Friday, August 31, 2007

Butet Manurung di Gedung Indonesia Menggugat - Bandung

Inspirasi dari Rimba Hingga Pendidikan Alternatif Butet Manurung
Pendidikan nasional diindikasikan tidak dapat menyentuh setiap anak Indonesia. persoalan kurikulum hingga sistem pendidikan yang hanya mencetak tenaga kerja menjadi persoalan bagi masyarakat. Karena lapangan pekerjaan yang tersedia tidak dapat diakses oleh masyarakat yang telah mengenyam pendidikan dasar, bahakan perguruan tinggi.

Ini menjadi persoalan. Namun demikian pemerintah tidak dapat disalahkan juga, karena pemerintah melalui Mendiknas sudah berupaya keras meningkatkan pendidikan nasional, termasuk mengupayakan anggaran pendidikan 20%, dan melaksanakan butir Undang-Undang Dasar 1945 soal pendidikan nasional. Persoalan anggaran pendidikan 20% itu sudah menjadi tanggungjawab pemerintah daerah masing-masing.

Pendidikan nasional menjadi sorotan masyarakat dengan dilaksanakannya sistem standarisasi kemampuan pendidikan dasar sumber daya manusia melalui Ujian Nasional. Di tengah persoalan pelaksanaan sistem nasional itu, Butet Manurung menawarkan sebuah sistem pendidikan dasar yang berbasis komunitas atau adat suatu masyarakat. Pendidikan alternatif dan bebas biaya bagi peserta didiknya mulai banyak dilakukan oleh komunitas masyarakat yang konsen terhadap kemajuan pendidikan dasar anak-anak Indonesia.

Apa yang dilakukan oleh Saur Marlina "Butet" Manurung (35 tahun) dengan Sokola Rimba di Bukit Tujuh Belas, Jambi, rupanya menjadi inspirasi untuk sebuah solusi memajukan pendidikan nasional di daerah terpencil. Hal ini dikemukakan pembahas yaitu oleh Aat Suratin, Budi Radjab, dan Irwanto dalam Diskusi Terbuka yang bertajuk “Adventure Education Experience” di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Kamis kemarin (30/8). Diskusi tersebut juga membahas buku Butet Manurung yang berjudul Sokola Rimba.
Irwanto, aktivis lingkungan dari komunitas Wanadri, mengemukakan bahwa buku yang ditulis Butet Manurung dalam Sokola Rimba merupakan inskripsi kejujurannya dalam upaya Butet Manurung menyebarkan ilmu pengetahuannya kepada anak-anak di dalam rimba. Buku itu sangat sederhana dan jujur dalam mengungkapkan masalah pendidikan dan cara mengatasi kesenjangan pengetahuan di masyarakat rimba. Bahasanya mudah dicerna karena apa yang ditulisnya dalam buku itu adalah pengalaman pribadi, dan bisa jadi lebih arif daripada orang kota dalam mendidik anak-anak.
Aat Suratin, dari sudut pandang budaya, memandang apa yang dilakukan oleh Butet Manurung adalah sebuah kerja budaya, yaitu “Pendidikan yang menyenangkan. Metode pendidikan yang dilakukan oleh Butet selalu mencari cara-cara baru, inovatif, sampai menemukan cara yang tepat. Dan itu membuat anak-anak rimba senang,” kata Aat Suratin. “Orang lokal mengejar mimpi dan mewujudkan mimpi itu, sedangkan orang kota tidak demikian,” tutur Aat Suratin dalam membongkar prinsip budaya masyarakat di Indonesia. Kerja budaya menurut Aat Suratin terbagi ke dalam beberapa prinsip dasar, antara lain: pendidikan harus membumi, menguntungkan, diorganisasi secara lokal, menumbuhkan kesadaran akan perubahan kebudayaan, mampu memberi keyakinan siapa dirinya dana mau jadi apa kelak. “Prinsip-prinsip itu bukan untuk sekolah rimba seperti yang dilakukan oleh Butet, tapi untuk pendidikan di kota. Akan tetapi prinsip-prinsip itulah yang diterapkan ke dalam sekolah rimba Butet dengan anak-anak adat setempat,” tambah Aat Suratin. Butet Manurung juga dipandang menerapkan prinsip leadership dengan sekolah rimbanya oleh Aat Suratin.
Forum diskusi terbuka itu bukan saja menjadi inspirasi bagi para pendidik di Indonesia. Juga menjadi masukan bagi para pecinta alam di tanah air. Bahwa menjadi pecinta alam tidak hanya hiking, camping, atau memenuhi ambisi pribadi untuk mencapai puncak ketinggian suatu gunung yang ada di Indonesia. Tapi bagaimana pecinta alam berinteraksi dengan masyarakat di sana, sehingga menemukan cara pandang baru seperti yang sudah dilakukan Butet Manurung dengan pendidikan alternatifnya.
Lalu bagaimana dengan pecinta alam lainnya, yang sering menjelajah pedalaman Indonesia dengan tujuan masing-masing itu? Apakah pernah terbersit dalam benak mereka untuk menyatu dengan masyarakat adat selain dengan alam yang dikunjunginya? Pertanyaan ini pun muncul setelah menelusur apa yang dilakukan Butet Manurung dengan tujuan sosialnya itu. Dengan program sederhana yang berbasis pendidikan komunitas adat, banyak hal yang dapat diperoleh selain sebuah kebanggaan karena sudah mampu dan berani menaklukan alam Indonesia.
Awalnya, Butet Manurung datang ke pedalaman Indonesia sebagai perempuan yang mencintai alam Indonesia yang memiliki kekayaan alamnya. Namun, ketika dia berinteraksi dengan masyarakat adat yang hidup di pedalaman itu muncul masalah bahasa sebagai alat komunikasi dasar. Sebagai perempuan sarjana bahasa Indonesia di UNPAD, dia melihat motivasi lain yang tidak hanya sekedar camping atau menjelajah hutan. Tapi bagaimana membuat hidup bermanfaat bagi orang lain. “Hidup bagi saya, bagaimana hidup saya bisa bermanfaat bagi orang lain dengan hobi kita. Jadi hobi yang bermanfaat bagi orang lain,” katanya. Melalui hobi menjelajah alam itulah Butet Manurung menerapkan sistem pendidikan dasar dengan metode Silabel. Metode ini adalah sebuah cara yang diolah oleh Butet untuk mengajarkan anak-anak rimba mengenal bahasa Indonesia selama dia berada di pedalaman Bukit Tujuh Belas, Jambi, Sumatera Timur. Metode ajar ini merupakan ramuan Butet dari pengetahuan antropologi dan bahasa yang pernah diperolehnya di universitas. Metode Silabel adalah pengajaran bahasa Indonesia yang terbagi dalam 16 ejaan, yaitu pembagian konsonan-vokal berdasarkan bunyi.
Butet juga mengatakan bahwa anak-anak dan masyarakat adat di pedalaman merasa tertekan oleh orang luar. Tekanan itu berupa justifikasi bahwa mereka itu primitif, bodoh, apdahal mereka merasa nyaman hidup seperti itu. Banyak orang luar yang melakukan penipuan kepada mereka, juga pencurian kekayaan alam atas nama organisasi yang tidak mereka mengerti.
Setelah mendapat pendidikan dasar dari Butet masyarakat adat yang menjadi komunitas didiknya mulai memahami dan mengetahui bagaimana berkomunikasi dengan orang luar yang datang ke tempat mereka. Mereka juga sudah bisa menghitung dan membaca, termasuk tahu kepada pihak mana untuk mengadukan perilaku individu atau organisasi yang melakukan pembalakan liar, pencurian kayu, dan tindakan kriminal lainnya. Dengan demikian, pendidikan yang dilakukan Butet di komunitas adat telah membuka akses pada pengetahuan dan peradaban, meskipun kesenjangan antara komunitas adat dan masyarakat luar masih ada.
Hal itu dicapai oleh Butet selama empat tahun berproses bersama masyarakat adat. Dari proses itu, bukan hanya masyarakat adat saja yang belajar, tapi Butet juga. Dalam forum itu Butet mengatakan setelah belajar dan hidup bersama masyarakat adat, cara pandangnya berubah. Yaitu ketika suatu saat ada beruang dengan anaknya datang ke tempat Butet dana anak-anak belajar. Butet ketika itu naik ke pohon. Sementara anak-anak rimba yang sudah berumur 12 tahun lebih mengusur induk beruang, dan menusuk-nusuk anak beruang dengan tombaknya secara beramai-ramai. Setelah peristiwa itu Butet menyatakan ketidaksetujuannya. Namun mereka mengatakan bahwa apa yang ada di depan mereka adalah rezeki dari Dewa mereka. “Dari situ saya jadi berpikir, maka kita harus berpikir dengan cara orang setempat,” ujar Butet dalam penjelasannya.
Butet Manurung kecil adalah salah satu “anak pingit”, karena kemana pun dia pergi selalu diantar oleh supir. Masa kecil Butet pernah hidup di Belanda selama empat setengah tahun di sana. Masa kecil Butet hanya mengenal Jakarta dan Belanda. Selain itu tidak ada. Butet kecil sangat menyenangi binatang kecil seperti semut, ulet berbulu, dan lain-lain.
Setelah masuk usia muda, Butet kuliah di UNPAD dan mengambil dua bidang studi dengan tahun ajaran yang berbeda, yaitu antropologi dan bahasa. Selam kuliah, Butet bekerja sambilan dengan mengajar Matematika dan Organ. Hasilnya ditabungnya agar setiap bulan bisa pergi ke gunung, misalnya untuk camping. Penjelajahan alam memang selalu diidam-idamkannya sejak Butet masih remaja, karena sejak kecil Butet menjadi ‘anak pingit’ oleh ayahnya. Maka pada usia muda dia mampu mewujudkan hobinya itu untuk menjadi pecinta alam.
Gedung Indonesia Menggugat bersama TIM SOKOLA, dan EIGER sebagai sponsor, Insist Press, melaksanakan kegiatan peluncuran buku SOKOLA RIMBA di Bandung untuk kali pertama. Kehadiran Butet Manurung dengan penjelasannya yang rinci mengungkap bagaimana sebuah pendidikan dasar bisa dilaksanakan oleh seorang perempuan Indonesia seperti Butet Manurung di rimba raya Indonesia.
Apa yang dilakukan Butet Manurung dengan sekolah rimbanya itu tentu saja menjadi masukan yang penting dan berarti dalam upaya memajukan pendidikan nasional. Pendidikan nasional yang tidak hanya dilakukan di wilayah perkotaan dengan segala bentuk komersialisasinya, tetapi bentuk pendidikan yang efektif dan benar-benar dirasakan positif oleh masyarakat. (Argus Firmansah/wartawan lepas tinggal di Bandung)

