Perhelatan sastra digelar di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta (14/4) kemarin malam sekira pukul 20.00 WIB. Orang-orang dinas terkait dari Kepulauan Riau, Sumatera Barat turut hadir di gedung Teater Kecil malam itu. Acara Gelar Sajak Tunggal Suryatati pun terkesan dinas. Perhelatan yang diselenggarakan oleh Yayasan Panggung Melayu (YPM) dibuka secara langsung oleh Asrizal Nur sebagai ketua yayasan tersebut. Asrizal merasa berbangga hati dan mendapat kehormatan besar dari perhelatan puisi itu. Pasalnya, Walikota Tanjungpinang, Dra. H. Suryatati A. Manan, merupakan walikota wanita pertama di Kepulauan Riau yang kreatif berkarya dalam puisi dan sajak-sajaknya yang terkumpul dalam sebuah antologi sajak berjudul “Melayukah Aku”. Buku kumpulan sajak dan puisi itupun diterbitkan atas nama YPM sendiri. Asrizal mengatakan dalam sambutannya, Suryatati memperhatikan budaya Melayu melalui puisi-puisinya. Itu dilakukan oleh Suryatati untuk menjaga marwah Melayu dari budaya asing yang masuk ke masyarakat Tanjungpinang.
Kepekaan itu diekspresikan oleh Suryatati dalam beberapa karya sajak dalam antologi tersebut. Misalnya, penggunaan nama Melayu yang sudah direduksi menjadi nama impor dari Barat. Sama hal nya dengan nama panggilan di masyarakat Melayu di Tanjungpinang yang sekarang sudah menjadi perkara gengsi dan malu-malu. Malu untuk mengakui ke-melayu-annya. Memahami karya-karya Suryatati lebih mudah dikunyah melalui kacamata yang sederhana saja. Seperti pengantar Maman S Mahayana yang diungkapkan di forum itu, bahwa sajak atau puisi memiliki fungsi menausiakan manusia. Dan konsep humanisme ini sangat kentara dalam bait-bait sajak Suryatati. Maman S Mahayana dengan bahasa santun dan sedikit menyindir juga menyarankan, sebaiknya Gelar Sajak Tunggal Suryatati juga diselenggarakan di kampus IPDN, Sumedang, agar manusia di sana lebih manusiawi karena diberi pencerahan humanis dari seorang Walikota seperti Suryatati.
Komentar karya Suryatati lebih banyak menyoroti sosok pribadi Suryatati yang kreatif dalam bersastra selain sebagai pejabat Walikota Tanjungpinang. Tak heran pembaca sajak Suryatati malam itu terkesan segan kepadanya. Lain tidak dengan pembaca sajak jemputan yang di antaranya adalah Machzumi Dawood, Tusiran Suseno, Junewal Muchtar, Teja Alhabd, Mastur Taher, Hoesnizar Hood, juga Tamara Bleszynski sebagai bintang tamu pembaca sajak karya Suryatati. Namun di natara pembaca-pembaca sajak jemputan dari tanah Melayu Kepulauan Riau itu, Machzumi Dawood menampilkan gaya pembacaan yang cukup teatrikal. Mimik Dawood terlihat mencoba menghidupkan sajak-sajak yang dibacanya dengan berpindah-pindah posisi (blocking) di pentas gelar sajak itu.
Suasana akrab pun terjalin di dalam auditorium Teater Kecil, Jakarta, malam itu. Seakan kebersamaan dan keakraban sastra di Sumatera berpindah persemayamannya di Jakarta. Sajak-sajak Melayu hidup di Teater Kecil sebagai perhelatan manusia-manusia yang peka dalam bahasa yang elok dalam menukil butir-butir peristiwa-peristiwa manusia dalam hidup sehari-harinya. Keakraban itu kian menukik ke palung hati tatkala Iyeth Bustami, bintang tamu dalam acara itu, hadir dengan dendang irama Melayu yang santun, elok, dan indah. Suryatati pun makin khusuk menghidupkan kata demi kata dari sajak-sajaknya yang terjalin dengan tali puisi yang sederhana.
Ada kejujuran dalam sajak-sajak Suryatati. Misalnya sajak yang bertajuk “Kesaksian”, “Pengakuan” dan “Kesetiaan”, juga sajak “Ibu”. Dalam mana di dalam untaian kata-kata puitis itu membentuk sebuah simbol yang representatif tentang perilaku manusia di Tanjungpinang. Ada tentang ibu sebagai sosok wanita yang diagungkan karena jasanya memelihara budi. Ada kritik tentang perilaku birokrat yang malu-malu dengan perangainya yang membawa map-map proposal tender suatu proyek pembangunan daerah di Tanjungpinang. Ada kritik terhadap sistem dan budaya yang menenggarai status genealogi seorang manusaia, apakah dia seorang China atau Melayu. Kejujuran menjadi salah satu ikon dalam sajak-sajak Suryatati. Kejujuran seorang manusia yang bernama Suryatati dari pelik hidupnya menjabat Walikota di tengah tantangan global dan perubahan zaman masa kini, yang mengancam, yang menggerogoti tradisi leluhur, dan yang mengoyak pergaulan santun jadi kebarat-baratan.
