Monday, December 31, 2007
Sebuah Tender bernama "Braga Festival 2007"
Monday, December 10, 2007
7 Desember Hari Pers Indonesia
Kebangsaan adalah sebuah proses panjang dan melelahkan ihwal perumusan apa yang disebut identitas untuk pemuliaan manusia. Karena itu kebangsaan kerap disandingkan dengan perjuangan mencipta kondisi tumbuhnya situasi kemanusiaan yang di kemudian hari memadat menjadi semangat baru bernegara, yakni nasionalisme.
Perjuangan itu mengambil banyak bentuk dan varian dalam skema perjuangan. Sebelum abad 20, skema perjuangan dominan dilakukan lewat cara-cara peperangan dan adu pasukan di medan laga. Namun dalam dasawarsa pertama abad 20, pola perjuangan memasuki titik perubahan yang cukup signifikan. Titik perubahan itu dipicu oleh sebuah kesadaran baru tentang jalan cetak atau jalan pers. Sekaligus jalan pers ini menjadi semacam pembeda dengan jalan nasionalisme yang ditempuh India yang bertumpu pada hirarki kasta atau nasionalisme Rusia yang memperjuangkan perbenturan kelas dan melahirkan komunisme atau Inggris yang lahir dari gilda dan pasar para borjuis.
Tesis bahwa bangunan kebangsaan kita dididirkan dari tradisi pers bisa dilihat dari fakta sejarah bahwa nyaris seluruh tokoh kunci pergerakan kebangsaan dan nasionalisme adalah tokoh pers. Dan posisi mereka dalam struktur pers umumnya pemimpin redaksi (hoofdredakteur) atau paling rendah adalah redaktur. HOS Tjokroaminoto yang kita kenal sebagai salah satu “guru pergerakan” adalah pemimpin redaksi Oetoesan Hindia dan Sinar Djawa. “Tiga Serangkai” Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo menukangi De Express. Semaoen diusianya 18 tahun sudah memimpin Sinar Djawa yang kemudian berubah menjadi Sinar Hindia. Maridjan Kartosoewirjo menjadi reporter dan redaktur iklan di Fadjar Asia. Sebelum berkonsentrasi mengurus dasar pendidikan, Ki Hadjar Dewantara adalah pemimpin redaksi Persatoean Hindia dan bahu-membahu bersuara dalam majalah Pemimpin. Adapun Soekarno menjadi pemimpin redaksi Persatoean Indonesia dan Fikiran Ra’jat. Setelah pulang dari Belanda dan menjadi pemimpin redaksi majalah Indonesia Merdeka dalam Perhimpunan Indonesia (PI), Mohammad Hatta dan dibantu Sjahrir menakhodai Daulat Ra’jat. Bahkan Amir Sjarifuddin dalam Partindo menjadi pemimpin redaksi Banteng, serta masih banyak lagi.
Walau tingkat pendidikan mayoritas rakyat masih rendah, para tokoh pergerakan itu sadar bahwa lembar pers bisa dijadikan medium mengampanyekan ide-ide nasionalisme selain mimbar-mimbar pertemuan. Dengan pers pula pesan dan gagasan memiliki tingkat aksesibilitas dengan cakupan luas, terutama di kancah internasional. Selain itu, dan ini menjadi ciri dari masa percobaan ini, bahasa Indonesia memungkinkan dibentuk dan diberi rumah baru.
Yang menjadi soal kemudian kapan permulaan pertama yang dengan kesadaran penuh menjadikan pers sebagai alat pergerakan dan menjadi kuda tunggangan pembibitan semangat membuat rumah bagi bahasa dan usaha menyatukan kolektivitas tanah dan air dalam semesta kesadaran berbangsa. Peritesis itu kemudian mempertemukan kita dengan sepotong nama Tirto Adhi Soerjo dan Medan Prijaji yang terbit pertama kali di Bandung pada 1907. Tahun 2007 adalah tepat seabad suratkabar mingguan dengan motto di kepala korannya: ja’ni swara bagai sekalian Radja2 Bangsawan Asali dan fikiran dan saudagar2 Anaknegri, lid2 Gomeente dan Gewestelijke Raden dan saudagar bangsa jang terprentah lainnja.”
Menjadikan Medan Prijaji sebagai patok Seabad Pers Kebangsaan dialasdasari pertimbangan sebagai berikut: Pertama, bahwa Medan Prijaji berfungsi sebagai pers, baik tugasnya sebagai jurnalistik yang memberi kabar sekaligus mengadvokasi publiknya sendiri dari kesewenang-wenangan kekuasaan maupun kemauan untuk membangun perusahaan pers yang mandiri dan otonom. Terkait dengan tugasnya yang pertama ini, Tirto mesti berhadapan muka dengan kekuasaan kolonial yang bengis. Sekaligus Medan Prijaji dengan keberbedaannya itu berkesempatan gentayangan dan berkaok-kaok di daratan Eropa. Karena dianggap sebagai jurnalis paling berbahaya dan menunggang kuda petarung yang tak suka basa-basi seperti Medan Prijaji, Tirto kemudian menjadi incaran.
Kedua, visi Medan Prijaji yang tereksplisitkan dalam jargonnya yang beridentitaskan kebangsaan itu memberi implikasi pada keindonesiaan hari ini setelah Medan Prijaji tak ada. Kebangsaan yang dimaksudkan di sini adalah kebangsaan yang diikat oleh dialektika antara kolektivitas tanah air dan bahasa. Dari hubungan dialektika inilah muncul bangsa. Ketiga, konsepsi kebangsaan itu dibangun dengan cara sistematis. Selain jalan pers dengan mendirikan perusahaan yang menopang jalannya pers, Tirto juga turut memulai pergerakan lewat jalan berorganisasi. Titik tuju dua tradisi yang disatukan itu adalah penyemaian kesadaran berbangsa. Dari tangan Tirto lah muncul embrio organisasi yang bercorak seperti Boedi Oetomo, yakni ketika pada 1906 atau dua tahun sebelum Boedi Oetomo, ia mendirikan Sarekat Prijaji. Dan Tirto pulalah rancangan pertama Sarekat Islam yang melahirkan banyak sekali tokoh pergerakan, baik kiri, tengah, maupun kanan, saat dia mengonsep Sarekat Dagang Islamijah di Bogor dan kemudian dikembangkan Samanhudi di Surakarta. Tirtolah yang menyatukan tradisi pergerakan dan tradisi pers untuk satu tujuan, yakni kesadaran berbangsa.
Keempat, karena dilakukan secara sistematis itulah maka posisi dan tindakan Tirto bukan sekadar sebagai historical piece atau irisan sejarah yang biasa, tapi membuat momentum sejarah di mana sejarah menjadi patok untuk aksi sejarah ketika semua peristiwa berkumpul pada saat itu dan orang menilai peristiwa itu sebelum dan sesudah peristiwa itu berlangsung. Medan Prijaji memberi dampak besar dan menginspirasikan gerak selanjutnya. Bahwa sudah ada yang terbit duluan, itu tidak jadi soal. Namun kita berbicara dampak bagi pembentukan mandat kebangsaan. Pada saat Medan Prijaji itulah momentum sejarah dipetakan dan perang terbuka di media massa diserukan. Bertitik tolak dari situ pulalah gerakan-gerakan kebangsaan itu mulai mengkristal, membangun gerakan kebudayaan dengan kantong-kantong organisasi modern, memaksimalkan pers sebagai alat perjuangan.