Tuesday, August 28, 2007

THE THEATRE AGENDA'S from THE NEW YORKER

OPENINGS AND PREVIEWS
Please call the phone number listed with the theatre for timetables and ticket information.
AMERICA LOVESEXDEATH Billy the Mime is the creator and star of this show, a series of sketches about current events. In previews. Opens Sept. 6. (Flea, 41 White St. 212-352-3101.)
THE DINING ROOM The Keen Company opens its season with A. R. Gurney’s drama, a series of vignettes about a twentieth-century Wasp family. Jonathan Silverstein directs. Previews begin Sept. 11. (Clurman, 410 W. 42nd St. 212-279-4200.)
EDGE Angelica Torn stars in this one-woman show about the life of Sylvia Plath. Paul Alexander wrote and directs. Previews begin Sept. 4. Opens Sept. 9. (ArcLight, 152 W. 71st St. 212-352-3101.)
100 SAINTS YOU SHOULD KNOW Playwrights Horizons kicks off the season with the world première of a play by Kate Fodor, about a woman who becomes intrigued by a troubled priest at the church that she cleans. Janel Moloney, Lois Smith, Jeremy Shamos, Will Rogers, and Zoe Kazan star. Ethan McSweeny directs. In previews. (416 W. 42nd St. 212-279-4200.)
KING LEAR Royal Shakespeare Company brings its production of the tragedy, starring Ian McKellen and directed by Trevor Nunn, to BAM. Playing in repertory with “The Seagull.” Opens Sept. 6. (BAM’s Harvey Theatre, 651 Fulton St. 718-636-4100.)
THE POWER OF DARKNESS Mint Theatre Company revives Leo Tolstoy’s drama from 1886, about a Russian peasant who becomes involved in a murder. Previews begin Sept. 6. (311 W. 43rd St. 212-315-0231.)
PURPLE HEARTS Burgess Clark’s drama about the 1941 Pearl Harbor attack, directed by David Epstein. Previews begin Sept. 5. Opens Sept. 8. (Gene Frankel Theatre, 24 Bond St. 212-387-8440.)
RITES OF PRIVACY David Rhodes wrote this one-man show, in which he portrays numerous characters, including a Southern pageant queen and a Nazi refugee. In previews. Opens Aug. 30. (Urban Stages, 259 W. 30th St. 212-868-4444.)
ROCK DOVES The première of a drama by Marie Jones, set in postwar Northern Ireland. Ian McElhinney directs. Previews begin Sept. 6. (Irish Arts Center, 553 W. 51st St. 212-868-4444.)
SCARCITY Atlantic Theatre Company presents the première of a new play by Lucy Thurber, about siblings longing to escape their life of poverty. Previews begin Aug. 29. (336 W. 20th St. 212-279-4200.)
THE SEAGULL Royal Shakespeare Company brings its production of Chekhov’s drama, directed by Trevor Nunn, to BAM. Ian McKellen stars in select performances. Playing in repertory with “King Lear.” Opens Sept. 7. (BAM’s Harvey Theatre, 651 Fulton St. 718-636-4100.)
THE SHAPE OF METAL Origin Theatre Company presents Thomas Kilroy’s drama, in which a sculptor copes with the disappearance of her daughter. Brian Murray directs. Previews begin Sept. 8. (59E59, at 59 E. 59th St. 212-279-4200.)
TILL THE BREAK OF DAWN Danny Hoch’s new hip-hop play, about a group of South Bronx radicals who take a trip to Havana, Cuba. Previews begin Sept. 4. (Abrons Arts Center, 466 Grand St. 212-352-3101.)
WALMARTOPIA! THE MUSICAL Daniel Goldstein directs this musical comedy, about a Wal-Mart employee who wakes up in the year 2037, when Wal-Mart rules the world. With a book by Catherine Capellaro and music and lyrics by Andrew Rohn. In previews. Opens Sept. 3. (Minetta Lane Theatre, 18 Minetta Lane. 212-307-4100.)
See all information by click:

The Lobby

The Lobby
by David Remmick
Last year, two distinguished political scientists, John J. Mearsheimer, of the University of Chicago, and Stephen M. Walt, of the John F. Kennedy School of Government, at Harvard, published a thirty-four-thousand-word article online entitled “The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy,” a shorter version of which appeared in The London Review of Books. Israel, they wrote, has become a “strategic liability” for the United States but retains its strong support because of a wealthy, well-organized, and bewitching lobby that has a “stranglehold” on Congress and American élites. Moreover, Israel and its lobby bear outsized responsibility for persuading the Bush Administration to invade Iraq and, perhaps one day soon, to attack the nuclear facilities of Iran. Farrar, Straus & Giroux will publish a book-length version of Mearsheimer and Walt’s arguments on September 4th.
Mearsheimer and Walt are “realists.” In their view, diplomatic decisions should be made on the basis of national interest. They argue that in the post-Cold War era, in the absence of a superpower struggle in the Middle East, the United States no longer has any need for an indulgent patronage of the state of Israel. Three billion dollars in annual foreign aid, the easy sale of advanced weaponry, thirty-four vetoes of U.N. Security Council resolutions critical of Israel since 1982—such support, Mearsheimer and Walt maintain, is not in the national interest. “There is a strong moral case for supporting Israel’s existence,” they write, but they deny that Israel is of critical strategic value to the United States. The disappearance of Israel, in their view, would jeopardize neither America’s geopolitical interests nor its core values. Such is their “realism.”
The authors observe that discussion about Israel in the United States is often circumscribed, and that the ultimate price for criticizing Israel is to be branded an anti-Semite. They set out to write “The Israel Lobby,” they have said, to break taboos and stimulate discussion. They anticipated some ugly attacks, and were not disappointed. The Washington Post published a piece by the Johns Hopkins professor Eliot Cohen under the headline “Yes, It’s Anti-Semitic.” The Times reported earlier this month that several organizations, including a Jewish community center, have decided to withdraw speaking invitations to Mearsheimer and Walt, in violation of good sense and the spirit of open discussion.
Mearsheimer and Walt are not anti-Semites or racists. They are serious scholars, and there is no reason to doubt their sincerity. They are right to describe the moral violation in Israel’s occupation of Palestinian lands. (In this, most Israelis and most American Jews agree with them.) They were also right about Iraq. The strategic questions they raise now, particularly about Israel’s privileged relationship with the United States, are worth debating––just as it is worth debating whether it is a good idea to be selling arms to Saudi Arabia. But their announced objectives have been badly undermined by the contours of their argument—a prosecutor’s brief that depicts Israel as a singularly pernicious force in world affairs. Mearsheimer and Walt have not entirely forgotten their professional duties, and they periodically signal their awareness of certain complexities. But their conclusions are unmistakable: Israel and its lobbyists bear a great deal of blame for the loss of American direction, treasure, and even blood.
In Mearsheimer and Walt’s cartography, the Israel lobby is not limited to AIPAC, the American Israel Public Affairs Committee. It is a loose yet well-oiled coalition of Jewish-American organizations, “watchdog” groups, think tanks, Christian evangelicals, sympathetic journalists, and neocon academics. This is not a cabal but a world in which Abraham Foxman gives the signal, Pat Robertson describes his apocalyptic rapture, Charles Krauthammer pumps out a column, Bernard Lewis delivers a lecture—and the President of the United States invades another country. Dick Cheney, Donald Rumsfeld, and Exxon-Mobil barely exist.
Where many accounts identify Osama bin Laden’s primary grievances with American support of “infidel” authoritarian regimes in Islamic lands, Mearsheimer and Walt align his primary concerns with theirs: America’s unwillingness to push Israel to end the occupation of the West Bank and Gaza. (It doesn’t matter that Israel and the Palestinians were in peace negotiations in 1993, the year of the first attack on the World Trade Center, or that during the Camp David negotiations in 2000 bin Laden’s pilots were training in Florida.) Mearsheimer and Walt give you the sense that, if the Israelis and the Palestinians come to terms, bin Laden will return to the family construction business.
It’s a narrative that recounts every lurid report of Israeli cruelty as indisputable fact but leaves out the rise of Fatah and Palestinian terrorism before 1967; the Munich Olympics; Black September; myriad cases of suicide bombings; and other spectaculars. The narrative rightly points out the destructiveness of the Israeli settlements in the occupied territories and America’s reluctance to do much to curtail them, but there is scant mention of Palestinian violence or diplomatic bungling, only a recitation of the claim that, in 2000, Israel offered “a disarmed set of Bantustans under de-facto Israeli control.” (Strange that, at the time, the Saudi Prince Bandar told Yasir Arafat, “If we lose this opportunity, it is not going to be a tragedy. This is going to be a crime.”) Nor do they dwell for long on instances when the all-powerful Israel lobby failed to sway the White House, as when George H. W. Bush dragged Yitzhak Shamir to the Madrid peace conference.
Lobbying is inscribed in the American system of power and influence. Big Pharma, the A.A.R.P., the N.R.A., the N.A.A.C.P., farming interests, the American Petroleum Institute, and hundreds of others shuttle between K Street and Capitol Hill. Zbigniew Brzezinski, President Carter’s national-security adviser, recently praised Mearsheimer and Walt in the pages of Foreign Policy for the service of “initiating a much-needed public debate,” but he went on to provide a tone and a perspective that are largely missing from their arguments. “The participation of ethnic or foreign-supported lobbies in the American policy process is nothing new,” he observes. “In my public life, I have dealt with a number of them. I would rank the Israeli-American, Cuban-American, and Armenian-American lobbies as the most effective in their assertiveness. The Greek- and Taiwanese-American lobbies also rank highly in my book. The Polish-American lobby was at one time influential (Franklin Roosevelt complained about it to Joseph Stalin), and I daresay that before long we will be hearing a lot from the Mexican-, Hindu-, and Chinese-American lobbies as well.”
Taming the influence of lobbies, if that is what Mearsheimer and Walt desire, is a matter of reforming the lobbying and campaign-finance laws. But that is clearly not the source of the hysteria surrounding their arguments. “The Israel Lobby” is a phenomenon of its moment. The duplicitous and manipulative arguments for invading Iraq put forward by the Bush Administration, the general inability of the press to upend those duplicities, the triumphalist illusions, the miserable performance of the military strategists, the arrogance of the Pentagon, the stifling of dissent within the military and the government, the moral disaster of Abu Ghraib and Guantánamo, the rise of an intractable civil war, and now an incapacity to deal with the singular winner of the war, Iran—all of this has left Americans furious and demanding explanations. Mearsheimer and Walt provide one: the Israel lobby. In this respect, their account is not so much a diagnosis of our polarized era as a symptom of it. (The New Yorker, 3 September 2007)

