Thursday, June 28, 2007
Tuesday, June 19, 2007
Peresmian Gedung Indonesia Menggugat dan Dialog Re-Interpretasi Pancasila Bersama Hidayat Nur Wahid
Wednesday, June 13, 2007
Blast: Pameran Tunggal Armandjamparing
Kelambu besar disorot lampu kuning mengisi ruang auditorium Pusat Kebudayaan Francis (CCF) Bandung. Petikan kecapi mengiring suasana ritus di bawah kelambu raksasa itu hingga muncul seorang penari dengan kostum pendukung PERSIB Bandung. Dia meliuk-liuk di bawah kelambu dengan alunan kecapi. Seseorang yang merepresentasikan seorang dukun, berkacamata hitam, duduk di sisi panggung yang lain. Lalu seorang MC masuk ke pentas dan berkoar tentang PERSIB MAUNG BANDUNG. "....inilah persembahan untuk PERSIB BANDUNG," ujar sang MC dengan gaya rapper di hadapan pengunjung pameran yang sedang duduk-duduk.
Itulah sebuah perhelatan seni rupa kontemporer Bandung di gelar pada Jumat malam (8/6) di Galeri CCF Bandung. Pameran tunggal bertajuk BLAST karya Armandjamparing dikunjungi banyak seniman muda yang berkecimpung di dunia rupa. Lukisan dan drawing bertemakan gejolak sosial mengisi seluruh dinding Galeri tersebut. Pameran karya Armandjamparing ini akan digelar di Galeri CCF Bandung pada tanggal 8 – 16 Juni 2007. Hadir juga kolektor-kolektor lukisan dan kurator karya rupa Bandung di sana, misalnya Abun Adira, Tetet Cahyati, dan lain-lain.
Seni rupa kontemporer cukup menghidupi kancah kesenian di Bandung, khususnya dunia rupa dengan banyaknya performance art – alternatif ekspresi perupa Bandung. Armandjamparing juga memiliki pengalaman berkesenian di dunia seni pertunjukan sebagai penata artistik (seni pertunjukan), dan intalasi benda rupa, juga performer. Namun demikian, kegelisahannya untuk berkarya di atas kanvas tidak ditinggalkan. Proses kreatif Arman terbilang cukup menggemparkan ketimbang eksibisi Tisna Sanjaya yang akhirnya harus beurusan dengan Walikota Bandung terkait dengan pembakaran karyanya di Jalan Setiabudi, Bandung. Proses kreatif Arman justru lebih radikal lagi. Arman pernah ditangkap aparat pada tanggal 28 September 2003, karena mengganti tulisan “Bandung Kota Kembang” menjadi “Bandung Kota Sampah” pada sebuah billboard di jembatan penyeberangan jalan Dr. Setiabudi, Bandung.
Hawe Setiawan dalam pengantar pamerannya menulis lebih dalam lagi, bahwa Arman lahir sebagai seniman yang tumbuh di jalan. Pada tahun 1992, Arman datang sebagai salah satu manusia urban ke kota Bandung, menjadi pengamen jalanan, berdagang (pedagang kaki lima). Mulai berkarya dalam bentuk drawing pada tahun 1994. Lalu, masuk ke komunitas teater di IKIP Bandung (UPI Bandung) pada tahun 1996 di mana ada Ayi Kurnia dan Asep Supriatna.
Para pengunjung tertarik dengan karya-karya perupa Bandung yang punya nama asli Arman Sudaryana kelahiran Garut pada tahun 1975. Mereka tertarik dengan imajinasi Armandjamparing pada goresan garis dan gubahan bentuk imajiner oleh pensilnya di atas kertas. Imajinasi mesin-mesin dan teknologi menjadi tubuh manusia kontemporer yang muncul secara inten pada karya yang dipamerkan.
Mengapa mesin dan tubuh? BLAST merupakan peringatan dan propaganda kesadaran manusia Indonesia akan kehancuran yang terjadi nanti. Kata "BLAST", menurut paparan Armandjamparing, diartikan suatu keadaan yang sangat besar, sebagai ekses dari kemajuan teknologi yang berdampak sosial secara negatif. Pameran tunggal ini adalah sebuah harapan Armandjamparing kepada publik seni visual Bandung agar tumbuh sebuah kesadaran sosial. Kesadaran sosial yang tanggap terhadapa dampak kemajuan teknologi yang ujung-ujungnya adalah masalah limbah dalam beragam bentuk. "Saya tidak menolak kemajuan teknologi, tetapi solusi limbah harus dipikirkan," katanya saat menjelaskan gagasan BLAST dalam pameran tunggalnya.
Dengan latar belakang sosial masyarakat kota Bandung yang sudah tidak lagi teriris nuraninya saat melihat berita di televisi tentang dampak kehancuran alam disebabkan oleh kemajuan industri, pembunuhan, dan kriminalitas lainnya, menjadi inspirasi bagi Armand untuk merepresentasikan kegelisahan sosial dirinya sebagai bagian dari gejolak sosial di tanah air. Melalui BLAST inilah Arman ingin membuka ranah kesadaran sosial kepada manusia Indonesia di jaman sekarang.
