berumur di atas remaja, ayam abu-abu juga banyak yang melakukannya per individu, sendiri-sendiri. Menurut beberapa user, mereka yang tidak menginduk pada satu jaringan pemasaran ayam abu-abu mengambil tempat mangkal di Mall-Mall atau Caffe. Selain ayam abu-abu di pinggiran kota Bandung juga bermunculan ayam biru (PSK berseragam sekolah lanjutan tingkat pertama).
Pada praktiknya, mereka memang tidak mengenakan seragam sekolah dalam menjalankan profesinya, terkecuali mereka yang berusaha dan memasarkan diri secara sendiri-sendiri. Oleh karenanya, ayam abu-abu atau ayam biru ini tidak nampak sebagai PSK karena dilihat dari postur tubuh mereka tidak nampak sebagai anak remaja atau "abg".
Menurut survei penulis, dari semua yang berprofesi sebagai PSK terselubung ini memiliki alasan yang beragam mengapa mereka melakukan praktik seks komersil. Secara umum dikategorikan menjadi dua alasan ekonomi. Pertama, kebutuhan hidup dasar; untuk makan dan kebutuhan hidup dasar lainnya. Kedua, kebutuhan gaya hidup metropolis; misalnya untuk clubing atau belanja.
Praktik terselubung lainnya, adalah mahasiswa dan mahasiswi. Beberapa kampus teridikasi melakukan praktik seks komersil atau seks untuk hiburan pribadi. Dan lagi-lagi, mereka yang secara umum tidak memiliki rumah tinggal sendiri atau kost. Latar belakang mereka yang satu ini adalah cenderung untuk ememnuhi kebutuhan gaya hidup ketimbang pemenuhan kebutuhan hidup dasar.
Lalu, siapa yang mengakomodasi praktik semacam ini? Yang jelas adalah mereka sendiri yang disebabkan oleh rasa kekurangan atas biaya hidup di kota Bandung atau untuk membiayai sekolah saudaranya di kampung halaman. Kedua, praktik ini menjadi budaya dikarenakan ada user atau konsumen mereka.
Oleh sebab itulah, siapa pun tidak bisa menyalahkan mereka yang berprofesi di sana atau pun mereka yang menggunakan mereka untuk kepuasan seks pribadinya. Yang harus dibenahi adalah kesadaran semua pihak untuk sama-sama memperbaiki keadaan ekonomi masyarakat. (Argus: Jakarta, 9 Mei 2007)
Monday, May 7, 2007
Jaya Suprana dan Kwartet Punakawan di CCF Bandung
Musik “Kelangenan” ala Jaya Suprana dan Kwartet Punakawan
Akhir pekan di kota Bandung diserbu wistawan domenstik dan mancanegara. Jalan-jalan di kota Bandung pun macet sejak sore hari. Penginapan kelas bintang hingga penginapan murah full house. Hebat kan…hehehehe…
Beragam acara berlangsung Sabtu malam kemaren di berbagai tempat strategis. Kedai-kedai di pinggir jalan Dago juga resto dan café atau restoran bernuansa “dapur” dipenuhi pengunjung anak-anak muda. Turis domestik punya banyak pilihan untuk melewatkan malam panjang, mau nongkrong bareng komunitasnya atau mengapresiasi pertunjukan musik di kampus Unpas Jalan Lengkong Besar, atau di depan Monumen Perjuangan Jawa Barat di Jalan Dipati Ukur, atau sajian musik Jaya Suprana dan Kwartet Punakawan di auditorium CCF Bandung, Jalan Purnawarman 42.
Lalu saya memilih pertunjukan musik “kelangenan” ala Jaya Suprana dan Kwartet Punakawan.
Jurnalis dan penggemar musik Jaya Suprana sudah berkumpul di auditorium CCF Bandung sekira pukul 19.30 waktu Bandung (5/5). Akan tetapi sang idola musik dari Museum Muri Indonesia belum juga datang di tempat. Jubing Kristianto sang gitaris yang berperan sebagai Petruk, Bassis Heru Kusnadi sebagai Bagong, perkusionis Junaedi Musliman sudah gelisah menunggu kehadiran Semarnya, Jaya Suprana. Panitia pun mulai cemas dengan telpon genggam di genggamannya, “Sudah sampai di mana Pak?”