Friday, August 24, 2007

29 Tahun Jurusan Teater STSI Bandung

Mendongkrak Citra Pelaku Teater di Bandung
Sebuah perbincangan yang dihadiri banyak lulusan Jurusan Teater STSI Bandung digelar oleh Jurusan Teater STSI Bandung yang bertajuk ”29 TAHUN JURUSAN TEATER STSI BANDUNG” di lobi GK Sunan Ambu, STSI Bandung pada Jumat (24/8) kemarin. Pembicara dalam obrolan sanati itu antara lain Herry Dim (perupa Bandung), Bambang Arayana (pengajar SMKI Bandung), R.N. Wasitaatmaja (alumnus Jurusan Teater STSI Bandung). Obrolan sore itu banyak mengungkapkan persoalan citra teater di Bandung dan pandangan publik secara nasional saat ini. Banyak kritik dan saran dari mahasiswa yang hadir dalam obrolan tersebut, termasuk juga masukan dari pengajar Jurusan Teater STSI Bandung, bahkan alumni Jurusan tersebut.
Persoalan yang krusial dalam obrolan tersebut cenderung berisi ungkapan rasa kekecewaan terhadap nasib pelaku teater di Bandung yang masih dianggap tidak sesuai dengan yang diharapkan. Antara lain menyoal peluang kerja profesi yang sesuai dengan pendidikan keahliannya.
Sementara itu Herry Dim memaparkan konsep bagaimana membangun citra pelaku teater di Bandung tidak hanya dikela oleh kalangan sendiri. Untuk itu dibutuhkan langkah strategis, yang antara lain menjadi public relation bagi kawan-kawan pelaku teater. Langkah sederhana ini seringkali tidak terpikirkan oleh pelaku teater itu sendiri. “Ketika bertemu dengan orang lain kita tidak membicarakan diri sendiri, tetapi membicarakan orang lain,” ujar Herry Dim. Sehingga dapat dikatakan setiap pelaku teater Bandung saling mempromosikan kawan senimannya.
Eksistensi pelaku teater Bandung perlu dikenal oleh orang lain di daerah luar Bandung. Herry Dim juga menyatakan bahwa citra pelaku teater Bandung memang tidak dikenal secara nasional. Oleh karena itu, R.N. Wasitaatmaja mengatakan perlunya membangun relasi di daerah lain. Relasi ini tentu saja akan menghasilkan aksesibilitas pelaku teater dari Bandung untuk bisa hidup mapan dan berkarya di daerah luar Bandung.
Bambang Arayana mengatakan pentingnya membangun karakter pelaku teater yang tidak hanya ahli sebagai seniman tetapi juga memiliki karakter kuat secara keilmuan. Untuk mencapai langkah itu memang dibutuhkan pembenahan kurikulum di Jurusan Teater STSI Bandung dan aspek lainnya.
Membaca Konteks Jaman Dalam obrolan itu juga diungkap persoalan sikap pelaku teater Bandung, agar dalam proses membangun karakter dirinya tidak hanya sampai perbincangan teoritis saja. Akan tetapi aplikasi dari keilmuan yang dapat dilakukan secara nyata dan diketahui oleh masyarakat luas.
Paradigma lama pelaku teater yang mengenyam pendidikan seni teater di STSI Bandung sudah saatnya membuka diri dan bersosialisasi dengan elemen seni budaya lainnya, sehingga wawasan yang dimilikinya tidak sempit. Dengan keluasan cara pandang inilah diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran untuk membaca situasi jaman dan kebutuhan masyarakat, ketika membincangkan persoalan pemasaran seni teater Bandung. Para membicara menyepakati keadaan sekarang ini pada poelaku teater yang dianggap kurang militan dalam membangun dan mengembangkan dunia teater.
Selain itu dibincangkan pula bagaimana membangun relasi yang baik dengan media massa. Potensi sumber daya pelaku teater Bandung yang memilih dunia penulisan dan kritik dirasakan masih minim akses dan publisitas. Penulis repertoar pertunjukan teater dan kritik tidak terakomodir oleh media massa hanya karena persoalan aksesibilitas dengan perusahaan pers.
Namun demikian, ada hal yang terlupakan oleh pelaku teater Bandung. Yaitu budaya kritik dan menjalin hubungan dekat dengan insan pers. Dengan banyaknya peristiwa teater yang digelar di Bandung tetapi tidak terliput oleh media massa menyebabkan pelaku teater menganggap dirinya sudah cukup besar, hanya dengan ditonton oleh orang banyak. Seringkali pertunjukan-pertunjukan teater hanya menggunakan strategi publikasi dengan penyebaran foster atau pamflet. Padahal, sebuah acara kecil yang namanya “konferensi pers” sangat penting untuk menjalin hubungan baik dengan insan pers serta menanamkan kesadaran insan pers sebagai kawan dan bagian dari peristiwa teater tersebut.
Strategi Jitu Membangun Citra Teater Bandung Diskusi pemasaran teater produk mahasiswa dan alumni STSI Bandung juga dibahas sebelum obrolan santai itu. Aendra Meditha dalam forum diskusi yang bertajuk “Public Relation”, sebagai pembicara, memaparkan pentingnya dibangun kemampuan sumber daya manusia yang memahami dan mampu membangun relasi dengan sumber-sumber kapital untuk membantu pembiayaan produksi sebuah teater.
Namun demikian Aendra lebih banyak membahas bagaimana menumbuhkan kesadaran untuk menguasai ilmu manajemen. Sense of management sangat membantu suksesnya sebuah produksi teater, baik secara manajerial maupun secara publisitas. ***
Begitu banyak persoalan dalam membangun, mengembangan, serta memelihara citra teater yang baik sehingga dapat diterima oleh masyarakat seluas mungkin. Akan tetapi, para alumni Jurusan Teater STSI yang hadir dalam forum-forum itu memang sengaja diundah oleh lembaga untuk memberi masukan berupa pencerahan, baik mengelola ide kreatif maupun manajemennya.
Penyelenggaraan ulang tahun Jurusan Teater STSI Bandung yang ke-29 yang jatuh pada tanggal 26 Agustus ini akhirnya menjadi semacam kegiatan reuni antar angkatan. Alumni STSI Bandung yang sudah sukses berkecimpung di bidang broadcast hadir untuk memberi ilmu dan pengalamannya di dunia bisnis hiburannya kepada alumni lain, khususnya mahasiswa-mahasiswi Jurusan Teater STSI Bandung.
Kesempatan itu pun dimanfaatkan oleh sejumlah mahasiswa dan mahasiswi untuk menimba ilmu berharga itu. Mereka yang sudah lama bekerja di televisi swasta masih konsen terhadap adik-adik kelasnya dengan membagi pengalamannya di ibukota, Jakarta. (Argus Firmansah/wartawan lepas tinggal di Bandung)

Wednesday, August 22, 2007

Diskusi Pendidikan Indonesia Di CCF Bandung

Diskusi: Mengkaji Pendidikan Indonesia Menyoroti persoalan pendidikan di Indonesia memang tak ada habisnya. Beragam persoalan yang berupa pelanggaran pun kerap muncul di beberapa daerah. Kenyataan ini menjadi perhatian public dan pemerhati pendidikan di tanah air.
Sebuah diskusi publik digelar di Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Bandung kemarin (22/8) dengan menghadirkan aktivis pendidikan asal Jogjakarta, Eko Prasetyo. Anggota Komis E DPRD Kota Bandung, Drs. Kusmaeni, juga hadir di sana sebagai wakil pemerintah dalam mengkaji persoalan pendidikan Indonesia dalam diskusi yang bertajuk “Budaya Pendidikan Kita”. Wakil dari lembaga survei anggaran kota Bandung, BIGS, Dan Satriana hadir selaku moderator diskusi pendidikan tersebut. Rahmat Jabaril dalm pembukaan diskusi mengatakan, bahwa diskusi tersebut merupakan refleksi atas kondisi bangsa saat ini. “Keadaan bangsa yang schizophrenic saat ini dan pendidikan adalah akar permasalahannya,” katanya. Diskusi “Budaya Pendidikan Kita” dibuka dengan sebuah presentasi hasil survei data Bandung Institute of Governance Studies (BIGS) menyoal anggaran pendidikan kota Bandung. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 20, 2003 tentang Sisdiknas, dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan mendapat alokasi minimal 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan daerah (APBN dan APBD).
Dari hasil traking anggaran selama tiga tahun, 2004, 2005 dan 2006 ditemukan bahwa dalam APBD Kota Bandung, alokasi anggaran pendidikan (khususnya di Dinas Pendidikan Kota Bandung hanya berkisar 5 hingga 8 persen. Yang berkisar pada angka 63.616.925.084 miliar rupiah. Bigs menawarkan solusi anggaran dengan (1) memaksimalkan anggaran yang tersisa; (2) jika rata-rata penurunan 1 persen dari 1 triliun jumlahnya adalah Rp 10 miliar; (3) angka itu cukup besar untuk membantu orang tua yang miskin menyekolahkan anak-anaknya. Alokasi anggaran pendidikan Kota Bandung yang termuat dalam APBD 2007 mencapai Rp 544 miliar atau 34,09 % dari total APBD Kota Bandung sebesar Rp 1,6 triliun, dengan rincian alokasinya terdiri dari belanja tidak langsung Rp 466,7 miliar, belanja langsung Rp 49,5 miliar, dan bantuan untuk masyarakat Rp 27,8 miliar. Dari traking yang dilakukan ternyata program-program yang dilaksanakan lebih banyak tidak berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pendidikan. Hasil kajian FITRA menguraikan bahwa, seperti di tingkat nasional, di daerah pun, khususnya di Dinas Pendidikan Kota Bandung, anggaran tersebut habis digunakan untuk pelayanan dan kebutuhan birokrasi seperti diklat teknis pegawai, peningkatan kapasitas kelembagaan, administrasi kepegawaian, dll. Kondisi Pendidikan Indonesia Drs. Kusmaeni, anggota Komisi E DPRD Kota Bandung, mengatakan hingga saat ini komitmen DPRD Kota Bandung berupaya untuk terus mendorong adanya peningkatan berbagai sector, terutama sektor pendidikan. Hasil riset BIGS yang disajikan kepada peserta diskusi memang diamini kebenarannya oleh Drs.Kusmaeni. “Sebesar 20% dari PAD memang untuk pendidikan, sisanya 80% digunakan untuk belanja aparatur,” ujar Drs. Kusmaeni dalam pemaparannya. Persoalan anggaran untuk pendidikan memang membutuhkan proses yang tidak semudah membalikan telapak tangan. Namun hal itu terus diupayakan oleh DPRD Kota Bandung. “Pendidikan Indonesia memang belum tertata rapi,” tambahnya.
Hal lain justru diungkapkan oleh Eko Prasetyo, penulis di penerbit Resist Book dan Ketua Dewan Pembina Rumah Pengetahuan Amartya, Bantul, Jogjakarta. Eko lebih banyak bicara soal fakta di lapangan menyoal pendidikan nasional dengan memaparkan beberapa data hasil penelusurannya terkait dengan sulitnya aksesibilitas masyarakat miskin terhadap pendidikan dasar yang dicanangkan pemerintah. Ia memberi contoh apa yang sedang dilakukan Rumah Pengetahuan Amartya di Bantul, Jogjakarta. Sebagai contoh sekolah gratis yang sudah berjalan untuk mengakomodasi anak-anak dari keluarga miskin di sekitar sekolah gratis tersebut.
Apa yang ditanamkan pada anak-anak didiknya di sekolah gratis itu antara lain demokrasi, literasi, dan aksi. “Mengajarkan anak-anak masuk sekolah senang dan keluar dari sekolah juga senang,” papar Eko. Motivasi Eko dan kawan-kawannya dengan dibuat sekolah gratis tersebut adalah, bahwa pendidikan Indonesia kehilangan akar sehatnya, dan penuh interpensi politis. Mengapa? Karena pendidikan Indonesia melatih anak menjawab, bukan menumbuhkan budaya bertanya. “Pendidikan kita merayakan pertanyaan yang tidak mutu. Pendidikan kita tidak melatih inisiatif, atau berdiskusi, atau berorganisasi,” ujarnya. Yang terjadi malah jam pelajaran yang panjang disertai mata pelajaran yang luar biasa banyaknya. Sekolah menjadi tempat kehilangan peradaban, kreatifitas, budaya menulis dan membaca.
Komersialisasi pendidikan rupanya menyulitkan masyarakat miskin. Pendidikan adalah urusan publik. Maka seharusnya sebuah pemerintah memberikan perhatian khusus peningkatan kualitas pendidikan Indonesia dengan anggaran yang sangat memadai. Pada kesempatan itu Eko juga mengatakan, “Komitmen pemerintah bukan untuk ditunggu, tapi harus dipaksa karena urusan pemerintah sangat banyak.”
Program BHP pada institusi pendidikan masih dirasa memberatkan mahasiswa di Jogjakarta dan Jawa Tengah. Melalui program komersialisasi institusi pendidikan tersebut maka terbentuk suatu hubungan konsumen dan produsen. Siapa yang banyak uang, ia yang dilayani. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki biaya? Hal inilah yang perlu ditinjau kembali oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah masing-masing, bahwa kesejahteraan masyarakat Indonesia belum merata. Apalagi setelah melihat kondisi aktifitas pendidikan di beberapa daerah, khususnya di Jogjakarta. Yakni tradisi kultur intelektual yang kurang kondusif, dengan kurangnya minat mahasiswa menghidupkan perpustakaan. Dan dengan banyaknya beban ilmu yang ditempuh mendorong mahasiswa lebih aktif di kantin kampusnya ketimbang di perpustakaan.
Eko juga mengkritisi pendidikan sejarah di sekolah-sekolah di tanah air. Pendidikan sejarah tidak mengajarkan siswanya untuk mengkaji peristiwa apa yang terjadi di dalam peristiwa sejarah itu, seperti perlawanan terhadap kolonial. Mereka hanya menghafal nama pahlawan dan tanggal kelahirannya. Pendidikan Indonesia hendaknya berbasis pada realitas. “Anak-anak tidak diajari realitas dan kejujuran, justru diberi propaganda. Maka hasilnya, anak-anak jadi liar. Ingatan dan pengalaman selama sekolah bukan pelajaran, tapi hal-hal lain di luar yang diajarkan di kelas mereka.” Oleh karena itu Eko menyarankan agar jam pelajaran anak-anak sekoilah dikurangi, serta jam sekolahnya dikurangi. “Karena tugas pendidikan yang seutuhnya adalah tanggungjawab orang tua mereka sepenuhnya,” tambah Eko menanggapi pertanyaan peserta diskusi. Sekolah Gratis di Bantul, Jogjakarta Eko Prasetyo, sebagai Ketua Dewan Pembina Rumah Pengetahuan Amartya, bersama kawan-kawan aktivis membuat sekolah gratis yang diberi nama Rumah Pengetahuan Amartya di Perumahan Griya Mutiara, Bantul, Jogjakarta. Siswa-siswi di sekolah itu banyak dari keluarga miskin di pemukiman penduduk sekitar kompleks itu. Meski izin dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bantul menolak pendirian sekolah gratis itu. Mereka sudah memiliki 47 siswa selama enam bulan berjalannya program sekolah gratis itu.
Sekolah gratis itu melibatkan peran orang tua siswa-siswinya yang rata-rata dari keluarga miskin. Anak-anak yang berusia 6 – 13 tahun itu tidak dikelompokkan ke dalam kelas-kelas. Semua anak-anak disatukan di dalam satu ruangan kecil yang dilengkapi buku-buku sejumlah 5000 judul. Persoalan dana operasional dan lain-lain diperoleh dari sumbangan kawan-kawan aktivis dan uang pribadi keluarga Eko Prasetyo.
Namun demikian, sekolah gratis itu tidak menerapkan system kurikulum dalam proses belajar dan mengajarnya. Jadwal sekolah pun tidak seperti sekolah formal tentunya. Rumah Pengetahuan Amartya menggunakan sistem bahan ajar berdasarkan tema ajar yang disusun per bulan. Ketika ditanya mengapa tidak ada kelas di sekolah itu. Eko menjawab bahwa, “Kami menganggap semua anak berpotensi sama. Oleh karena itu tidak ada klasifikasi,” katanya. Dengan jumlah guru yang hanya 27 orang, mereka membentuk kelompok-kelompok belajar yang dimaksudkan untuk melatih kebersamaan dan wawasan organisasi kepada anak-anak didiknya. Anak-anak itu memiliki jadwal sekolah mulai pukul 15.00 – 18.00 wib, dari hari Selasa sampai Minggu. Tiap hari memiliki bahan ajar yang berbeda, antara lain bidang: seni lukis dan drama, sastra, tari, penelitian sosial tingkat dasar, olah raga, dan hari Minggu diisi dengan layanan dokter gratis, serta nonton film berbasis edutainmen.
Sekolah itu direncanakan akan menjadi sekolah dasar gratis di daerah itu pada tahun 2008. Pemerintah daerah setempat menamakan sekolah gratis itu setara dengan kejar paket A. tenaga pengajar sekolah itu berlatar belakang seniman, budayawan, aktivis, dan guru relawan. (Argus Firmansah/wartawan lepas tinggal di Bandung)