Dan kelima, Pramoedya Ananta Toer adalah orang yang dengan jernih melihat kehidupan semasa Tirto dan Medan Prijaji. Dari usaha Pram itulah pribadi ini diketahui dunia internasional dan ribuan lapisan masyarakat kita hari ini. Karena itu mengajukan namanya karena pribadi ini yang paling mudah diterima masyarakat.
Kelima alasan itulah kemudian kami bersikukuh bahwa patok pers kebangsaan adalah Medan Prijaji dan Tirto Adhi Surjo menjadi pemancang patok itu. Dengan memancangkan patok ini paling tidak kita menarik dua hal: (1) memiliki protagonis atau tokoh idola yang diteladani baik di dunia pers maupun dalam pergerakan; (2) kita bisa menafsirkan sejarah Indonesia dalam perspektif yang baru. Dengan mengambil Tirto Adhi Soerjo sebagai model, maka polemik bahwa Indonesia dibangun oleh kalangan Jawa atau kalangan Islam itu bisa diselesaikan. Dan itu menjadi sumbangan berarti bagi pembelahan bangsa yang panjang ini, sebagaimana kita saksikan di sidang-sidang konstituante bagaimana pembelahan negera Islam dan negara nasionalis terjadi. Kalis melihat soal itu, kita pun terdorong ke sistem Demokrasi Terpimpin yang berakhir tragis pada peristiwa G 30 S.
Orang selalu mengatakan bahwa gerakan yang pertama kali berlingkup nasional itu adalah Sarekat Islam. Yang lain mengatakan bahwa yang pertama adalah Boedi Oetomo yang berarti Jawa. Orang tak sadar bahwa kedua gerakan yang dipertentangkan itu lahir dan bermuara pada sumur yang sama, yakni Tirto Adhi Soerjo. Jadi tujuan Tirto/Medan Prijaji adalah memerdekakan. Dia dengan jelas memberitahu konsepsi kebangsaan itu tidak dibangun berdasarkan atas suku dan agama, tapi gerakan intelektual, kesadaran bahasa, dan keyakinan bertanah air. Jadi jika dicari semua gerakan itu, terutama gerakan nasionalis dan gerakan Islam, bersumbu pada sumur yang sama.
* * *
Manggadua, 7 Desember 1918. Sebuah iringan kecil—sangat kecil—mengantarkan jenazahnya ke peristirahatan terakhir. Tak ada pidato-pidato sambutan. Tak ada pewartaan atas jasa-jasa dan amalan dalam hidupnya yang kalis bersabung maut dan berakhir sunyi senyap. Sebab selepas itu orang pun meninggalkannya, sejarah mengabaikannya, dan namanya nyaris tercoret dari sejarah pers dan pergerakan kebangsaan. Cuma ada dua potong berita nekrologi yang ditulis Marco Kartodikromo yang mengabarkan kepergiannya dimuat di Sinar Hindia (12 Desember 1918) dan Djawi Hisworo (13 Desember 1918).
Hari ini, 7 Desember 2007, tradisi pers Indonesia menapaktilasi perjuangan Tirto Adhi Soerjo selama seabad dan menarik kehadiran Medan Prijaji sebagai patok dimulainya sejarah pers kebangsaan. Dan sekaligus hari ini ditandai sebagai tonggak Hari Pers Indonesia, tepat di hari ketika Tirto wafat di mana dalam sepanjang hidupnya sudah meneguhkan tugas dan posisi pers: bagaimana pers mesti berhadapan dengan kekuasaan, bagaimana pers mesti membangun perniagaan untuk bisa bertahan dan hidup sehat, serta bagaimana mestinya keberpihakan pers terhadap masyarakat lemah dalam membangun kritisisme dan sekaligus mendorong keswadayaannya. (Taufik Rahzen, Kurator)
Peringatan Seabad Pers Kebangsaan di Gedung Indonesia Menggugat Bandung
Setelah adzan Isya dikumandangkan, sebagian tamu undangan melaksanakan shalatnya, kemudian duduk kembali di Aula Utama Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, malam itu (7/12), karena pembukaan peringatan Seabad Pers Kebangsaan (1907 - 2007) akan dimulai setelah dilaksanakan Konferensi Pers pada sore harinya.
Taufik Rahzen selaku kurator peringatan acara tersebut memaparkan kembali betapa pentingnya momentum sejarah untuk dilihat sebagai ingatan kolektif bangsa Indonesia pada pers Indonesia, yaitu melalui Tirto Adhi Soerjo dengan Medan Prijaji (1907) yang dipimpinnya. “Saya tidak semata-mata menyatakan hari ini sebagai Hari Pers Nasional, tapi sebagai Hari Pers Indonesia,” kata Taufik Rahzen.
Peringatan Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007) pada Jumat, 7 Desember 2007 malam dihadiri oleh buyut Tirto Adhi Soerjo, yaitu Dewi Yull. “Saya kaget dengan acara Haul buyut saya (Tirto Adhi Soerjo – red.) Karena baru diberitahu 2 hari sebelumnya, dan saya hadir di sini menerima hadiah ini (frontpage Medan Prijaji – red.). Sekaligus saya mewarisi semangat pemberontak buyut saya,” ujar Dewi Yull dalam pidatonya seusai menerima hadiah dari Kurator Seabad Pers Kebangsaan, Taufik Rahzen.
Medan Prijaji menjadi tonggak kebangkitan pers Indonesia dan diakhiri oleh penerbitan Harian Jurnal Nasional. Agus Sopian, Redaktur Jurnal Nasional, juga menerima hadiah kenang-kenangan dari Taufik Rahzen mewakili Pimpinan Umum Harian Jurnal Nasional yang benghalangan hadir pada waktunya. Acara seremonial tersebut sekaligus membuka pameran ‘Sampul Pers Indonesia’ yang dimulai pada tanggal 7 Desember 2007 – 6 Februari 2008, pukul 10.00 – 18.00 wib (kecuali hari Minggu) di Gedung Indonesia Menggugat; Jalan Perintis Kemerdekaan 5, Bandung.
Dialog Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007) akan diselenggarakan bersamaan dengan “Anugerah Tirto Adhi Surjo” dan Peluncuran buku “Seratus Tokoh Pers Indonesia” pada Sabtu, 22 Desember 2007 pukul 10.00 – selesai, di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. (Argus Firmansah/Kontributor Jurnal Nasional)
Monday, November 19, 2007
Tubuh Cantik Itu, Tumbuh dan Bicara…..
Monolog tubuh cantik itu tidak bicara secara verbal, hanya movement dan pengolahan ekspresi dalam struktur narasi non-verbal. Bentuk ekspresi seperti ini merupakan gerakan baru dari seniman visual art di Amerika Serikat dalam genre performance art. Di mana bentuk-bentuk teater, seni rupa, bahkan tari selalu menyertakan peranan teknologi untuk membuat kompleksitas tanda secara visual.