Kemudian, setelah keterlambatan waktu akhirnya Semar pun datang dan langsung naik ke panggung lalu berorasi dengan teks perkenalan Kwartet Punakawan. Masing-masing tokoh memperkenalkan tone sesuai dengan alat musik yang dicintainya.
Musik-musik sinkretis –tone campuran tardisional dan modern- disajikan dengan apik dan intens oleh para punakwan. Di setiap instrumen yang disajikan Jawa Suprana sebagai Semar –pimpinan orkes instrumen- memberi keterangan historis perihal instrumen yang akan disajikan kepada apresiator. Tembang-tembang khas daerah di seluruh Nusantara digarap secara elaboratif oleh Kwartet Punakawan dan Jaya Suprana. Penggarapan instrument itu dikemas secara apik dengan tone-tone yang akrab dan bumbu kelangenan –menimbulkan kesan kocak.
Suasana santai dan lucu coba ditawarkan oleh orkes instrument yang dipimpin Jaya Suprana ini. Kelakar Jaya Suprana muncul dalam performa dentingan piano, yakni melalui interupsi gerakan tubuh atau interlude piano yang dipetiknya. Dalam sesi obrolan santai di atas panggung, Jaya Suprana memaparkan konsep musik yang diusung olehnya bersama Kwartet Punakawan malam itu. Apresian pun tertawa ketika Jaya Suprana menerangkan asal muasal instrumen yang akan disajikannya.
Jaya Suprana dan Kwartet Punakawan menawarkan sebuah hiburan melalui musik. Keberagaman tone yang berasal dari daerah-daerah di Indonesia menjadi inspirasi dan gagasan kreatif dalam membuat kemasan musik hiburan kelangenan itu. “Kami berkomunikasi dengan musik,” ujar Jaya Suprana usai pergelaran musik instrumennya. (Bandung, 7 Mei 2007; Argus Firmansah)
Thursday, May 3, 2007
Hardiknas dan Kegagalan Ujian Nasional di Bandung
Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 2 Mei merupakan simbol kebangkitan semangat bangsa Indonesia di bidang pendidikan, kemudian dinamai Hari Pendidikan Nasional oleh pemerintah. Infrastruktur pun dibangun untuk menunjang program buta huruf dan buat tulis. Tiada lain menuju kecerdasan bangsa, yaitu mencerdaskan rakyat Indonesia seluruhnya. Akan tetapi, pasca orde Reformasi pendidikan masih menjadi persoalan, dintaranya infrastruktur yang kurang memadai di daerah-daerah, kualitas dan kuantitas tenaga pengajar-guru, juga biaya pendidikan yang dinilai masih tidak terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat yang paling miskin.
Sejumlah langkah untuk memajukan penddikan nasional dilakukan pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional, antara lain program wajib belajar 9 tahun bagi anak-anak Indonesia. Program wajib belajar inipun tidak berjalan sesuai target disebabkan oleh persoalan-persoalan mendasar yang tadi disebutkan. Kemudian, muncul ketidakadilan atau ketimpangan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Mulai dari kesejahteraan tenaga pengajar yang tidak seimbang di daerah-daerah hingga kualitas kurikulum serta sistem ajar yang cenderung mendidik tiap generasi menjadi pekerja.
Momen Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2007 di Bandung bagi masyarakat pendidikan adalah sebuah renungan bagaimana pendidikan di Indonesia ke depan. Sejumlah kelompok mahasiswa, guru, juga pelajar sekolah menengah turut menyampaikan aspirasinya melalui sebuah aksi damai. Ini merupakan cerminan bahwa masyarakat kian kritis terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air. Di mana perwakilan kaum terpelajar ini bergabung dalam sebuah aksi massa membawa visi yang sama, yaitu menggugat pendidikan nasional.