Kesaksian Rahmat Jabaril di CCF Bandung

Kesaksian Seniman Pada Kosmologi Hitam Putih
Sapuan kuas dengan cat akrilik pada kanvas-kanvas besar dengan komposisi hitam dan putih menggerayami ruang auditorium dan galeri CCF Bandung pada malam 20 Agustus 2007 kemarin. Pameran berlangsung mulai 20 – 25 Agustus 2007. Rahmat Jabaril yang dikenal dari komunitas seni rupa Gerbong Bawah Tanah Bandung mencoba bicara soal kesemrawutan kosmologi manusia jaman sekarang. Pameran tunggal itu diberi judul Kesaksian. Sebuah teks pengalaman batin Rahmat Jabaril terhadap kosmologi manusia Indonesia yang prihatin terhadap keadaan sosial, politik, dan tatanan kosmologi alam yang rusak. Pada teks pengantar pameran Rahmat Jabaril banyak mengutip teks Shakespeare, Jeremy Holmes, Nietzche, juga Derrida, yang membahasakan kesia-siaan hidup manusia di dalam relasi petanda-petanda. Rahmat dengan teks pinjaman itu mencoba mendramatisir kecemasan dan kegelisahannya yang tertuang di atas sapuan kuas pada kanvas-kanvas dengan nuansa hitam putih. Kemudian teks itu menjadi sebuah rajutan semiotika yang berulang atau bahkan bertumpukan dalam merepresentasikan protes sosialnya sebagai manusia yang terhimpit dalam peradaban metropolis.
Tidak hanya itu. Ia memilih sistem tanda lokal yang disebutnya akar budaya, yaitu kesundaan. Ia juga menyertakan sebuah instalasi yang merepresentasikan sistem religi masyarakat Indonesia pada jaman nenek moyang yang dianggapnya telah ditinggalkan banyak manusia metropolis sekarang ini. Instalasi sistem religi itu ditata sedemikian rupa sehingga membentuk altar dengan meletakkan sebuah lukisan yang bergambar seorang lelaki perut buncit dengan kapak yang telah memporak-porandakan lingkungan alam. Manusia itu disimbolkan sebagai kosmos destroyer pada konstelasi kehidupan alam raya Indonesia. Teks “Kesaksian” yang disuarakan Rahmat Jabaril menukik pada kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam gejolak sosiopolitik bangsa Indonesia. Teks keterangan “malam” banyak direpetisi olehnya seolah membuat penegasan atas apa yang ia protes, Revolusi Sosial. Namun muncul sebuah inkonsistensi dari teks-teks visual yang disajikannya, yaitu garis merah darah dan api pada beberapa kanvas dan kertas yang menjadi medium ekspresinya. Nada yang disuarakan memang terkesan miris dan naif dalam menyoal peristiwa reformasi tahun 1998, serta peristiwa politik lainnya di tanah air. Yang dianggap menimbulkan beragam masalah sosial dan politik di tanah air. Anggapan Rahmat itu buan semata tuduhan baginya. Peristiwa-peristiwa kehancuran dan kematian yang terjadi negeri ini menjadi inspirasi puitis untuk direnungkan dan dituangkan ke atas kanvas. Pendapat Wawan Christiawan, yang diwawancara penulis setelah mengapresiasi karya-karya Rahmat Jabaril yang dipamerkan, mengatakan bahwa teks-teks batin Rahmat Jabaril terlihat mengalir dalam karya-karya yang dipamerkan. Memahami sebuah teks realisme sosial, menurut Christiawan, adalah bagaimana kenyataan sosial itu dibahasakan secara visual dan apresiator dapat merasakan cukilan-cukilan peristiwa yang dikesankan melalui garis-garis dengan sapuan kuasnya. Christiawan juga mengomentasi komposisi warna hitam dan putih pada kebanyakan karya sebagai upaya dramatisasi Rahmat Jabaril dalam merepresentasikan pengalaman batinnya ketika melihat kenyataan sosial yang pahit di sekitarnya. Pada karya rupa yang dipamerkan, Christiawan melihat sebuah obsesi dari seorang Rahmat Jabaril, yaitu kecenderungan menjadi aktivis sosial ataukah seniman. “Saya melihat Rahmat Jabaril lebih cenderung sebagai aktivis sosial, ketimbang seniman rupa,” ujar Christiawan. Selain itu ia juga melihat adanya kode ganda atau eufimisme bahwa kenyataan sosial itu adalah ini dengan menyajikan sebuah instalasi sistem religi asli masyarakat Indonesia. Ia juga menyayangkan bau kemenyan yang sangat mengganggu apresiator. “Seniman itu tidak dapat mengubah kenyataan sosial. Seniman hanya merefleksikan kenyataan sosial itu ke dalam gambar-gambar visual, sehingga memberikan inspirasi,” tambah Christiawan. Sementara itu Rahmat Jabaril nemaparkan bahwa instalasi sistem religi masyarakat Indonesia itu disajikan sebagai simbol. Bahwa manusia jaman sekarang sudah meninggalkan akr budayanya, sehingga mereka kehilangan identitas. Dan paradigma itulah yang dianggap Rahmat sebagai katalisator rusaknya tatanan sosial, politik, dan lingkungan alam. Unsur tanah, api dan air, dalam instalasi sistem religi masyarakat Indonesia merupakan teks peringatan kepada semua manusia untuk kembali menemukan akar budayanya. Bicara adat lokal sama dengan membangun relasi dengan paradigma Timur. Namun Rahmat Jabaril justru melakukan peminjaman teks Barat pada wacana pamerannya. Hal ini menjadi janggal kemudian dalam konstelasi wacana Timur. Di satu sisi jabaril mengkritisi impor budaya Barat, sementara ia sendiri menggunakan ide dan gagasan tekstual untuk melengkapi wacana pamerannya. Maka dapat dikatakan, bahwa Jabaril sendiri tergolong ke dalam masyarakat pesakitan yang mengonsumsi budaya Barat dalam proses kreatifnya. Sah saja menggunakan metode adopsi. Akan tetapi pandangan itu menjadi kabur dengan hadirnya teks-teks Barat yang sinyalir diprotes keras oleh Jabaril sebagai momok kapitalisme budaya ke dalam kebudayaan masyarakat Indonesia saat ini. Sehingga hitam putih pun kian jelas; Putih adalah tradisi kearifan lokal (Indonesia) dan Hitam adalah konstelasi kebudayaan Barat. Memang sudah tidak kontekstual membahas Barat dan Timur dalam wacana revolusi kebudayaan atau revolusi apalah yang hendak disuarakan di balik garis dan warna pada kanvas-kanvas yang dipamerkan. Akan tetapi hal ini epnting utnuk disimak dalam melihat konsistensi seorang seniman dalam menyajikan karyanya ke hadapan publik.
Warna yang disajikan oleh rahmat Jabaril tidak hanya nuansa hitam putih saja. Warna lain yang dominant adalah merah; simbol api, nuasa biru, hijau, dan oranye pun muncul pada beberapa karya lainnya. Namun semua itu hanya menjadi pengulangan atau penumpukan pesan protes yang mengalir dalam darah Rahmat Jabaril ketika mengekspresikan pengalaman politisnya di jalanan ke atas kanvasnya hingga dapat diapresiais publik dalam pameran tunggalnya kali ini.
Terlepas dari semua itu, pameran tunggal yang bertajuk “Kesaksian” itu sangat lugas dan tegas menyuarakan kepedihan dan kondisi schizophrenia sang Rahmat Jabaril. Penanda schizophrenia itu nampak jelas pada kesan-kesan yang dimunculkan dari lukisan dan drawing yang dipamerkan Jabaril kali ini. Penulis ingin meninggalkan satu pertanyaan saja kepada sang kreator, yang menggelar diskusi bernuansa politis di dalam jadwal pameran tunggalnya. Apakah seorang Rahmat Jabaril seorang seniman ataukah seornag aktivis social-politik? Dengan meminjam pernyataan Wawan Christiawan pada pembukaan pameran ketika diwawancara, bahwa seniman itu hanya merefleksikan realitas yang dicerapnya melalui pengalaman yang intens ke dalam karya dalam bentuk visual. Seniman bukan “Bapak Pembangunan” yang dapat merobah keadaan dengan karya seninya. Cukuplah bicara dengan karya visual. Merdeka! (Argus Firmansah/wartawan lepas tinggal di Bandung)

Monday, August 20, 2007

Anak Indonesia Masih Dijajah?