Pina Bausch, seniman Jerman, pada tahun 1980 dalam karya koreografinya, Rite of Spring, di Olympic Art Festival di Los Angeles (USA) menampilkan bentuk garapan teater-tari metode Grotesque untuk mengemas movement-nya. Di mana pengulangan movement dikemas secara simbolik hingga menjadikannya sebuah pemandangan metafora gerakan/movement kekerasan di mana perempuan sebagai korban. Genre pertunjukan postmodern ini terus berkembang hingga ke negara berkembang seperti Indonesia hingga saat ini. Wacana itu hadir dalam monolog yang dibawakan oleh Tony Broer.
Kearifan lokal pada seni tradisi di tiap daerah menjadi bahan racikan bumbu penadaan pada pertunjukan, sehingga dikenal Teater Antropologi. Sebuah genre teater postmodern yang mengolaborasikan seni modern yang konsumtif dengan seni tradisi lokal. Pertunjukan pun cenderung terasing dari penonton teater pada umumnya, karena bahasa non-verbal mendominasi karya-karya sejenis itu.
Bahasa tubuh dibuat sebagai objek komunikasi antara penonton dan aktor. Tak ada teks ujaran di sana. Yang ada hanya bahasa tubuh dan gambar. Sebuah bentuk teater embodiement (ketubuhan) yang dipadukan dengan wacana seni postmodernisme. Tubuh seperti kata atau kalimat karena ia bercerita di dalam jalinan gambar yang silih berganti membangun suasana rindu dalam deraan peluru dan bom nuklir.
Itulah gambaran sebuah monolog tubuh berjudul “Rajah Tubuh Lahir Perang” yang disajikan oleh Tony Broer, aktor muda yang sudah melanglang di jagat teater dunia, dan digelar di Aula Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, pada Sabtu malam (10/11) kemarin yang bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan Nasional.
Kebaya emas menutupi balutan kain kasa yang menutup luka masuk ke atas pentas dalam movement patah-patah seiring bunyi peluru yang berhamburan. Tony Broer dalam pentas tunggalnya menjadi seorang ibu, setangkai bunga, dan pohon sebagai simbol kehidupan. Bahkan kupu-kupu yang menari di monumen tentara yang wafat mengimplisitkan keterasingan dan kebisuan manusia usai peristiwa yang mempertaruhkan kemanusiaan, atas nama kekuasaan, yaitu perang! Perang meninggalkan sejarah nilai-nilai kemanusiaan yang binasa.
Monolog tubuh Broer dengan karakter perempuan yang teraniaya justru menjadi puisi tubuh yang cantik dengan movement yang hidup bak bunga mekar atau kupu-kupu yang terbang mengitari bunga bangkai yang terbuat dari kain kasa berwarna ungu dan biru.
Sajian monolog tubuh pun menjadi perhatian pelajar yang menonton pertunjukan tersebut. Meski sebagian banyak dari mereka tidak begitu paham dengan pementasan itu, mereka acungkan jempol karena pertunjukan monolog tubuh itu menyedot konsentrasi dan perhatian pada aktor itu, Tony Broer. Ada juga salah seorang penonton yang melihat pertunjukan Tony Broer seperti sebuah ode buat psk yang dikeroyok empat laki-laki. “Broer seperti pelacur yang digebukin empat orang laki-laki…..hahahahaha….” ujar Asep usai menonton pertunjukan.
Broer berbekal kemampuan teater Butoh dari tradisi Jepang membangun bahasa visual di atas pentas dengan paduan tari tradisional Indonesia. Teks-teks puitis yang abstrak dibahasakan melalui tubuh dan layar yang memuat rekaman pendek peristiwa perang dan montase foto-foto korban perang. Tubuh-tubuh aktor itu dan bahasa gambar menjadi bahasa simbolik untuk mengomunikasikan sebuah tema besar, bahwa nilai kemanusiaan terkoyak di sana. Sebuah pertunjukan teater tubuh yang teatrikal dengan montage of image yang sangat cepat dan menegangkan.
Tony Broer, sutradara sekaligus pemain dalam pertunjukan teater itu, memaparkan bahwa pertunjukan itu adalah sebuah ode untuk kemanusiaan dalam bahasa teater dengan mengolah eksplorasi tubuh aktor. Bahasa gambar di layar dengan montase foto-foto dan rekaman perang itu menjadi tubuh sejarah, sedangkan tubuh aktor adalah tubuh sekarang yang menginterpretasi sejarah tubuh dan kemanusiaan.
Inspirasi pertunjukan ini adalah perang yang terjadi di atas muka bumi sepanjang sejarah peradaban manusia. Bahwa kemanusiaan itu sendiri direkayasa untuk mencapai kepentingan kekuasaan, dan dominasi politik dunia. Perang dalam pertunjukan Rajah Tubuh Lahir Perang secara eksplisit menggambarkan tubuh-tubuh pada peradaban manusia saat ini. Kekerasan terhadap tubuh adalah simbol dehumanisasi dalam monolog tubuh tersebut.
Bentuk eksplorasi gerak tubuh dengan mengambil gerak tarian Tarawangsa sengaja digunakan sebagai simbol tubuh Asia yang memprotes perang di atas dunia ini. Dan tradisi Butoh, Jepang, diakui Broer mempengaruhi pola gerakan yang dieksplorasi dalam monolognya. Tradisi Butoh diterapkan dalam proses kreatifnya. Disiplin tubuh aktor sangat dibutuhkan untuk menjadi sesuatu di atas pentas dan penonton dapat menangkap bahasa simbolnya. Tubuh Broer sendiri nampak sebagai tubuh yang terlatih dan kenyal. “Saya melihat pengaruh Butoh pada gaya Broer tampil. Suatu distorsi tubuh aktor”, tutur Arthur S Nalan, peneliti budaya di Jawa Barat. (Argus Firmansah/Kontributor lepas KOKTAIL/Jurnal Nasional/Bandung).
Mempelajari Fantasi Mozart Yang Tak Berbatas
Mereka yang memiliki rasa ingin tahu lebih banyak perihal musik klasik, khususnya karya Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791), mengikuti seminar musik klasik bertajuk “Kajian Filosofis dan Peride Klasik” di Aula RS. Santo Borromeus, Bandung (8/11) kemarin. Seminar yang dikemas dalam bentuk edutainment menurut Gracia Pietersz merupakan program pembelajaran efektif sekaligus menghibur……..
Puluhan mahasiswa di Bandung dan pemeluk agama Katolik memadati ruang aula tersebut. Selain menggali ilmu pengetahuan tentang musik klasik Mozart dari Romo Karl Edmund Prier, SJ. dan Rachmad Pudjo Hartono, mereka juga disuguhi penampilan musik klasik karya Mozart dari Orkestra Bumi Siliwangi, Yohannes Siem, dan Saint Laurentius Quartet……..
Orkestra Bumi Siliwangi menyajikan Sonata Piano KV 331 di nada A Major (Andante) dan Sonata Piano KV 545 di nada C Major (Allegro) dengan penampilan yang cukup baik dan indah. Peserta seminar pun dapat membuka peta ingatan kolektifnya pada musik klasik karya Mozart dengan sajian tersebut.…….