Massa yang menamkan dirinya Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) berduyun-duyun memadati Jalan Dipenogoro menuju Gedung Sate, Rabu (2/5). Mereka berkumpul dengan memperlihatkan poster-poster perlawanan terhadap “pendidikan anti-kapitalisme” di depan Kantor Gubernur Provinsi Jawa Barat. Mahasiswa Islam dalam kelompok ini menyerukan perubahan atas sistem pendidikan nasional Indonesia yang ditujukan kepada pemerintah SBY-Kalla. “Selamatkan Pendidikan Tinggi Indonesia dari Kapitalisme dan Liberalisme” menjadi judul aksi damai dalam merayakan Hardiknas pagi itu. Perwakilan mahasiswa Islam dari berbagai daerah di Indonesia satu per satu menyuarakan aspirasinya di depan massa mereka, di depan Kantor pusat pemerintahan Jawa Barat. Mereka menolak sistem kapitalisme pendidikan yang diprogramkan pemerintah SBY-Kalla. Di dalam orasinya, Darminto Kornas BKLDK, menyatakan “Menolak dengan tegas adanya rencana pemerintah melegalkan RUU BHP, karena hal ini merupakan salah satu bentuk legalisasi ‘penjajahan’dari pihak asing dalam dunia pendidikan, serta sebagai bentuk intervensi asing terhadap pelaksanaan pendidikan di Indonesia,…..menuntut kepada pemerintah agar segera merealisasikan jumlah anggaran pendidikan sebesar minimal 20% dari APBN yang selama ini belum dilaksanakan…”
Aksi damai itu juga dibubuhi sebuah dramatisasi pendidikan Indonesia yang tidak berkeadilan oleh para mahasiswa dengan teks-teks penanda intervensi asing melalui modalnya terhadap pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
Aksi damai ini kemudian diikuti oleh kelompok HMI dengan menyanyikan yel-yel “Walaupun hidup seribu tahun kalau tak sekolah apa gunanya…” dan “Mana di mana sarangnya koruptor..sarangnya koruptor ada di Gedung Sate!” Setelah orasi menuntut pemerintah untuk perbaikan pendidikan Indonesia dengan sekolah gratis dan murah, sebuah ban mobil bekas dibakar salah seorang dari mereka seraya menyerukan ‘Allahu akbar…Allahu akbar…’ Gerakan solidaritas damai dari HMI mengeluarkan pernyataan berupa tuntuta, yaitu Pendidikan gratis dari SD-SMU, pemerintah segera membenahi sekolah-sekolah yang rusak, menuntut pemerintah dalam peningkatan kualitas pendidikan formal, perjelas kurikulum pendidikan, menuntut kesejahteraan guru, menolak komersialisi pendidikan, dll.
Namun di tengah riuh yel-yel yang diteriakkan oleh mahasiswa dalam HMI ini seorang anggota Polri menyahut, “Allah ngga baker-bakaran uey!” dari balik pagar besi di samping pintu gerbang masuk ke kantor Gubernur pagi itu.
Massa aksi bertambah setelah sekelompok massa aksi dari BKLDK long march meninggalkan tempat aksi, yaitu sekelompok mahasiswa dari Universitas Pasundan. Skenario aksi mereka hamper sama, menyanyikan yel-yel, orasi, beberapa perwakilan masuk ke gedung DPRD Jabar setelah difasilitasi oleh aparat keamanan – dari Polwiltabes dan Polda Jabar.
Aksi massa yang dilakukan oleh BKLDK, HMI, Pergerakan mahasiswa Islam Indonesia, Front Perjuangan Rakyat, sama-sama menuntut pemerintah untuk segera menuntaskan perbaiakn infrastruktur untuk pendidikan yang lebih berkualitas ditunjang dengan regulasi pemerintah terhadap dunia pendidikan yang memihak kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Sekolah murah dan atau sekolah gratis serta menolak komersialisasi pendidikan yang akhirnya menjadikan sekolah mahal menjadi aspirasi massa aksi pagi itu.
Pada tengah harinya Kolisi Guru ‘Bersatu’ Jawa Barat juga mendatangi Gedung Sate dengan jumlah massa yang lebih minim. Iwan Darmawan, anggota Koalisi guru ‘Bersatu’ Jawa barat dalam wawancara di depan Gedung Sate, menyatakan tuntutan kepada pemerintah SBY-Kalla, yaitu segera sahkan Rancangan PP Guru yang menghambat sertifikasi guru sehingga tunjangan profesi yang dijanjikan pemerintah dapat terealisai, hentikan pemaksaan kebijakan pemerintah untuk melaksanakan Ujian Nasional yang menentukan kelulusan siswa sehingga hak-hak guru untuk menentukan nasib para siswanya dapat dilaksanakan – ini disebabkan oleh keresahan masayarakat dan pemborosan dana baik dari pemerintah maupun dari masyarakat. Dalam orasinya, Iwan Darmawan menyatakan, Pemerintah tidak adil dengan keinginannya membuat standar tinggi kualitas pendidikan di sekolah. Bagaimana bisa memperoleh hasil yang sama bila infrastruktur di tiap-tiap sekolah tidak sama.