Masa Depan Anak Indonesia Masa depan Indonesia ada di pundak generasi penerus bangsa. Merekalah yang akan membangun bangsa ini kelak dengan pengetahuan dan kemampuannya bersaing di dunia global. Membawa bangsa Indonesia dalam percaturan politik, ekonomi, dan kebudayaan bersama bangsa-bangsa lain di panggung dunia. Tanggungjawab generasi penerus bangsa ini bukan main, perlu pembekalan melalui pembelajaran yang matang dan mantap, sehingga tidak tergoyahkan oleh tradisi politik dan kebudayaan yang malas dan korup.
Harapan bangsa ini kepada generasi penerus, yaitu anak-anak Indonesia sungguh besar, akan tetapi harapan itu sekaligus menjadi keraguan tatkala melihat kenyataan saat ini. Yaitu banyak generasi penerus yang tidak mampu mengenyam pendidikan yang layak dan tuntas. Masih banyak generasi penerus yang terlantar di jalanan, di tempat yang tidak semestinya mereka berada. Namun demikian, itulah kenyataan hidup generasi penerus bangsa saat ini. Hidup di bawah terik matahari dan menghirup asap kendaraan setiap harinya. Tidur pun mereka di selasar pertokoan bersama orang tua mereka yang memilih hidup di jalanan.
Pengamen jalanan kini sudah menjadi pilihan mereka yang hidup dalam kemiskinan ekonomi dan kemiskinan pengetahuan. Anak-anak umur belasan tahun secara terpaksa menengadah tangannya di pintu-pintu angkutan kota, di dalam bis kota, bahkan juga di perempatan jalan kota-kota besar di Indonesia. Ada apa dengan kita yang selalu melihat ke atas, melihat kekuasaan hingga terjebak dalam lingkaran politik yang menyesatkan moral? Sering kali kita lupa melihat saudara kita yang hingga saat ini masih mencari nafkah dengan meminta-minta. Dan memang bukan rahasia umum bahwa lembaga-lembaga peneliti swasta sudah pernah mengungkap jaringan pengemis dan pengamen di seluruh kota besar. Sebuah fakta bahwa mereka memang menjadikan pengemis dan pengamen sebagai profesi untuk menopang kebutuhan hidup keluarganya. Tak heran bila banyak anak-anak di bawah umur 10 tahun banyak yang jadi pengamen di perempatan jalan, karena dorongan orang tua mereka sendiri.
Cermin sosial masyarakat miskin ini juga banyak yang dimanfaatkan oleh sekelompok individu untuk meraih keuntungan dengan mengeksploitasi anak-anak. Tapi, siapa yang mampu bertindak dan menyelesaikan masalah sosial ini? Seolah-olah tidak ada instrumen hukum yang mengatur hak hidup anak dan melindungi mereka dari tindak kekerasan, eksploitasi, dan kriminalitas. Alasan keluarga miskin kota yang berasal dari daerah kabupaten umumnya mengatakan keterbatasan ekonomi, sehingga mereka mendorong anak-anak mereka sendiri untuk belajar mencari nafkah sejak dini. Pendidikan yang layak, untuk beberapa keluarga miskin kota, masih jauh dari jangkauan ekonomi mereka. Apalagi setelah meneliti budaya lokal suatu masyarakat di Jawa Barat, seperti di pedalaman Cirebon, Majalengka, Indramayu, Garut, dan daerah kabupaten lainnya. Sebuah keluarga yang memiliki anak perempuan dianggap sebagai aset/modal keluarga. Modal untuk usaha meningkatkan perekonomian.
Caranya ada bermacam-macam, misalnya trafficking dan prostitusi remaja. Tidak sedikit anak-anak perempuan berumur belasan tahun sudah menjadi janda berkali-kali di pedalaman Kabupaten Indramayu, karena sebuah mitos lokal, yaitu pantangan menolak lamaran pertama. Berawal jadi janda muda, mereka dituntut memenuhi kebutuhan anak-anak mereka. Maka menjadi penari sensual, bahkan prostitusi pun menjadi pilihan mudah untuk dilakukan. Hal inilah yang menyebabkan angka pelacuran remaja di kota-kota besar terus meningkat. Banyak anak-anak yang saya temui di jalan-jalan, khususnya di kota-kota besar dan daerah kabupaten di tanah air ini. Mereka yang hidup di jalan itu diciptakan oleh orang tua mereka sendiri. Karena tidak ada pilihan lain untuk dilakukan, maka prostitusi atau mengamen di jalan dianggap satu-satunya jalan untuk bertahan hidup.
Anak-anak sudah menjadi komoditi terselubung bagi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Perdagangan anak dengan modus penculikan, kriminalitas, kian ramai di media massa. Saya kira peran orang tua dalm mendidik anak-anaknya mesti diperhatikan benar. Juga peran serta masyarakat di lingkungan sekitarnya juga mesti ditingkatkan. Mengapa? Karena pilar pendidikan keluarga adalah pendekatan yang paling tepat dalam menjaga masa depan anak bangsa. Termasuk juga membimbing anak-anak terhadap tontonan di televisi, baik hiburan (sinema elektronik maupun film), juga pemberitaan kriminalitas khususnya. Saya masih menyayangkan manajemen televisi dalam menayangkan sejumlah programnya yang mementingkan nilai ekonomi perusahaan ketimbang nilai edukasi pada program-programnya. Media massa, pers, dapat juga berperan untuk mendorong masa depan anak melalui sejumlah tayangan yang berbasis edutainment.
Pemberdayaan anak yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat pun masih belum dapat menurunkan angka prostitusi dan pekerja di bawah umur. Sebab tuntutan ekonomi keluarga mereka lebih besar ketimbang mengikuti proses pembelajaran yang layak. Dan saya kira peran serta pemerintah pusat dan daerah masih belum signifikan dalam menangani masalah anak di tanah air. Dibutuhkan komitmen yang nyata dalam menyelesaikan masalah anak, sehingga angka kekerasan di masyarakat dan kriminalitas di mana anak yang menjadi korban dapat direduksi.
Program homeschooling sudah banyak tumbuh dan berkembang sebagai institusi alternatif bagi pendidikan anak. Namun demikian sistem belajar di rumah secara mandiri belum tersentuh keluarga miskin di kota. Karena biaya pendidikan homeschooling masih tergolong mahal dengan kualitas yang bagus. Apa yang dilakukan keluarga miskin dengan mendorong anaknya bekerja juga dapat dikatakan sebagai program pendidikan mandiri di keluarganya, akan tetapi bekal pengetahuan yang mumpuni tidak dimiliki keluarga miskin itu. Sehingga dampak sosialnya lebih cenderung negatif, karena mendidik anak belajar kekerasan di jalan. Padahal perkembangan psikologi anak belum cukup untuk menyerap realitas hidup. Imajinasi anak pun lenyap di jalan. Dan hal ini juga mereduksi potensi kreatif anak dalam perkembangan mentalnya. Lebih banyak kekerasan yang dipelajari anak selama berada di jalan.
Dapat diamati kehidupan sebuah keluarga miskin yang hidup di jalan. Tidur di selasar pertokoan. Setiap hari menghirup asap kendaraan bermotor. Makan dan minum di sana. Dan setiap hari pula dihadapkan pada kondisi serba kekurangan. Hanya jalanan yang mendidik mereka tumbuh dewasa. Seorang anak kecil dipaksa menghadapi kenyataan keras, bahwa untuk memperoleh makanan atau jajanan mereka harus meminta-minta di trotoar jalan, atau menyanyikan lagu-lagu dewasa yang belum tentu mereka mengerti.
Bagaimana kesehatan sang bayi dapat diperoleh ketika sang ibunda makan dengan menu seadanya, bahkan kadang makan sehari dalam sehari. Tentunya kualitas air susu ibu yang diminumnya tidak mengandung gizi seimbang yang dibutuhkan oleh tubuh bayi. Siklus hidup ini terus berlangsung hingga ia menginjak usia remaja dan dewasa. Maka tidak mengherankan apabila karakter anak menjadi keras atau agak liar. Sebab mereka tidak mengenyam pendidikan soal etika, pemahaman benar dan salah, mana yang baik dan mana yang kurang baik. Kecenderungan besar untuk melakukan kriminalitas atau kekerasan sangat potensial untuk mempertahankan hidup mereka.
Betapa menyedihkan kondisi masyarakat Indonesia yang demikian itu. Sementara kita semua tahu tanah air ini memiliki kekayaan yang melimpah, sampai-sampai kekayaan itu menjadi milik orang asing. Dan generasi penerus sendiri tidak menikmati kekayaan itu. Justru mereka harus selalu berhadapan dengan lapangan pekerjaan yang sempit ketika mereka dewasa. Atau pilihan jalan pintas dengan mencopet, mengutil, premanisme.
Solusi yang paling efektif adalah peningkatan ekonomi mikro yang melibatkan keluarga miskin sebagai subjeknya. Karena dengan kesejahteraan ekonomi keluarga miskin pendidikan yang layak bagi anak-anak miskin dapat terwujud. Solusi kedua adalah fasilitas kesehatan gratis untuk keluarga miskin. Misalnya rumah sakit gratis khusus keluarga miskin, serta rumah konsultasi anak yang digratiskan untuk keluarga miskin di kabupaten dan kota. Dan yang ketiga adalah sarana pendidikan gratis yang sama kualitasnya dengan sekolah atau lembaga pendidikan yang terakreditasi sangat baik kulaitasnya. Kesehatan jasmani anak sangat mempengaruhi perkembangan tubuhnya, sedangkan kesehatan ruhani mempengaruhi perkembangan psikologi mereka untuk tumbuh menjadi remaja yang kreatif dan memiliki mental yang kuat.
Saya kira pemerintah dapat menyusun anggaran untuk keluarga miskin yang berbasis pemberdayaan anak. Dan tidak hanya mementingkan kepentingan politik golonga, partai, atau kerabat dekat penguasa di bidang ekonomi. Program ini saya yakin dapat mengurangi kemiskinan pengetahuan bagi anak-anak, walaupun tingkat pendidikan orang tuanya sebatas pendidikan dasar. Di sinilah kesadaran masyarakat dan pemerintah terhadap hak anak dapat diwujudkan dalam rangka membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang lebih baik. Masyarakat dengan kemampuan ekonomi tinggi dapat berperan aktif sebagai pengawas pelaksanaan program pemberdayaan keluarga miskin ini, selain bertindak sebagai funding father. Marilah kita sama-sama memperhatikan hak hidup layak bagi anak-anak Indonesia untuk masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik. (Argus Firmansah, wartawan lepas tinggal di Bandung)

Thursday, August 16, 2007

Opera Sabun Diadaptasi dari Naga Bonar

Komedi Situasi Untuk Pejuang Kemerdekaan Sebuah komunitas yang terdiri dari mahasiswa se-Bandung menggelar pertunjukan drama komedi situasi di pentas auditorium CCF Bandung pada Selasa malam kemarin (14/8). Pentas drama itu berjudul “Cepat Pulang Bujang!” yang dimainkan oleh Ricky Arnold Yuniarto (Bujang), Eva Ayu Khuntari (Perawat), Elke Marcheline Sandjaja (Naomi), dan Desi Viciana(Asih, istri pejuang). Mochamad Rizal Setia Hendra Achmad sebagai sutradara pentasnya. Cepat Pulang Bujang! ditulis oleh Ophan Ajie dengan mengandaptasi naskah drama dan film “Naga Bonar” versi Asrul Sani. Kisah yang disajikan pun tak jauh beda dengan tema perjuangan seperti dalam film Naga Bonar yang diperankan oleh Dedy Mizwar. Cepat Pulang Bujang! karya Ophan lebih tepat dikatakan sebagai naskah lakon tafsir teks Naga Bonar. Karena inti pesan masih tetap orisinal, yaitu kisah perjuangan tentara rakyat melawan penjajah. Drama heroik Cepat Pulang Bujang! tidak seperti film Naga Bonar yang memuat pesan perjuangan rakyat Indonesia dengan sudut pandang kemanusiaan. Cepat Pulang Bujang! justru lebih ringan lagi bentuk pertunjukannya, karena sasarannya untuk hiburan. Pentas drama yang diproduksi oleh komunitas Green Symphony itu dikemas dalam tontonan ringan, komedian. Unsur hiburan lebih dominan daripada ketegangan suasana perang dalam kisahnya. Malahan, boleh dikatakan bahwa aktor Bujang berusaha membuat dekonstruksi historis terhadap tokoh yang diperankannya. Ia menjelaskan dalam ujaran dialognya, bahwa dia adalah tentara yang terlatih untuk mencopet ketimbang berperang. Tentara rakyat dari kota Medan itu membuat penegasan laku di atas pentas, karakteristiknya tidak mengesankan seorang pejuang, yang heroik atau berjiwa besar. Ia menampilkan kekuatan laku dengan kekonyolan dan permainan bahasa ujaran dengan lawan mainnya. Tapi kekuatan akting Bujang tidak lebih kuat dari peran Perawat yang dimainkan oleh Eva Ayu Khuntari. Bujang justru terkesan seperti pemain figuran saja. Adegan awal penonton nampak menyiapkan diri untuk mengapresiasi pertunjukan serius, namun kenyataan pentas tidaklah demikian. Terang saja dahi sebagian penonton pun berkerut karena suasana dramatik tidak dirasakan. Kesan apa yang hendak dimunculkan dari pertunjukan? Pertanyaan itu muncul kemudian. Tak ada suspense atau ketegangan di pentas drama itu. Situasi laku pentas berlangsung cair dan dingin. Pertunjukan komedian itu sendiri tidak mencapai sasaran produksi, hanya mempertahankan benang merah pertunjukan drama saja, hiburan dengan tema kemerdekaan dalam rangka menyambut Kemerdekaan RI ke-62 tahun. Selain masalah keaktoran, yang menyebabkan miskomunikasi antara penonton dan tontonannya. Sehingga pertunjukan komedian terkesan memaksa diri untuk jadi lucu. Menurut kesan salah seorang penonton usai menonton pertunjukan. Chrisentia, 23 tahun, mengatakan bahwa pertunjukan itu cenderung menyerupai pertunjukan komedi situasi. Sasarannya adalah bukan penonton teater serius. Mereka memang bukan aktor/aktris sungguhan dengan intensitas latihan peran secara profesional.
Nyatanya, sebagian penonton lelah mengapresiasi aksi-aksi para pemain yang tidak mengena sasaran dramatiknya. Para pemain drama itu terlihat asyik dengan perannya sendiri, dan tidak nampak kesadaran bahwa mereka ditonton orang lain. Padahal seorang pemain drama harus memiliki kesadaran ditonton agar ia dapat mengolah bentuk aktingnya yang efektif dan komunikatif. Dan secara keseluruhan pentas dapat disimpulkan bahwa drama Cepat Pulang Bujang! adalah sebuah eksperimen bentuk drama “Opera Sabun”. *** Usai pertunjukan Green Symphony menggelar diskusi “Prospek Bisnis Seni Pertunjukan Drama Kontemporer di Masa Datang” dengan pembicara Ophan Ajie, Paskalis Trikaritasanto (Green Symphony), dan Riana Afriadi. Dalam diskusi singkat itu mengemuka sebuah wacana klasik menyoal industrialisasi teater kontemporer. Sebuah persoalan yang sudah pernah dijawab dengan popularitas Teater Koma, Jakarta. Mereka menggagas sebuah garakan pengemasan teater yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat luas yang ingin menonton acara hiburan. Istilah Mass Culture pun sempat disebutkan dalam pembicaraan diskusi tersebut sebagai piranti untuk mendongkrak pemasaran teater kontemporer saat ini dan yang akan datang. Namun pertanyaan para pelaku teater seperti Kornel, Jogjakarta, mengemuka, yaitu sampai sejauhmana teater melacurkan diri untuk kebutuhan pasar? Dia memaparkan bahwa teater baginya adalah pengabdian kepada nilai-nilai kemanusiaan. Perkara kuantitas penonton bukan ukuran keberhasilan sebuah pertunjukan yang digelar. Ophan melihat teater sebagai produk. Maka ketika ia melontarkan gagasan sebuah produksi teater muncullah semangat untuk menulis naskah yang mudah dicerna, baik di ranah karya sastra maupun karya pentasnya. Sementara itu Riana Afandi juga menyampaikan bahwa naskah bagi sebuah pertunjukan drama itu sangat penting. Mengomentari pertunjukan Cepat Pulang Bujang!, Riana malah melihat suatu keberhasilan di satu sisi, yaitu unsur komedi melalui permainan bahasa ujaran antarpemain. Paskalis Trikaritasanto, pimpinan produksi pentas, mengatakan bahwa memasarkan produk kesenian seperti teater harus diperlakukan sebagai budaya popular. Bila teater sudah menjadi kebutuhan, maka tentu saja ada peluang pasarnya. Produk itulah yang menjadi modal usaha. Akan tetapi sangat disayangkan, dari ketiga pembicara itu tidak seorang pun memaparkan analisa yang kuat menyoal pasar/penonton teater masa kini di beberapa kota di Indonesia, serta produk seperti apa yang sedang diminati oleh pasar. Sehingga diskusi tersebut hanya menjadi wacana pentas saja. (Argus Firmansah/Wartawan lepas tinggal di Bandung).