Musik klasik memang sangat matematis bila dilihat dari sisi teknisnya. Mozart mendesain musiknya dengan perhitungan yang matang selain fantasinya yang tak berbatas dalam membuat varian nada. “Fantasi Mozart tak terhingga, sehingga musik sederhana menjadi lebih indah,” papar Romo Karl Edmund Prier, SJ., pengajar musik liturgy asal Jerman. Namun demikian, mempelajari musik klasik bukan perkara yang mudah. Seseorang yang mau bias membawakan komposisi musik klasik harus giat berlatih untuk menemukan akurasi nada, tempo, dan rasanya. Banyak not yang sulit dimainkan. “Musik klasik harus dihidupkan dari hati kita karena musik klasik ada di dalam hati kita. Ia adalah kesempurnaan di dalamnya dan dapat mencerminkan diri kita,” lanjutnya……..
Musik klasik di Indonesia bukan hanya sajian apresiatif bagi pendengar musik klasik. Musik klasik di masyarakat Indonesia banyak digunakan sebagai media terapi psikologis, bahkan bagi keluarga seringkali diperdengarkan kepada anak kecil untuk melatih kemampuan tanggapan yang dikerjakan oleh otak kiri dan kanan, yaitu melatih intuisi dan sensor motoriknya……..
Namun bagi umat Katolik, musik klasik bukan sekedar apresiasi musikalitas dan kebutuhan hiburan saja, tetapi merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Romo Karl Edmund Prier, SJ. mengatakan dalam materi seminarnya, bahwa musik di manapun selalu berhubungan dengan agama yang diyakini oleh suatu masyarakat. “Musik klasik adalah sebuah kegiatan kontemplasi. Yaitu sebuah cara untuk mencari kebenaran yang dalam melalui musik. Itulah yang dilakukan Mozart melalui karya-karyanya. Mozart, Schubert, Haydn merupakan tokoh penting musik klasik di Vienna,” tutur Romo Karl Edmund Prier, SJ……..
Stamford Symphony Orchestra dalam Vienna, City of My Dreams: music of Mozart, Schubert/Mahler & Haydn (StamfordPlus.com) mencatat, “Maestro Preu menjelaskan bahwa Vienna merupakan pusat musik klasik bagi banyak negeri. Kualitas musisinya, minatnya pada patron-patron, dan keindahan serta pusat kota menjadikannya inspirasi yang sempurna. Bukan saja sebuah pusat dari gagasan musik ‘serious’: baik musik klasik dan musik pop saling berdampingan, serta saling mendukung satu sama lain, dengan saling mengapresiasi dan mendukung untuk mendapatkan derajat yang baru……..
Kota Vienna merupakan kota budaya, di mana musisi klasik eksis. Mereka membuat musik yang terbaik dna indah di zamannya. Karya Mozart dapat dibedakan dengan musik di zamana sebelumnya, yaitu ketika zaman Barok musik serupa lebih bersifat kaku pada aturan-aturan musik klasik. Dan hal ini sangat kontras dengan musik klasik yang dibuat oleh Mozart. Kebebasan ekspresi Mozart dalam membuat nada komatis yang banyak serat nada hiasan dapat merubah nada Andante menjadi Allegro, karena Mozart banyak menggunakan nada variasi yang disembunyikan……..
Romo Karl Edmund Prier, SJ juga memberikan kritik pada perkembangan musik di Indonesia. “Musik zaman sekarang terlalu cepat selesai, cepat puas. Hal itu didukung oleh kondisi alamnya yang subur sehingga membuat malas sebagian besar masyarakat Indonesia,” katanya. Memang pada kenyataannya musik perkembangan musik modern di Indonesia sangat dipengaruhi oleh musik-musik yang berkembang di Inggris dan Amerika. Terdapat krisis identitas di dalam musik-musik yang muncul saat ini di tanah air, padahal Indonesia memiliki kekayaan khazanah musik tradisional di Nusantara ini yang sangat diminati oleh pecinta musik di dunia……..
Pada zaman musik klasik sebelum Mozart, banyak karakter dan ciri musik yang kaku karena pengaruh pandangan religi zaman itu. Kebebasan individu musisinya tidak muncul karena lebih banyak menonjolkan kekuatan dan nilai religiusnya. Berbeda dengan Mozart yang lebih leluasa mengekspresikan fantasinya, musik klasik dari kota Vienna ini justru lebih menonjolkan sisi individualis sang musisi, dan tidak terpaku pada aturan musik………
Mengapa sebenarnya musik klasik dikatakan terlalu matematis. “Filosof pertama dalam filsafat musik adalah Pythagoras (570-480 SM) dari Yunani. Ia mengupoas musik dari relasi angka seperti proporsi-proporsi dalam interval. Namun kemudian murid Pythagoras melengkapi pandangannya ke dalam dunia transenden, sehingga menjadi satu kesatuan. Bahwa musik adalah sebuah kosmos atau ciptaan teratur,” papar Romo Karl Edmund Prier, SJ……..
Sementara Rachmad Pudjo Hartono, pengajar musik di UPI Bandung, mengupas Sonata KV 333, Movement I pada sesi berikutnya. Bertoloneo Christofani (1655-1731) adalah penemu piano pertama yang mengalunkan nada musik klasik pada abad 17. Karakteristik karya Mozart ditemukan pada semua karyanya, dan bila disimpulkan diperoleh data bahwa cirri musik klasik Mozart adalah terdapat banyak motif dengan varian yang beragam pula. Motif atau kumpulan nada yang diulang-ulang inilah yang sekaligus menjadi ciri karya-karya musik klasik dari Mozart……...
Terdapat sejumlah bentuk komposisi musik yang menarik di periode klasik yang bertahan hingga abad 20. Salah satunya yaitu Sonata Form atau Sonata Allegro Form. Ini adalah bentuk komposisi yang terdapat pada salah satu movement cepat baik itu di dalam kuartet string, simfoni, maupun sonata sendiri. Sonata Form terdiri dari tiga bagian; eksposisi, development, rekapitulasi (termasuk coda atau nada akhirnya)……..
Perasaan dan pikiran tidak bisa lepas satu sama lain, karenanya cenderung matetamtis untuk membuat harmoni dalam musik, yaitu menyatukan fantasi dan akurasi matematis sehingga diperoleh keindahan nada yang sempurna. Bentuk komposisi dalam musik klasik antara lain Simfoni, Konserto, Tema dan Motivasi, dll. Pelajaran singkat mengenai musik klasik karya Mozart ditutup dengan penampilan Saint Laurentius Quartet dalam membawakan Flute Quartet di nada D. (Argus Firmansah, Kontributor KOKTAIL-Jurnal Nasional, Bandung)
Longser Pancakaki di CCF Bandung
Saturday, November 10, 2007
Aksi Pelajar di Bandung Menolak Ujian Nasional Penentu Kelulusan
Pelajar SMU yang tergabung di dalam Gerakan Siswa Bersatu Jawa Barat melakukan aksi damai di depan Kantor Gubernur Provinsi Jawa Barat Jum’at (9/11) kemarin. Mereka melayangkan protes menolak UN (Ujian Nasional) dijadikan penentu kelulusan. Mereka memandang pemerintah tidak memperhatikan mutu pendidikan dasar 9 tahun. “Standar pendidikan dinaikkan sedangkan mutu pendidikan tidak,” ujar Wildan Maulana, siswa BPI I, Bandung, di atas kendaraan demonstrasi.