Kolasi Guru ‘Bersatu’ Jawa Barat ini menuntut agar Ujian Nasional tidak dijadikan penentu kelulusan siswa. Iwan juga mengatakan adanya tekanan dan intimidasi dari pemerintah kepada guru-guru yang berani mengungkap pelanggaran Pelaksanaan Ujian Nasional kepada kepada media massa, untuk itu Koalisi Guru ’Bersatu’ mengharapkan DPRD Jawa Barat melakukan perlindungan kepada mereka sesuai dengan UU Guru dan Dosen.
Tuntutan terakhir yang dinyatakan Iwan Darmawan sebelumnya pernah diungkapkan sebelum aksi massa menyambut Hardiknas, Rabu kemarin di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. Sehubungan dengan kebocoran jawaban soal-soal mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional kemarin, Iwan Darmawan sempat ditegur oleh Kepala Sekolah juga pejabat Diknas Kota Bandung seputar informasi kebocoran jawaban yang melibatkan Dinas Pndidikan setempat. Penulis mendapat keterangan dari guru yang vocal di Bandung ini beberapa hari sebelum aksi massa, bahwa dirinya sempat dipanggil ke kantor Dirjen Pendidikan Nasional, Jakarta, untuk mengklarifikasi pernyataannya sehubungan dengan kasus kebocoran jawaban soal UN di Bandung, hingga seorang Iwan harus meminta perlindungan kepada Komnas HAM pusat, Jakarta, terkait dengan intimidasi dari pihak-pihak yang berwenang dalam penyelenggaraan Ujian Nasional.
Kasus kebocoran jawaban soal semua mata pelajaran UN di kalangan siswa sekolah menengat umum peserta UN di kota Bandung ini ditanggapi oleh siswa-siswa dengan heran. Anjar, salah satu siswa SMU 9 Bandung, mengatakan keheranannya, “Mengapa bisa bocor?” Dan dari keterangan siswa-siswa sekolah menengah umum ini penulis memperoleh informasi bahwa bocoran jawaban soal UN ini diterima oleh peserta UN di sekolah-sekolah favorit yang ada di kota Bandung.
Melalui apa jawaban soal itu diberikan? Siswa-siswa yang diminta keterangannya mengenai hal ini mengaku bahwa jawaban soal UN ini diterima melalui sms (sort message service) dari sekolah lain. Semua mata pelajaran yang diujikan dalam UN ada jawabannya yang disebarkan melalui sms ini, terkecuali jawaban soal Bahasa Indonesia tidak seluruhnya benar. Menurut siswa yang enggan disebutkan namanya ini, mengaku bahwa jawaban soal ini ada yang diperolehnya dari lembaga kursus Villa Merah, Bandung.
Kasus ini memang sempat merebak di daerah-daerah di luar Jawa. Namun anehnya media tidak melakukan investigasi menyeluruh dan diberitakan kepada seluruh masyarakat. Sekolah-sekolah di Bandung merupakan salah satu contohnya saja. Iwan Darmawan juga sempat dimintai pendapat oleh aparat kepolisian Jawa Barat – Polda – untuk menangkap siswa yang terbukti mendapat bocoran jawaban soal UN kemarin. Akan tetapi Iwan menyarankan agar kasus ini diselidiki secara tuntas, sampai menemukan bukti sumber kebocoran jawaban soal UN itu.
Sebuah “Surat Kaleng” yang isinya peringatan tentang kasus bocoran jawaban soal UN diterima oleh Gedung Indionesia menggugat pada tanggal 16 April 2007, sehari sebelum pelaksanaan UN di kota Bandung, Jawa Barat. Namun surat itu tidak ditindaklanjuti. Sehingga dapat dikatakan bahwa kasus kebocoran jawaban UN ini memang sudah diketahui oleh beberapa pihak yang tidak mau menyebutkan identitas dirinya.