Panggung Kemerdekaan Indonesia 62 Tahun

Puisi Demokrasi dari Batu - Teater Payung Hitam “Takh…takh…takh”, bunyi suara batu beradu yang konstan, mengantar penonton pada kesunyian pentas menjadi simbol waktu/jaman berdentang mengawali pertunjukan meta teater Merah Bolong garapan Teater Payung Hitam (TPH) pada tanggal 18-19 Juli 2007. Panggung remang-remang, samar warna merah menggerayami panggung GK. Dewi Asri STSI Bandung, malam itu yang dikerubuti penonton dari kalangan seniman, mahasiswa, masyarakat umum asal Bandung dan Jakarta, serta mahasiswa dan mahasiswi IPDN, Jatinangor, Sumedang, juga turut jadi penonton. Sesosok manusia mengusung ember seng berisi batu dengan celana pendek putih berjalan di atas batu-batu putih yang membentuk garis X. Suasana pun jadi mencekam tatkala Yayat HK menyapu kegelapan manusia batu di panggung dengan sedikit warna merah, sehingga nampak batu-batu besar bergantungan di atas panggung. Ia tumpahkan batu-batu berwarna putih dalam ember yang diusungnya hingga tumpukan batu di sudut panggung itu makin menjadi gunung. Tubuhnya gemetar kemudian, dan tergesa kesana-kemari menghampiri batu-batu besar yang tergantung di atas panggung. Batu-batu itu disentuhnya, dipandangnya, seolah berdialog dalam kebisuannya. Penonton tegang dan digerayami rasa was-was ketika aktor itu berjalan di antara batu-batu yang bergelayutan, saling silang, dan berpapasan dengan kepala sang aktor yang ukurannya jelas lebih kecil ketimbang batu-batu itu. Seketika ia terjatuh ketika disapu batu yang berayun di tengah panggung. Bunyi detak batu beradu pun makin kencang dan mencekam. Empat aktor, diperankan Asep Budiman, Gaus FM, Felly Daryanto, Ade Ii, masuk dari samping kiri belakang panggung membawa ember seng berisi batu yang digetarkan hingga bunyi gesekan dan benturan di dalamnya terdengar oleh penonton, menjadi teror suara kepada pemain, juga penonton. Ember-ember itu ditumpahkannya pada batu yang bergantungan. Ancaman-ancaman makin dirasakan penonton saat itu. Tatapan mata manusia batu bertopeng itu terasa ngeri, meneror tokoh yang diperankan Hendra Mboth. Bunyi yang mengancam muncul bertubi-tubi. Tidak hanya oleh batu-batu besar yang bergantungan, suara batu dalam ember tentu saja menambah situasi makin mengancam. Efek ancaman lewat bunyi bukan sekedar realitas panggung saja. Realitas panggung hanya sebuah gambaran estetik menyoroti situasi sosial masyarakat selama ini. Mau tidak mau imajinasi penonton diarak pada sebuah upacara pengorbanan manusia yang diparodikan pada tayangan pemberitaan di televisi dan surat kabar. Seorang aktor lagi, Sistriadji, masuk engan celana pendek putih dan telanjang dada masuk dari samping belakang kanan panggung dengan ember di atas kepalanya. Ia punguti batu-batu putih satu per satu dan ketika itu pula batu putih di dalam ember pun jatuh. Sebuah kesia-siaan Sisyphus menjadi syair gerak aktor ketika itu. Absurditas hidup manusia terus bergulir secara deformatif dalam adegan itu. Tak lama setelah itu tiga orang aktor, diperankan Yanuar Ibrahim, Nanda Darius, Deden Bulqini, dengan sepasang batu digenggamannya dibunyikan silih berganti saat masuk ke panggung. Sebentuk ancaman lain yang membawa kebingungan dan kemarahan atas situasi pengulangan yang sia-sia. Sistriadji menengoknya lalu out. Tiga aktor itu mendekati batu yang tergantung di tiga sudut panggung. Mereka berdialog dengan bunyi batu yang dibenturkannya. Bahasa bunyi yang melambangkan kebisuan manusia bertopeng. Batu-batu itu perlambang kebekuan system atau siklus hidup yang bermasalah dan tak terpecahkan. Saking akutnya maslah itu hingga menjadi batu. Rusli Keleeng masuk tergopoh-gopoh menanggung dua ember berisi batu. Ia berjalan hingga ke sudut panggung. Ia menatap ke atasnya sejenak, seolah mencari harapan akan datangnya rasa kemerdekaan. Tapi yang diperolehnya malah batu-batu koral warna merah yang menghujani tubuhnya. Hujan batu-batu merah itu membuat ia jatuh tak berdaya, terkaparlah ia di sana. Demikian juga tubuh tiga aktor dengan batu digenggamnya pun jatuh. Sebuah simbol tumbangnya manusia jelata yang tergopoh memikul beban masalah. Adegan aktor-aktor yang terkapar itu melayangkan keheningan sejenak. Namun setting ketegangan adegan kian menanjak. Lalu empat aktor dengan ember batu di tangannya masuk bersama bunyi yang berisik. Mereka saling memandang satu sama lain setelah melihat aktor yang perankan Keleeng terkapar di sana. Mereka coba berkomunikasi dengan bunyi batu dalam ember itu, namun Keleeng tidak juga bangun. Tak lama kemudian Keleeng bangun dari ketidaksadarannya, lalu memikul dua ember miliknya dan berjalan terhuyung-huyung di garis X yang jadi samar ke sudut depan kiri panggung, empat aktor ember batu pun mengikutinya. Dan di atas tumpukan batu koral itu ia merancah bebatuan itu yang diikuti empat aktor ember batu itu. Keleeng pun akhirnya jatuh terkapar lagi. Dua orang aktor dengan sepasang batu digenggaman masuk ke panggung dan mengitari panggung. Sementara empat aktor ember batu coba sadarkan lagi dengan bunyi embernya itu. Keleeng terbangun dan terhuyung-huyung berjalan ke tengah panggung. Adegan pun berubah jadi chaos. Aktor-aktor telanjang dada itu ada yang berlarian mengitari panggung lalu out. Batu-batu putih yang dihamburkan kemana-mana oleh empat aktor ember batu. Keleeng berada di tengah dan berputar-putar melihat kekacauan itu. Terus berputar, mengamati wajah-wajah tragis manusia batu dan ia pun keluar panggung. Tiga aktor dengan batu di atas kepalanya masuk dengan bunyi, “Aaeeee……. Aaeeee……. Aaeeee……. Aaeeee…….”, menambah efek dramatis sebuah kematian simbol manusia merdeka. Aktor-aktor itu satu persatu berdialog dengan batu-batu yang bergelantungan, dan diayunkan lagi. Mereka pun jatuh satu persatu (seolah-olah) terbentur batu. Sistriadji masuk lagi dengan adegan yang sama. Adegan ini pun jadi metafora pengulangan siklus hidup manusia yang sia-sia. Sejenak kemudian seorang aktor dengan penggaru gabah masuk panggung dan menyapu batu-batu yang berserakan, mengumpulkannya di tengah panggung. Setelah terkumpul, aktor itu membentuk sebuah relief manusia dari batu putih dan batu merah dengan beragam ukuran. Kemudian Keleeng masuk lagi ke panggung, menghancurkan relief manusia dari batu itu. Aktor dengan penggaru gabah pun terusir dengan hadirnya aktor-aktor dengan ember di kepala mereka. Kemudian mereka menumpahkan batu di dalam ember yang diusung dikepalanya ke dalam ember yang dipikul Keleeng. Keleeng berputar-putar di tengah panggung hingga jatuhlah di sana, ia menggelepar sampai mati. Keleeng terkapar di tengah panggung. Yayat HK, penata cahaya, menyorotkan lamput spot ke tubuh Keleeng yang mati terkapar. Perhatian penonton tertuju pada tubuh mati itu, kematian. Suasana hening setelah Hendra Mboth sadarkan diri dari suasana chaos, lalu mengambil tanggungan ember batu itu ke luar dengan dipikulnya. Muncul lagi lima aktor dengan penggarunya, mengumpulkan batu-batu itu ke tengah panggung, lalu menimbun tubuh Keleeng dengan batu putih, kemudian batu merah. Terbentuklah sebuah kuburan batu bercorak merah putih. Sistriadji masuk kembali dengan tangan kosong. Ia menyentuh tubuh pesakitan yang mati itu. Ia meratapi dan menangisinya, lalu menabur bunga (batu) pada tubuh pesakitan yang tumbang itu. Tubuh pesakitan yang menjadi monumen atau simbol matinya kemanusiaan. *** Ketegangan seakan tiada henti menggedor kesadaran penonton. Meski pertunjukan sudah usai, rasa takut itu masih terngiang-ngiang seolah bunyi batu beradu terus meneror. Pertunjukan Merah Bolong diakhiri dengan tepuk tangan batu oleh kru pertunjukan yang berada di tengah penonton. Umar, mahasiswa IPDN tingkat 4, dalam wawancara usai pertunjukan (19/7) mengatakan cukup terkesan dengan pertunjukan Merah Bolong. Umar menafsirkan Merah Bolong sebagai representasi dari keadaan derita masyarakat, yang tertindas hak-haknya sebagai manusia Indonesia. Umar juga melihat pertunjukan Merah Bolong sebagai sebuah otokritik terhadap penguasa. Sebagai calon orang pemerintahan, Umar mengatakan, kita harus bisa memahami keadaan bangsa, keadaan psikologi masyarakatnya. Ia juga mengamati keadaan ekonomi rakyat belum merdeka. Hak-hak individu masyarakat belum terpenuhi. Umar juga mengatakan, bila kita melihat tayangan di televisi……guru demonstrasi, anggaran pendidikan 20% belum terlaksana……padahal guru menjadi tulang punggung masa depan anak-anak yang menjadi generasi penerus. Umar melihat pertunjukan Merah Bolong sebagai simbol realitas masyarakat saat ini. Begitu pelik masalah manusia di Indonesia dalam gambaran Merah Bolong itu. Bahkan mungkin pertunjukan selama 50 menit itu tak sanggup menyuarakan teriakan dan tangis manusia Indonesia yang tertindas dan belum merdeka. Sutradara TPH, Rachman Sabur, yang menggarap lakon Merah Bolong malam itu (18/7) mengatakan bahwa teks kemerdekaan yang diusung dalam puisi batu malam itu merupakan simbol representatif atas kemerdekaan masyarakat Indonesia saat ini. Bahwa persoalan-persoalan hak asasi manusia dan kemerdekaan sebagai bangsa semakin kompleks dan membeku jadi batu. Masalah-masalah itu tidak terselesaikan. Beragam persoalan bangsa pun semakin mengeras jadi sebuah chaos ketika batu-batu itu dibungkam. Batu merah dan putih di panggung adalah medium simbolitikum di mana merah itu bukan darah, tapi gambaran pesakitan, atau kemarahan. “Saya melihat masyarakat Indonesia hidup dalam ancaman-ancaman,” ujar Rachman Sabur. Teks Merah Bolong memang sudah berumur 17 tahun setelah pementasan pertamanya pada tahun 1997. Akan tetapi teks Merah Bolong itu mengalami proses. Setiap pementasan digarap dengan perubahan teknis pemanggungannya, juga tema. Dan tema Merah Bolong kali ini mengusung teks besar kemerdekaan Republik Indonesia. Teks itu kini menelorkan pertanyaan, “Apakah rakyat sudah benar-benar merdeka sekarang?” Rachman Sabur juga mamaparkan bahwa ancaman pada suspense (ketegangan) batu dipentas tidaklah seberapa dibandingkan dengan realitas masyarakat Indonesia dewasa ini. “Rasanya kita semakin tidak merdeka. Saya yakin seyakinnya, tayangan di televisi adalah parodi dan itu menyakitkan. Dengan batu merah dan batu putih itu, saya ingin orang mengkorelasikan dua warna itu dengan kemerdekaan yang kini diancam oleh masalah yang tidak selesai-selesai dalam realitas kehidupan saat ini. Dan yang ada kini hanya kemarahan,” sambung Rachman Sabur. Pertunjukan Merah Bolong berada dalam koridor diskursus nasionalisme melalui bahasa petanda di panggung teater modern Indonesia. Warna merah dan putih pada batu jadi simbol yang disajikan kepada penonton juga pemain, untuk direnungi bersama. Bagaimana nasionalisme menjadi harapan untuk menyejahterakan masyarakat ke depan. Toh, kesejahteraan rakyat belum juga menjadi hak setiap individu dari bangsa ini. *** Merah Bolong kali ini bukan pengulangan tematik atau pengulangan ketegangan yang mewakili realitas hidup manusia Indonesia saja. Akan tetapi jadi sebuah penegasan atas kondisi kemanusiaan yang semakin ringkih dengan ancaman-ancaman lenyapnya kemerdekaan itu. Penegasan nonverbal terhadap keadaan yang semakin buruk. Melalui teks nonverbal yang bertajuk Merah Bolong itu, Teater Payung Hitam coba mengetuk rasio dan rasa penontonnya terhadap hakikat nilai kemanusiaan dan kemerdekaan tanpa sebuah pretensi politis apa pun. Wacana Kemerdekaan saat ini memang hampir dilupakan karena nasionalisme yang telah terkikis oleh cara pandang liberalisme absolut dari cara berpikir ekonomi kapitalisme. Tanpa terasa umur kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia sudah menginjak 62 tahun. Merdeka-kah bangsa Indonesia saat ini? Apakah sudah merdeka manusia Indonesia seluruhnya sebagai rakyat suatu Negara dan sebagai manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa? Mari kita renungkan kembali semua ini. (Argus Firmansah/Kontributor Bandung - Mingguan Jurnal Nasional)