Aksi damai menolak UN yang dilakukan para pelajar itu justru tidak membuat ketegangan dengan aparat yang berjaga di balik pagar kantor Gubernur Jabar. Masyarakat juga wartawan malah tersenyum dan sesekali tertawa mendengar celotehan para pelajar dalam orasi mereka. Sejumlah keluhan dari hati para pelajar di sana terungkap tulus dan polos mengenai pendidikan di sekolah masing-masing. Misalnya beban pelajaran yang harus diikuti dengan sejumlah pembayaran wajib yang membebani orang tua siswa.
Mereka memprihatinkan sikap pemerintah dalam menjalankan sistem pendidikan nasional. Muhamad Akhsan, 46 tahun, orang tua siswa yang melakukan aksi damai menolak UN itu mengatakan, “Saya sebagai orang tua siswa sangat prihatin…bagaimana anak sekolah ikut memperhatikan kesulitan orang tuanya, tutut memikirkan biaya pendidikan yang harus disediakan orang tuanya. Undang-undang dan aturan tidak jelas, sehingga membebani murid dalam menempuh pendidikan. Pemimpin sekarang hanya membuat kebijakan tanpa melihat kenyataan,” paparnya.
Pelajar dan orang tua siswa yang hadir di tempat aksi menyayangkan pendidikan nasional saat ini. Mereka menganggap UN sebagai Tuhan pendidikan, dan mengerdilkan pendidikan. Yang dianggap paling penting justru bagaimana peluang dan kesempatan setiap anak dapat menempuh pendidikan yang lebih tinggi. “Tidak fair anak diukur oleh 3 atau 6 mata pelajaran,” sahut Akhsan. (A. Firdaus, Hoofdredakteur)
Sunday, November 4, 2007
Komedi Stamboel Matjam-Matjam Maoenja ala STB
Sarekat Kerontjong Imam Camus melantunkan lagu tempo doeloe dengan syair masa kini yang isinya adalah sinopsis kisah drama yang akan dimainkan oleh Ayi Kurnia Iskandar, Dedi Warsana, Kemal Ferdiansyah, Ria Ellsya Mifelsa, Uchan Ayu Kinanti, Dwi Setiono, Yussak, dan deden Bell. Di tengah iringan musik kerontjong tersebut para aktor muncul dan berfose di bibir panggung menyanyikan lagu yang berisi sinopsis pertunjukan juga……..
Drama komedi yang disajikan STB kali ini mengangkat kisah sebuah perjodohan Icih dan Otih (diperankan oleh Ria dan Uchan) oleh pamannya yang berambisi menjadi seorang Abtenaar di kampung itu. Sang Paman (diperankan oleh Ayi Kurnia Iskandar) berpikir secara investasi politik dengan menjodohkan anak dan keponakannya kepada du bangsawan kaya di daerah itu, tapi dua dara itu menolaknya dengan alasan yang bermacam-macam…….
Sang Paman sudah kesal dengan gaya hidup anak gadis dan keponakannya itu. Biaya bedak dan lain-lainnya membuat pengeluaran Sang Paman lebih besar. Karena dua dara itu sudah dipengaruhi gaya hidup berjuasi yang macam-macam maunya, sekaligus menolak gaya perjodohan yang berbau dagang. Kedua bangsawan kaya itu (diperankan Yussak dan Deden Bell) merasa terhina dengan penolakan lamarannya……..
Dua bangsawan itu pun mengeluarkan akal bulusnya untuk membalas dendam kepada dua dara yang jual mahal itu. Maka dua bangsawan itu menyuruh dua pelayannya untuk menyamar dengan bersandiwara sebagai keturunan bangsawan dan berpengetahuan tinggi……..
Kelucuan pun muncul dalam bentuk tingkah laku dua Raden palsu itu yang berusaha keras merayu Icih dan Otih yang telah mengganti nama menjadi nama Noni Belanda. Raden Pandji Gumilang (Dedi Warsana) mengaku sebagai pujangga tersohor dan kepalsuan itu diyakini oleh dua dara, hingga keduanya terjebak dalam bujuk rayunya. Keyakinan mereka semakin kuat setelah kawan Pandji Gumilang muncul, yaitu Raden Kelana Abiseka (Kemal Ferdiansyah), mengaku sebagai mantan tentara. Akan tetapi Kelana Abiseka agak kikuk dalam bersandiwara namun tidak mencurigakan karena dibantu kawannya yang menyamar sebagai Pandji Gumilang……..
Kedua dara itu nampak kegirangan dengan perkenalan kedua Raden palsu itu yang mempesonakan hati mereka. Semua bujuk rayu dua penyamar itu dapat mengelabui dua dara yang bergaya layaknya Noni Belanda itu. Dalam sebuah acara dansa di rumah dara manis itu, penyamaran mereka terbongkar oleh dua majikan mereka sendiri. Pandji Gumilang dan Kelana Abiseka pun terkejut dan paik setelah dua majikannya muncul dan menelanjangi jati diri mereka. "Inilah jaman sekarang...habis manis sepah dibuang!", ujar Pandji Gumilang yang kesal diakhir dialognya setelah menanggalkan pakaian kebesaran sebagai bangsawan. Rasa malu pun muncul dari wajah dua pemain sandiwara itu, begitu pula dengan dua dara manis yang telah tertipu oleh ulah penipuan dua pelayan itu……..
Kerugian besar harus ditanggung Sang Paman, karena anak gadis dan ponakan itu telah tertipu oleh dua pelayan yang mengaku bernama Raden Pandji Gumilang dan Raden Kelana Abiseka. Di akhir pembongkaran sandiwara itu Sang Paman murka dan melampiaskan kekesalannya kepada dua dara manis itu yang maunya macam-macam itu. Maka, dua dara itu hanya dapat menyesali perbuatannya dengan manangis……..
Drama komedi stamboel "Ah. Matjam-Matjam Maoenja" coba mengangkat fenomena sosial masyarakat pada tahun 1950. Di mana para saudagar dan petualang mulai menemukan pijakannya. Penulis juga bermunculan dengan semangat baru saati itu. Sementara itu gaya feodalisme masih mencengkeram kalangan tua, dan kalangan muda dipengaruhi gaya berjuasi warisan kolonial. Dalam situasi yang paradoks tersebut muncul kesenjangan generasi di mana kemunafikan serta semangat pembaruan yang belum matang berada di dua kutub yang saling berlawanan. Di antara kesenjangan itulah eksistensi para petualang mengambil momen penting dengan beragam bentuk kepalsuan dan romantisme puitis……..