Siswa-siswi menengah umum, SMU 12 dan SMU 9 Bandung, turut turun ke jalan dalam aksi massa menyambut Hardiknas 2 Mei 2007 di Gedung Sate, Bandung, kemarin. Di sana siswa menyatakan keprihatinannya dengan kasus UN yang ditutup-tutupi oleh pemerintah, pasalnya mereka merasa rugi bila kelulusan ditetukan oleh UN. Seorang guru Matematika yang mendampingi siswa-siswi SMU 12 mengatakan bahwa aksi mereka turun ke jalan adalah atas kesadaran mereka sendiri, yang memprihatinkan pendidikan di Indonesia; terlebih pendidikan yang mereka jalani di sekolah.
“UN (Ujian Nasional –pen.) hanya proyek belaka. Pendidikan sekarang tidak adil. Pendidikan sekarang harus murah, kasihan mereka yang tidak punya biaya sehingga tidak bisa sekolah. Hapuskan saja UN, masa kelulusan ditentukan oleh ujian yang hanya tiga hari. Bagaimana bangsa mau maji bila pendidikan masih mahal,” ujar Irman Eka Septiarusli, siswa SMU 12 Bandung. dalam kesempatan yang bersamaan penulis mewawancara seorang siswa lain, adalah Dea Yunita, siswi kelas 10 SMU 12 Bandung. Sehubungan dengan kebocoran jawaban UN di Hari Pendidikan Nasional, Dea mengatakan, “Harusnya dinas lebih teliti dan ketat dalam menjaga soal UN. Dan saya sangat menolak UN, karena tidak adil kelulusan ditentukan oleh ujian teori yang tiga hari itu (Ujian Nasional –pen.), nilai-nilai praktik di sekolah tidak dilihat.
Sekira pukul 13.00 waktu setempat, perwakilan dari DPRD Jawa Barat menemui massa aksi di tengah hujan deras di Bandung. Seruan mahasiswa dan siswa yang hadir di sana mengkritik pernyataan Andi Nur Arief, anggota Komisi E DPRD Jabar, yang menyatakan bahwa anggaran pendidikan di Jawa Barat sedang diperjuangkan hingga mencapai 17% dari APBD Jabar. “Saya sepakat dan punya kawan untuk memperjuangkan perbaikan dan peningkatan anggaran pendidikan kepada pemerintah pusat,” demikian pernyataannya di tengah massa aksi di depan Gedung Sate, Bandung.
Massa aksi akhirnya membubarkan diri setelah membuat kesepakatan untuk memperjuangkan perbaikan pendidikan nasional, khusunya pendidikan di Jawa Barat. Kemudian, massa aksi melanjutkan jalan santai ke jalan-jalan lain sambil menyerukan yel-yel yang mengkritik pemerintah SBY-Kalla.Aksi massa dan pernyataan dari wakil rakyat semacam itu memnag bukan kali pertama didengar massa aksi acap kali berdemonstrasi. Bagaimana realisasi perbaikan pendidikan Nasional ke dapan? Rakyat hanya bisa menunggu realisasi dari janji-janji yang dikumandangkan oleh wakil-wakil rakyat Indonesia. (Argus Firmansah, 2 Mei 2007 - Bandung; Foto aksi massa Hardiknas di Gedung Sate Bandung, lihat Esai Foto Hardiknas di blog ini, posted May 2, 2007)
Wednesday, May 2, 2007
Esai Foto Hardiknas: Siswa, Guru, dan Mahasiswa Menggugat Pendidikan Nasional Indonesia
Siswa, mahasiswa, juga para guru turun ke jalan
berteriak, protes tentang ketidakadilan, intimidasi birokrasi,
serta pembodohan kaum terpelajar oleh sistem kapitalisme
yang sinyalnya tercium aktivis pendidikan di Indonesia.
Siswa, mahasiswa, juga para guru turun ke jalan
bersedih, kecewa dengan ketidakadilan, dan kenyataan
atas pembodohan nasional kaum terpelajar saat ini oleh
oknum-oknum departemen pendidikan yang oportunis.
Aksi damai...aksi damai....terus meringgis
(Argus F, Bandung 2 Mei 2007)
Subscribe to:
Posts (Atom)