Wednesday, August 15, 2007

Immutable Object Hansen di Galeri Soemardja

Gaya Abstrak Timur pada Lukisan Hansen Sebuah perhelatan seni rupa kembali digelar mulai pada Jumat malam (10/8) di Galeri Soemardja, Bandung. Galeri Soemardja menampilkan lukisan-lukisan Hansen sebanyak 30 karya pada dinding galerinya yang diberi tajuk Immutable Objects. Sapuan kuas dengan cat minyak pada kanvas, atau akrilik di atasnya membentuk ruang-ruang penanda yang berwarna. Ruang-ruang itu sengaja disediakan Hansen untuk menjadikannya ruang elaborasi, antara abstrakisme Barat dan figuratifisme Timur. Penanda ketimuran hadir melalui bentuk-bentuk objek yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita, seperti teko, kabel, dll. Pameran tunggal karya Hansen ini berlangsung dari 10 – 27 Agustus 2007 di Galeri Soemardja. Yang jelas adalah seni lukis abstrak dalam dua versi pandangan. Versi pertama, seperti yang telah diketahui umum oleh perupa Indonesia, adalah seni di bidang lukisan pada khazanah kebudayaan Barat pada tahapan estetis di mana bentuk yang lazim (realis) tidak lagi dianggap mewakili subjektifitas sang pelukis. Karenanya, abstrak sering diistilahkan sebagai non-objective art ¬atau non-representational art, dan pada jaman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dianggap sebagai seni representasi dari neo-kolonialisme kebudayaan Barat terhadap Indonesia. Sebab pada jaman Lekra semua bentuk kesenian harus patuh pada sistem kesenian yang disebut Realisme Sosial, sedangkan lukisan abstrak malah menjauhkan dari kenyataan sosial. Itulah pro-kontra konsep kesenian tahun 1950-an. Aminuddin TH. Siregar mengatakan bahwa karya Hansen dalam eksibisi itu tidaklah semata sebagai pameran lukisan abstrak murni (pure abstract), karena Aminuddin melihat kecenderungan lain dari sapuan kuas dan estetika yang direkayasa oleh Hansen pada karya-karyanya. Yaitu dualisme; kecenderungan figuratif dan abstrak. Abstrakisme cukup menunjukkan letak kekuatan seluruh karya Hansen, sementara itu ia membuat jembatan pemahaman untuk mempertemukan “estetika” Barat dan Timur.
Karya-karya Hansen dalam pandangan Aminuddin merupakan representasi dari kebudayaan Indonesia serapan Barat. Mengapa demikian? Aminuddin menjelaskan bahwa abstrakisme yang disajikan Hansen tidak seutuhnya. Bahwa masyarakat Indonesia tidak bias menyerap sepenuhnya kebudayaan asing. “Dia masih menyertakan penanda-penanda lokal atau Indonesia…Itu dapat dilihat pada karya-karya yang dipamerkan di mana terdapat objek-objek yang immutable pada bidang abstraknya. Objek-objek itu menjadi semacam keterangan bahwa gambar itu adalah anu.” Kekuatan itulah yang membuat eksibisi Hansen menjadi menarik. Yaitu perpaduan abstrakisme Barat dan Timur. Hansen mengatakan usai pembukaan eksisbisinya itu, bahwa inspirasi karya seri ini adalah manusia urban. “Sejak 4 tahun yang lalu saya menggarap Celebration of Inner Dancing. Perpaduan Barat dan Timur saya olah melalui teknik garap abstrak dan kaligrafi. Di mana kaligrafi sebagai representasi estetika Timur dan abstrak sebagai representasi estetika Barat. Namun dalam seri ini saya lebih fokus pada pikiran manusia urbannya. Kali ini saya menggunakan esensi Zen yang mewakili ketimuran kita. Menurut saya dalam kehidupan masyarakat kita ada yang berbentuk (figuratif) dan yang tidak (abstrak). Hal itu dapat dilihat pada kehidupan religi masyarakat di Bali. Mereka menyembah patuh…bukan, kata mereka…tetapi sesuatu yang tak berbentuk di balik patung itu,” papar Hansen. Abstrak bagi Hansen adalah sebuah cerita dari mind-nya manusia urban. Keseharian mereka menjadi inspirasi kreatif bagi Hansen dalam menuangkan gagasan seri ini ke atas kanvas. “Saya masih ingin bercerita dalam seri eksibisi ini. Menceritakan kehidupan masyarakat urban di Indonesia dengan semua estetikanya,” katanya. Seperti pada lukisan Hansen yang berjudul “After Supper”, “See”, “Afternoon”, “Dance With The Wind”, “My Bali” I & II, dan “The Myth”, tidak nampak layaknya sebuah lukisan abstrak yang tanpa bentuk atau hanya bidang. Justru pada lukisan-lukisan tersebut Hansen menyertakan sebuah objek keterangan di bagian bawah bidang karya abstrak. Konsep dualisme, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, nampak jelas diartikulasikan dengan sapuan kuas dari tangan Hansen. Bidang abstrak di bagian atas bidang, dan objek penerang (figurative form) itu hanya disatukan oleh frame kanvas. Tentu saja objek penerang itulah yang dinamakan “Immutable objects” oleh kcurator eksibisi tersebut. Hansen menjelaskan bentuk representasi itu sebagai perpaduan abstrak Barat dan figuratif Timur atau bentuk-bentuk Zen itu sendiri. Pelukis kelahiran Toho, Kalimantan Barat, ini sudah melanglangbuana di dunia lukis dan kegiatan eksibisi. Ia menggelar eksibisi tunggal di Taipe pada tahun 1983 yang diberi judul “New Life Exploration”. Pada tahun 1980-an Hansen memang terbilang bestseller karya lukisan abstraknya. Maka kehadirannya kali ini Bandung merupakan sebuah penggalian wacana baru dalam konsep seni elaborasinya itu. Bahwa kebudayaan itu luas dan beragam, demikian juga seninya. Maka percampuran atas keragaman itu akan menghasilkan sebuah karya yang multi-interpretatif. (Argus Firmansah/Kontributor Mingguan Jurnal Nasional/Bandung)

Friday, August 10, 2007

Tukang Nasi Goreng dan Gempa Bumi Indramayu

Gempa Bumi di Indramayu sampai juga ke Tuakng Nasi Goreng di Bandung
Lampu pun bergoyang, rumah-rumah juga terguncang tepat pada waktu 00.04 - 00.06 wib, Kamis, 9 Agustus 2007. Warga di sekitar jalan KH Wahid Hasyim, kota Bandung sempat keluar rumah mereka setelah gempa bumi yang dirasa warga sebanyak tiga kali. Gempa kedua terasa sangat besar goncangannya. Menurut BMG, pusat gempa bumi berada di 75 KM Barat Laut Indramayu dengan kekuatan 7.0 pada skala richter. Warga kota bandung sempat panik dan bertanya-tanya dimana pusat kekuatan gempa bumi itu terjadi. Sebagian warga pun segera menonton Metro TV untuk mengetahui keterangan gempa tersebut.Pak Haji Tatang, warga kelurahan Suka Asih, Kota Bandung, keluar rumah dan menemui tetangganya untuk memastikan memang terjadi gempa bumi di Bandung. "Di mana pusat gempanya ya?", ujar Haji Tatang.
Pemberitaan di televisi memberi keterangan bahwa gempa bumi dengan kekuatan 7.0 pada skala richter itu juga dirasakan di sejumlah daerah, antara lain di daerah Pantura, yaitu Indramayu, Brebes, Cirebon, Majalengka, Bandung, Yogyakarta, Cilacap, Jakarta, Banten, Lampung, Sumatera Selatan, Padang, Bengkulu hingga daerah Bali.Gempa bumi itu tidak hanya disarakan warga kota Bandung, tapi juga kabupaten Bandung.Bejo, seorang pedagang nasi goreng, mengatakan rasa cemasnya ketika roda nasi gorengnya terguncang cukup kuat selama beberapa menit. Hal serupa juga diungkapkan oleh kawannya yang sednag berjualan di jalan Nyengseret, Kota Bandung.Sementara menurut kontributor Metro TV di Indramayu mengatakan bahwa warga Pantura, Indramayu, tidak merasakan kekuatan gempa yang bergitu besar seperti dirasakan warga di daerah lain seperti Cirebon, Majalengka, Jakarta, dan Bandung.
Namun demikian warga pada lewat tengah malam itu merasakan ketakutan akan datangnya gempa bumi susulan yang lebih besar kekuatannya. Meski demikian gempa tidak berpotensi timbulnya bencana tsunami, menurut BMG. Dan pihak BMG Sumatera Barat menyatakan bahwa gempa bumi yang dirasakan di daerah Sumatera masih terkait dengan gempa bumi di Indramayu. (Argus Firmansah/wartawan lepas tinggal di Bandung).