Dalam pengantar pameran tunggalnya ini Arman menulis sebuah konsep puitis yang berbunyi, “Suhu tubuh manusia memanas dalam kehisterisan mesin-mesin industri. Propaganda dilawan dengan teror-teror mematikan. Dengan berdirinya konstruksi raksasa yang panasnya mampu mencairkan es di kutub utara dan selatan.....Tanah sudah menajdi tembok, kayu menjadi besi. Teknologi menatap kemajuan sebagai sesuatu yang akan berakhir menjadi kehancuran.....Besar kepala manusia membuat fungsi tubuh berhenti, perangkat-perangkat mesin mekanik yang sangat kaku menjadi alternatif agar hidup terus berlangsung dari kontaminasi global yang akan membunuh interaksi sosial.”
Tetet Cahyati, penggiat seni di Sanggar Seni Tirtasari, Bandung, memaparkan komentarnya bahwa karya-karya Arman yang dipamerkan itu sangat berkesan laki-laki. Judul-judul karya yang macho, bercirikhas karya rupa laki-laki. Dia sendiri mengatakan bahwa karya Arman yang bertajuk BLAST ini cukup menarik. Kemajuan jaman yang sangat pesat, globalisasi teknologi tinggi bisa ditangkap oleh imajinasi Arman. Karya-karya itu kontekstual di saat ini, karena memang dunia sekarang membutuhkan teknologi tinggi. Pengamatan Arman terhadap keadaan sosial budaya di lingkungannya sehari-hari dikolaborasikan dengan kemampuan rupanya hingga kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya. Sekaitan dengan wacana seni rupa kontemporer di Bandung, Tetet juga memaparkan bahwa seni itu bebas. Gejolak kaum muda yang cenderung menampilkan kejutan, keunikan bentuk, imajinasi yang liar seyogyanya dipelihara untuk menunjukkan eksisitensinya dalam berkarya rupa dan ciri khas karyanya sendiri. (Foto dan tulisan: Argus Firmansah/Kontributor Bandung, 8 Juni 2006).
Tubuh Perang Rebirth dan Protes
Teater embodiement memang bukan tontonan baru dalam kancah seni pertunjukan di
Broer dengan bekal teater Butoh, Jepang, mencoba membangun konstelasi estetika pertunjukan ke dalam teater modern kekinian di Bandung. Semangat inilah yang melatarbelakangi dia untuk berproses kreatif dengan metode ketubuhannya itu. Teks-teks muncul melalui interpretasi bebas penontonnya yang secara visual diimpulsifkan melalui bahasa gambar (video) dan tarian tubuh yang lebih bermakna.
Foto-foto penembakan dan video Perang Dunia II ditembakkan ke layar putih dengan cepat silih berganti. Montase itu mengantar imajinasi penonton pada situasi perang, kemudian ditayangkan sebuah video penembakan serdadu dalam frame bidikan satelit dengan sensor panas di malam hari.
Lampu spot merah membidik lantai pentas dibingkai mayat-mayat korban perang. Mayat-mayat dengan kostum kain kafan dan bunga-bunga di kepalanya bangkit, belajar berjalan, kemudian mencoba menjadi burung, atau kupu-kupu, atau manusia lagi, namun cacat – karena mereka adalah mayat yang sudah hancur tubuhnya. Mayat-mayat itu menjadi tubuh waspada bersamaan dengan tembakan montase foto-foto korban perang dan peristiwa peperangan seolah merepresentasikan peperangan di Timur Tengah.
Monolog-monolog tubuh melalui eksplorasi dasar tubuh aktor membangun fragmen-fragmen peristiwa di mana mayat-mayat itu menjadi tubuh waspada, berusaha hidup kembali untuk menghentikan perang sementara manusia terus berperang. Begitu seterusnya, perang, peluru diluncurkan dengan sangat cepat…..dor! dor! dor! dor! dor! dor! dor! Mayat-mayat baru bergelimpangan dalam jumlah ratusan, ribuan, hingga jutaan. Tanah pun jadi merah bersungai-sungai darah tentara, anak-anak, ibu, dan bapak-bapak. Kemudian hanya ada satu monumen kemanusiaan yang tertembak peluru, yaitu sebuah senapan yang ditancap ke tanah dengan sebuah helm di atasnya beserta sepatu boot seorang tentara yang mati di sampingnya.
Dalam kesempatan itu juga saya mewawancarai Arthur S. Nalan, penulis naskah drama dan sutradara teater di
Tubuh Broer sendiri sudah nampak sebagai tubuh yang terlatih dan kenyal. Sedangkan bagi aktor-aktornya yang masih berstatus mahasiswa tingkat satu di Jurusan Teater eksplorasi tubuh itu menjadi pengalaman baru mereka.
Pertunjukan teater ini terlihat bahwa Broer coba membaca kondisi dunia, globalisasi, perang sebagai cerapan estetis. Dan sangat tendensius terhadap polisi dunia, Amerika Serikat. Di sisi lain, pertunjukan itu belum menunjukkan masalah kekuasaan itu sendiri. Kebodohan manusianya, serta politik adu-domba yang secara sengaja untuk melemahkan kesadaran itu tidak ada dalam pertunjukan itu.
Juga renungan ketubuhan lokal,
Kekurangan sajian pertunjukan teater Realisme STB dalam Inspektur Jenderal (12/5) kemarin seakan menjadi hipotesa untuk pembaruan teater modern di Bandung. Teater ketubuhan boleh jadi suatu tawaran baru untuk menghidupkan apresiasi teater modern. (Argus Firmansah/Kontributor/Komunitas Pantau – Bandung/31 Mei 2007)