Konteks jaman saat itu agaknya merepresentasikan keunikan tersendiri dalam pandangan sutradara dengan menampilkan komedi stamboel ini. Dengan maksud bahwa sajian drama komedi "Ah. Matjam-Matjam Maoenja" ini merupakan sebuah peringatan sekaligus kritik implisit terhadap situasi dan jaman di tanah air. Peminjaman teks oleh STB dari karya Moliere ini merupakan upaya kreatif yang sanggup dilakukan seniman panggung yang berada di bawah payung STB untuk menyuarakan aspirasi kemanusiaan dalam tatanan sosial saat ini……..
Bentuk drama stamboel memang berada di koridor kritik sosial secara eksplisit di ruang tafsir kesenian rakyat di jamannya. Cara-cara ini dianggap masih ampuh oleh STB untuk menyuarakan aspirasinya saat ini. Terlepas dari ampuh tidaknya kritik sosial melalui kesenian, paling tidak seniman muda teater STB tidak gagap vokal dalam menanggapi persoalan kemanusiaan yang disebabkan oleh budaya borjuasi yang dibungkus dengan istilah abru saat ini. Dengan demikian, STB melalui sajian dramanya kali ini masih menunjukan eksistensinya dalam dunia teater di tangan kreatif generasi muda STB masa kini untuk melangkah ke masa depan……..
Drama komedi stamboel ala STB itu merupakan persembahan awal dari STB kepada penonton STB di Bandung dari serangkaian acara ulang tahun STB yang ke 50 tahun mendatang. Drama komedi stamboel "Ah, Matjam-Matjam Maoenja" merupakan adaptasi sutradara terhadap naskah dengan konteks jaman tahun 1950 di mana kondisi sosial masyarakat Indonesia di daerah masih feodal. Masalah perjodohan pun masih dikait-kaitkan dengan pertimbangan status sosial keluarga. Drama komedian karya adaptasi Moliere tersebut cukup apik diperankan oleh para aktor kali ini. Pengolahan seni peran Dedi Warsana, pemeran utama dalam lakon tersebut, dengan gaya khas mokal-mokalnya, bersama actor dan aktris yang lain mampu membuat ger para penonton yang didominasi oleh penonton remaja dan keluarga besar STB dari angkatan pertama…….
Pertunjukan dengan durasi 80 menit itu mampu menghibur penonton yang hadir dalam perayaan Ultah STB yang ke 49 tahun. I Gusti Nyoman Arya Sanjaya mengatakan tidak cukup waktu untuk mempersiapkan pertunjukan teater yang lebih dramatis bagi penontonnya. Tak ada pilihan lain, maka sutradara memilih lakon tersebut untuk menghibur penontonnya. Meski demikian, penonton cukup terhibur dengan sajian drama komedi stamboel tersebut……..
Kondisi STB saat ini memang dipengaruhi oleh seniman yang aktif dalam pengabdian mempertahankan nama baik STB di masyarakat teater. Manajemen aktor di STB hanya sebagai provider melalui progarm kursus akting dan pertunjukan atau garapan rutin setiap tahunnya. Sehingga keterlibatan aktor dalam menyajikan pertunjukan dengan nama STB tidak terpaku pada sistem keanggotaan aktor STB secara baku. Tak heran bila dalam sajian teaternya selalu ada wajah-wajah baru yang muncul di pentas atas nama garapan STB……..
Eksistensi seniman teater angkatan muda di STB terus berusaha mematangkan kemampuan seni peran melalui lakon-lakon drama yang dipentaskan di atas panggung teater. Salah satu jargon teater STB adalah memanusiakan ide-ide. Jargon ini masih dipelihara dari generasi pertama, yaitu aktor Muhamad Sunjaya sampai Ayi Kurnia Iskandar. Sementara bidang penyutradaraan dari Suyatna Anirun Alm. sampai I Gusti Nyoman Arya Sanjaya. Konsep memanusiakan ide-ide yang terkandung dalam naskah lakon diejawantahkan oleh sutradara bersama aktor-aktornya secara praktis meski masih berhati-hati dalam memetik sebuah interpretasi terhadap ide dalam naskah lakon. Hal ini terlihat dari garapan-garapan STB sebelumnya. Namun persoalan kualitas sajian pentas maih bebas nilai, artinya para penonton STB sendirilah yang menilainya…….
Menilik eksistensi STB dapat dikatakan bahwa krisis aktor dan sutradara masih sedikit menjadi persoalan. Keluar dan masuknya aktor baru membuat kualitas garapan STB menjadi sebuah pasang surut. Beban moral dalam kesenian memang bisa dikatakan tidak ada. Tapi bagaimanapun juga STB pernah menyandang popularitas kelompok teater yang paling produktif dengan kualitas yang jempolan selama kepemimpinan Suyatna Anirun pada tahun 1970-1980. Masih dapatkah STB mempertahankan kewibawaan namanya melalui garapan-garapan lakon adaptasi maupun lakon yang ditulis oleh penggiat STB? Inilah yang dikuatirkan oleh STB di masa yang akan datang…….
Namun seperti yang dikatakan oleh I Gusti Nyoman Arya Sanjaya, seniman STB yang sudah memberikan kontribusi kreatifnya kepada STB sejak 1988, mengatakan bahwa tantangan kreatif setiap seniman di dalam proses kreatifnya bersama STB dibedakan pada kondisi dan situasi jamannya. Tentunya, pandangan I Gusti Nyoman Arya Sanjaya dapat menjadi salah satu jawaban menyoal pasang surut kulaitas garapan di STB selama ini. STB pernah berjaya ketika dikemudikan oleh Suyatna Anirun sejak perintisannya oleh Jim Lim pada awal kelahiran STB sebagai kelompok teater di Bandung…….
Patut diakui bahwa dari program acting course STB banyak melahirkan aktor yang berkualitas yang akhirnya melahirkan pula sutradara-sutradara muda dengan kelompok-kelompok teater baru di Bandung seperti Actors Unlimited, misalnya. STB bagi pengamat perkembangan teater di Bandung masih dianggap sebagai bengkel seniman teater dengan Sang Guru Suyatna Anirun Alm. yang lama mengabdikan hidupnya untuk kemajuan STB di dunia teater modern Indonesia…….
Jejak-jejak kreatif Suyatna Anirun menjadi inspirasi bagi aktor-aktor muda di Bandung, baik dalam tubuh STB sendiri maupun kelompok teater lainnya di Bandung. Dan seiring perubahan jamannya STB terus berupaya adaptif dengan perubahan cara pandang penonton atau masyarakat pendukung terhadap teater modern hingga saat ini. Lebih-lebih dikarenakan oleh pengaruh budaya televisi yang bagi sebagian besar masyarakat lebih cepat menanggapi bentuk hiburan yang dibutuhkan dengan membuat strategi kemasan tontonan secara lebih modern.(by Argus F., posted to HU Pikiran Rakyat)
Chamber Music Series Di CCF Bandung
Kota Bandung dikenal sebagai tempat lahirnya musisi di berbagai aliran musik. Pada Jum'at malam kemarin, pecinta musik klasik disuguhkan komposisi klasik karya Beethoven, Bruch, Bottessini, Brahms, Eccles, dan Thoene, oleh dua musisi klasik asal Indonesia dan Jerman. Dua musisi klasik itu adalah Ary Sutedja, pianis klasik, dan Marcel Becker seorang virtuoso double-bass asal Jerman. Mereka menyuguhkan permainan cantiknya di hadapan khalayak di dalam auditorium Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Bandung kemarin (26/10) yang dihadiri oleh musisi Bandung dan pecinta musik klasik dari kota Bandung dan Jakarta…….