Pentas Kolaborasi Aktor Sidetrack Australia dan CCL Bandung

Kolaborasi Akar Budaya dalam Teater
The Tangled Garden, itulah judul pertunjukan teater modern yang mengelaborasikan akar tradisi budaya Sunda ke dalam akar budaya Barat (Australia) di Center Cultural Ledeng (CCL) Bandung kemarin malam (4/8). Cerita lakon ini mengambil tempat peristiwa di daerah Parahyangan. Sebuah desa yang bernama Sancang di pegunungan yang rimbun. Ariel, diperankan oleh Alex Blias (aktor Sidetrack - Australia), seorang pemuda keturunan campuran baru saja lulus dari universitas dan kembali ke desa dimana ia dilahirkan. Di sana ia bertemu dengan Ujang, diperankan oleh Dedi Warsana, seorang anak petani miskin juga sahabat Ariel sejak kecil. Persahabatan yang sempat terputus di antara mereka terjalin kembali. Kedua sahabat itu pergi ke desa Rancamaya. Sebuah tempat suci dimana Ujang akan meminta berkat dari Dewi Sri Pohaci (Dewi Kesuburan) yang diperankan oleh Monica Wulff (penari Sidetrack Australia). Di tengah perjalanan mereka beristirahat di samping mata air suci. Pada pagi dini hari seorang perempuan cantik bernama Dewi (Maryam Supraba) datang untuk mandi di mata air itu. Saat Ujang terbangun, ia melihat Dewi sedang berendam. Tentu saja Ujang menikmati pemandangan itu seolah anugerah dari Yang Maha Suci. Lalu Ujang membangunkan Ariel untuk sama-sama melihat kemolekan tubuh Dewi yang sedang mandi. Akan tetapi Ariel malu sendiri melihat kecantikan Dewi dan menghukum Ujang karena melihat kecantikan Dewi yang dianggapnya milik Dewi Sri Pohaci yang suci. Keduanya berdebat kemudian, beradu mulut dan hampir berkelahi.

Ujang menganggap Dewi adalah perempuan desa yang terpilih sebagai Putri Panen ketika Ujang temui dalam sebuah pesta panen padi. Ketika itu Ujang lah yang terpilih untuk mengangkat Dewi ke bahu Ujang. Namun untuk membuktikan persahabatannya, Ujang meminta Ariel mempersunting Dewi, dan harus menerima golok sucinya. Apabila Ariel menolak maka Ujang sendiri yang akan menyunting Dewi dengan sumpah serapahnya. Demi persabatannya dengan Ujang,Ariel menerima tawaran tersebut hingga berlangsunglah pernikahan Ariel dan Dewi walaupun sebenarnya Ariel tahu bahwa Dewi lebih menyukai Ujang ketimbang dirinya. Alkisah, usai pernikahan Ariel pergi bersemedi di sebuah goa. Ia jatuh tak sadarkan diri di goa itu. Dan karena rasa bersalahnya kepada Ujang, ia memenggal kepalanya dengan golok pemberian Ujang. Dewi menggoda Ujang, namun Ujang sadar Ariel tidak juga kembali. Ujang pun meninggalkan Dewi sendirian. Dalam usaha pencariannya Ujang menemukan tubuh Ariel terpisah dari tubuhnya.

Melihat keadaan demikian Ujang memutuskan untuk memenggal kepalanya sendiri karena tidak ingin dicurigai ingin memiliki istri Ariel. Maka Ujang dan Ariel saat itu bertubuh tanpa kepala. Dewi pun menangis melihat Ujang dan Ariel tanpa kepala di goa. Lalau Dewi juga berniat bunuh diri karena tidak ingin disalahkan atas bencana tersebut. Tapi sebelum niatnya lulus Dewi Sri Pohaci muncul mengurungkan niatnya. Niat Dewi itu disalahkan Dewi Sri Pohaci sebagai tindakan kebodohan karena tahu Dewi sedang mengandung. Bencana itu pun tak jadi akhirnya. Dewi memohon kepada Dewi Sri Pohaci untuk mengembalikan kepala Ujang dan Ariel ke tubuh mereka. Namun suasana pentas pun berubah dari kesedihan menjadi kocak. Pasalnya Dewi Sri Pohaci melakukan kesalahan, kepala Ariel menyatu dengan tubuh Ujang dan begitu sebaliknya. Ketiganya menjadi bingung karenanya.

Dewi bingung memilih yang mana suaminya. Dan ketiganya pergi ke Dukun tua yang tinggal di atas pegunungan untuk memecahkan teka-teki itu. Namun sang Dukun (Gusjur Mahesa) malah tergoda oleh kecantikan Dewi. Perang libido Dukun pun terjadi dalam dirinya. Menyelesaikan masalah siapa suami Dewi dan hasratnya melihat kecantikan tubuh Dewi. Akan tetapi masalah tidak terselesaikan, karena badan Ariel menyatu dengan tubuh Ujang. Alkisah, Ariel membawa Dewi ke kota karena ia berambisi dengan karirinya sebagai penulis, sedangkan Dewi melahirkan aank yang diberinya nama Samadi. Dewi tidak begitu kerasan di kota, hanya Samadi yang membuatnya bertahan. Lalu Dewi pun mulai bosan. Dewi terus memikirkan Ujang karena rasa rindunya sementara Ujang berada jauh di pegunungan Sunda. Hingga akhirnya Dewi melarikan diri untuk kembali bersama Ujang dan bahagia di pegunungan Sunda. Dewi dan Samadi tidak ada di rumah ketika Ariel pulang. Tanpa berpikir lama Ariel mengikuti jejaknya yang mengarah ke rumah Ujang. Keadaan semakin sulit dengan begitu. Ujang dan Ariel pun bertarung untuk mendapatkan Dewi. Akan tetapi Ujang dan Ariel jatuh bersamaan. Dewi pun hidup dengan Samadi saja.

Kisah itu ditulis oleh Don Mamouney (penulis Sidetrack - Australia) dengan melakukan studi literatur pada naskah sastera seperti The Transposed Head-nya Thomas Mann, The Hayavadana karya Girish Karnad, The Vetalapanchavimshika, Sundanese Mythological Stories, dan Stories Telling Stories-nya Fernando Pessoa. Kisah The Tangled Garden memang bukan kisah utuh dari sebuah cerita babad tentang sejarah Sunda. Kisah yang dilakonkan ini lebih merupakan serpihan cerita atau inti cerita sebuah mitos yang saling berkaitan secara tematik. Pertunjukan The Tangled Garden adalah hasil workshop seniman Sidetrack, Australia, dengan seniman CCL Bandung selama tiga bulan berproses dengan dana produksi puluhan ribu dolar AS. Kisah The Tangled Garden inilah yang menjadi panduan para aktor untuk mengolah perannya masing-masing dalam dua bahasa. Tokoh Ariel yang dipernakan oleh Alex Blias menggunakan bahasa Inggris bersama penari yang memerankan Dewi Sri Pohaci yaitu Monica Wulff, sementara aktor lainnya dari komunitas CCL Bandung menggunakan bahasa Indonesia campur bahasa Sunda. Pertunjukan yang disutradarai Carlos Gomes (Sidetrack - Australia) nampak memukau secara sekilas, karena sutradara menggunakan aktor dari komunitas CCL Bandung dan Sidetrack, Sydney – Australia.

Penataan gerak aktor dikemas dengan arahan Iman Soleh, mantan aktor Arifin C. Noor. Penataan gambar suasana cerita pun cukup apik ditata oleh Yadi Mulyani yang merangkap desain ilustrasi musik pada pertunjukan itu. Juga karena ada dua bahasa yang digunakan oleh aktor-aktrisnya. Akan tetapi pertunjukan secara keseluruhan kurang begitu mengigit karena improvisasi aktor-aktor dari CCL Bandung sangat dominan dan cenderung bermain-main dengan perannya untuk menimbulkan efek lucu. Meski efek kelucuan cukup berhasil membuat penonton tertawa, terlihat banyak jurang komunikasi antarpemain di hadapan penonton. Pertama, penggunaan bahasa secara ganda pada waktu bersamaan (bukan penerjemahan - penulis) menimbulkan efek tidak komunikatif, bahkan terkesan melecehkan kesungguhan permainan acting Alex Blias dengan bahasa Inggris-nya. Kedua, gestikulasi tokoh Ujang dan Dukun pada adegan pemandian Dewi di mata air suci dan pertemuan ketiganya dengan Dukun menimbulkan efek negatif bagi anak-anak di bawah umur, karena gestikulasi yang dibawakan Dukun dan Ujang layaknya disajikan untuk orang dewasa. Faktor kedua inilah yang sangat disayangkan dapat mempengaruhi negatif imajinasi dan pengetahuan anak-anak yang masih belasan tahun itu. Salah seorang ibu yang menonton di samping saya sempat mengeluh saat menonton adegan gerakan tubuh Dukun dan Ujang yang dapat dikatakn sebagai gerakan pornoaksi. “Aduh…harusnya ini tidak ditonton anak-anak…itukan untuk orang dewasa,” katanya sambil menutupi kedua mata anaknya. Sementara anak-anak yang lain nampak biasa saja menyaksikan aksi-aksi tokoh Dukun yang cenderung pornoaksi itu. Hal ini sangat disayangkan terjadi dalam sebuah peristiwa kesenian. Meski aksi-aksi itu sudah biasa ditonton dalam sinetron di televise swasta, agaknya peristiwa teater tidak berposisi sama dengan sinetron percintaan remaja yang kian bebas mempertontonkan pornoaksi di hadapan mata anak-anak. Yang terkesan oleh seniman-seniman Sidetrack, Australia, tawa penonton yang melihat pornoaksi para pemain dari Indonesia itu dianggap sebagai kelucuan. Padahal, gestikulasi itu belum layak ditontonkan kepada anak-anak di bawah usia remaja maupun remaja. Bagi penonton di Australia mungkin hal itu bukan persoalan, akan tetapi itu terjadi di Indonesia. Apakah sudah sedemikian itu posisi teater Indonesia dalam memberi pencerahan budaya dan intelektual dalam bahasa estetis?

Adegan-adegan dalam pertunjukan pun menjadi adegan layaknya sebuah sinetron percintaan, karena yang menjadi benang merah dalam laku teater tersebut adalah kisah percintaan Ujang dan Ariel dalam merebut hati Dewi sang bunga desa.Seterusnya, pertunjukan teater pun menjadi tidak fokus. Apakah bentuk tragedi, komedi, atau keduanya. Sementara celotehan aktor-aktor dari CCL yang berperan sebagai Ujang dan Dukun cenderung lebih comedian, atau melucukan adegan dengan bahasa Sunda orang dewasa. Kenyataan pentas ini kemudian merepresentasikan kelemahan aktor-aktor CCL Bandung yang belum layak disebut aktor yang mewakili Indonesia ke negeri kangguru pada pementasannya di Darwin Festival dan Sydney, Australia, pada pertengahan Agustus hingga September mendatang. Keindahan membawakan peran malah berada pada Maryam Supraba, peran Dewi, yang berfungsi vital sebagai penari. Padahal eksistensi Maryam lebih dikenal sebagai perempuan muda yang cukup lumayan di bidang tarik suara di kota Bandung.

Terlepas dari kekurangan pada aktor-aktornya. Pertunjukan The Tangled Garden itu mengupas filosofi kehidupan masyarakat Sunda dengan sistem paradoks, Pola Tiga-nya. Pola Tiga adalah karakteristik paradoks masyarakat Sunda yang banyak bertani sawah. Bahwa pencapaian harmoni dalam masyarakat sawah adalah dengan sistem pola perkawinan - Pola Tiga. Pola Dua adalah kalah menang, selalu berperang; kehidupan harmoni ada bila ada kematian, atau salah satu mati maka ada hidup. POla Tiga dalam masyarakat sawah adalah mengawinkan perbedaan untuk menjadi satu, yaitu harmoni. Oleh karena itu sebut Pola Tiga. (Argus Firmansah/Kontributor lepas Mingguan Jurnal Nasional/Bandung).