Sajak-sajak Suryatati pun terkesan curahan hati. Banyak bait-bait kata meneropong dirinya sendiri sebagai pemimpin kota Tanjungpinang di tengah segala tantangan, tuntutan, dan pengabdiannya kepada negara tercinta Republik Indonesia. Sehingga muncul hipotesa nasionalisme dari seorang Suryatati melalui sajak-sajaknya, bahwa menjadi manusia Indonesia mesti tetaplah menjadi seroang Melayu meski Indonesia bukan negara Melayu. Kearifan lokal yang muncul dari sosok-sosok sajak karya Suryatati itu mengampanyekan resistansi kebudayaan asing yang nyata-nyata melumatkan kebudayaan asli daerah-daerah di Indonesia. Sajak Suryatati lebih menyoroti masyarakat Melayu di Kepulauan Riau yang rentan terhadap perubahan kultur yang destruktif.
Pada kesempatan yang lain Suryatati tampil duet bersama Tamara Bleszynski baca sajak yang bertajuk ‘Bosan’, “San, aku bosan/banyak basa-basi/tak ada realisai...” urai Tamara disambut pembacaan sajak yang sama dari suara Suryatati. Kali pertama Tamara muncul dari pintu samping audiens ketika panggung gelap. Dengan cahaya yang sangat redup, hanya lampu followspot yang menerangi artis peranakan ini ke atas panggung. Dengan dialek melayu Batak, Tamara mencoba menghidupakan sajak yang dibacanya. Namun, audiens yang hadir terkesima oleh sosok artisnya daripada sebagai pembaca sajak yang baik. Meski dikenal sebagai aktor sinetron ini, Tamara sangat datar dalam menghidupkan irama sajak-sajak yang dibacanya. Usai membaca sajak secara duet dengan Suryatati tepuk tangan dan riuh seruan “ndeso” kepada Tamara mengantarkan artis cantik peranakan Jerman itu ke luar panggung.
“Melayukah Aku”, judul antologi sajak yang diluncurkan dalam acara Gelar Sajak Tunggal Suryatati malam itu bertepatan pula dengan ulang tahun Suryatati yang ke-54. Maka seluruh sastrawan, budayawan, dan artis yang turut serta memeriahkan acara Gelar Sajak Tunggal Suryatati pun diberi bingkisan dari sang penyair wanita ini di penghujung perhelatan sastra itu. Sutardji Chulzsom Bachri yang hadir dalam perhelatan acara ini memang tidak turut serta membacakan sajak-sajak Suryatati. Namun kehadirannya menjadi simbol legitimasi kekaryaan Suryatati yang selain Walikota Tanjungpinang, juga merupakan daerah kelahiran Sutardji, adalah seorang penyair pula tahun. Taman Ismail Marzuki memang bukan kali pertama Suryatati menginjakkan kakinya sebagai penggiat sastra. Pada tahun 2006, Suryatati pernah hadir sebagai pembaca sajak yang bertajuk gelar Sajak Jalan Bersama Bupati/Walikota dan Penyair Melayu se-Indonesia. Akan tetapi perhelatan kali ini mejadi sebuah momentum besar bagi seorang Suryatati di dunia sastra, khususnya puisi Indonesia, yang menapakkan kaki kreatifnya sebagai wanita birokrat pertama di Tanjungpinang yang aktif menghidupkan sastra Melayu.
Sastra Melayu hidup pada kreatifitas penggiat sastranya yang tiada henti menggelar perhelatan sastra dan kajian perbandingan. Kepulauan Riau yang secara geografis berdekatan dengan Malaysia terdorong untuk terus menghidupkan sastranya yang bercorak lokal khas Melayu. Dalam sebuah event dialog antarpenulis esai sastra di Palembang (2004), terbuka suatu misi sastra Melayu yang hendak menghidupkan dirinya dengan kontribusi sastrawan di negeri serantau. Langkah ini memang dilakukan untuk mengejar ketertinggalan sastra Melayu di Asia Tenggara. Dalam forum itu, penulis-penulis yang tergabung dalam Majelis Sastera Asia Tenggara (MASTERA) mengunyah wacana identitas kemelayuan dan kebangsaan negeri serantau di milenium ketiga ini. Bahwa kesusasteraan Melayu harus terus dipacu dan digali potensi dirinya untuk selalu tampil sebagai dirinya sendiri. Penelitian dan kajian sastra bandingan pun menjadi wahana penjajagan diri di antara anggota negeri serantau yang antara Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Indonesia.
Kaitan wacana sastra Melayu dengan karya Suryatati ini sangat erat, bahwa apa yang dilakukan oleh Suryatati melalui proses kreatifnya adalah merupakan aset sejarah perkembangan sastera Melayu di masa yang akan datang. Dokumentasi sastra yang bertajuk Melayu mesti diapresiasi dengan baik sebagai suatu proses sejarah pertumbuhan kesusasteraan Melayu dewasa ini. Meski sajak-sajak Suryatati cenderung lebih mengemukakan dunia birokrasi di Kepulauan Riau, akan tetapi ada nilai-niali kemanusiaan di dalam perkamen-perkamen sastranya. Bahwa seorang Walikota pun adalah seorang manusia. Dia memiliki hati dan kepekaan terhadap semua peristiwa kemanusiaan di sekitarnya, walaupun dipandang dari kacamata seorang birokrat. [Artikel ini dimuat oleh Mimbar Umum, Medan, tanggal 20 April 2007]