Program Chamber Music Series yang kemas oleh Mutia Dharma bersama CCF Bandung ini cukup memberi angin segar kepada masyarakat pecinta musik klasik di Bandung dan Jakarta. Oleh karena program tersebut dibagi menjadi beberapa konser kecil dengan musisi atau komposer yang berbeda di setiap kotanya dan pada tanggal yang berbeda pula…….
Ary Sutedja dan Marcel Becker berkolaborasi membawakan komposisi karya Beethoven, Bruch, Bottessini, Brahms, Eccles, dan Thoene dalam G Minor, C Mayor. Dalam konser kecil itu juga Marcel Becker sempat membawakan koposisi secara solois dalam mebawakan gubahan karya Thoene dalam tangga nada rezitativo Karl, Aleggro, Vargo, dan ditutup dengan Allegro. Permainan Marcel dengan double-bass yang itu cukup membuat pukauan pecinta musik klasik yang hadir di dalam ruangan konser itu. Pasalnya, penguasaan Marcel terhadap musik gubahan Thoene dapat dikatakan cukup baik. Apalagi penjiwaan Marcel terhadap komposisi itu dapat dilihat dan dirasakan dengan memperhatikan keindahan nada-nadanya…….
Demikian halnya dengan Ary Sutedja, harmoni yang dibangun dalam konser itu, antara piano dan double-bass, sungguh cantik dan indah untuk dinikmati. Pecinta musik klasik seakan dibawa ke negeri Eropa di mana musik-musik klasik diciptakan dan diperdengarkan hampir di setiap ruang publik yang khusus menyajikan musik-musik klasik…….
"Komposisi ini sering dibawakan di atas panggung, bukan karena komposisi ini sering dipandu oleh Conducter terkenal, tetapi karena variasinya. Dan Double-bass, bila hadirin sering mendengarnya, bukan instrumen asing untuk dinikmati khusunya oleh masyarakat pecinta musik klasik di perkotaan," ujar Marcel Becker sebelum membawakan komposisi Allegro di Concerto "alla Mendelssohn" gubahan Giovanni Bottessini……
Thursday, November 1, 2007
Hujan Lebat Akibatkan Banjir dan Genangan Air di Kota Bandung
Hujan lebat di Kota Bandung sepekan terakhir timbulkan genangan air dan banjir di beberapa titik di wilayah kota Bandung. Pembenahan sistem drainase di kota Bandung dari tahun ke tahun tidak pernah tuntaskan masalah genangan air dan banijr.
Wednesday, October 31, 2007
Dunia Urban dalam Koper Tua karya Hardiman Radjab
Koper-koper tua di ruang pameran bergantungan. Ada juga yang tergeletak dipulas dengan lumpur kering. Dan juga koper-koper yang diletakan di atas kotak. Semua koper-koper itu membawa cerita masing-masing. Hardiman Radjab mengatakan bahwa setiap koper memang mengisahkan sesuatu dari suatu persoalan atau renungan tentang hidup manusia yang disimbolkan pada koper-koper tua.
Perhatian Hardiman pada perilaku tubuh urban dikemas dalam serial koper bercerita itu yang diberi judul 'Seri Kawin'. Koper pertama disetting dengan cerita atau adegan prototipe mobil volkwagen saling menindih layaknya tubuh-tubuh yang melakukan incest. Koper seri kedua adalah prototipe mobil jenis truk-bak yang sejenis. Hardiman memberi judul kecil perkawinan homoseksual. Koper seri ketiga dikemas sebuah perkawinan prototipe mobil Morris dengan sepatu sebagai simbol perkawinan silang. Koper 'Seri Kawin' itu ditempatkan oleh Hardiman diurutan pertama. "Saya mendesain penempatan semua koper-koper itu sesuatu dengan dramaturginya," kata Hardiman. Dan koper 'Seri Kawin' ini banyak diapresiasi karena menimbulkan kelucuan darinya.
Mengapa Hardiman mengambil objek koper untuk mengantarkan pesan kemanusiaan secara artistik dalam bahasa seni desainnya? Koper, menurut Hardiman memiliki keunikan tersendiri sebagai benda yang berjalan, menjelajah ruang dan waktu. Koper-koper tua yang dilihatnya di sebuah stasiun di kota Paris pada tahun 1996 memberinya inspirasi bagaimana merenungkan nilai sebuah benda, koper, yang sudah tua, sendiri, ditinggalkan pemiliknya di sebuah kota atau ruang. Inspirasi itu kemudian memberinya gagasan untuk mengolah barang-barang bekas dan barang-barang tua usia di rumahnya untuk dihadirkan dalam eksistensi kebendaan yang lain. Selain memang hobi seorang Hardiman mengumpulkan barang-barang antik atau tua tentunya. Perhatiannya pada benda atau barang antik mengantarkan Hardiman ke ruang publik seni rupa untuk berdialog dalm dunia seni rupa.
Oleh sebab itulah Hardiman Radjab berpameran dengan judul "Berkoper-koper Cerita" pada Senin malam (22/10) di Geleri Soemardja, Bandung. Hendro Wiyanto, kurator pameran, dalam kurasinya yang berjudul "Koper, Panggung, Perjalanan" menyebutkan bahwa, kemunculan wacana ‘obyek’ dalam seni rupa kontemporer antara lain dipicu oleh konflik dalam perkembangan seni lukis moderen-formalis. Konflik itu memasalahkan kehadiran ‘bentuk’ (shape). Apakah ‘bentuk’ dalam perkembangan seni lukis moderen telah bergeser menjadi ‘obyek’ atau tetap sebagai medium seni lukis? (Ingatlah misalnya lukisan-lukisan bersegi banyak karya Frank Stella).
Hardiman Radjab dengan latar belakang seni kriya kayu di Institut Kesenian Jakarta, lebih eksis sebagai penata artistik panggung pertunjukan teater/drama di beberapa kota. Kedekatan Hardiman pada dunia artistik panggung teater diakuinya sebagai salah satu metode menata sebuah pameran untuk menampilkan karya-karyanya di ruang publik. Oleh sebab itulah, koper-koper Hardiman yang dipamerkan kali ini memang syarat dengan pengolahan dramaturgi, atau ilmu tentang seni drama. hal itu ditunjukan dengan plot penataan objek pameran dengan kopernya yang sangat memperhatikan struktur cerita, meski tidak melepaskan kaidah menampilkan karya rupa di ruang pameran.
Hendro Winarto menegaskan campur-tangan unsur teater pada pamerannya dengan mengatakan, "Pada obyek-obyek koper ini malahan seperti terang-terangan Hardiman memasukkan anasir ‘teater’ atau mengoper panggung teater ke dalam koper. Beberapa karyanya dalam pameran ini memetik inspirasinya dari panggung pertunjukan teater. Memang, kita tak lagi hidup di jaman seni rupa formalis, dan konflik antara (wacana) seni rupa dan (kondisi) teatrikal yang dianggap sebagai musuh seni rupa ‘murni’ itu juga tak pernah ada di lingkungan seni rupa kita.
"Saya memang belajar banyak dari teater. Tapi proses kreatif koper ini saya mengambil dari berbagai tulisan, berita di surat kabar, dan lain-lain," jelas Hardiman. Dengan latar itu, Hardiman Radjab yang memanfaatkan bentuk dan ruang yang “menjadi’ dalam koper, bahkan menghidupkannya (perhatikan, dalam pameran ini kopernya ada yang bisa ‘bernafas’), memberinya isi dan tafsiran macam-macam menjadi menarik karena kesuntukannya menggarap single-minded medium koper", Hendro Winarto.
Koper-koper tua sebanyak 25 buah yang menjadi objek karya yang dipamerkan dibuat hidup layaknya tubuh manusia urban yang seringkali menemukan ruang kesendirian, krisis eksistensi di usia senja. Hardiman menyoroti tubuh-tubuh urban yang tak hentinya melakukan perjalanan, perpindahan ruang dan waktu, budaya serta keterasingan tubuh itu sendiri.
Tubuh dalam keterasingan divisualkan oleh Hardiman melaluis sebuah etalase koper tua yang sudah menjelajahi dunia melalui terminal atau stasiun dengan sebuah video art karya Aciel Ilyas. Pengunjung pameran dapat menyaksikan bagaimana sebuah koper tua ditinggalkan di ruang-ruang publik hingga terjebak dalam keterasingan di usia senjanya. Koper itu direkayasa seolah tubuh manusia yang memiliki organ wajah dan mata. Mata koper itu terus meneteskan air mata sehingga nampak hidup yang bukan lagi sebagai koper, tapi menjadi sesuatu tubuh yang hidup dan memiliki rasa. Hardiman sengaja memamerkan objek koper seperti itu karena keprihatinannya terhadap benda (koper tua) antik yang ditinggalkan padahal ia sudah berjasa mendampingi kebutuhan tubuh manusia dalam perjalanan-perjalanan.
Hardiman "menjadikan" koper sebagai medium untuk memaknai sebuah benda dalam ruang publik dengan sudut pandang yang unik dan jeli, bahkan luar biasa karena tidak semua orang berkenan meluangkan waktu untuk memberi makna terhadap sebuah benda atau tubuh. Tak heran bila hardiman mengusung judul "Berkoper-koper Cerita" karena memang di dalam koper yang terbatas volume ruangnya dapat diisi dengan sebuah makna lain yang tidak sekedar tempat menimpan barang atau benda dalam sebuah perjalanan. tidak hanya itu, Hardiman juga mengungkapkan kehidupan tubuh-tubuh urban di perkotaan dengan kehidupan malamnya. Diskotek atau klab malam yang menjajakan wanita-wanita cantik juga disajikan oleh Hardiman dengan sangat detil dan rinci dalam skala ukurannya pada kopernya yang berjudul 'Red Light'. Lagi-lagi, kemampuan Hardiman dalam membuat panggung pertunjukan ditunjukan dengan membuat koper-koper tua yang isinya sebuah fenomena sosial tubuh-tubuh urban yang sering kita temui di sekitar kita.
Profesi Hardiman sebagai penata artistik panggung teater/drama terlihat sangat kuat pada kopernya yang berjudul 'Coffee Break'. Di dalam koper itu Hardiman membuat setting panggung sebuah bar di mana seorang napi yang kakinya dirantai pada sebuah bola besi besar dan sherrif sedang duduk bersama membincangkan sesuatu. Juga pada koper yang diberi judul 'Rest In Peace' di mana pemakaman seseorang dirancang dengan fasilitas lengkap layaknya seseorang yang masih hidup, lengkap dengan lemari berisi emas dan ruang sanati yang ada televisinya.
Koper-koper tua itu oleh Hardiman menjadi ruang diskursif tentang makna dan keberadaan entitas tubuh ataupun persoalan lingkungan. dalam koper yang diberi judul 'So Much Trouble', Hardiman membuat prototipe bencana alam lumpur lapindo yang menenggelamkan sebauh desa dan Hardiman membuat tiang dengan bendera setengah tiang di sana. Koper itu barangkali mewakili kepekaan sosial Hardiman terhadap persoalan lingkungan di Indonesia yang hingga kini tidak kunjung tuntas.
Pameran ini banyak mendapat sambutan baik dari para pengunjung. Rata-rata mereka terkesan dengan rancangan koper-koper tua yang diisi dengan cerita-cerita menarik seputar kehidupan manusia urban di perkotaan. Sehingga para pengunjung tidak perlu mengerutkan dahi untuk menafsir sebuah makna atau pesan dari koper-koper tua dengan masing-mnasing cerita di dalmnya. Dalam komentar para pengunjung pameran saya menemukan sebuah tulisan dari seorang teman Hardiman. "Aku bangga dengan kamu. 27 tahun yang lalu kamu teman SMAku yang 'tidak terlalu hebat' alias biasa saja tapi...sekarang kamu 'hebat, luar biasa....'," tulis Sofi dari Malang.
Hobi mengumpulkan barang antik tidak disia-siakan oleh Hardiman Radjab. Ia dapat memberi makna lain dari sebuah barang antik bernama koper sehingga menjadi benda lain yang unik. Hendro Wiyanto menambahkan, wacana obyek di lingkungan seni rupa kontemporer kita datang begitu saja dalam satu dekade terakhir ini. Misalnya sebagai perluasan gagasan trimatra dari para pelukis atau permainan yang mengasyikkan perihal skala oleh para pematung. Para perupa dari lingkungan kriya-seni menyambutnya dengan bermacam-macam pendekatan: olahan bentuk baru yang menyimpang dari tradisi dan fungsi wadah, pencampuran bahan, mengkopi atau mengapropriasi bentuk yang ada.
Dunia urban di dalam koper-koper itu menjadi bahan apresiasi yang menarik bagi pengunjung pameran. Kehidupan manusia atau tubuh-tubuh itu dapat dimampatkan dalam sebuah koper yang sudah menjadi medium untuk berkomunikasi, baik itu antarobjek maupun dengan apresian. Terutama bagi perupa yang memilih olahan garap di luar mainstream seni rupa modern di Indonesia saat kini, seperti lukisan atau patung misalnya. Melalui pameran Hardiman dengan koper-koper tuanya inilah para seniman kriya dapat lebih leluasa mengekplorasi bentuk seni untuk mengekspresikan gagasan seninya dengan cerapan sosial yang dipilihnya.
Meskipun dapat dikatakan unik dan segmented, pameran semacam ini banyak dilirik oleh penikmat seni di Indonesia karena mereka dapat melihat susudt pandang lain terhadap karya seni dalam membaca jaman atau fenomena sosial budaya di Indonesia. Toh, pameran Hardiman dapat diterima publik karena bahasa seni khas yang dimilikinya yaitu seni kriya. (Argus Firmansah, Kontributor KOKTAIL/Jurnal Nasional, wartawan lepas tinggal di Bandung)